ingaat... di sinopsis sudah tertulis dengan jelas bahwa buku ini dark Romance, intrik dan dendam yaa 🤗 jadi mohon bersabar yang pasti happy ending 💕 makasih buat yang sudah kasih gems 🥰
Suara deru mobil yang baru memasuki gerbang depan kediaman Matthew membuat Juliet cepat-cepat menyimpan ponselnya ke dalam saku.Yang barusan tiba adalah salah satu mobil milik Matthew, yang artinya lelaki itu tadi sedang keluar ketika Oma dan Karina menyambangi rumahnya.Juliet berdecak kecil. Bukankah itu terlalu pas untuk dibilang kebetulan? Ia sangat yakin Oma sengaja datang ke rumah ini ketika cucu kesayangannya itu sedang pergi, agar puas melontarkan hinaan kepada Juliet. Hah, sangat mudah ditebak.Juliet masih tak bergeming di sofa ruang tamu, sama sekali tidak ada keinginan untuk menyambut Matthew meskipun ia bisa. Dari balik jendela kaca besar bertirai tipis, Juliet bisa melihat Matthew turun dari mobil yang ia kemudikan sendiri.Seorang pelayan berjalan cepat ke arahnya, memberi anggukan hormat, lalu mengatakan sesuatu kepada Matthew entah apa. Yang pasti hal itulah yang membuat Matthew segera melangkah lebar memasuki rumahnya dengan terburu-buru.Manik coklat pasirnya sedik
Matthew terpaksa berangkat pagi-pagi sekali untuk bekerja hari ini, sebagai akibat kepulangannya kemarin yang lebih cepat karena khawatir pada Juliet yang tiba-tiba saja memutuskan video call mereka secara sepihak.Sebagai puncak pimpinan tertinggi, ada banyak tugas dan tanggung jawab yang tak bisa ia abaikan begitu saja.Sejak pagi, lelaki bersurai coklat gelap itu telah disibukkan oleh banyaknya meeting serta inspeksi ke beberapa lokasi.Pekerjaannya mulai sedikit senggang ketika menjelang waktunya istirahat makan siang, sehingga Matthew pun memilih untuk makan di ruang kerjanya saja.Suara ketukan tiga kali di pintu seketika disusul oleh munculnya seraut wajah bule dari baliknya."Siang, Boss. Hei, aku baru saja mau mengajakmu makan siang di luar," protes Darren, yang berdecak sebal melihat Matthew yang sedang mengunyah sandwich. "Ternyata kamu malah sudah makan. Kenapa sendirian?""Hanya ingin saja," sahut Matthew santai. Ia menepuk tangan Darren yang tanpa permisi mencomot sepoto
"Helikopter?" Juliet memicingkan mata saat menoleh ke arah Matthew yang ia gandeng di sampingnya. Gadis itu terkejut ketika Matthew membawanya keluar dari rumah menuju landasan helikopter di bagian samping rumah, alih-alih bagian entrance dimana sebuah mobil biasanya telah menunggu. "Apa lokasinya jauh?" Matthew menggeleng kecil. "Sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja lalu lintas saat inj di Jakarta sedang padat. Aku hanya tidak mau membuang waktu di dalam kemacetan." Juliet sudah pernah menaiki alat transportasi ini juga sebelumnya, yaitu saat Matthew untuk pertama kalinya mengajak dirinya keluar jalan-jalan. Waktu itu Matthew bertanya apa yang ia inginkan, dan Juliet ingin ke pantai. Alih-alih membawanya ke Pantai Ancol seperti yang Juliet kira, Matthew malah membawanya ke salah satu Pulau Seribu menggunakan helikopter. "Dimana pilotnya?" Tanya Juliet heran kepada Matthew, saat salah seorang pelayan membukakan pintu heli dan Juliet tidak melihat siapa pun di dalam sana. "K
Kali ini, Juliet-lah yang terjaga lebih dulu daripada Matthew.Manik bening sekelam malam itu pun mengerjap pelan, untuk mengusir kantuk yang masih terasa dan tersisa di pelupuk mata. Ia harus bangun, karena ada sesuatu yang penting yang harus ia lakukan sebelum Matthew terbangun.Dengan perlahan, gadis itu pun mencoba melepaskan diri dari back hug Matthew di pinggangnya. Bukan perkara yang mudah ternyata, karena meskipun tertidur, pelukan Matthew sangat kuat mengalahkan rantai besi.Tak hilang akal, Juliet pun akhirnya memilih untuk menyelinapkan tubuhnya ke bawah sedikit demi sedikit. Dan... ia berhasil!Juliet mendesah lega dalam hati ketika akhirnya telah terbebas dari Matthew. Gadis itu meraih bath robe yang terlipat rapi di atas meja untuk menutupi tubuhnya yang tidak mengenakan busana sehelai pun, setelah semalaman bercinta dengan Matthew.Dengan langkah berjingkat, ia pun perlahan-lahan keluar dari master bedroom menuju ke bagian teras, yang hanya dipisahkan oleh pintu kaca.U
Juliet mendesah lega setelah rencananya mulai berjalan sesuai yang diharapkan. Matthew yang mendapatkan informasi tentang Oma yang pingsan pun kini telah pergi dengan tergesa.Juliet tahu jika Matthew sesungguhnya sangat menyayangi wanita tua itu, meskipun saat ini hubungan mereka sedikit merenggang karena Matthew yang ingin menikahinya, wanita yang dibenci Oma.Namun nyatanya, masih saja ada satu hal yang mengganjal dan agak melenceng dari rencana. Yaitu Darren yang ditugaskan oleh Matthew untuk mengawal dirinya kembali ke rumah. Seharusnya tidak begini, seharusnya Juliet pulang bersama supir seperti biasa.Dia harus segera menangani Darren sebelumnya.Suara pintu yang terbuka membuat Juliet yang sedang duduk di kursi Matthew sontak mendongak. Seorang lelaki bersurai coklat seperti Matthew tampak memasuki ruangan CEO dalam langkah santai dan senyuman yang tertuju kepada Juliet.Ah, ini yang namanya pucuk dicinta ulam pun tiba. Sangat kebetulan sekali Darren yang mendatangi dirinya ke
**FLASHBACK BEBERAPA SAAT SEBELUMNYA** Juliet sedang berada di dalam mobil yang sedang berjalan dengan kecepatan sedang mengarah menuju ke kantor Matthew. Sedari tadi jemari lentiknya sibuk mengetik di atas layar monitor ponsel, menyusun pesan-pesan rahasia yang ia tinggalkan untuk beberapa orang. Bibirnya melengkungkan sebuah senyuman, ketika membaca pesan balik yang baru ia terima. [Oma sudah memakan makanan itu, dan baru saja dia terburu-buru hendak ke toilet. Mungkin sekarang sedang memuntahkan isi perutnya] Bagus. Si wanita tua itu tidak lama lagi akan merasakan pusing pada kepalanya dan perutnya yang semakin mengejang kaku, lalu tak sadarkan diri setelahnya. Juliet pun segera menghapus seluruh pesan di dalam ponselnya, lalu mengakses sebuah kode rahasia untuk menghilangkan rekam jejaknya. Sebuah rangkaian perpaduan antara simbol dan nomor yang ia dapatkan dari Virgo, dengan tujuan agar seluruh pesan yang telah terhapus tidak akan pernah dapat dilacak. Perlindung
Satu erangan panjang penuh makna akan kenikmatan dunia telah menguar di udara, diiringi oleh pergerakan Matthew yang akhirnya turun dari atas tubuh lemas di bawahnya.Lelaki itu berusaha mengatur desau napasnya yang menderu seakan oksigen telah menipis di dunia. Kegiatan panas yang baru ia lakukan untuk menghukum Juliet telah membuat gadis itu kehabisan tenaga dalam diamnya.Tak sekali pun Juliet memprotes atau pun memohon kepada Matthew untuk berhenti atau berbelas kasih padanya. Atau kepada anak mereka yang berada di dalam rahimnya.'Kumohon bertahanlah, kita pasti bisa melalui semua ini.' Hanya kalimat itu yang terus-menerus diucapkan oleh Juliet berulang-ulang dalam hati untuk janinnya, selama Matthew menjamah tubuhnya tanpa henti.Matthew melirik Juliet yang kini diam tak bergerak dengan kedua kelopak mata menutup dengan wajah pucat. Seketika kecemasan pun mulai merayap di sekujur tubuh lelaki itu."Juliet?"Tak ada jawaban, malah kini wajah Juliet terlihat semakin pucat.Dengan
Juliet memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur meskipun setiap senti yang ia rasa tak lebih dari sakit luar biasa di sekujur tubuhnya. Dengan gerakan yang teramat sangat perlahan, gadis itu berusaha berjalan meski tertatih, dengan memegangi setiap perabotan di kamar Matthew yang ia lewati sebagai tumpuan. Tujuannya adalah meja rias dengan kaca yang menampilkan sepanjang badan. Gadis itu menatap sedih pada bayangan dirinya sendiri. Yang memantulkan keputus-asaan dan ketidakberdayaan, seakan setiap pori-pori kulitnya meneriakkan rasa sakit dalam keterdiaman lisannya. Kaki dan tangannya dipenuhi bilur-bilur lebam kebiruan bercampur merah tua, sebuah perpaduan mengerikan yang terpampang dengan begitu kontras di atas kulitnya yang sepucat salju. Dengan tangan gemetar, gadis itu pun menarik tali pengikat bath robe yang ia kenakan. Satu cairan bening pun luruh, diikuti oleh beberapa yang ikut jatuh membasahi pipinya, saat bath robe putih itu akhirnya ia lepaskan dan jatuh di bawa
"Anak kita tampan sekali, ya?" Juliet tersenyum menatap Matthew yang baru saja berucap, seraya menggendong bayi merah mungil di dalam dekapannya. Beberapa jam yang lalu, Juliet baru saja melahirkan putra pertamanya dengan selamat dan sehat, yang diberi nama Xavian Wiratama. "Ya, dia sangat tampan seperti ayahnya," sahut wanita itu dengan menatap suami dan putra tercintanya. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tetap cantik meskipun tampak lelah, setelah melakukan perjuangan panjang untuk melahirkan buah hatinya yang rupawan. Matthew mendekatkan wajahnya untuk mengecup puncak kepala istrinya dengan lembut. "Terima kasih, Muffin. Untuk semua kebahagiaan ini, aku berhutang padamu seluruh hidupku," tukasnya dengan mata berkaca-kaca, ketika mengingat kembali bagaimana kesakitan istrinya kala berjuang mengeluarkan Xavian. "Dan meskipun anak kita sangat tampan, ini adalah Xavian akan menjadi satu-satunya, oke?" Pungkas Matthew dengan menatap istrinya lekat. "Aku ketakutan sek
Sepeninggal Matthew yang telah pulang, Darren mendengar suara denting pelan dari ponselnya. Ternyata sebuah pesan dari anak buah yang tugaskan untuk melakukan penyelidikan tentang Aldrian, mantan guru les Sienna waktu di Sekolah Dasar. Keningnya pun seketika berkerut, saat membaca seluruh kalimat yang tertera du sana. [Aldrian kini telah berada di Indonesia, dan telah menjadi salah satu dosen di kampus Nona Sienna. Apa dia perlu kami tahan?] Aldrian. Menjadi dosen di kampus Sienna? Kabar ini begitu mengejutkan, namun seketika membuat Darren terngiang kembali ketika siang ini ia menjemput Sienna di kampusnya. Gadisnya itu tampak aneh. Berlari keluar dengan kaki telanjang, serta wajah pias seperti ketakutan. Apa jangan-jangan, dia telah bertemu dengan Aldrian? Meskipun belum menemukan cukup bukti-bukti yang mengarah pada Aldrian yang menjadi penyebab atas sikap aneh Sienna bila berada di dalam kegelapan, namun firasat Darren begitu kuat tentang hal ini. Dan ia bertekad
