Arsen mengelus sejenak pucuk kepala Daffa, kemudian menyuruhnya masuk. Ya, selalu menyempatkan diri untuk mengantar Daffa ke TK. Bila semakin mendapatkan waktu luang, mungkin akan menjemput juga.Sayangnya, sulit. Itu sebabnya, selalu menyuruh supir pribadi untuk menjemput dan mengantarkan Daffa ke kantor."Kenapa, hm?" Arsen menyamakan tingginya dengan Daffa.Daffa tidak menjawab, melainkan memeluk erat leher Arsen. Sepertinya, ingin digendong dan terkesan tidak mau ditinggal.Arsen menghela napas sejenak, sepertinya kali ini harus mengabaikan pekerjaan. "Ayo masuk, papa nggak pergi kok." Terus melangkah dengan Daffa di gendongannya.Benar saja, Daffa terlihat anteng dengan anak-anak lain. Agak lega, perlahan Daffa membiasakan diri dengan orang asing.Arsen terus mengamati Daffa dari bangku, yang dikhususkan untuk orang tua yang menunggu anaknya. Sesekali teralih pada ponsel, terdapat balasan dari Aruna. Ya, Arsen mengirim pesan singkat untuk mengerjakan semuanya. Selagi, dirinya tida
Arsen terus mengikuti ke manapun Daffa melangkah sedari tadi sudah ke berbagai macam wahana, terkadang berlari kecil dan akan berhenti dan melendot lagi padanya, bila ada orang asing mendekat sekadar menyapa karena gemas, atau tanpa sengaja hampir menabrak."Papa!"Seketika tersentak, efek melamun mendadak. Menggelengkan kepala sejenak, kemudian menyamakan tingginya dengan Daffa."Mau naik wahana apa lagi, hm? Atau laper?" Arsen memutuskan menggendong Daffa."Nggak! Maunya ice cream cokelat!" pinta Daffa, sembari menunjuk ke arah stand ice cream berbagai macam rasa dan toping."Oke." Mulai melangkah kakinya ke stand ice cream, beruntung di sebelahnya terdapat stand makanan persis sebuah kafe tetapi lebih mini.Arsen sibuk melahap habis makanan, sekaligus menyuapi Daffa juga. Memang akan dibelikan ice cream, setelah makan. Kalau tidak, pasti Daffa menolak untuk makan. Meski, tadi agak ngambek sejenak."Udah!" Daffa memalingkan wajah, saat Arsen ingin memberi suapan lagi. "Mau ice cream
Di kegelapan malam, Arsen melangkah santai keluar dari sebuah gang. Itu cukup jauh dari penginapan. Sepertinya, Arsen habis meluapkan emosi. Niat awal, tidak mencari korban untuk pelampiasan.Sayangnya, gagal. Emosinya semakin memuncak dan meledak, karena pertemuan kedua kalinya dengan Brian. Jika saja, Aruna tidak keluar dari penginapannya. Mungkin, Arsen akan kalap.Beruntung, tepat waktu.Kini, Arsen baru selesai melampiaskan. Kondisinya berantakan, terlihat babak belur. Bisa dibilang, hampir setiap malam mencari korban pelampiasan. Kemarin tidak, karena bertemu Aruna di minimarket dan berakhir meluapkan perasaannya."Lupakan semuanya." Arsen terus bergumam.Sesekali mengusap wajahnya, terlihat jelas bercak darah. Meski memulai dan mudah melakukan penyerangan, sekaligus perlawanan, tetap saja tidak luput terkena serangan goresan atau apapun, intinya menyebabkan memar dan luka berdarah.Langkah kakinya terhenti sejenak, manik hitamnya tertuju pada jam dinding dalam minimarket. Sudah
Aruna harus merelakan pekerjaannya, padahal sudah mengingatkan diri di hari pertama bekerja tidak akan absen kosong atau izin apapun.Sekarang, niat itu lenyap sudah. Memang sehari absen, tetapi mengusik loh!Kini sudah berada di depan penginapan yang dihuni oleh Arsen dan Daffa. Sesekali melirik arloji, seketika lega karena masih bisa ke kantor walau masuk setengah hari saja.Aruna menarik Daffa masuk ke dalam, kebetulan membawa kunci cadangan penginapan Arsen sebelum pergi mengantar Daffa ke TK tadi.Ketika masuk, penglihatannya tidak menangkap keberadaan Arsen. "Masih tidur kah?" Anehnya, saat melirik ke dapur mini tepatnya meja makan. Sepiring makanan sekaligus sebutir obat demam, sudah tandas.Daffa berlari ke kamar, Aruna mengekor saja. Ternyata, Arsen sibuk dengan laptop. Tetapi, terlihat jelas masih belum sehat benar.Dia benar-benar memaksakan diri.Aruna terusik dengan sisi keras kepala Arsen. "Aku pergi dulu," pamitnya.Arsen mendengkus sejenak, dan malepas kacamata anti rad
Arsen terusik dengan sebuah kiriman berupa undangan pernikahan, dan tertera Devan."Oh dia kah?" Arsen di masa SMA dulu, tidak terlalu menganggap semua siswa. Bahkan, berniat untuk akrab. Namun, tahu. Kalau Devan itu kekasih dari teman dekat Aruna, yaitu Tania.Berusaha melupakan masa lalu, tetap saja harus diingat lagi. Arsen menyimpan begitu saja di atas meja, entah datang atau tidak.Kini fokus pada pekerjaan lagi, ya semenjak mengambil cuti dua minggu. Arsen berdiam diri di penginapan, keluar hanya untuk mengantar Daffa, menunggu, dan pulang. Semua yang terjadi di kantor, akan selalu diinfokan oleh Fano."Papa!" teriak Daffa tiba-tiba.Arsen teralih sejenak dari pekerjaan. "Ya?" Agak terkejut melihat Daffa menggenggam undangan pernikahan tadi."Ini apa?" Daffa tipe mudah penasaran.Arsen berdeham sejenak. "Cuma undangan dari kenalan lama."Daffa mengerutkan kening. "Temen papa?"Arsen mendadak kikuk. "Mungkin."Daffa menyipitkan mata. "Papa aneh!" Melempar sembarang undangan tadi,
"Ada apa?"Aruna tersentak, baru sadar beberapa jam kepergiaan Arsen bersama Daffa. Mendadak melamun, padahal masih berada di acara pernikahan Tania dan Devan.Brian mendengkus kesal, karena diabaikan. Melirik sekitar sejenak, kemudian mencuri kesempatan dengan mengecup bibir Aruna."Kau ini!" Aruna mendelik, Brian lancang di muka umum."Habisnya kau mengabaikanku!" desisnya, tepat di telinga Aruna dan sengaja ditiup.Aruna mendadak merinding, refleks mendorong Brian agar menjauhkan wajahnya. "A-aku tidak bermaksud mengabaikanmu!"Brian menaikkan satu alis. "Yakin?" Sembari menyesap perlahan minuman yang diambilnya. "Asal kau tau ya? Tatapanmu sama lagi." Kemudian melangkah pergi.Meski sudah berusaha untuk tidak cemburu, atau berlebihan sampai melarang Aruna untuk tidak berdekatan dengan lelaki manapun. Tetap saja, sulit.Bagi Brian, Aruna berbeda dari yang lain. Jauh sebelum mengenal Aruna, sadar diri sudah terhitung banyak perempuan yang dekat. Tetapi, tidak lama. Entah tidak cocok,
Arsen mendengkus kesal, sembari terus melangkah ke ruang kerja. Raut wajahnya kusut dan masam sekali, pekerjaan ditambah permasalahan pribadi begitu rumit. Membuat pusing.Langkah kakinya terhenti sejenak di ambang pintu, melirik ke arah Aruna asik di sofa bersama Daffa. Langsung beralih ke meja kerjanya, teringat pekerjaan belum selesai, mengira Aruna tidak mengerjakannya.Nyatanya, dikerjakan."Istirahat nanti kau ajak Daffa." Arsen benar-benar pusing, langsung masuk ke ruangan pribadi. Untuk saat ini, ingin mengistirahatkan diri.Aruna melirik heran, tetapi tidak ada niat untuk bertanya. Lebih memilih asik dengan Daffa, hingga tak terasa sudah waktunya istirahat."Papa sakit lagi?" Daffa sedari tadi bingung, saat kembali Arsen malah ke ruang pribadi."Kelelahan. Kan kerja terus." Aruna menjawab seadanya, sembari menarik Daffa untuk ikut ke kafetaria.****Seseorang melangkah sendirian, setelah keluar dari lift. Nyatanya itu Desty, benar-benar bebal. Padahal tadi sudah diturunkan di
