Bibir penuh berwarna merah alami itu pun tak lepas menyunggingkan senyuman kebahagiaan, ketika melihat pemandangan jantung kota Vancouver dari balkon apartemennya yang cukup luas.Ia suka sekali pemilihan untuk lokasi tempat tinggalnya kali ini. Sebuah apartemen yang tidak terlalu besar tapi sangat modern, indah dan nyaman. Sebuah tempat tinggal untuk dirinya yang baru. Juliet yang baru."Bagaimana, apa kamu suka?"Suara itu membuat wajah Juliet tertoleh ke samping, ke arah seorang lelaki yang memandanginya sejak tadi."Sangat suka," sahut Juliet cepat tanpa menanggalkan senyumnya. "Terima kasih, Virgo. Apartemennya sungguh indah.""Kamu yakin? Kita bisa melihat-lihat yang lain, Juliet. Kurasa yang ini agak sedikit kurang luas.""Aku menyukainya."Pernyataan itu menjadi sebuah keputusan mutlak yang terdengar tak dapat dibantah lagi."Baiklah jika kamu menyukainya," tutur Virgo akhirnya. "Istirahatlah, Juliet. Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang ke sini."Juliet mengangguk. Per
"HUEEKKKH!!"Rasanya seperti ada yang meninju ulu hatinya, dan membuat isi perutnya menyembur keluar tanpa menyisakan sedikit pun.Juliet hanya bisa pasrah ketika sejak beberapa jam yang lalu serangan emesis atau mual-mual di awal kehamilan melandanya dengan tiba-tiba, padahal sudah cukup lama ia sudah tidak merasakannya lagi.Juliet hanya bisa pasrah ketika yang keluar dari perutnya kini hanyalah cairan kental kekuningan yang merupakan cairan lambungnya, menandakan bahwa tak ada lagi yang bisa ia muntahkan karena isi perutnya telah terkuras.Juliet meletakkan satu tangannya yang gemetar kelelahan di atas perutnya yang sejak tadi bergejolak tanpa henti."Bertahanlah, Sayang. Kita pasti bisa melalui ini semua... Mama di sini, anakku..." ucapnya dengan bibir kering dan sepucat kertas dan pandangan nanar karena berkunang-kunang.Kelopak matanya hampir menutup, karena sekedar untuk membuka sedikit saja rasanya begitu berat. Sekujur tubuhnya terasa nyeri.Juliet terduduk di atas lantai kam
"A-apa?? Matthew... dia mengetahui dimana aku berada?" Rasanya jantung Juliet ingin terlepas dari rongga dada saat ini juga.Baru saja sebentar ia merasakan kebebasan dan ketenangan, dan sekarang Juliet harus kembali berada di dalam tekanan!"Masih ada beberapa belas jam lagi sebelum Matthew tiba di Vancouver, jadi masih ada cukup waktu untukmu beristirahat. Lebih amannya, sebaiknya kita berangkat paling lama sekitar delapan jam lagi."Juliet menghela napas pelan dan menganggukkan kepala menyahut perkataan Virgo barusan. Paling tidak ia masih memiliki beberapa jam untuk tidur. Entah beberapa jam itu cukup ataukah tidak, karena sebenarnya Juliet benar-benar merasa kurang sehat saat ini."Kamu bisa melarikan diri Matthew, atau kamu juga bisa menghadapinya secara langsung dan bicara baik-baik dengannya, Juliet. Kamu tahu itu kan?" Ucap Virgo mencoba untuk menjadi pihak netral yang berlogika, walaupun ada sedikit perasaan tak rela jika Juliet kembali kepada lelaki itu.Tawa tanpa suara pu
