Keesokkan harinya, tepat di jam istirahat sekolah. Aruna kembali terlihat bersama Brian. Ya, pertama kalinya ada teman sehobi—kutu buku. Di satu sisi keberadaan Brian benar-benar bisa melupakan masalah yang dihadapinya saat ini.Lagi-lagi tidak disadari olehnya, meski belum lama kenal denan Brian—notabene sebagai murid baru dadakan. Obrolan kecil yang dimulai Brian berhasil membuat Aruna mengekspresikan keceriaannya.Habisnya, selalu saja berdiam diri di perpustakaan ataupun kelas—sendirian, apapun serba sendirian. Pengecualian, ada Tania. Sekalinya keluar, sekadar menghilangkan bosan karena sendirian. Sorot mata Aruna, terkesan selalu sendu dan hampa. Yang selalu dilihatnya tanpa sengaja—dan itu hampir di setiap harinya—keakraban Arsen dengan Desty.“Kok bengong?” Aruna tersentak, seingatnya tenggelam dalam obrolan kecil Brian yang begitu menghangatkan suasana. Entah kenapa, dalam sekejap tergantikan ingatan lebih tepatnya sih berharap, Arsen lah yang berada di sisinya dan melakukan
Lega, yang selama ini diharapkannya mulai terasa. Lebih lagi setelah meluapkan emosi—rasa sakit yang terpendam cukup lama pada orangnya langsung."Kayanya Brian benar, aku terlalu bucin pada Arsen."Setelah mengatakan, akhiri hubungan artinya putus. Rasa sakit yang berbeda mulai menyerangnya.Ya, Aruna masih mencintai Arsen. Namun, sadar lambat laun menjadi perasaan sepihak. Karena Arsen, akrab dengan Desty.Aruna berhenti melangkah, kala berpapasan dengan Brian. Bahkan, mengamati sejenak. Takutnya, Arsen berbuat buruk. Mengingat, tadi dirinya langsung berlari dan menemui Tania."Sudah selesai berantemnya?" Brian malah iseng."Nggak lucu!" Aruna sebal dengan Brian, padahal khawatir kalau Arsen akan melukai Brian.Brian tertawa sejenak. "Pacarmu itu, nggak melalukan apapun kok." Seakan tahu, apa yang ingin dipastikan oleh Aruna terhadapnya. "Jadi, gimana? Makin belibet, atau mulai membaik?"Aruna berdecak kesal. "Dua-duanya mungkin!"Brian menggelengkan kepala sejenak, berusaha menahan
Tidak terasa waktu part time Aruna hampir habis, kini masih sibuk membersihkan meja kotor dan lainnya. Kemudian berganti pakaian dan bersiap untuk pulang. Mendadak terpaku, karena menemukan keberadaan seseorang—yang saat ini sangat tidak ingin ditemui Aruna.Arsen lagi, Aruna lega tidak didekati—ralat—dipaksa lagi. Lantas, kenapa malah menjadi diawasi?“Ah ini memuakkan!” Aruna pergi begitu saja, setelah tanpa sengaja melakukan kontak mata langsung dengan Arsen di seberang. Seketika tersentak, karena mendapati Arsen ada di hadapannya!Tunggu sejak kapan?Aruna ribet sendiri, tetapi langsung memberi jarak. Namun, ada hal lain yang menarik perhatiannya. Ada bau tembakau dari Arsen, mengingat Aruna benci dengan rokok.“Kau sepertinya, merasa sudah lepas dariku ya?” Arsen mulai berbicara, bahkan mengeluarkan kembali sebatang rokok dan menyalakannya. “Terlihat ingin sekali lepas kah?”Aruna sempat terpaku, sesekali menutup hidung karena benci asap rokok. “Tentu aja, mana ada orang tahan den
Seketika tersentak saat Aruna meletakan secangkir kopi hitam—panas di hadapannya, Brian mendadak sebal sendiri malah melamun. Takut, gelagatnya ini malah membingungkan bagi Aruna.“Kenapa sih?” Benar saja, Aruna terusik dan menyipitkan matanya. “Melamun terus kesambet loh!”“Dih apa sih!” Brian terkekeh pelan. “Dah, lanjut kerja sana. Aku akan menunggu sampai selesai—di sini.”Aruna hanya memberi kode ‘oke’ setelahnya pergi melayani pelanggan lain. Sebenarnya, Aruna heran lagi. Tadi merasa kosong, mendadak tidak lagi saat Brian datang.Apa mungkin, aku mulai menerima perlakuan lembutnya? Ibarat, proses mencoba membalas perasaannya?Aruna senang bisa kenal dengan Brian, hanya saja takut—takut membuatnya menjadi pelampiasan apa lagi setelah berhasil bebas dari Arsen. Itu sebabnya, Aruna memilih belum menjawab. Lagi pula, pusing memikirkan soal cinta.Tidak terasa waktu part time, telah usai. Sesuai janji, Aruna menerima ajakan Brian. Kini, tengah berjalan berdua entah ke mana. Hingga akh
Tidak terasa telah di penghujung kegiatan sekolah. Tetapi, Aruna terlihat sendirian dan kini masih menunggu angkutan umum. Kebetulan hari ini bukan jadwal part time-nya, sesekali mengaktifkan sejenak ponsel untuk melihat jam, kemudian menonaktifkan dan menyimpannya lagi.Hingga terusik sesuatu hal, melihat Arsen melintas entah ke mana. Aruna agak heran, tumben Arsen tidak membawa kendaraan pribadi?Apa sih! Kenapa memikirkan lagi?Aruna pusing sendiri, mencoba melupakan tetap saja kembali terusik saat melihat keberadaan Arsen. “Ah lupakan! Ingat ke tujuan barumu mencoba menerima Brian!”Arsen sadar akan keberadaan Aruna, yang pasti memang tidak ada niat mendekat. Kakinya terus melangkah, menuju tempat—sarang sekumpulan orang bermasalah. Ya, Arsen ingin melampiaskan emosi.Bisa dikatakan, ini pertama kalinya Arsen ingin mengacau. Selebihnya, hanya melintas dan mendadak bergabung dengan mereka.“Apa-apaan ka—” Wajahnya lebih dulu terhantam tinjuan amat keras, dan serangan beruntun lainny
Arsen terbangun dari tidurnya, kini tengah duduk di tepi ranjang sembari memijit pelipis—terkadang berdecih kesal. Muak karena demam dadakan, lalu terusik saat ada semangkuk makanan di atas meja, obat, dan juga setumpuk tugas dari wali kelas.Aruna? Setelah melihat Arsen terlelap, langsung melepaskan diri dan pulang.“Dia benar-benar bahagia ya?” Arsen tersenyum getir, mulai melangkah lambat menuju meja belajar. Menatap sejenak, ke arah makanan yang dibuat Aruna. Tetap akan dimakan, lagi pun semenjak Bi Asti izin jarang sekali makan—tepatnya lupa atau mungkin yang lebih parah nafsu makannya lenyap.Arsen menarik napas dan membuangnya perlahan, yang dilakukannya saat ini kembali meringkuk.Sementara itu, Aruna terlihat sudah berada di rumah. Agak kikuk, saat pulang tadi mendapat tatapan selidik. Karena pulang terlambat dan itu sendirian, sudah gitu dirinya saat ini memang tidak ada jadwal part time. Jadi, sulit untuk memberi alasan.Hingga akhirnya, Aruna mengatakan dengan jujur. Diberi
Aruna mendadak badmood, meski sadar kelakuannya saat di sekolah tadi egois. Lagi pun, memang sulit sekali melupakannya. Kemudian menggeleng dan menepuk kencang kedua pipinya, lalu menghela napas sejenak. Fokus lagi, pada pekerjaan.“Kau bimbang kah?” Tania sedari tadi ikut restoran, karena bosan di rumah sendirian—orang tuanya berada di luar kota. Juga, sedang menunggu Devan datang.Aruna mendengkus. “Ya.” Kemudian melirik bingung Tania. “Aku terlalu bucin ya?”Tania dalam sekejap ikutan pusing dengan kisah asmara Aruna. “Betul, tapi kau begini karena dari awal hanya mengenal—bahkan sampai menjalin hubungan—itu dengan Arsen saja. Jadi, wajar efeknya seperti ini.”Tania selalu mengamati hubungan mereka berdua, awalnya biasa dan baik-baik saja. Dalam sekejap berubah, Arsen kasar lambat laun mendekati perempuan lain, tetapi masih mengekang Aruna. Hal aneh selanjutnya, saat Aruna meminta putus—Arsen tidak terima ataupun menjawab.Bipolar kah?Entah kenapa, Tania berpikiran kalau Arsen bipo
Aruna terpaku sejenak di ambang pintu kamar. Kedua manik indahnya, kembali melirik sendu Arsen. Untuk pertama kalinya dan yakin, kalau penyebab sifat emosian dan kasar faktor masalah pribadi. Entah apa itu, karena sulit dicari tahu.Keadaan begitu buruk, cocok bagi Arsen. Kini terlihat, duduk termenung di lantai kamar dengan satu jendela kamar yang sengaja dibiarkan terbuka. Arsen tertunduk, sekali mendongak dan menatap. Manik hitamnya begitu hampa, seakan binarnya benar-benar lenyap.Aruna menghela napas sejenak, lagi-lagi rasa bimbang menyerang. Ingin ada di dekatnya sekaligus mencari tahu permasalahan yang dialami Arsen, di satu sisi takut. Ah tepatnya, mendadak trauma dengan perlakuan kasarnya."Kalo kau jujur, mungkin aku akan paham." Aruna sudah tidak peduli lagi kalau kembali dijadikan pelampiasan, kini ikut duduk dan satu tangannya terulur untuk mengelus lembut, sesekali menyisir surai Arsen yang berantakan. "Aku tau, terkesan ikut campur."Arsen hanya bergeming, manik hitamnya