"Sebagai penyebab utama dari semua rumitnya masalah kejiwaan yang dialami Juliet, sudah seharusnya kamu sangat bersyukur karena gadis itu masih mau berusaha untuk memaafkanmu, Matthew."Sindiran telak itu membuat Matthew memejamkan kedua manik coklat pasirnya. Penyesalan yang teramat dalam seolah menghujam ke dalam rongga dadanya, merobek setiap senti dinding-dinding hatinya, serta melemahkan seluruh tulang dan ototnya hingga tak berdaya."Aku tahu, Vin." Helaan napas yang berat menguar dari bibir Matthew. "Aku memang si brengsek yang sangat beruntung."Dokter Kevin, yang juga merupakan sepupu jauh Matthew dan kebetulan adalah Dokter Ahli Jiwa atau Psikiater itu menatap Matthew lurus-lurus."Aku bisa melihat refleksi penyesalanmu, dan itu bagus. Juliet itu... dia bukan hanya hancur, tapi juga sudah kehilangan inti jati dirinya. Mood-nya yang naik turun adalah disebabkan ledakan hormon kehamilan sekaligus trauma mendalam atas ketidakberdayaan dan siksaan yang setiap hari ia terima sela
Juliet sedang menunggu di luar ruangan praktek pribadi Dokter Kevin, menunggu Matthew yang berada di dalam sana. Julietlah yang lebih dulu masuk untuk berkonsultasi, bergantian dengan Matthew.Tujuan Dokter Kevin adalah agar dapat mengetahui permasalahan dari setiap sisi, itu sebabnya ia memisahkan kedua pasiennya itu.Suara pintu yang terbuka, membuat Juliet mengalihkan tatapannya ke arah sosok lelaki yang keluar dari sana.Juliet pun berdiri dengan senyuman yang terkembang, ketika melihat bahwa Matthew telah keluar dari ruang konsultasi dan langsung melangkah menghampirinya."Apa sudah selesai?" Tanya Juliet.Matthew mengangguk sembari mengagumi seraut wajah cantik yang semakin bertambah cantik akhir-akhir ini. Kehamilan ini membuat wajah dan kulit Juliet terlihat bersinar alami."Lalu apa yang dikatakan dokter?" Tanya Juliet lagi penasaran."Hm. Dia bilang kamu hebat sekali, sangat kooperatif dan fokus," sahut Matthew sambil meraih jemari lentik Juliet dan mengecupnya sekilas sebel
Karina tidak terlalu kaget melihat tempat tinggal Virgo Reiner yang lebih mirip Penthouse tersembunyi yang terletak di bagian paling atas gedung mal mewah ini.Menjadi pewaris tunggal dari kekayaan ayahnya yang bernama Angkasa Reiner, Virgo dipastikan juga akan menjadi calon pengusaha muda yang meneruskan bisnis Mal dan Hotel milik ayahnya.Dan sekarang, Karina menyeringai diam-diam karena keberuntungan yang sedang berada di pihaknya.Saat ini, gadis itu telah berada di dalam Penthouse milik Virgo. Berada di bagian dapur, lebih tepatnya. Dapur yang luas dan modern, namun tampak terlalu bersih seolah sangat jarang digunakan.Tapi itu wajar, melihat pemiliknya adalah seorang lajang kaya raya. Karina bahkan sangat yakin jika mungkin dapur secanggih ini hanya digunakan untuk pajangan saja, meskipun semua peralatannya dapat berfungsi dengan sangat baik."Duduklah, aku akan mengambilkan obat-obatan dan gel kompres dulu." Virgo menunjuk ke arah kursi di meja makan minimalis namun elegan.Ka
Juliet sedang duduk di kursi taman menunggu Matthew yang sedang ke kamar kecil, ketika sebuah suara isakan tangis dan bentakan tertahan membuatnya mengernyit."Jangan menangis!" Bentak sebuah suara lelaki dari arah belakang kursi taman yang diduduki Juliet, tepatnya dari balik rerimbunan tanaman di sana. Juliet memang tidak bisa melihat apa-apa, tapi ia bisa mendengar dengan jelas."Leon, lepaas. Hiks... sakit..." suara isakan lirih dan permohonan dari seorang perempuan pun juga terdengar setelahnya."Aku bilang jangan nangis, bego!! Baru segini saja sudah bilang sakit!! Terus menurut kamu apa aku juga tidak sakit, melihat kamu selingkuh dengan lelaki lain, hah?!""Kamu salah sangka. Aku tidak pernah sekali pun selingkuh, Leon. Saat itu Bram cuma mengantarku pulang karena aku lembur sampai larut malam."PLAAAKKK!!Juliet terkesiap ketika mendengar suara nyaring seperti tamparan disertai jeritan kesakitan si perempuan."Kamu bilang cuma mengantar?? CUMA?! DASAR JALANG!!"Suara gusar le
Setelah mentransfer hasil rekaman CCTV sebagai bukti ke dalam ponsel, Virgo pun segera mengirimkan video itu kepada Dokter Dharmawan, psikiater yang menangani kasusnya sejak Virgo masih berusia 10 tahun, tepat ketika kasus yang mirip seperti ini terjadi.Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya yang berantakan, Virgo segera mengganti bajunya yang penuh darah dan mengobati luka di pelipisnya dengan ala kadarnya. Lalu ia segera mengambil kunci mobil untuk pergi mengunjungi Dokter Dharmawan.Suara gonggongan halus itu membuat Virgo seketika menoleh, dan tersenyum saat melihat Theo, si anjing Labrador Retriever berbulu hitam peliharaannya berjalan mendekat dengan ekor yang bergoyang riang.Virgo pun mengelus kepala anjing itu dengan penuh rasa sayang. "Good boy," ucapnya. "Terima kasih, Theo. Karena sudah membantu menyelamatkan wanita itu dari Jeremy. Kamu benar-benar teman yang bisa diandalkan."Theo menjawab dengan gonggongan dan badan yang memutar satu kali, seakan gembira mendengar
"AAGGHHH!!" Teriakan Leon yang terdengar keras penuh kesakitan membuat Juliet terkejut. Maniknya mengerjap kaget saat melihat Matthew yang tiba-tiba saja sudah berada di sini, sedang memiting tangan lelaki yang hendak menampar wajahnya tadi. "Mungkin tanganmu sekalian kupatahkan saja, hm?! Beraninya bajingan sepertimu menyentuh calon istriku!" Geram Matthew dengan manik coklat pasirnga yang menyala-nyala dan raut wajahnya kelam seakan kabut gelap menggantung di wajahnya. Juliet terkesiap ketika mendengar suara derak mengerikan yang menguar di udara, dibarengi dengan jeritan melengking Leon. Gadis bersurai panjang itu pun melirik ke arah Giska yang bersembunyi di belakangnya dengan tubuh gemetar. Ia pasti masih shock, dan sekarang dalam dilema serta ketakutan. "Matthew," panggil Juliet. "Cukup, jangan diteruskan lagi," tegurnya, saat Leon telah jatuh berlutut dengan satu lengannya yang terpuntir dalam posisi janggal. Matthew terlihat belum puas melampiaskan amarahnya dan hendak ber
"Apa yang kamu pikirkan, Muffin?" Juliet seketika tersadar dari lamunannya saat Matthew menegurnya. Gadis itu pun menoleh dan tersenyum manis kepada lelaki tampan yang sedang menyetir di sampingnya. Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil Matthew menuju arah pulang, setelah menyelesaikan masalah antara Giska dan Leon. "Cuma berpikir hal-hal random saja. Tidak terlalu penting sih," kilah gadis itu menjawab pertanyaan Matthew. "Apa boleh aku mengetahui hal-hal random itu?" Tanya Matthew lagi. "Uhm...," Juliet menggaruk lehernya yang tidak gatal sembari meringis. "Bukan hal yang besar, Matthew... hanya saja kejadian antara Giska dan Leon membuatku banyak berpikir saja." Matthew mengecup lembut jemari Juliet yang sejak tadi berada tak lepas di dalam genggamannya. "Memikirkan tentang apa?" Tanya lelaki itu lagi. "Boleh aku tahu, Muffin?" "Ini baru ide saja," sahut gadis itu lagi. "Tapi aku ingin melanjutkan kuliah setelah melahirkan, dengan mengambil konsentrasi Hukum Pidana. K
Virgo tertawa kecil saat mendengar suara bantingan pintu di belakangnya. Pasti Karina melampiaskan rasa gusarnya dengan menghempaskan pintu apartemennya dengan kuat.Lucu juga. Baru kali ini Virgo mendapatkan pintu yang dibanting menutup saat ia keluar dari apartemen seorang gadis, karena biasanya lebih banyak pintu yang terbuka lebar untuknya.Lelaki itu kembali mengenakan masker dan kaca mata hitamnya sebelum melangkah menuju lift di ujung koridor.Ia menghela napas melihat kondisi apartemen yang mulai bobrok dan seperti tidak dipelihara oleh pemiliknya. Apa sebaiknya sekarang saja ia memberikan apartemen baru yang lebih baik untuk Karina ya? Siapa tahu pancingan itu akan membuatnya semakin yakin untuk menerima tawarannya.Lelaki itu masih melangkah sembari berpikir, ketika pintu lift yang masih berjarak sekitar enam meter di depannya tiba-tiba saja terbuka, dan empat orang lelaki bertubuh besar keluar dari dalamnya.Virgo hanya melirik keempat lelaki dengan gerak-gerik mencurigaka
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny
Sienna membuka matanya perlahan ketika merasakan tubuhnya digerakkan dengan lembut. Darren-lah yang melakukannya. Pria itu sedang memindahkan tubuhnya yang sedang asyik tertidur di atas tubuh Darren, untuk direbahkan di kasur lembut. Entah kenapa, kehangatan yang terpancar dari kulit pria itu bisa membuat Sienna rileks hingga akhirnya ia pun terlelap dengan pulas. Otot keras pria itu bertemu dengan tubuhnya yang lembut terasa seperti paduan yang sempurna dan saling melengkapi. "Darren?" Sienna menatap Darren dengan matanya yang masih sayu karena mengantuk, menyiratkan tanya kenapa dirinya dipindahkan. "Kamu jadi terbangun ya? Maaf, Sunshine." Darren mengusap lembut bibir Sienna dan mengecupnya sekilas. "Tidurlah lagi." "Kamu mau kemana?" Tanya Sienna lagi, ketika melihat Darren yang menyelimutinya lalu beranjak turun dari atas ranjang. "Cuma mau ke dapur untuk membuatkan sarapan," sahut pria bersurai pirang itu dengan manik biru lautnya yang cerah dan berkilau penuh senyum m
Sienna keluar dari mobil mewah milik Darren, lalu dengan sengaja membanting pintunya dengan wajah yang masih tertekuk."Kenapa kamu masih saja membawaku ke sini? Aku mau pulang!" Sergah gadis itu dengan kaki yang menghentak kesal dan manik bening dari balik lensa kaca mata yang mendelik ke arah Darren.Padahal Sienna sudah berusaha mengubah sikapnya menjadi agak penurut, dengan membiarkan Darren mengajaknya makan siang dan berjalan-jalan di mal. Sienna bahkan membiarkan pria itu menggandeng tangannya dan memeluknya di tempat umum, mempertontonkan kemesraan layaknya sepasang kekasih.Meskipun Sienna masih tetap tidak menganggap Darren adalah kekasihnya, berbanding terbalik dengan Darren yang sudah mengklaim bahwa Sienna adalah gadisnya.Ia mengira dengan mengikuti apa kemauan pria itu, paling tidak Darren akan mengabulkan permintaannya untuk pulang ke apartemennya. Aaah... Sienna benar-benar rindu dengan situasi kamar dan kasurnya yang empuk. Namun yang justru terjadi saat ini adalah
"Phobia pada kegelapan?" Virgo mengulang pertanyaan Darren sambil berusaha mengingat-ingat.Benar juga, seingatnya dulu saat nereka masih kecil, Sienna memang tidak suka berada di dalam ruangan yang minim cahaya. Apa sekarang pun masih?"Ya. Sienna sangat ketakutan saat berada di dalam suasana yang gelap. Dia... bahkan berada di taraf yang seperti tidak sadar bahwa sudah menyakiti diri sendiri," sahut Darren dengan wajah yang menyiratkan kecemasan."Kamu sepupunya yang paling dekat kan? Apa Sienna pernah bercerita tentang hal itu?"Virgo menggeleng. "Sienna itu cukup tertutup meskipun dari luar terlihat cuek dan berani," cetusnya. "Kami memang cukup dekat sebagai sepupu, tapi tidak sedekat itu untuk menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi."Darren mendesah pelan, kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Virgo benar, Sienna itu gadis yang agak tertutup."Bagaimana dengan masa kecilnya?" Tanya Darren lagi, pantang menyerah. "Apa pernah terjadi sesuatu yang traumatis s
"Heekkhh... hkk... kkhh..."Suara gumanan pelan namun aneh itu membuat tidur lelap Darren pun seketika menjadi terjaga. Perlahan kelopak matanya terbuka, namun tak berapa lama menjadi menyipit bingung, ketika menyadari bahwa ia tidak menemukan seseorang di samping sisi ranjangnya.Kemana Sienna??"Huukkhh..."Suara aneh itu kembali terdengar lagi.Darren pun bergerak untuk beranjak duduk di atas tempat tidurnya sambil menajamkan pendengarannya. Kegelapan yang menyelimuti di sekelilingnya membuatnya tak dapat melihat apa pun.Pria bersurai pirang itu pun memutuskan untuk menyalakan lampu tidur di atas nakas. Bias cahaya kuning lembut pun serta merta memberikan penerangan, meskipun samar-samar.Manik biru laut lelaki itu pun membelalak lebar karena terkejut, ketika menemukan sosok yang ia cari kini tengah duduk di lantai, dengan punggungnya yang bersandar di dinding."Heehkk... uhkk..."Tatapan gadis itu terlihat kosong seperti boneka tanpa nyawa. Bibirnya terbuka, mengeluarkan suara se
"Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Muffin."Juliet hanya bisa meringis mendengar nada dingin yang menguar dari suara maskulin suaminya. Ia sadar bahwa di sini semua kesalahan memang bersumber dari dirinya, namun sungguh, ia tidak pernah menyangka akan menjadi sekacau ini.Ia yang tadinya ingin memberikan kejutan manis untuk suaminya dengan menyelidiki diam-diam tentang Mathilda Wiratama, ternyata malah menyebabkan sahabatnya Sienna dan sepupunya Matthew berada dalam masalah.Hampir saja Sienna diperkosa dan Darren yang nyaris kehilangan nyawa, ketika mereka menjalankan misi yang ia minta!Ya ampun...Wanita bersurai gelap dengan perutnya yang mulai membuncit itu benar-benar menyesal. Tangannya yang sejak tadi menggenggam erat tangan sahabatnya, Sienna, mulai terlihat sedikit gemetar.Saat ini Juliet sedang duduk di atas sofa double seated bersama Sienna, sementara itu Matthew dan Darren masing-masing berada di sofa single."Sienna, Darren... maaf," cicit wanita cantik bersura
Setelah sarapan, Sienna segera mandi dan berpakaian dengan cepat. Cuaca cerah pagi ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin bagi mereka untuk mencari jalan pulang.Setelah hujan sehari semalam, masih tersisa beberapa genangan air di jalanan yang rusak dan becek penuh lumpur.Semoga saja lumpurnya tidak tebal, agar ban mobil mereka tidak terjebak dan malah tidak bisa bergerak.Darren membukakan pintu untuk Sienna, yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh gadis itu.Hanya saja Sienna tidak tahu, bahwa ada seulas senyum simpul penuh arti di wajah tampan lelaki itu."Darren!!" Pekik Sienna sambil mendelik kesal dan mengusap bokongnya yang baru saja mendapatkan cubitan gemas dari Darren.Tawa pelan lelaki itu semakin membuat Sienna kesal, dan gadis itu pun akhirnya masuk ke dalam mobil sambil menghempaskan tubuhnya."Modus!" Cebiknya sembari memutar kedua bola mata. Dasar laki-laki. Dulu saat pertama kali mengenal Darren, Sienna tidak akan pernah menyangka jika lelaki ini sangat mes