"Aku tidak akan menyerahkanmu semudah itu," ucap Virgo tegas dengan penuh keyakinan. Ia pun kemudian mulai mengeluarkan ponsel untuk menelepon seseorang dan menitahkan sesuatu."Jangan berkonfrontasi dengan Matthew, Virgo. Kumohon," pinta Juliet."Lalu aku harus bagaimana? Menyerahkanmu begitu saja kepada Matthew dengan suka rela?" Cetus Virgo yang gusar mendengar permohonan Juliet, yang seakan menganggap dirinya bukanlah tandingan untuk seorang Matthew Wiratama."Selama kamu memang masih berniat menjauh dari Matthew, maka aku pun akan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan si brengsek itu darimu," tegas Virgo lagi.Juliet menghela napas pelan. Ia sungguh-sungguh tidak menyangka jika Matthew akan secepat ini menemukannya, padahal Juliet masih ingin menghukum Matthew dengan kepergiannya.Juliet hanya ingin Matthew merasakan bagaimana rasanya terpenjara dalam ketidakberdayaan, sama seperti yang ia rasakan beberapa tahun dalam penyiksaan.Kenapa sulit sekali membuat Matthew tidak berday
Virgo menatap lurus kepada Juliet dengan sorot tak percaya.. "Apa kamu yakin mau kembali dengannya, Juliet?"Gadis bersurai panjang itu pun hanya mengangguk pelan tanpa suara untuk menjawabnya."Hah. Keterlaluan sekali," cetus Virgo seraya meraup wajahnya dengan kasar. "Kamu telah membuat semua perjuangan kita menjadi sebuah kesia-siaan belaka. Seharusnya kamu tidak selemah ini."Juliet pun terdiam mendengar kalimat menohok Virgo. Ia tahu kalau lelaki itu merasa kecewa. Namun Juliet juga takut jika balas dendamnya ini malah akan menimbulkan masalah baru antara Virgo dan Matthew.Ia sungguh tak mengira jika memanfaatkan Virgo untuk mengkonfrontasi dengan Matthew akan membuat situasi semakin rumit, belum lagi adanya perasaan bersalah yang mulai tercipta."Maafkan aku," ucap Juliet setelah beberapa saat terpaku dalam keheningan."Aku tidak pernah bermaksud untuk mengecewakanmu, Virgo. Dan aku pun sangat berterima kasih untuk semuanya, sungguh. Aku sangat bersyukur karena memilikimu dan
Pagi telah datang.Juliet pun perlahan membuka matanya yang masih sayu karena mengantuk, dan seketika manik sehitam malam itu pun mengerjap bingung sebelum akhirnya membelalak lebar.Dimana ini??Ia pun segera bangkit dari ranjang kayu oak dengan desain minimalis itu, menegakkan bahunya, mengamati sekelilingnya sembari menggali kembali ingatan terakhirnya semalam.Ah ya... sekarang dia baru ingat.Semalam Matthew membawanya ke sebuah Penthouse di jantung kota Vancouver untuk menginap.Ya, mereka memang masih berada di Kanada.Juliet menghela napas pelan, lalu bersandar di kepala ranjang. Matthew sepertinya telah bangun terlebih dahulu, entah dimana dia sekarang.Sejenak gadis itu menundukkan kepala, menatap dan mengelus lembut perutnya yang masih datar."Kita bersama Papamu lagi," gumannya pelan. "Dan sekarang kamu juga tidak membuat Mama muntah lagi," tambahnya sembari tersenyum kecil. "Jadi kamu cuma kangen Papa, hm?"Setelah puas bercengkrama sejenak dengan janin yang berada di dal
Pagar tinggi yang berdiri angkuh itu pun terbuka dengan perlahan, sebelum sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam masuk ke dalam kediaman milik Matthew dan berhenti tepat di bagian entrance rumah mewah itu.Matthew membuka pintu mobilnya lalu keluar lebih dulu, sebelum kemudian berjalan mengitari mobil untuk membuka pintu mobil di sisi satu lagi.Pemandangan pJuliet yang terus terlelap di sepanjang jalan dari bandara ke rumah, membuatnya senyum kecil terpulas di bibir Matthew.Dengan perlahan dan hati-hati, lelaki itu mengeluarkan tubuh Juliet dengan menggendongnya. Namun alih-alih terbangun, gadis itu malah semakin meringkuk pada dada bidang yang menyelimuti dirinya dengan hangat. Semakin pulas dalam lelapnya.Juliet tidak bisa tidur selama kepergiannya dari Indonesia dan sebelum bertemu dengan Matthew, jadi kini sepertinya dia sedang membalas dengan terlelap sepanjang perjalanan pulang dari Vancouver.Matthew berhenti sejenak di depan pintu ganda yang terbuka sebagai akses utama mas
"Matthew? Apa yang terjadi denganmu?!"Matthew menatap datar kepada Oma Anita dan juga Karina yang baru saja datang ke rumahnya.Ia baru saja hendak ke dapur untuk membuatkan susu hamil dan mengambil beberapa camilan untuk Juliet, ketika sayup-sayup ia mendengar suara mobil yang menderu di bagian entrance kediamannya.Suara langkah kaki dua orang itu yang terdengar memasuki rumah pun sangat dihapal oleh Matthew. Namun ia masih dengan santai mengaduk susu dan mengambil camilan beberapa buah potong di dalam piring yang telah disiapkan oleh pelayan.Oma Anita berjalan mendekati cucunya dan lekat memperhatikan wajahnya. Satu tangannya pun terulur memegang dagu Matthew, lalu menolehkan wajah lelaki itu ke kanan dan ke kiri."Apa yang terjadi dengan wajahmu?" Seru Oma ketika melihat lebam dan darah yang menghiasi wajah tampan itu. "Aku tidak percaya cucuku yang sabuk hitam bisa dibikin babak belur begini!"Matthew menghela napas pelan dan melepaskan dagunya dari tangan Oma. "Aku habis diker
"Anak kita tampan sekali, ya?" Juliet tersenyum menatap Matthew yang baru saja berucap, seraya menggendong bayi merah mungil di dalam dekapannya. Beberapa jam yang lalu, Juliet baru saja melahirkan putra pertamanya dengan selamat dan sehat, yang diberi nama Xavian Wiratama. "Ya, dia sangat tampan seperti ayahnya," sahut wanita itu dengan menatap suami dan putra tercintanya. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tetap cantik meskipun tampak lelah, setelah melakukan perjuangan panjang untuk melahirkan buah hatinya yang rupawan. Matthew mendekatkan wajahnya untuk mengecup puncak kepala istrinya dengan lembut. "Terima kasih, Muffin. Untuk semua kebahagiaan ini, aku berhutang padamu seluruh hidupku," tukasnya dengan mata berkaca-kaca, ketika mengingat kembali bagaimana kesakitan istrinya kala berjuang mengeluarkan Xavian. "Dan meskipun anak kita sangat tampan, ini adalah Xavian akan menjadi satu-satunya, oke?" Pungkas Matthew dengan menatap istrinya lekat. "Aku ketakutan sek
Sepeninggal Matthew yang telah pulang, Darren mendengar suara denting pelan dari ponselnya. Ternyata sebuah pesan dari anak buah yang tugaskan untuk melakukan penyelidikan tentang Aldrian, mantan guru les Sienna waktu di Sekolah Dasar. Keningnya pun seketika berkerut, saat membaca seluruh kalimat yang tertera du sana. [Aldrian kini telah berada di Indonesia, dan telah menjadi salah satu dosen di kampus Nona Sienna. Apa dia perlu kami tahan?] Aldrian. Menjadi dosen di kampus Sienna? Kabar ini begitu mengejutkan, namun seketika membuat Darren terngiang kembali ketika siang ini ia menjemput Sienna di kampusnya. Gadisnya itu tampak aneh. Berlari keluar dengan kaki telanjang, serta wajah pias seperti ketakutan. Apa jangan-jangan, dia telah bertemu dengan Aldrian? Meskipun belum menemukan cukup bukti-bukti yang mengarah pada Aldrian yang menjadi penyebab atas sikap aneh Sienna bila berada di dalam kegelapan, namun firasat Darren begitu kuat tentang hal ini. Dan ia bertekad
Matthew pasti juga sudah mendapatkan kabar tentang kecelakaan Darren, sepupunya. "Hai, Sienna," sapa Matthew sambil tersenyum, namun senyum itu pun seketika menghilang ketika bertatapan dengan Karina. Meskipun telah menikah dengan pasangan masing-masing, namun tak bisa dipungkiri jika antara Matthew dan Virgo masih ada perasaan sama-sama saling tidak suka, yang juga membuat Matthew mengutuk dalam hati saat berpapasan dengan wanita ini. "Halo, Karina," sapa Matthew akhirnya, meskipun terdengar datar dan enggan. "Halo juga, Matthew. Kamu terlihat sehat. Oh iya, dimana Juliet?" tanya Karina sambil tersenyum ramah, seolah tak terpengaruh pada sikap dinginnya. "Aku tidak mengijinkannya ikut ke rumah sakit karena kondisinya yang sedang hamil," ungkap Matthew, lalu kembali menatap Sienna. "Kalian mau ikut ke ruangan Darren?" Sienna mengangguk. "Ya, kalau begitu bagaimana jika kita sama-sama saja ke sana~~" "Sayang, ayo pulang." Suara dingin yang menyeruak dengan tiba-tiba di a
"Thanks, Karina." Karina mengangguk dan tersenyum ke arah gadis mungil berkacamata yang duduk di depannya. Ia baru saja mengambilkan secangkir coklat hangat dan beberapa croissant beraroma harum untuk Sienna, lalu meletakkannya di meja depan gadis itu. "Sama-sama," sahut Karina. "Ayo, diminum coklat dan dimakan croissant-nya juga, selagi masih hangat." Sienna mengangguk samar, lalu mulai menghirup coklat dari mug hitam, serta menggigit kecil croissant. Pandangan mata dari balik lensa kaca matanya tampak nanar dan tidak fokus, hal yang tak lepas dari perhatian Karina sejak tadi. Gadis itu tampak sangat pucat. "Hei. Are you okay, Sienna?" tanya Karina khawatir. Sienna memiliki tubuh yang lebih mungil dari Karina, bahkan hampir seperti anak-anak remaja, sehingga siapa pun yang melihatnya bersikap goyah seperti ini pasti akan jatuh kasian. Sienna mengalihkan tatapannya dari croissant ke wajah Karina yang memandanginya dengan kening berkerut cemas. Istri sepupunya
Suara pintu yang tiba-tiba terbuka dari arah luar, membuat dua pasang mata berbeda warna itu pun seketika tertuju ke arah sana. "Sienna?" Sosok yang baru muncul dari pintu adalah Virgo, yang kemudian masuk ke dalam ruang rawat VIP sambil menggandeng tangan Karina yang mau tak mau juga ikut masuk. "Virgo, Karina!" Sienna yang duduk di samping brankar pun seketika berdiri ketika melihat sepupu dan istrinya yang baru saja datang. Namun ia tak bisa melangkah lebih lebih dekat ke pasangan suami istri itu, karena tangannya yang tiba-tiba saja dicengkram oleh pria bule yang berada di atas brankar. Darren mengangkat satu alis pirangnya, ekspresinya seolah tidak mengijinkan Sienna untuk berada lebih jauh. Lalu seulas senyum puas pun terukir di wajah pria itu, ketika melihat gadisnya yang duduk kembali di kursinya dengan patuh. Hm, mungkin sebaiknya ia harus sering-sering terluka, karena dengan begitu Sienna bersikap manis seperti ini. "Hei, Darren. Syukurlah kamu sudah sadar,"
"Sayang." Karina pun mendengar suara Virgo yang memanggilnya, dan mendapati sebuah pelukan hangat dari belakang serta kecupan lembut di ubun-ubun kepalanya. "Kamu sudah pulang?" Karina menolehkan wajahnya ke samping, dan tersenyum ketika mendapatkan ciuman di bibirnya. "Maaf, aku terlalu fokus membongkar barang-barang sampai tidak mendengar kamu datang." Wanita itu kini membalikkan tubuhnya, meninggalkan tumpukan kardus di depannya untuk menyambut suaminya yang baru pulang bekerja. Setelah menikah dengan Karina, Virgo mendirikan perusahaan jasa konsultan hukum bersama teman-teman semasa kuliahnya. Meskipun menjadi putra tunggal seorang Angkasa Reiner membuatnya otomatis menjadi pewaris kaya raya, namun Virgo tampak enggan untuk turut campur dalam perusahaan ayahnya. Ia tidak terlalu tertarik pada dunia bisnis, karena lebih suka berkecimpung di ranah hukum, sesuai dengan jurusan kuliah yang ia pilih. "Aku sudah masak makan malam, kamu mau mandi dulu kan?" Karina kemba
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny