Mau tambah 2 bab lagi? yuk lemparkan gems yg banyak biar aku semangat 🥹❤️
Juliet sedikit terkejut karena kali ini Matthew hanya mengecupnya, tanpa berlanjut ke tahap selanjutnya. Meskipun tetap saja dilakukan dengan sepenuh gairah.Mereka saling memagut bibir hingga hampir setengah jam, waktu terlama yang Juliet pernah lakukan bersama Matthew. Bibirnya menjadi memerah dan bengkak akibat sesapan kuat dan gigitan gemas lelaki itu.Kedua tangan Matthew masih terangkum di pipi Juliet, sama sekali tak membiarkan gadis itu berkutik dan mengelak dari serangannya.Namun Matthew tiba-tiba saja melepaskan ciuman mereka dengan menarik wajahnya, lalu menatap bibir merah penuh itu yang telah basah karena salivanya.Lelaki itu melukiskan senyum, sembari menghapus perlahan jejak basah di bibir Juliet dengan ibu jarinya."Keluarkan lidahmu," gumannya pelan. "Aku masih ingin menyesapnya."Seketika Juliet pun mengerti. Matthew sudah sangat berhasrat, namun belum berani menyentuhnya lebih dari hanya di bibir. Mungkin ia takut tubuh Juliet masih luka dan belum sepenuhnya sembu
"Apa?? Jadi Matthew benar-benar meminum air di dalam gelas itu??" Sienna berseru, setelah sebelumnya ia bahkan sempat tersedak kopi yang sedang ia hirup. Berita yang dibawa oleh Juliet benar-benar mengejutkan hingga membuatnya tak habis pikir.Juliet mengangguk pelan membenarkan dengan tersenyum simpul. "Yap. Dia benar-benar meminumnya, padahal dia sudah tahu jika air itu telah kuberi sesuatu," cetus gadis itu, seraya menyeruput avocado milk cheese-nya dengan nikmat.Saat ini Juliet dan Sienna tengah bertemu di sebuah cafe, dengan Juliet yang bercerita peristiwa yang terjadi kemarin kepada sahabatnya."Tunggu. Dari mana Matthew tahu jika air itu bukan air biasa?""Pasti dari Darren. Sebelum makan, Matthew mendapat telepon dari Darren. Lalu setelah itu dia mulai bersikap aneh dengan membuang gelas airku dan teko di atas meja.""Tapi dia malah menyisakan gelasnya sendiri dan meminumnya," cetus Sienna sambil menggeleng tak habis pikir."Aku sangat penasaran dengan maksud serta tujuanmu,
"Morning, Muffin."Juliet tersenyum ketika merasakan kecupan bertubi-tubi yang mendarat di ubun-ubun kepalanya, menyertai sebuah pernyataan sebelumnya.Ia sedang terlelap berada di dalam pelukan hangat Matthew, saat lelaki itu tiba-tiba saja membangunkannya dengan memberikan hujan kecupan di wajah."Ayo kita turun untuk sarapan. Hari ini aku mengambil cuti tiga hari menjelang pernikahan kita," bisik Matthew di telinga Juliet."Aku masih mengantuk," desah Juliet manja dan semakin menyurukkan wajahnya di dada Matthew tanpa mau membuka mata, membuat Matthew gemas dan menggigit lembut daun telinganya."Jangan terlalu menggemaskan, Muffin. Aku bisa khilaf dan menyantapmu hingga lima ronde pagi ini."Juliet pun sontak membuka kedua matanya yang terbelalak ngeri menatap Matthew, namun berdecak sebal saat mendengar tawa lelaki itu.Matthew yang mengatakan akan menyantapnya hingga lima ronde membuat gadis itu ketakutan, mengira lelaki itu serius di balik alunan suaranya yang terdengar dingin.
***Flashback beberapa hari sebelumnya***"Sebenarnya kita mau kemana, Karina?" Oma Anita terlihat bingung ketika Karina malah membawanya ke sebuah restoran, alih-alih menuju mal di pusat kota seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.Karina tersenyum ketika membukakan pintu mobil Oma dari arah luar, namun wanita tua itu malah tetap duduk di dalam mobil, terlihat enggan untuk turun sebelum Karina mengatakan maksud dan tujuannya kemari."Bukankah tadi Oma mengeluh lapar? Jadi kita makan dulu di sini," sahut Karina. "Ayo, Oma. Resto ini menyediakan menu spesial sup ikan yang sangat enak loh, Oma pasti suka," cetusnya membujuk.Bibir Oma Anita terlihat sedikit mencebik. Ya, ia memang lapar. Tapi tadinya wanita tua itu mengira bahwa Karina akan mengajaknya makan di restoran faforitnya yang ada di mal."Ayo, Oma. Saya janji, kalau masakannya tidak enak, Oma boleh langsung pergi dan kita akan makan di mal. Oke?"Kali ini Oma tidak menjawab lebih dari sebuah dengusan kecil yang keluar
Matthew menginjak pedal rem dalam-dalam, lalu membanting setir ke kiri. Memberhentikan mobil di bahu jalan sebelum memutar badannya menghadap Juliet."Jadi kamu sudah sudah tahu?" Tanya Matthew antara heran dan juga terkejut."Mengenai hubungan terlarang antara ayahmu dan ibuku?"Juliet membalas tatapan penuh tanya dari Matthew dengan mengurai senyum samar. "Ya, aku tahu."Matthew menarik dagu Juliet agar bisa menatap manik legam itu untuk menyelami dalamnya misteri di dalam sana yang seolah tak bertepi. Mencari segala apa yang selama ini selalu disembunyikan oleh gadis itu.Namun ia tetap tak jua berhasil menemukannya. Juliet memendamnya terlalu dalam, hingga tangan Matthew pun tak sanggup menggapainya.Matthew mengecup kedua mata Juliet dengan lembut. "Jangan terlalu memikirkannya, Muffin."Juliet memejamkan kedua maniknya saat Matthew mulai memberikan hujan kecupan lembut seringan kelopak bunga ke seluruh wajahnya. "Aku tidak akan memikirkannya," sahutnya pelan."Jika kamu tidak in
"Kamu mau makan malam sekarang? Kalau begitu biar aku re-heat lagi steak-nya ya?"Juliet terkesiap ketika Matthew tiba-tiba menarik pinggangnya, saat ia baru saja hendak mengambil piring steak untuk dibawa ke dapur agar dipanaskan.Gadis itu pun terdiam tak bergerak saat Matthew mulai menghidu rambut dan wajahnya, hal yang sangat sering lelaki itu lakukan."Aku candu pada aroma tubuhmu, Muffin." Suara serak itu seakan mengumumkan sebuah alarm untuk Juliet. "Aku candu pada semua yang ada di dirimu.""Stop. Nanti kita tidak akan makan malam kalau kamu terus melakukannya." Juliet menjauhkan bibirnya yang hendak dipagut oleh Matthew, dan sedikit mendorong tubuh kekar itu. Dalam hati ia mendesah lega karena Matthew akhirnya melepaskan dirinya."Aku yang akan panggil pelayan untuk memanaskan steaknya. Kamu diam di situ saja, Muffin. Jangan terlalu banyak bergerak," perintah Matthew sebelum ia merampas piring steak dari tangan Juliet dan berlalu pergi.Senyum yang semula merekah di wajah Jul
"Kamu sangat pemberani."Juliet hanya tersenyum tipis mendengar pujian dari sahabatnya, Sienna. Meskipun memang terlihat sangat tulus, namun Juliet sama sekali tidak merasa bahwa "pemberani" adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok dirinya serta semua sikap yang telah ia ambil.Mungkin "gila" lebih tepatnya."Terima kasih, Sienna. Tapi ini semua tidak akan berhasil jika tanpa bantuan dari banyak pihak."Sienna berdecak kecil dan menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Gadis berkaca-mata itu sungguh heran dengan keputusan Juliet untuk pergi dari Matthew, padahal lelaki itu telah bersikap sangat baik akhir-akhir ini."Jadi, apa sekarang kamu sudah merasa bebas?" Tanya Sienna lagi.Juliet pun menghela napas pelan. "Entahlah. Kebebasan yang kuimpikan adalah lepas dari bayang-bayang Matthew. Dan saat ini aku seakan berada di persimpangan, Sienna. Tanpa tahu arah mana yang harus kupilih, arah yang akan membuat Matthew benar-benar tidak mampu menemukan jejakku lagi untuk selamanya,"
"Damned!" Matthew mendorong tubuh Karina, lalu ia pun segera berdiri dan mengenakan satu persatu lapis busananya yang entah bagaimana berserakan di atas lantai sembari menatap Karina dengan sorot tajam menusuk."Cepat pakai bajumu, Karina. Ayo kita bicara!" Titahnya kemudian. Matthew mencari ponselnya yang terletak di atas nakas, lalu menekan nomor Darren dengan penuh emosi.Namun kembali ia mengumpat dengan keras, karena ponsel sepupunya itu yang sama sekali tidak bisa dihubungi. Kemurkaan serasa membakar dadanya, karena situasi yang tiba-tiba saja berada di luar kendalinya. Juliet yang menghilang dan dirinya yang berada di ranjang bersama Karina, alih-alih bersama Muffin-nya.BRAAK!!!Karina menjerit kaget ketika Matthew mendadak menggebrak meja dengan sekuat tenaga. Untung saja meja itu terbuat dari material solid yang mampu menahan hentakan itu, hingga tidak terbelah dua."Jelaskan kenapa saat aku membuka mata, tiba-tiba saja Juliet menghilang dan kamulah yang berada di sini. Dan
"Anak kita tampan sekali, ya?" Juliet tersenyum menatap Matthew yang baru saja berucap, seraya menggendong bayi merah mungil di dalam dekapannya. Beberapa jam yang lalu, Juliet baru saja melahirkan putra pertamanya dengan selamat dan sehat, yang diberi nama Xavian Wiratama. "Ya, dia sangat tampan seperti ayahnya," sahut wanita itu dengan menatap suami dan putra tercintanya. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tetap cantik meskipun tampak lelah, setelah melakukan perjuangan panjang untuk melahirkan buah hatinya yang rupawan. Matthew mendekatkan wajahnya untuk mengecup puncak kepala istrinya dengan lembut. "Terima kasih, Muffin. Untuk semua kebahagiaan ini, aku berhutang padamu seluruh hidupku," tukasnya dengan mata berkaca-kaca, ketika mengingat kembali bagaimana kesakitan istrinya kala berjuang mengeluarkan Xavian. "Dan meskipun anak kita sangat tampan, ini adalah Xavian akan menjadi satu-satunya, oke?" Pungkas Matthew dengan menatap istrinya lekat. "Aku ketakutan sek
Sepeninggal Matthew yang telah pulang, Darren mendengar suara denting pelan dari ponselnya. Ternyata sebuah pesan dari anak buah yang tugaskan untuk melakukan penyelidikan tentang Aldrian, mantan guru les Sienna waktu di Sekolah Dasar. Keningnya pun seketika berkerut, saat membaca seluruh kalimat yang tertera du sana. [Aldrian kini telah berada di Indonesia, dan telah menjadi salah satu dosen di kampus Nona Sienna. Apa dia perlu kami tahan?] Aldrian. Menjadi dosen di kampus Sienna? Kabar ini begitu mengejutkan, namun seketika membuat Darren terngiang kembali ketika siang ini ia menjemput Sienna di kampusnya. Gadisnya itu tampak aneh. Berlari keluar dengan kaki telanjang, serta wajah pias seperti ketakutan. Apa jangan-jangan, dia telah bertemu dengan Aldrian? Meskipun belum menemukan cukup bukti-bukti yang mengarah pada Aldrian yang menjadi penyebab atas sikap aneh Sienna bila berada di dalam kegelapan, namun firasat Darren begitu kuat tentang hal ini. Dan ia bertekad
Matthew pasti juga sudah mendapatkan kabar tentang kecelakaan Darren, sepupunya. "Hai, Sienna," sapa Matthew sambil tersenyum, namun senyum itu pun seketika menghilang ketika bertatapan dengan Karina. Meskipun telah menikah dengan pasangan masing-masing, namun tak bisa dipungkiri jika antara Matthew dan Virgo masih ada perasaan sama-sama saling tidak suka, yang juga membuat Matthew mengutuk dalam hati saat berpapasan dengan wanita ini. "Halo, Karina," sapa Matthew akhirnya, meskipun terdengar datar dan enggan. "Halo juga, Matthew. Kamu terlihat sehat. Oh iya, dimana Juliet?" tanya Karina sambil tersenyum ramah, seolah tak terpengaruh pada sikap dinginnya. "Aku tidak mengijinkannya ikut ke rumah sakit karena kondisinya yang sedang hamil," ungkap Matthew, lalu kembali menatap Sienna. "Kalian mau ikut ke ruangan Darren?" Sienna mengangguk. "Ya, kalau begitu bagaimana jika kita sama-sama saja ke sana~~" "Sayang, ayo pulang." Suara dingin yang menyeruak dengan tiba-tiba di a
"Thanks, Karina." Karina mengangguk dan tersenyum ke arah gadis mungil berkacamata yang duduk di depannya. Ia baru saja mengambilkan secangkir coklat hangat dan beberapa croissant beraroma harum untuk Sienna, lalu meletakkannya di meja depan gadis itu. "Sama-sama," sahut Karina. "Ayo, diminum coklat dan dimakan croissant-nya juga, selagi masih hangat." Sienna mengangguk samar, lalu mulai menghirup coklat dari mug hitam, serta menggigit kecil croissant. Pandangan mata dari balik lensa kaca matanya tampak nanar dan tidak fokus, hal yang tak lepas dari perhatian Karina sejak tadi. Gadis itu tampak sangat pucat. "Hei. Are you okay, Sienna?" tanya Karina khawatir. Sienna memiliki tubuh yang lebih mungil dari Karina, bahkan hampir seperti anak-anak remaja, sehingga siapa pun yang melihatnya bersikap goyah seperti ini pasti akan jatuh kasian. Sienna mengalihkan tatapannya dari croissant ke wajah Karina yang memandanginya dengan kening berkerut cemas. Istri sepupunya
Suara pintu yang tiba-tiba terbuka dari arah luar, membuat dua pasang mata berbeda warna itu pun seketika tertuju ke arah sana. "Sienna?" Sosok yang baru muncul dari pintu adalah Virgo, yang kemudian masuk ke dalam ruang rawat VIP sambil menggandeng tangan Karina yang mau tak mau juga ikut masuk. "Virgo, Karina!" Sienna yang duduk di samping brankar pun seketika berdiri ketika melihat sepupu dan istrinya yang baru saja datang. Namun ia tak bisa melangkah lebih lebih dekat ke pasangan suami istri itu, karena tangannya yang tiba-tiba saja dicengkram oleh pria bule yang berada di atas brankar. Darren mengangkat satu alis pirangnya, ekspresinya seolah tidak mengijinkan Sienna untuk berada lebih jauh. Lalu seulas senyum puas pun terukir di wajah pria itu, ketika melihat gadisnya yang duduk kembali di kursinya dengan patuh. Hm, mungkin sebaiknya ia harus sering-sering terluka, karena dengan begitu Sienna bersikap manis seperti ini. "Hei, Darren. Syukurlah kamu sudah sadar,"
"Sayang." Karina pun mendengar suara Virgo yang memanggilnya, dan mendapati sebuah pelukan hangat dari belakang serta kecupan lembut di ubun-ubun kepalanya. "Kamu sudah pulang?" Karina menolehkan wajahnya ke samping, dan tersenyum ketika mendapatkan ciuman di bibirnya. "Maaf, aku terlalu fokus membongkar barang-barang sampai tidak mendengar kamu datang." Wanita itu kini membalikkan tubuhnya, meninggalkan tumpukan kardus di depannya untuk menyambut suaminya yang baru pulang bekerja. Setelah menikah dengan Karina, Virgo mendirikan perusahaan jasa konsultan hukum bersama teman-teman semasa kuliahnya. Meskipun menjadi putra tunggal seorang Angkasa Reiner membuatnya otomatis menjadi pewaris kaya raya, namun Virgo tampak enggan untuk turut campur dalam perusahaan ayahnya. Ia tidak terlalu tertarik pada dunia bisnis, karena lebih suka berkecimpung di ranah hukum, sesuai dengan jurusan kuliah yang ia pilih. "Aku sudah masak makan malam, kamu mau mandi dulu kan?" Karina kemba
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny