Satu erangan panjang penuh makna akan kenikmatan dunia telah menguar di udara, diiringi oleh pergerakan Matthew yang akhirnya turun dari atas tubuh lemas di bawahnya.Lelaki itu berusaha mengatur desau napasnya yang menderu seakan oksigen telah menipis di dunia. Kegiatan panas yang baru ia lakukan untuk menghukum Juliet telah membuat gadis itu kehabisan tenaga dalam diamnya.Tak sekali pun Juliet memprotes atau pun memohon kepada Matthew untuk berhenti atau berbelas kasih padanya. Atau kepada anak mereka yang berada di dalam rahimnya.'Kumohon bertahanlah, kita pasti bisa melalui semua ini.' Hanya kalimat itu yang terus-menerus diucapkan oleh Juliet berulang-ulang dalam hati untuk janinnya, selama Matthew menjamah tubuhnya tanpa henti.Matthew melirik Juliet yang kini diam tak bergerak dengan kedua kelopak mata menutup dengan wajah pucat. Seketika kecemasan pun mulai merayap di sekujur tubuh lelaki itu."Juliet?"Tak ada jawaban, malah kini wajah Juliet terlihat semakin pucat.Dengan
Juliet memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur meskipun setiap senti yang ia rasa tak lebih dari sakit luar biasa di sekujur tubuhnya. Dengan gerakan yang teramat sangat perlahan, gadis itu berusaha berjalan meski tertatih, dengan memegangi setiap perabotan di kamar Matthew yang ia lewati sebagai tumpuan. Tujuannya adalah meja rias dengan kaca yang menampilkan sepanjang badan. Gadis itu menatap sedih pada bayangan dirinya sendiri. Yang memantulkan keputus-asaan dan ketidakberdayaan, seakan setiap pori-pori kulitnya meneriakkan rasa sakit dalam keterdiaman lisannya. Kaki dan tangannya dipenuhi bilur-bilur lebam kebiruan bercampur merah tua, sebuah perpaduan mengerikan yang terpampang dengan begitu kontras di atas kulitnya yang sepucat salju. Dengan tangan gemetar, gadis itu pun menarik tali pengikat bath robe yang ia kenakan. Satu cairan bening pun luruh, diikuti oleh beberapa yang ikut jatuh membasahi pipinya, saat bath robe putih itu akhirnya ia lepaskan dan jatuh di bawa
Juliet sedikit terkejut karena kali ini Matthew hanya mengecupnya, tanpa berlanjut ke tahap selanjutnya. Meskipun tetap saja dilakukan dengan sepenuh gairah.Mereka saling memagut bibir hingga hampir setengah jam, waktu terlama yang Juliet pernah lakukan bersama Matthew. Bibirnya menjadi memerah dan bengkak akibat sesapan kuat dan gigitan gemas lelaki itu.Kedua tangan Matthew masih terangkum di pipi Juliet, sama sekali tak membiarkan gadis itu berkutik dan mengelak dari serangannya.Namun Matthew tiba-tiba saja melepaskan ciuman mereka dengan menarik wajahnya, lalu menatap bibir merah penuh itu yang telah basah karena salivanya.Lelaki itu melukiskan senyum, sembari menghapus perlahan jejak basah di bibir Juliet dengan ibu jarinya."Keluarkan lidahmu," gumannya pelan. "Aku masih ingin menyesapnya."Seketika Juliet pun mengerti. Matthew sudah sangat berhasrat, namun belum berani menyentuhnya lebih dari hanya di bibir. Mungkin ia takut tubuh Juliet masih luka dan belum sepenuhnya sembu
"Apa?? Jadi Matthew benar-benar meminum air di dalam gelas itu??" Sienna berseru, setelah sebelumnya ia bahkan sempat tersedak kopi yang sedang ia hirup. Berita yang dibawa oleh Juliet benar-benar mengejutkan hingga membuatnya tak habis pikir.Juliet mengangguk pelan membenarkan dengan tersenyum simpul. "Yap. Dia benar-benar meminumnya, padahal dia sudah tahu jika air itu telah kuberi sesuatu," cetus gadis itu, seraya menyeruput avocado milk cheese-nya dengan nikmat.Saat ini Juliet dan Sienna tengah bertemu di sebuah cafe, dengan Juliet yang bercerita peristiwa yang terjadi kemarin kepada sahabatnya."Tunggu. Dari mana Matthew tahu jika air itu bukan air biasa?""Pasti dari Darren. Sebelum makan, Matthew mendapat telepon dari Darren. Lalu setelah itu dia mulai bersikap aneh dengan membuang gelas airku dan teko di atas meja.""Tapi dia malah menyisakan gelasnya sendiri dan meminumnya," cetus Sienna sambil menggeleng tak habis pikir."Aku sangat penasaran dengan maksud serta tujuanmu,
"Morning, Muffin."Juliet tersenyum ketika merasakan kecupan bertubi-tubi yang mendarat di ubun-ubun kepalanya, menyertai sebuah pernyataan sebelumnya.Ia sedang terlelap berada di dalam pelukan hangat Matthew, saat lelaki itu tiba-tiba saja membangunkannya dengan memberikan hujan kecupan di wajah."Ayo kita turun untuk sarapan. Hari ini aku mengambil cuti tiga hari menjelang pernikahan kita," bisik Matthew di telinga Juliet."Aku masih mengantuk," desah Juliet manja dan semakin menyurukkan wajahnya di dada Matthew tanpa mau membuka mata, membuat Matthew gemas dan menggigit lembut daun telinganya."Jangan terlalu menggemaskan, Muffin. Aku bisa khilaf dan menyantapmu hingga lima ronde pagi ini."Juliet pun sontak membuka kedua matanya yang terbelalak ngeri menatap Matthew, namun berdecak sebal saat mendengar tawa lelaki itu.Matthew yang mengatakan akan menyantapnya hingga lima ronde membuat gadis itu ketakutan, mengira lelaki itu serius di balik alunan suaranya yang terdengar dingin.
***Flashback beberapa hari sebelumnya***"Sebenarnya kita mau kemana, Karina?" Oma Anita terlihat bingung ketika Karina malah membawanya ke sebuah restoran, alih-alih menuju mal di pusat kota seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.Karina tersenyum ketika membukakan pintu mobil Oma dari arah luar, namun wanita tua itu malah tetap duduk di dalam mobil, terlihat enggan untuk turun sebelum Karina mengatakan maksud dan tujuannya kemari."Bukankah tadi Oma mengeluh lapar? Jadi kita makan dulu di sini," sahut Karina. "Ayo, Oma. Resto ini menyediakan menu spesial sup ikan yang sangat enak loh, Oma pasti suka," cetusnya membujuk.Bibir Oma Anita terlihat sedikit mencebik. Ya, ia memang lapar. Tapi tadinya wanita tua itu mengira bahwa Karina akan mengajaknya makan di restoran faforitnya yang ada di mal."Ayo, Oma. Saya janji, kalau masakannya tidak enak, Oma boleh langsung pergi dan kita akan makan di mal. Oke?"Kali ini Oma tidak menjawab lebih dari sebuah dengusan kecil yang keluar
Matthew menginjak pedal rem dalam-dalam, lalu membanting setir ke kiri. Memberhentikan mobil di bahu jalan sebelum memutar badannya menghadap Juliet."Jadi kamu sudah sudah tahu?" Tanya Matthew antara heran dan juga terkejut."Mengenai hubungan terlarang antara ayahmu dan ibuku?"Juliet membalas tatapan penuh tanya dari Matthew dengan mengurai senyum samar. "Ya, aku tahu."Matthew menarik dagu Juliet agar bisa menatap manik legam itu untuk menyelami dalamnya misteri di dalam sana yang seolah tak bertepi. Mencari segala apa yang selama ini selalu disembunyikan oleh gadis itu.Namun ia tetap tak jua berhasil menemukannya. Juliet memendamnya terlalu dalam, hingga tangan Matthew pun tak sanggup menggapainya.Matthew mengecup kedua mata Juliet dengan lembut. "Jangan terlalu memikirkannya, Muffin."Juliet memejamkan kedua maniknya saat Matthew mulai memberikan hujan kecupan lembut seringan kelopak bunga ke seluruh wajahnya. "Aku tidak akan memikirkannya," sahutnya pelan."Jika kamu tidak in
"Kamu mau makan malam sekarang? Kalau begitu biar aku re-heat lagi steak-nya ya?"Juliet terkesiap ketika Matthew tiba-tiba menarik pinggangnya, saat ia baru saja hendak mengambil piring steak untuk dibawa ke dapur agar dipanaskan.Gadis itu pun terdiam tak bergerak saat Matthew mulai menghidu rambut dan wajahnya, hal yang sangat sering lelaki itu lakukan."Aku candu pada aroma tubuhmu, Muffin." Suara serak itu seakan mengumumkan sebuah alarm untuk Juliet. "Aku candu pada semua yang ada di dirimu.""Stop. Nanti kita tidak akan makan malam kalau kamu terus melakukannya." Juliet menjauhkan bibirnya yang hendak dipagut oleh Matthew, dan sedikit mendorong tubuh kekar itu. Dalam hati ia mendesah lega karena Matthew akhirnya melepaskan dirinya."Aku yang akan panggil pelayan untuk memanaskan steaknya. Kamu diam di situ saja, Muffin. Jangan terlalu banyak bergerak," perintah Matthew sebelum ia merampas piring steak dari tangan Juliet dan berlalu pergi.Senyum yang semula merekah di wajah Jul
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny
Sienna membuka matanya perlahan ketika merasakan tubuhnya digerakkan dengan lembut. Darren-lah yang melakukannya. Pria itu sedang memindahkan tubuhnya yang sedang asyik tertidur di atas tubuh Darren, untuk direbahkan di kasur lembut. Entah kenapa, kehangatan yang terpancar dari kulit pria itu bisa membuat Sienna rileks hingga akhirnya ia pun terlelap dengan pulas. Otot keras pria itu bertemu dengan tubuhnya yang lembut terasa seperti paduan yang sempurna dan saling melengkapi. "Darren?" Sienna menatap Darren dengan matanya yang masih sayu karena mengantuk, menyiratkan tanya kenapa dirinya dipindahkan. "Kamu jadi terbangun ya? Maaf, Sunshine." Darren mengusap lembut bibir Sienna dan mengecupnya sekilas. "Tidurlah lagi." "Kamu mau kemana?" Tanya Sienna lagi, ketika melihat Darren yang menyelimutinya lalu beranjak turun dari atas ranjang. "Cuma mau ke dapur untuk membuatkan sarapan," sahut pria bersurai pirang itu dengan manik biru lautnya yang cerah dan berkilau penuh senyum m
Sienna keluar dari mobil mewah milik Darren, lalu dengan sengaja membanting pintunya dengan wajah yang masih tertekuk."Kenapa kamu masih saja membawaku ke sini? Aku mau pulang!" Sergah gadis itu dengan kaki yang menghentak kesal dan manik bening dari balik lensa kaca mata yang mendelik ke arah Darren.Padahal Sienna sudah berusaha mengubah sikapnya menjadi agak penurut, dengan membiarkan Darren mengajaknya makan siang dan berjalan-jalan di mal. Sienna bahkan membiarkan pria itu menggandeng tangannya dan memeluknya di tempat umum, mempertontonkan kemesraan layaknya sepasang kekasih.Meskipun Sienna masih tetap tidak menganggap Darren adalah kekasihnya, berbanding terbalik dengan Darren yang sudah mengklaim bahwa Sienna adalah gadisnya.Ia mengira dengan mengikuti apa kemauan pria itu, paling tidak Darren akan mengabulkan permintaannya untuk pulang ke apartemennya. Aaah... Sienna benar-benar rindu dengan situasi kamar dan kasurnya yang empuk. Namun yang justru terjadi saat ini adalah
"Phobia pada kegelapan?" Virgo mengulang pertanyaan Darren sambil berusaha mengingat-ingat.Benar juga, seingatnya dulu saat nereka masih kecil, Sienna memang tidak suka berada di dalam ruangan yang minim cahaya. Apa sekarang pun masih?"Ya. Sienna sangat ketakutan saat berada di dalam suasana yang gelap. Dia... bahkan berada di taraf yang seperti tidak sadar bahwa sudah menyakiti diri sendiri," sahut Darren dengan wajah yang menyiratkan kecemasan."Kamu sepupunya yang paling dekat kan? Apa Sienna pernah bercerita tentang hal itu?"Virgo menggeleng. "Sienna itu cukup tertutup meskipun dari luar terlihat cuek dan berani," cetusnya. "Kami memang cukup dekat sebagai sepupu, tapi tidak sedekat itu untuk menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi."Darren mendesah pelan, kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Virgo benar, Sienna itu gadis yang agak tertutup."Bagaimana dengan masa kecilnya?" Tanya Darren lagi, pantang menyerah. "Apa pernah terjadi sesuatu yang traumatis s
"Heekkhh... hkk... kkhh..."Suara gumanan pelan namun aneh itu membuat tidur lelap Darren pun seketika menjadi terjaga. Perlahan kelopak matanya terbuka, namun tak berapa lama menjadi menyipit bingung, ketika menyadari bahwa ia tidak menemukan seseorang di samping sisi ranjangnya.Kemana Sienna??"Huukkhh..."Suara aneh itu kembali terdengar lagi.Darren pun bergerak untuk beranjak duduk di atas tempat tidurnya sambil menajamkan pendengarannya. Kegelapan yang menyelimuti di sekelilingnya membuatnya tak dapat melihat apa pun.Pria bersurai pirang itu pun memutuskan untuk menyalakan lampu tidur di atas nakas. Bias cahaya kuning lembut pun serta merta memberikan penerangan, meskipun samar-samar.Manik biru laut lelaki itu pun membelalak lebar karena terkejut, ketika menemukan sosok yang ia cari kini tengah duduk di lantai, dengan punggungnya yang bersandar di dinding."Heehkk... uhkk..."Tatapan gadis itu terlihat kosong seperti boneka tanpa nyawa. Bibirnya terbuka, mengeluarkan suara se
"Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Muffin."Juliet hanya bisa meringis mendengar nada dingin yang menguar dari suara maskulin suaminya. Ia sadar bahwa di sini semua kesalahan memang bersumber dari dirinya, namun sungguh, ia tidak pernah menyangka akan menjadi sekacau ini.Ia yang tadinya ingin memberikan kejutan manis untuk suaminya dengan menyelidiki diam-diam tentang Mathilda Wiratama, ternyata malah menyebabkan sahabatnya Sienna dan sepupunya Matthew berada dalam masalah.Hampir saja Sienna diperkosa dan Darren yang nyaris kehilangan nyawa, ketika mereka menjalankan misi yang ia minta!Ya ampun...Wanita bersurai gelap dengan perutnya yang mulai membuncit itu benar-benar menyesal. Tangannya yang sejak tadi menggenggam erat tangan sahabatnya, Sienna, mulai terlihat sedikit gemetar.Saat ini Juliet sedang duduk di atas sofa double seated bersama Sienna, sementara itu Matthew dan Darren masing-masing berada di sofa single."Sienna, Darren... maaf," cicit wanita cantik bersura
Setelah sarapan, Sienna segera mandi dan berpakaian dengan cepat. Cuaca cerah pagi ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin bagi mereka untuk mencari jalan pulang.Setelah hujan sehari semalam, masih tersisa beberapa genangan air di jalanan yang rusak dan becek penuh lumpur.Semoga saja lumpurnya tidak tebal, agar ban mobil mereka tidak terjebak dan malah tidak bisa bergerak.Darren membukakan pintu untuk Sienna, yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh gadis itu.Hanya saja Sienna tidak tahu, bahwa ada seulas senyum simpul penuh arti di wajah tampan lelaki itu."Darren!!" Pekik Sienna sambil mendelik kesal dan mengusap bokongnya yang baru saja mendapatkan cubitan gemas dari Darren.Tawa pelan lelaki itu semakin membuat Sienna kesal, dan gadis itu pun akhirnya masuk ke dalam mobil sambil menghempaskan tubuhnya."Modus!" Cebiknya sembari memutar kedua bola mata. Dasar laki-laki. Dulu saat pertama kali mengenal Darren, Sienna tidak akan pernah menyangka jika lelaki ini sangat mes