CICITAN burung terdengar merdu di pagi ini. Embun merayapi kaki gadis itu membuatnya sedikit kedinginan. Akhir pekan yang indah yang menjadi favoritnya. Hari melepas segala penat yang di cipta oleh rangkaian rumus dan materi pelajaran selama hari lainnya. Stress yang bagai limbah, seperti hanya bisa di daur ulang saat hari libur begini. Ya, mumpung ini hari minggu, Khika menempatkan dirinya di depan TV bersantai ria sambil menonton acara kartun kesukaanya. Ditemani sayup-sayup suara desisan minyak goreng Umi dari dapur.
"Kikha, boleh Umi minta tolong sayang?" tanya Umi lembut. Tanganya sibuk mengaduk penggorengan berisikan pisang goreng super harum berwarna kecoklatan hampir matang.
"Khiskarita Jatmika-nya lagi nonton Shinchan, nggak bisa diganggu, Umii!" celetuk Khika asal sembari nyengir mengungkapkan nama panjangnya sendiri. Ratih terkekeh mendengar jawaban nakal yang khas dari anaknya itu.
"Yakin nih nggak bisa di ganggu? Padahal ada hadiahnya," rayu Ratih mencoba membujuk anaknya yang masih bergoler di karpet depan televisi.
"Yakin Umi," jawab Khika asal lagi. Uminya menggelengkan kepala tak habis pikir. Pisang gorengnya ia tiriskan, kemudian ia sajikan pisang goreng itu di atas sebuah piring dengan lapis tisu untuk menyerap minyak. Sepiring pisang goreng itu akhirnya bertengger lezat di depan Khika yang dibawa Ratih ke muka anak gadisnya itu. Khika langsung menyerbu pisang goreng itu selagi hangat.
"Cepet bageur, Umi cuma titip beli minyak goreng, telur, sama mentega aja di minimarket depan. Kembaliannya buat kamu. Yakin nggak mau nih?" bujuk Umi. Gadis itu menimbang.
"Berapa memang kembaliannya, mi?"
"Cukup buat beli novel kesukaanmu." tawar Ratih yang tau betul bahwa anak keduanya ini gemar sekali membaca novel.
"Bolehlah hehe. Berangkat sekarang nih mi? Apa lusa?" canda Khika manja. Ratih hanya terkekeh melihat tingkah anak gadisnya.
"Lusa aja biar sekalian Umi jitak." imbuh Ratih pura-pura marah.
"Haha, ampun Umi."
"Yaudah, berangkat sanah naik sepeda saja, ini uangnya." Ratih mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan dan diberikan kepada Khika. Bibir mungil gadis itu spontan merekah. Sudah ada dikhayalannya dia beli novel baru dan menambah koleksinya yang kalau kata Umi Ratih sudah persis seperti gudang loak buku-buku saking banyaknya.
"Bentar Umi, aku ganti baju dulu." Khika bangun dari duduknya hendak melangkah ke kamarnya yang berada tepat di samping ruang TV.
"Duh centilnya anak Umi, sudah begitu saja toh cuma kedepan, dekat. Yuk cepetan, Umi mau bikin bolu." sela Ratih. Khika tampak berfikir sejenak.
"Mmm.. Yaudah deh," Putus Khika akhirnya tak jadi masuk kamar. Dia tatap kaos yang ia kenakan---bergambarkan daun clover hijau, sablonannya sudah nyaris pudar. Sedetik dia masih berkeinginan untuk ganti baju tapi umi-nya terus menatapnya manis seolah bilang "ayo pergilah nak, uang kertas warna biru siap menantimu"
Pada akhirnya Khika kalah dimakan godaan uang kertas biru. Berbekal pemikiran jajan tambahan pergilah Khika dengan riang. Menyambangi sepedanya. Bodoh amat deh mau ngegembel juga, yang penting dapet jajan, celetuk Khika dalam hati.