Sinar matahari menembus dari celah gorden yang menutupi jendela kamar, membuat seseorang yang masih terlelap akhirnya terusik dan mau membuka matanya.Aruna melirik sejenak, ke arah jam dinding ternyata sudah pukul delapan pagi. "Sial! Kesiangan!"Langsung melompat dari ranjang, hendak bergegas membersihkan diri. Seketika diurungkan, kala menyadari kalau ini bukan di kamar penginapannya."Ah iya, ini penginapan Arsen." Aruna kesal sendiri, lupa tadi malam meluapkan semua rasa lelahnya pada Arsen.Akhirnya, Aruna membasuh wajahnya saja dan keluar untuk kembali ke penginapannya. Agak heran melihat Arsen berpakaian santai, dan Daffa juga seakan memang tidak sekolah."Apa?" Arsen terusik."Cuti lagi kah?"Arsen beranjak setelah menyuruh Daffa melanjutkan makannya, tanpa disuapi. Kemudian menjentikkan jari tepat di kening Aruna."Libur. Atau kau memang mau terus kerja kah?" Arsen tersenyum aneh. "Semalam kau merepotkan."Aruna refleks mendorong Arsen agar menyingkir, kemudian pergi."Mau ik
Masih dalam hari bebas, tetapi satu dari pasangan baru. Memilih menyibukkan diri, bukan berarti tidak mau menyenangkan diri, mengingat harusnya bulan madu—eh!Arsen ke kantor untuk mengurus sesuatu, sedangkan Aruna berdiam diri. Sekaligus, ikut jemput dan mengajak jalan Daffa."Mau ke mana lagi, hm?"Yang ditanya tidak menjawab, justru terus menarik Aruna. Intinya sih, Daffa yang menjadi penunjuk."Papa masih lama ya?" Daffa benar-benar masih ketergantungan terhadap Arsen.Aruna tidak mempermasalahkan, justru menerima dan memahami. Cuma, juga mau membiasakan Daffa agar mengurangi rasa takut terhadap orang lain. Mengingat, mulai tumbuh dewasa. Sebentar lagi, masuk sekolah dasar."Lagi dijalan, oh iya kan belum makan. Sekarang, berenti dulu mainnya, oke?"Daffa menggeleng. "Nanti!"Aruna gemas sendiri, bukan berarti akan menuruti. Buktinya, langsung menggendong. "Yok, makan dulu.""Mamah!"Awalnya aneh, tetapi membiasakan. Mengingat, Daffa anak Arsen walau hanya anak angkat. Otomatis, an
Di saat membuka mata, yang menjadi objek utama wajah terlelap Arsen. Aruna iseng mencubit tanpa peduli mengganggu, yang dipikirannya saat ini.Masih mimpi, atau nyata?Terkadang, selalu berakhir halusinasi. Seakan memang belum waktunya untuk semua keinginannya terkabulkan."Apa sih?" Arsen terusik, karena masih ngantuk memilih berhenti bertanya alasan, dirinya menjadi korban pencubitan.Aruna tidak menjawab, bahkan tidak merasa bersalah karena sudah mengusik tidur Arsen."Ng—"Tidak menyangka akan mendapat serangan di pagi hari, ah sebenarnya sih sudah siang. Mengingat, mereka berdua diberi waktu bebas. Yap, bebas—alias bulan madu abal-abal—eh!Karena tidak pergi ke manapun, hanya di penginapan saja. Intinya, mereka berdua malas."Kau masih mengira mimpi kah?""Kau sendiri, bukannya duluan yang menganggap begitu?" Aruna tidak mau kalah, di satu sisi berusaha menyingkirkan Arsen masih betah menindihnya. "Minggir! Aku mau mandi!""Nggak!" Arsen bebal, ah lebih tepat sih ingin memanfaatka
Arsen mematung sejenak di ambang pintu kamar, pandangannya terus tertuju pada interaksi Daffa bersama Aruna. Sebenarnya, merasa tidak percaya juga kalau sedikit lagi bisa bersama. Memang perlahan bisa, akan tetapi kenapa terasa sulit.“Kenapa?”Arsen tersentak, tidak menyadari Aruna sudah berada di hadapannya. Efek terkejut, dalam sekejap sulit untuk berkata sekadar membalas. Pada akhirnya, hanya menggeleng dan memilih mendekati Daffa yang sibuk sendiri.“Kau aneh.” Aruna berkata sembari mengekor. “Nggak lagi ‘kan?” Walau tidak to the point, Aruna yakin Arsen paham maksud dari pertanyaannya ini.Sebelum mendapat balasan, lebih dulu terganggu oleh suara bel penginapan. Arsen sudah duluan untuk melihat siapa yang datang dan ternyata Pak Nuga.“Sungguhan bersama kah?” Nyatanya, Pak Nuga tidak tahu apapun soal Arsen akan mengajak Aruna menjadi satu penginapan.“Siapa suruh lupa.” Arsen membalas cepat dan terkesan santai, kembali mendekati Daffa.Pak Nuga terkekeh, merasakan perbedaan dari
"Papa mana?" Daffa baru saja dijemput supir pribadi, pulang dari TK ya ke kantor. Tidak mungkin dibiarkan sendiri di penginapan."Lagi pergi sebentar, nggak lama lagi ke sini kok." Aruna masih tidak menyangka, Arsen mengurus anak.Daffa mengembungkan pipi, tak lama melendot pada Aruna. Yap, benar-benar terbiasa."Laper?" Aruna sengaja bertanya, kebetulan jam istirahat hampir tiba. Arsen belum balik.Daffa mengangguk, semakin melendot hingga minta digendong. Seakan tidak mau diturunkan, buktinya memeluk erat leher Aruna. Bahkan, iseng mendusel."Kenapa, hm?" Setiap kali bersama Daffa, teringat Arya saat masih kecil sering manja padanya. "Ngantuk?"Daffa menggeleng."Terus kenapa?""Mama?" Daffa mendadak mempertanyakan soal itu lagi, kali ini Aruna yang menjadi target. "Tante punya mama?"Aruna mendadak kikuk. "Y-ya." Aneh dan tertegun, Daffa dari kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya, bahkan diabaikan kerabat. "Nggak ada mama, tapi ada papa yang sayang Daffa 'kan?""Iya, tapi mau mam
Arsen semakin emosian, semenjak pengakuan sekaligus permintaan maaf Ardian. Terus memanas, karena berita megenai Ardian menyerahkan diri dan menjelaskan semua perbuatannya. Banyak rekan atau pun karyawan yang menjadikan bahan gunjingan.Arsen membiarkan, karena memang kenyataan. Oh iya, ada satu hal yang tidak pernah diduga. Tepat sebelum Ardian ditangkap, ini hanya karena kasus penculikan Daffa. Kalau kematian ibunya, memang karena bunuh diri. Kesalahan Ardian, karena suka melakukan hal kasar dan memberi tekanan terhadap ibunya. Memang menjadi kasus. Intinya berlapis."Kalo belum tenang, yang ada malah membuat Daffa takut loh." Aruna sedari tadi berada di ruang kerja Arsen, tepatnya sih mengawasi dan membantu.Pasalnya, konsentrasi Arsen buyar dalam pekerjaan. Jadi, harus dipantau dan dibantu."Ayahmu benar-benar menyesal." Aruna sengaja meyakinkan, berharap juga Arsen membaik dengan Ardian.Arsen tersenyum getir. "Kenapa baru sekarang dia mengakui dan menyerahkan diri? Kau tau? Saat
Pukul sepuluh malam, kala itu Aruna masih belum mengantuk. Makanya, memilih santai dengan camilan dan fokus siaran di televisi.Seketika terusik, kala ada yang membunyikan bel penginapannya. Akan tetapi, tidak berlangsung lama. Aruna hafal si pelaku adalah pemilik penginapan sebelah, siapa lagi kalau bukan Arsen."Kau kenapa?" Aruna heran, habisnya Arsen muncul wajahnya kusut sekali.Arsen tidak menjawab, malah mendekatkan diri pada Aruna dan meringkuk. Bahkan, sudah merangkul erat pinggang Aruna.Racauan aneh, tidak begitu jelas mulai dilontarkan Arsen. Saat itu juga, Aruna merasa Arsen kacau persis dulu."Kenapa, hm?" Aruna benar-benar mengurus Arsen lagi.Arsen belum mau menjelaskan kekacauan mendadaknya ini. Aruna sendiri pasrah, membiarkan Arsen terus saja meringkuk dan melesak di dekapannya."Daffa sama siapa?" Takutnya, kalau Arsen di sini. Nanti Daffa sendirian."Paman." Arsen kali ini menjawab, kemudian meringkuk lagi. Hingga menuturkan sesuatu yang berhasil membuat Aruna paha
Kata bahagia, selalu mengusik benak keduanya, bisa dibilang satu dari mereka yang seakan terus diatur kehidupannya. Setiap ingin berbahagia harus sesuai, tanpa sedikit pun diperbolehkan mencari kebahagiaannya sendiri.Arsen, orang lain menganggapnya serba kecukupan, sombong, mengerikan, dan banyak lagi. Semua orang hanya melihat itu, tanpa tahu sudut pandang Arsen sendiri terbalik dari yang semua orang anggap.Hidup saja diatur, teman dekat, wanita, hingga apapun diatur. Seakan robot yang sudah dikendalikan untuk terus menurut. Sekalinya terlepas dari semua kendali, bukan berarti kehidupannya bebas.Nyatanya, semakin diusik. Seakan memang, tidak diperbolehkan bahagia atas keinginannya sendiri."Ayah."Ardian mematung, kalau diingatkan kembali. Cukup lama, tidak pernah mendengar panggilan itu dari anaknya."Menurut ayah, bahagia itu seperti apa?" Arsen berbicara santai, karena teringat sudah tidak pernah berinteraksi seperti biasa dengan ayah kandungnya, setelah kematian ibu.Walau kare
"Kau serius masih ingin bersamaku?" Entah kenapa, Arsen memastikan lagi. Sebenarnya senang, mendengar langsung dari Aruna. Walau ingatannya masih kacau, efek dari kecelakaan.Aruna mengerutkan kening. "Kau nggak percaya? Atau ....""Percaya, hanya saja aku takut akan menyakitimu dan meninggalkamu lagi." Arsen bimbang karena hal itu, terlebih lagi Ardian dan Desty masih saja mengusik kehidupannya.Berhasil lepas bukan berarti selesai semuanya.Aruna tidak merespon, antara senang sekaligus bingung. Karena saat ini paham sekali Arsen selalu berkata, tidak bisa seperti biasa. Ibarat, berteman layaknya pasangan."Bisa saja dilakukan, tapi aku mengurungkan niat karena nggak mau kau ikut kena risikonya."Aruna tersentak. "Maksudmu apa?"Sayangnya bukan jawaban yang didapat, melainkan serangan mendadak dari Arsen. Ah iya, mereka berdua berada di penginapan Aruna, yang cukup lama dibiarkan kosong. Arsen mendadak datang, lalu bertanya hal itu pada Aruna.Ingin berontak, tetapi merindukan perlaku
Dua minggu, Aruna izin untuk pemulihan. Kini sudah masu kerja, walau sempat kikuk. Ya, efek lupa meski tidak total. Tetap saja, terkesan karyawan baru yang hari ini diterima kerja."Jadi, aku sekretarismu?"Arsen yang ingin masuk ke ruangannya, terpaksa berhenti dan melirik datar Aruna."Ayolah! Aku cuma nanya!" Aruna sebal."Nanya, tapi beruntun dan terus nggak berenti!" Arsen ikutan kesal, langsung melengos tanpa menjawab pertanyaan retoris Aruna."Dih! Ngeselin!" Hendak berbalik ke meja kerjanya, seketika terusik kala muncul anak kecil berlarian dan sedikit menyenggolnya. "Siapa?"Terus mengamati, hingga melihat anak kecil tadi masuk ke ruangan Arsen. Juga, terdengar panggilan cukup kencang."Pa-papa?" Aruna bertemu lagi dengan Daffa, tetapi dengan kondisi berbeda. Yaitu, lupa sejenak dengan ingatan baru di mana perseteruan dengan Brian terjadi dan menyebabkannya kecelakaan.Ketika Arsen keluar bersama Daffa dalam gendongannya, terus mengamati. Anehnya sudah tidak ada rasa cemburu,