Tiga pasang mata menatapku tajam, seolah-olah aku seorang terpidana yang bersiap menerima hukuman. Tangan dan kakiku dingin; keringat berkucuran membasahi seluruh tubuh. Berkali-kali aku mengubah posisi duduk dengan gelisah.
Tiba-tiba Chun-Ae angkat bicara, "Aku setuju, Sajangnim. Tapi menurutku dia harus kita uji selama dua minggu. Kalau hasilnya buruk, jangan harap bisa bertahan di Byeoul. Bagaimana, Sajangnim?"
"Cih! Berani-beraninya kamu tidak menghormati Sajangnim!"
"Cukup, Lee Yeong-Hyeong." Byun In-Su menengahi. "Aku setuju dengan Chun-Ae."
"Sajangnim, tapi itu tidak adil bagi—"
"Cukup! Akulah yang memutuskan!" Byun In-Su menatap tajam hingga membuat Lee Yeong-Hyeong menunduk.
Pandangan Byun In-Su kembali beralih padaku. "Dua minggu. Itulah waktu ujianmu, Kim Joo-Won."
"Baik, Sajangnim," jawabku gugup sekaligus lega.
"Joo-Won, meskipun kamu berasal dari perusahaan Nok-Saek, jangan pernah menganggap remeh Byeoul. Perusahaan ini selalu berada di posisi puncak di seluruh Korea Selatan selama sepuluh tahun terakhir. Tentu ada alasannya kenapa Byeoul seperti itu. Dan jangan pernah meremehkan divisi yang kupimpin." Chun-Ae berdiri lantas membungkuk pada Byun In-Su. "Saya harus bertemu klien, Sajangnim."
Byun In-Su mengangguk, memberi izin. Sebelum pergi, Chun-Ae melirikku. Aku dapat melihatnya tersenyum sinis sebelum berlalu ke luar ruangan. Namun, suara Sajangnim kembali terdengar.
"Aku akhiri rapat sampai di sini. Tidak ada 'ucapan selamat datang', sebelum kamu lulus dari ujian, Kim Joo-Won."
"Baik."
Setelah itu, kedua petinggi Byeoul tersebut pergi meninggalkanku yang mematung di tempat. Berbagai kegelisahan yang tadi sempat surut, kini kembali menyeruak. Seumur-umur aku belum pernah bekerja seperti posisi yang kududuki sekarang. Apalagi ketiga Direksi mengawasi pekerjaanku. Sedikit saja melakukan kesalahan, sudah dapat dibayangkan risiko yang akan kuhadapi. Namun, berdiam di sini sama sekali tak menyelesaikan persoalan. Aku bangkit dan berjalan ke luar dari ruangan.
Setibanya di luar, Sekretaris Direksi sudah menyambutku. "Manajer Kim Joo-Woon, saya diminta mengantar Anda ke ruangan."
Aku mengangguk, kemudian mengikutinya dari belakang. Ruanganku berada tidak jauh dari Ruang Rapat Direksi. Beberapa menit kemudian aku sudah berada di dalam ruangan.
Ruangan itu tampak megah, berbagai ornamen Korea klasik menghiasi ruangan yang didominasi warna hitam dan krem. Di dekat meja kerjaku terdapat meja dan sofa untuk menerima tamu.
"Silakan, Manajer. Kalau begitu saya izin kembali ke meja saya."
Belum sempat ia berbalik, aku buru-buru menahannya dan membuatnya tersentak.
"Maaf, bukan maksudku mengejutkanmu. Selama bekerja di sini mungkin nantinya kita akan bekerjasama. Sepertinya aneh kalau aku belum mengetahui namamu."
Senyumnya teruntai. "Min-Jung dengan marga Seo."
"Ah, Seo Min-Jung."
Seo Min-Jung mengangguk. "Kalau begitu saya mohon diri, Manajer." Ia pun berlalu ke luar ruangan.
Aku duduk di meja kerja. Aku mengambil tumpukan kertas di atas meja. Satu demi satu kutelisiki isi kertas-kertas tersebut. Namun, tak satu pun yang dapat kupahami. Seorang Manajer yang dibajak, tetapi sama sekali tak layak untuk dibajak. Kalau seperti ini hanya menunggu waktu sampai penyamaranku terbongkar. Itu artinya nyawaku akan melayang hanya dalam dua minggu ke depan.
Tidak. Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku segera mengambil telepon dan meminta semua anak buahku berkumpul di dalam ruangan. Beberapa menit kemudian, enam orang karyawan sudah tiba di dalam ruangan. Mereka terdiri dari 2 orang laki-laki dan 4 orang perempuan.
"Perkenalkan aku Kim Joo-Won. Atasan kalian yang baru di sini. Meskipun aku merupakan atasan kalian, jangan terlalu khawatir denganku. Bahkan anggaplah aku teman kalian jika berada di luar kantor," ucapku memperkenalkan diri.
Berbicara memang keahlianku dari dulu. Hanya saja jika menghadapi situasi seperti di dalam Ruang Rapat Direksi, tentu saja aku menjadi gugup. Namun, siapa pun akan merasakan hal yang sama kalau menghadapi suasana seperti tadi, 'kan?!
Satu demi satu mereka memperkenalkan diri. Namun, di antara mereka ada satu orang yang menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Dia adalah Goo Ha-Neul, perempuan yang memberitahuku meja Sekretaris Direksi. Sepanjang pertemuan itu, ia sama sekali tidak tersenyum dan berbicara seperlunya. Sebagai atasan, aku tak bisa membiarkan suasana dalam divisiku menjadi tidak nyaman. Ketika pertemuan itu selesai, aku menahannya.
"Goo Ha-Neul, tunggu. Ada yang ingin kubicarakan."
Goo Ha-Neul melirikku seraya tersenyum sinis. "Ketahuilah, Kim Joo-Won. Kalau tidak ada kamu di sini, akulah yang seharusnya menjadi Manajer. Jadi, kupastikan kamu tidak akan bertahan lama di Byeoul."
Bersambung
Sebelum Goo Ha-Neul melangkah, aku buru-buru mencekal tangannya.Goo Ha-Neul memandangku, geram. "Apa maksudmu?""Ini bukan ajakan, tapi perintahku sebagai atasan." Aku menatapnya, sungguh-sungguh.Goo Ha-Neul tertegun dan membalas tatapanku. Sedetik kemudian dia terkekeh keras. Aku yakin suaranya terdengar sampai luar ruangan, tetapi tampaknya dia sama sekali tidak peduli."Perintah? Ya, silakan memberi perintah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, supaya aku dapat melaporkanmu." Goo Ha-Neul menepis tanganku, kemudian berjalan ke pintu ruangan.Aku mengejar dan menarik tangannya. Goo Ha-Neul berhenti, melirik sinis. Kali ini dia tampak sangat marah."Harus kukatakan berapa kali?" Dia melirik tanganku.Aku buru-bu
Klise. Mungkin itulah yang dipikirkan ketika mendengar "cinta pada jumpa pertama". Begitulah kenyataan yang terjadi padaku. Ironis. Aku yang seorang playboy dan tak pernah jatuh cinta, justru mengalaminya. Selama ini aku menganggap cinta hanyalah kesenangan tanpa melibatkan perasaan. Namun, di malam itu semua pandanganku tentang "cinta" berubah. Di malam aku bertemu dengannya .... *** Malam hari di tengah Kota Seoul. Di suatu tempat yang kerap membawa pengunjungnya ke dalam ilusi. Sebuah tempat berdesain klasik yang selaras dengan namanya "Classic Seoul". Musik bertempo cepat mengentak tubuh-tubuh berpeluh, memperagakan kepiawaian menari; memikat lawan jenis untuk larut dalam kesenangan. Berbagai minuman tersaji untuk membuai hasrat, luruh ke dalam utopia. Ingar-bingar terhelat sempurna di nightclub tersebut. Seperti biasa, hampir setiap akhir pekan aku selalu ke sana untuk sekadar melepas pe
Aku mulai menggerakkan pinggul maju-mundur, membawa milikku menjelajahi intimnya. Perempuan itu memeluk dan mengusap bahuku. Meskipun ia terpejam, sentuhannya seakan-akan sedang mencurahkan isi hati. Sentuhan lembut, tetapi sepi; sedih; merintih. Seolah-olah ia sedang memohon pertolongan. Tak ada luapan gairah berlebihan, kecuali hanya perasaannya yang dalam. Belum pernah aku bercumbu seperti itu; belum pernah perasaanku bergetar ketika disentuh. Alih-alih mencumbunya dengan liar, aku membalas perasaannya dengan tak kalah lembut. Sambil terus bergerak, kukecup bibirnya dalam-dalam. Desahannya terdengar lirih setiap kali milikku bergerak. Sampai akhirnya, ia mencengkeram punggungku sembari kedua kakinya mengapit pinggangku. Tubuhnya bergelinjang-gelinjang selama beberapa detik, lalu akhirnya terkulai di atas ranjang dengan napas terengah-engah."Thank you," bisiknya seraya mendekapku.***
Aku membaca dokumen-dokumen yang diberikan So Hyun-Jae. Dokumen itu menjelaskan kalau aku akan mendapatkan identitas baru sebagai Manager Keuangan yang dibajak dari perusahaan pesaing. Tugas pertama yang harus dijalankan adalah berusaha mendapatkan kepercayaan Direktur Utama agar dipromosikan menjadi Direktur Keuangan. Dengan begitu, akses keuangan perusahaan terbuka dan dapat dicuri.Sudah jelas kalau pekerjaan itu sangat berat, tetapi imbalannya pun luar biasa. Uang jutaan dollar menanti jika berhasil menuntaskan tugas tersebut. Sebaliknya, kalau gagal akan mendapat sanksi keras. Namun, tidak diterangkan secara detail sanksi yang akan dijatuhkan.Aku mengembalikan kertas-kertas itu ke dalam map, kemudian menatap So Hyun-Jae. "Apa sanksi yang akan diberikan kalau gagal?"Sudut bibir So Hyun-Jae terpantik, lalu menempelkan telunjuknya di pelipisku.
"Hwa-Young ...."Aku membeku menatapnya. Perempuan yang selama ini tak ada kabar; sahabat yang selama ini menghilang, sekarang berada tepat di depanku. Ia Hwa-Young yang sama, tetapi penampilannya tak lagi sama. Perempuan yang berpenampilan tomboy, kini berubah fenimim. Rambutnya yang dulu hitam dan pendek, sekarang kecokelatan dan terurai sepunggung. Kini ia makin cantik dengan make-up natural. Matanya yang lebar; hidungnya yang mungil dan sedikit mancung; serta bibirnya yang tipis, sekarang tampak lebih memesona. Namun, dari semuanya, yang paling berbeda adalah pakaian yang ia kenakan. Hwa-Young yang dulu selalu mengenakan kaus lusuh dan celana jeans sobek, berganti Hwa-Young yang dibalut mini dress ketat dan mempertontonkan lekuk dadanya yang proporsional, pinggang ramping, dan kaki yang jenjang. Inilah Hwa-Young yang sekarang; Hwa-Young yang berhasil membuatku terkesima dengan kecantikannya."Dae-Ho."
"Jangan ceritakan pada orang lain."Hwa-Young melumat bibirku. Bibir kami bertaut, sambil saling menyesap lidah. Tanganku menyelinap ke balik kaus, lalu meremas-remas dadanya. Hwa-Young tak tinggal diam, tangannya merayap mengusap milikku dari balik celana. Paham maksudnya, aku mengubah posisi sampai milikku berhadapan dengan wajahnya, begitupun sebaliknya. Tanpa menunggu lama, ia menurunkan celanaku. Dalam posisi tersebut kami saling memanjakan intim masing-masing. Saat lidah Hwa-Young memberi kehangatan pada milikku, aku menyibak intimnya kemudian membelainya dengan lidahku. Desahannya terdengar makin jelas bersamaan dengan milikku yang makin berdiri kukuh, menunjukkan kami siap memulai sesi utama.Hwa-Young berbalik seraya membelakangiku dengan posisi merangkak."Dae-Ho ...," ucapnya setengah mendesah saat milikku masuk ke dalam intimnya.
Sebelum Goo Ha-Neul melangkah, aku buru-buru mencekal tangannya.Goo Ha-Neul memandangku, geram. "Apa maksudmu?""Ini bukan ajakan, tapi perintahku sebagai atasan." Aku menatapnya, sungguh-sungguh.Goo Ha-Neul tertegun dan membalas tatapanku. Sedetik kemudian dia terkekeh keras. Aku yakin suaranya terdengar sampai luar ruangan, tetapi tampaknya dia sama sekali tidak peduli."Perintah? Ya, silakan memberi perintah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, supaya aku dapat melaporkanmu." Goo Ha-Neul menepis tanganku, kemudian berjalan ke pintu ruangan.Aku mengejar dan menarik tangannya. Goo Ha-Neul berhenti, melirik sinis. Kali ini dia tampak sangat marah."Harus kukatakan berapa kali?" Dia melirik tanganku.Aku buru-bu
Tiga pasang mata menatapku tajam, seolah-olah aku seorang terpidana yang bersiap menerima hukuman. Tangan dan kakiku dingin; keringat berkucuran membasahi seluruh tubuh. Berkali-kali aku mengubah posisi duduk dengan gelisah.Tiba-tiba Chun-Ae angkat bicara, "Aku setuju, Sajangnim. Tapi menurutku dia harus kita uji selama dua minggu. Kalau hasilnya buruk, jangan harap bisa bertahan di Byeoul. Bagaimana, Sajangnim?""Cih! Berani-beraninya kamu tidak menghormati Sajangnim!""Cukup, Lee Yeong-Hyeong." Byun In-Su menengahi. "Aku setuju dengan Chun-Ae.""Sajangnim, tapi itu tidak adil bagi—""Cukup! Akulah yang memutuskan!" Byun In-Su menatap tajam hingga membuat Lee Yeong-Hyeong menunduk.Pandangan Byun In-Su kembali beralih padaku. "Dua minggu. Itulah waktu ujianmu, Ki
"Jangan ceritakan pada orang lain."Hwa-Young melumat bibirku. Bibir kami bertaut, sambil saling menyesap lidah. Tanganku menyelinap ke balik kaus, lalu meremas-remas dadanya. Hwa-Young tak tinggal diam, tangannya merayap mengusap milikku dari balik celana. Paham maksudnya, aku mengubah posisi sampai milikku berhadapan dengan wajahnya, begitupun sebaliknya. Tanpa menunggu lama, ia menurunkan celanaku. Dalam posisi tersebut kami saling memanjakan intim masing-masing. Saat lidah Hwa-Young memberi kehangatan pada milikku, aku menyibak intimnya kemudian membelainya dengan lidahku. Desahannya terdengar makin jelas bersamaan dengan milikku yang makin berdiri kukuh, menunjukkan kami siap memulai sesi utama.Hwa-Young berbalik seraya membelakangiku dengan posisi merangkak."Dae-Ho ...," ucapnya setengah mendesah saat milikku masuk ke dalam intimnya.
"Hwa-Young ...."Aku membeku menatapnya. Perempuan yang selama ini tak ada kabar; sahabat yang selama ini menghilang, sekarang berada tepat di depanku. Ia Hwa-Young yang sama, tetapi penampilannya tak lagi sama. Perempuan yang berpenampilan tomboy, kini berubah fenimim. Rambutnya yang dulu hitam dan pendek, sekarang kecokelatan dan terurai sepunggung. Kini ia makin cantik dengan make-up natural. Matanya yang lebar; hidungnya yang mungil dan sedikit mancung; serta bibirnya yang tipis, sekarang tampak lebih memesona. Namun, dari semuanya, yang paling berbeda adalah pakaian yang ia kenakan. Hwa-Young yang dulu selalu mengenakan kaus lusuh dan celana jeans sobek, berganti Hwa-Young yang dibalut mini dress ketat dan mempertontonkan lekuk dadanya yang proporsional, pinggang ramping, dan kaki yang jenjang. Inilah Hwa-Young yang sekarang; Hwa-Young yang berhasil membuatku terkesima dengan kecantikannya."Dae-Ho."
Aku membaca dokumen-dokumen yang diberikan So Hyun-Jae. Dokumen itu menjelaskan kalau aku akan mendapatkan identitas baru sebagai Manager Keuangan yang dibajak dari perusahaan pesaing. Tugas pertama yang harus dijalankan adalah berusaha mendapatkan kepercayaan Direktur Utama agar dipromosikan menjadi Direktur Keuangan. Dengan begitu, akses keuangan perusahaan terbuka dan dapat dicuri.Sudah jelas kalau pekerjaan itu sangat berat, tetapi imbalannya pun luar biasa. Uang jutaan dollar menanti jika berhasil menuntaskan tugas tersebut. Sebaliknya, kalau gagal akan mendapat sanksi keras. Namun, tidak diterangkan secara detail sanksi yang akan dijatuhkan.Aku mengembalikan kertas-kertas itu ke dalam map, kemudian menatap So Hyun-Jae. "Apa sanksi yang akan diberikan kalau gagal?"Sudut bibir So Hyun-Jae terpantik, lalu menempelkan telunjuknya di pelipisku.
Aku mulai menggerakkan pinggul maju-mundur, membawa milikku menjelajahi intimnya. Perempuan itu memeluk dan mengusap bahuku. Meskipun ia terpejam, sentuhannya seakan-akan sedang mencurahkan isi hati. Sentuhan lembut, tetapi sepi; sedih; merintih. Seolah-olah ia sedang memohon pertolongan. Tak ada luapan gairah berlebihan, kecuali hanya perasaannya yang dalam. Belum pernah aku bercumbu seperti itu; belum pernah perasaanku bergetar ketika disentuh. Alih-alih mencumbunya dengan liar, aku membalas perasaannya dengan tak kalah lembut. Sambil terus bergerak, kukecup bibirnya dalam-dalam. Desahannya terdengar lirih setiap kali milikku bergerak. Sampai akhirnya, ia mencengkeram punggungku sembari kedua kakinya mengapit pinggangku. Tubuhnya bergelinjang-gelinjang selama beberapa detik, lalu akhirnya terkulai di atas ranjang dengan napas terengah-engah."Thank you," bisiknya seraya mendekapku.***
Klise. Mungkin itulah yang dipikirkan ketika mendengar "cinta pada jumpa pertama". Begitulah kenyataan yang terjadi padaku. Ironis. Aku yang seorang playboy dan tak pernah jatuh cinta, justru mengalaminya. Selama ini aku menganggap cinta hanyalah kesenangan tanpa melibatkan perasaan. Namun, di malam itu semua pandanganku tentang "cinta" berubah. Di malam aku bertemu dengannya .... *** Malam hari di tengah Kota Seoul. Di suatu tempat yang kerap membawa pengunjungnya ke dalam ilusi. Sebuah tempat berdesain klasik yang selaras dengan namanya "Classic Seoul". Musik bertempo cepat mengentak tubuh-tubuh berpeluh, memperagakan kepiawaian menari; memikat lawan jenis untuk larut dalam kesenangan. Berbagai minuman tersaji untuk membuai hasrat, luruh ke dalam utopia. Ingar-bingar terhelat sempurna di nightclub tersebut. Seperti biasa, hampir setiap akhir pekan aku selalu ke sana untuk sekadar melepas pe