"Oiya, ayah mana mi?" Khika bertanya sambil menggiring sepedanya di garasi siap keluar. Karena sejak pagi tadi Khika belum juga melihat Ayah yang biasanya kalau minggu begini sibuk di depan rumah menanami halaman dengan tomat dan cabai.
"Ayah jenguk bang Ardi sayang, bang Ardi sempat drop, tapi sudah nggak pa-pa, jangan dipikirkan." Mendengar nama bang Ardi disebutkan umi, hati Khika terbaret sedikit dengan rasa sakit. Begitu juga umi yang tampak berusaha tegar agar laranya tak nampak dipermukaan.
"Kenapa kita ga ikut, mi? Aku kangen sama bang Ardi."
"Nanti sayang, nanti pasti kita jenguk bang Ardi lagi sama-sama,"
Ratih menahan pilunya lagi mengingat Ardiansyah putra sulungnya yang kini terkulai tak berdaya di antara elektroda yang memacu jantungnya agar tetap berdetak. Lelaki itu hidup namun keberadaanya seakan tak kasat mata.
"Aku berangkat ya umi," Sahut Khika sambil menggoseh sepedanya lalu pergi, sedikit menyesal karena harus membahas bang Ardi pagi-pagi begini. Dia tau betul umi sedih tadi.
Khika hiraukan perasaan dukanya pada bang Ardi. Ia hiraukan juga kenangannya tentang abangnya itu. Udara pagi ini menjadi fokus utama Khika. Menikmati setiap terpaan angin yang menerbangkan rambutnya. Merasakan kayuhan sepedanya. Baginya ini adalah bentuk refreshing paling sempurna. Udara yang bersih, penuh oksigen. Membuat pikiran Khika lebih fresh ditambah lagi embel-embel dapat uang jajan tambahan. Pagi yang sempurna pikirnya. Tunggu saja siang nanti.
Hanya butuh beberapa menit sampai Khika menginjakan kakinya di minimarket yang punya slogan 'ada dimana-mana' itu. Khika pun segera masuk setelah memarkirkan sepedanya tepat di depan pintu minimarket. Dan hanya butuh beberapa menit juga untuk Khika menyelesaikan tugas belanjanya. Dengan menenteng sebuah kantung plastik putih, Khika pun melangkah keluar dengan lesu. Khika termangun sebentar sambil menghela napas. Jadi cuman segini? Ratap Khika dalam hati. Ia lihat lagi struknya, memang benar segitu. Alih-alih memegang uang kertas lima puluh ribu ternyata akhirnya hanya lima koin perak seharga dua ribu lima ratus rupiahlah yang jadi miliknya. Ini nih yang kata umi cukup untuk beli novel baru? Buat fotokopipun tak mampu. Khika mendengus kesal dan ujung-ujungnya cuma pasrah. Lagi-lagi ... Khika kena di akalin ibunya itu. Ini sih namanya janjimu janji palsu.
"I am a vampire... I am a vampire... I have lost my fang!" Lagu dari Antsy Pantsy berjudul Vampire itu berbunyi nyaring dari ponselnya diikuti getaran dibalik kantung celananya. Ia rogoh dan nama Iwan-lah yang tertera di layar, segera Khika angkat. "Halo, wan."
"Haloo, my man!" teriak satu suara bising dari sebrang telepon. Khika harus menjauhkan sedikit ponselnya, biar nggak budek. Tidak salah lagi ini mah suara Jonjon, bukan suara Iwan.
"Apa Jonjon?" Sahut Khika lesu, sambil menatap pilu ke lima koin berharga yang ada di tangannya.
"Kok tau?"
"Yaiyalah, gue udah kenal betul malahan khatam sama suara lu!"
"Haha, tapi kau salah, aku ini Saepudin. Hahahaha..."
Khika tertawa kecil. Iya juga ya, suara mereka kan persis. "Ya sudahlah, mau suara Jonjon atau Udin sama aja, pasti satu paket keperluanya. Ada apa?"
"Kau ada dimana?" tanya Udin.
"Minimarket deket rumah. Kenapa?"
"Wah kebetulan sekali! Kita titip gel rambut ya, Kha. Buat besok. Kami tak tau gel rambut itu belinya dimana,"
Nggak tau? Khika memutar bola matanya. Hari gini nggak tau tempat beli gel rambut. Khika tau betul si Udin pasti bukan tak tahu tapi malas belinya. Sama halnya dengan mereka, Khika pun malas berdebat dengan duo kembar dan gengnya. Karena baik Jonjon maupun Saepudin lidahnya itu sudah sabuk hitam, pandai sekali bersilat lidah.
"Alasan lama, tapi yaudah oke, Uangnya mana?"
"Dari kau dulu lah wahai temanku..."
"Malas ah kalo gitu,"
"Kalau kupinjamkan satu seri DVD Walking Dead, maukah?" tawar Saepudin.
"Asal season satu sampai season final," tawar Khika lagi.
"Memangnya sudah tamat?" tanya Saepudin ragu.
"Kalau belum tamat, lu yang tamat, nggak gue beliin gel rambut,"
"Hehe janganlah, baiklah sampai tamat." kata Saepudin menyanggupi mantap.
"Setuju tapi kalo ga lengkap..."
"Ckiiit..." Hembusan angin menerpa pipi gadis itu disertai suara rem-an mobil tepat dari arah sampingnya. Suaranya persis seperti di film-film. Sontak Khika melirik cepat kesampingnya. Sebuah mobil sedan hitam tepat bertengger disebelah pundaknya. Jaraknya hanya 5 cm saja, membuat lutut Khika seketika lemas. Kalau saja meleset beberapa centi lagi, dia tak akan ada disini, tapi merintih kesakitan di rumah sakit.
Khika matikan sambungan telponnya. Dia pasang badan. Gadis itu sudah siap mau meracau kalau-kalau si pemilik mobil turun. Di tunggu beberapa detik pemilik mobil tidak juga menunjukan dirinya. Khika sudah emosi di ubun-ubun, dia bentak orang itu dari luar.
"H-hey kamu.." Suara Khika mengecil alih alih membentak dia malah berseru lirih nyaris cuma menyapa, Khika pun berdeham mengembalikan power suaranya. "Ehemm hm... hey anda kalo nyupir yang bener dong! Saya belum mau mati! Ngeri nih hampir keserempet! Tau?!" seru Khika makin lirih, mengarahkan amarahnya pada orang yang ada di dalam mobil itu.
Sementara lelaki di dalam mobil itu seolah sadar tak sadar telah berhenti dan nyaris menyerempet seorang gadis. Dirinya sendiri pun ragu dengan apa yang dilakukan. Pada akhirnya ia meyakinkan diri untuk turun dan melancarkan upayanya. Upaya untuk menghindari hal yang tidak ingin dia hadapi. Namun dia sadar betul, caranya ini sungguh gila. Siapa pun yang melihatnya pasti berpikir bagaimana bisa dia begitu. Sungguh rencana yang tak masuk akal. Sungguh kejadian yang spontan yang membuatnya kaget sendiri karena bisa-bisanya dia melakukan hal konyol seperti ini. Dia langsung sadar kali ini dia benar-benar putus asa dan butuh pertolongan.
Lelaki itu membuka pintu mobilnya kemudian turun dan menghampiri cewek itu dengan tergesa-gesa terkesan agak gusar. Khika jadi ketakutan sendiri melihat tampang cowok itu yang tak ada ramah-ramahnya. Rusuh dan buru-buru.
"Ikut saya! I really need your help!" ucap lelaki dengan aksen bahasa inggris yang rancu di telinga Khika. Lelaki itu menarik tangan Khika, kemudian yang Khika ingat lelaki itu mendorongnya masuk ke dalam mobil, menutup pintu mobil dengan hentakan keras. Dan sadar-sadar, Khika sudah berada di dalam mobilnya tepat disebelah cowok tadi yang memegang kemudi. Badannya yang lemas ikut membuat otaknya lemas. Dia tak bisa berpikir. Semuanya blank di makan oleh kebingungan.
Dia duduk termangun kemudian dia tatap lelaki itu. Lelaki ini nampaknya seumuran dengannya, dia tinggi, sepertinya bukan orang Indonesia atau bisa jadi dia blasteran. Khika sibuk memperhatikan cowok itu dari atas sampai bawah. Perawakannya sangat tinggi, sepatu kets kece, celana jeans juga kece, baju putih dilapis jaket semacam parka warna army yang juga kece. Dan wajahnya, setiap wanita pasti mendambakan punya pacar dengan wajah setampan ini. Makin ditilik makin mirip Nicholas Saputra zaman-zamannya main AADC tapi dengan potongan rambut coklat pendek namun tak bergelombang. Khika berdecak, dia berasa di culik bule. Tunggu dulu... di culik? Khika mulai memutar otaknya ke arah yang benar. Di ambil tiba-tiba dan di bawa pakai mobil secara nggak sadar. Haloooo ini namanya PENCULIKAN!
-------------------
BERSAMBUNG
-------------------
SEKETIKAlelaki itu tancap gas memacu kendaraanya dengan kecepatan tinggi, ikut membawa Khika yang masih kebingungan disampingnya. Gadis mungil itu menatap sepedanya melalui kaca spion mobil. Sepedanya lambat laun makin mengecil dan akhirnya tak terlihat di telan tikungan demi tikungan. Khika kini sadar betul kalau ini penculikan, tapi kalo diculik dia harus ngapain? Khika jadi keblinger sendiri. Otaknya dia paksa berfikir. Aduh, Khika, berpikir berpikir berpikir. Satu ide mencuat tiba-tiba, seharusnya dari tadi dia sudah tau ini. Dia harus teriak. Ya, harus teriak! Khika menepuk-nepuk lututnya yang lemas sambil tarik napas dalam-dalam mengambil ancang-ancang.
Khika masih tak percaya. Diam-diam Khika mengedipkan matanya untuk memastikan minus di matanya tidak bertambah bahwa ini memang kenyataan. Serliya Putri itu bukanlah kenalannya atau tetangga depan rumahnya atau anak saudaranya. Seluruh Indonesia yang rajin nonton TV danupdateinstagram pasti tau siapa sosok gadis ini. Paras cantik itu milik penyanyi terkenal, Serliya Putri. Penyanyi muda yang katanya akango internasional. Penyanyi yang lagunya hits hingga ke negeri Jiran. Khika tau dia
LELAKIitu berjalan disepanjang pelataran parkir Sekolah yang masih sepi ditemani seorang pria tua setengah baya yang memakai jas rapih berambut klimis.Hari ini tepat pukul enam pagi, terlalu dini untuknya datang kesini. Langkah mereka berderap diantara koridor sekolah dan berbelok ke lobby tempat tamu biasa menunggu. Matanya tak lepas dari layar ponsel sampai akhirnya entah mengapa hembusan angin menggiring matanya pada satu sosok yang berjalan lesu dari arah gerbang ke sebu
Emosi Khika bergemuruh, berbanding lurus dengan emosi anak-anak cowok yang nyaris meledak. Jonjon langsung jadi objek tatapan penuh dendam dan pengkhianatan dari para lelaki-lelaki itu. Pantesan dia sama sekali nggak ada perubahan gaya, ternyata begini toh anak barunya. Dasar kutu!"Aku tak pernah bilang kalau dia perempuan ya...," ujar Jonjon tanpa diminta. Para ganteng-ganteng mohak kontan melemparkan apapun ke arah Jonjon. Entah itu penghapus, pensil, pulpen, kertas, apapun yang ada di atas meja mereka. Yang
"BEGO BANGET KHIKA," desis Maurien menyaksikan kengerian yang baru saja terjadi di depan matanya.Sepuluh menit yang lalu sebelum kejadian itu, Khika bersama Maurien, Gita dan Zahra sudah berdiri di lorong menuju kantin, saling lempar melempar pandangan kikuk seolah mempertanyakan kebenaran aksi yang akan Khika lancarkan sebentar lagi.
KECEPATANmulut Jonjon terbukti lebih kilat dibanding kereta api super cepat yang melaju di jalur Shinkansen. Karena belum apa-apa ponsel gadis itu sudah ricuh berdentingan disusupi satu demi satu pesan masuk yang membundah. Padahal baru semenit tadi bokongnya merasakan panasnya alas plastik di kursi angkot. Perjalanannya pun baru sekitar dua ratusan meter dari Sekolah tapi masa iya berita ini sudah heboh. Kan baru tiga pulut menit.'341 chat unread'
KHIKA mendekat juga kearah Vino dengan jantung deg-deg-ser yang rasanya akan meloncat keluar bahkan kalo Vino cuma sekedar bergerak."V-Vin, bayar uang kas, seribu," Khika mencoba.Vino tak menjawab.
"Ka! Kayaknya Vino udah mulai jatuh cinta sama lo!" pekik Zahra tertahan.Kata-kata Zahra itu membuatnya tertegun. Masa iya? Bingkisan ini memang cantik. Ada pitanya pula di tengah. Sampai akhirnya Khika membuka isi bingkisan itu.
Dalam deruan napas yang tersengal Khika sampai dikamar Bang Ardy ditemani Vino yang mengikuti dibelakangnya. Hal yang pertama Khika lihat adalah tangisan Umi dipelukan Ayah. Membuat pikirannya menjalar ke peristiwa terburuk yang mungkin terjadi pada Bang Ardy. Sesungguhnya gadis itu belum siap.Tidak, pokoknya jangan sekarang Ya Tuhan, gumamnya dalam hati.
"Kamu ikut saya aja ya?" kata Vino."Kemana?" tanya Khika lagi."Bantuin tugas saya," jelas Vino sambil mengemudikan mobilnya. Tentu saja kalau untuk membantu Khika bersedia. Gadis itu menyetujuinya. Lalu memberikan kabar pada Umi kalau dia akan terlambat pulang. Tapi nyatanya Umi juga s
Gadis itu kini mengerti, kenapa Vino memilih menghilang setelah ibunya siuman. Lelaki itu memang benar-benar telah dibenci ibunya. Ironisnya, ia dibenci justru karena mengambil keputusan untuk menyelamatkannya hidup ibunya. Satu-satunya pelita dalam hidupnya.Rasanya gadis itu seperti sedang menyelami lubang menganga yang tersembunyi dalam kesempurnaan kehidupan Vino.
VINO baru saja menghadapi kenyataan yang lagi-lagi tak sesuai harapannya. Tanpa ia sadari untuk kesekian kalinya, Ayahnya mampu memegang kendali penuh dalam kehidupannya. Kini Vino dibebankan tugas yang baru, yang pasti akan menyita semua pikiran bahkan waktunya."Saya menolak Pah, kali ini mereka benar, saya terlalu muda untuk jadi CEO," tegas Vino.
ADAM memperhatikan Alexa sedari tadi, ia tampak sempurna dalam senyumnya. Tak ada sedikitpun rasa resah, padahal permandangan kedekatan Vino dan Khika harusnya membuat Alexa jengah. Tapi nyatanya gadis itu santai luar biasa. Adam tak tahan juga lama-lama hanya memandang Alexa, ia memutuskan untuk mendekati gadis yang sedang meneguk winenya itu.
KHIKA terlambat hampir tiga puluh menit dari waktu pembukaan acara jam delapan tadi.Adam menunggunya di depan kamar.
Hari sabtu tiba juga, sudah pagi tapi Khika semalaman malah kepikiran dengan omongan Adam
GADIS itu menghirup aroma teh jahe yang ia senyap setelahnya. Udara sejuk serta senja yang menampakan diri di balkon sore itu menjadi temannya, menyusuri setiap rasa sepi yang menelusup ke hati.
Gadis itu berlari kearah lain. Entah mengapa. Yang lain dengan intuisinya berlari ke bagian depan sekolah, ke tempat yang mereka rasa a