Matthew pasti juga sudah mendapatkan kabar tentang kecelakaan Darren, sepupunya. "Hai, Sienna," sapa Matthew sambil tersenyum, namun senyum itu pun seketika menghilang ketika bertatapan dengan Karina. Meskipun telah menikah dengan pasangan masing-masing, namun tak bisa dipungkiri jika antara Matthew dan Virgo masih ada perasaan sama-sama saling tidak suka, yang juga membuat Matthew mengutuk dalam hati saat berpapasan dengan wanita ini. "Halo, Karina," sapa Matthew akhirnya, meskipun terdengar datar dan enggan. "Halo juga, Matthew. Kamu terlihat sehat. Oh iya, dimana Juliet?" tanya Karina sambil tersenyum ramah, seolah tak terpengaruh pada sikap dinginnya. "Aku tidak mengijinkannya ikut ke rumah sakit karena kondisinya yang sedang hamil," ungkap Matthew, lalu kembali menatap Sienna. "Kalian mau ikut ke ruangan Darren?" Sienna mengangguk. "Ya, kalau begitu bagaimana jika kita sama-sama saja ke sana~~" "Sayang, ayo pulang." Suara dingin yang menyeruak dengan tiba-tiba di a
"Thanks, Karina." Karina mengangguk dan tersenyum ke arah gadis mungil berkacamata yang duduk di depannya. Ia baru saja mengambilkan secangkir coklat hangat dan beberapa croissant beraroma harum untuk Sienna, lalu meletakkannya di meja depan gadis itu. "Sama-sama," sahut Karina. "Ayo, diminum coklat dan dimakan croissant-nya juga, selagi masih hangat." Sienna mengangguk samar, lalu mulai menghirup coklat dari mug hitam, serta menggigit kecil croissant. Pandangan mata dari balik lensa kaca matanya tampak nanar dan tidak fokus, hal yang tak lepas dari perhatian Karina sejak tadi. Gadis itu tampak sangat pucat. "Hei. Are you okay, Sienna?" tanya Karina khawatir. Sienna memiliki tubuh yang lebih mungil dari Karina, bahkan hampir seperti anak-anak remaja, sehingga siapa pun yang melihatnya bersikap goyah seperti ini pasti akan jatuh kasian. Sienna mengalihkan tatapannya dari croissant ke wajah Karina yang memandanginya dengan kening berkerut cemas. Istri sepupunya
Suara pintu yang tiba-tiba terbuka dari arah luar, membuat dua pasang mata berbeda warna itu pun seketika tertuju ke arah sana. "Sienna?" Sosok yang baru muncul dari pintu adalah Virgo, yang kemudian masuk ke dalam ruang rawat VIP sambil menggandeng tangan Karina yang mau tak mau juga ikut masuk. "Virgo, Karina!" Sienna yang duduk di samping brankar pun seketika berdiri ketika melihat sepupu dan istrinya yang baru saja datang. Namun ia tak bisa melangkah lebih lebih dekat ke pasangan suami istri itu, karena tangannya yang tiba-tiba saja dicengkram oleh pria bule yang berada di atas brankar. Darren mengangkat satu alis pirangnya, ekspresinya seolah tidak mengijinkan Sienna untuk berada lebih jauh. Lalu seulas senyum puas pun terukir di wajah pria itu, ketika melihat gadisnya yang duduk kembali di kursinya dengan patuh. Hm, mungkin sebaiknya ia harus sering-sering terluka, karena dengan begitu Sienna bersikap manis seperti ini. "Hei, Darren. Syukurlah kamu sudah sadar,"
"Sayang." Karina pun mendengar suara Virgo yang memanggilnya, dan mendapati sebuah pelukan hangat dari belakang serta kecupan lembut di ubun-ubun kepalanya. "Kamu sudah pulang?" Karina menolehkan wajahnya ke samping, dan tersenyum ketika mendapatkan ciuman di bibirnya. "Maaf, aku terlalu fokus membongkar barang-barang sampai tidak mendengar kamu datang." Wanita itu kini membalikkan tubuhnya, meninggalkan tumpukan kardus di depannya untuk menyambut suaminya yang baru pulang bekerja. Setelah menikah dengan Karina, Virgo mendirikan perusahaan jasa konsultan hukum bersama teman-teman semasa kuliahnya. Meskipun menjadi putra tunggal seorang Angkasa Reiner membuatnya otomatis menjadi pewaris kaya raya, namun Virgo tampak enggan untuk turut campur dalam perusahaan ayahnya. Ia tidak terlalu tertarik pada dunia bisnis, karena lebih suka berkecimpung di ranah hukum, sesuai dengan jurusan kuliah yang ia pilih. "Aku sudah masak makan malam, kamu mau mandi dulu kan?" Karina kemba
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny