Aku membaca dokumen-dokumen yang diberikan So Hyun-Jae. Dokumen itu menjelaskan kalau aku akan mendapatkan identitas baru sebagai Manager Keuangan yang dibajak dari perusahaan pesaing. Tugas pertama yang harus dijalankan adalah berusaha mendapatkan kepercayaan Direktur Utama agar dipromosikan menjadi Direktur Keuangan. Dengan begitu, akses keuangan perusahaan terbuka dan dapat dicuri.
Sudah jelas kalau pekerjaan itu sangat berat, tetapi imbalannya pun luar biasa. Uang jutaan dollar menanti jika berhasil menuntaskan tugas tersebut. Sebaliknya, kalau gagal akan mendapat sanksi keras. Namun, tidak diterangkan secara detail sanksi yang akan dijatuhkan.
Aku mengembalikan kertas-kertas itu ke dalam map, kemudian menatap So Hyun-Jae. "Apa sanksi yang akan diberikan kalau gagal?"
Sudut bibir So Hyun-Jae terpantik, lalu menempelkan telunjuknya di pelipisku.
"Bang!"
Jantungku seakan melorot. Bayangan akibat kegagalan pun menyeruak. Siapa yang ingin mati? Siapa orang di dunia ini yang tak sayang nyawa? Tidak seorang pun! Nilai jutaan dollar tak sebanding dengan nyawa yang dipertaruhkan. Sekalipun seluruh uang di dunia dikumpulkan, tidak akan bisa membeli satu nyawa.
Aku beranjak dan berjalan ke pintu, tetapi tiba-tiba terdengar suara besi terpantik.
"Kamu sudah terlalu banyak tahu." So Hyun-Jae menodongkan pistol ke arahku.
"Hei! Aku belum menandatangani apa pun!"
So Hyun-Jae menyeringai. "Tanda tangan itu hanya formalitas. Sejak kamu membaca dokumen, hidupmu sudah terikat perjanjian."
"Tapi ka—"
So Hyun-Jae mengokang pistolnya. "Aku beri waktu lima detik. Satu ... dua ... tiga ...."
Seluruh tubuhku bergetar hebat. Pikiranku kalut dan tak bisa berpikir jernih. Hanya dalam hitungan detik nyawaku bisa melayang.
"Empat ...."
"Baik! Baik! Akan kutandatangani! seruku, panik.
"Pilihan cerdas." Ia mengambil berkas lain dari dalam tas lalu melemparkannya ke atas meja. "Lakukan."
Malam itu akhirnya aku menandatangani Kontrak Hidup-Mati, tanpa mengetahui siapa So Hyun-jae sebenarnya; apa tujuannya; dan bagaimana ia bisa mengatur posisiku di dalam Byeoul. Satu hal yang pasti, So Hyun-Jae merupakan orang dalam yang memiliki posisi penting.
***
Keesokan harinya So Hyun-Jae memberi fasilitas apartemen dan mobil mewah. Semua itu diberikan agar aku dipandang layak sebagai orang yang berkompeten untuk ditarik ke dalam Byeoul dan tidak menimbulkan kecurigaan orang lain.
Sekarang aku dan Chin-Hae sedang memindahkan barang-barang ke apartemen baru. Aku tidak menceritakan kejadian kemarin pada Chin-Hae lantaran terdapat poin di dalam kontrak yang melarangnya.
"Apa kamu tidak curiga kenapa dia memberikan semua fasilitas ini?" Chin-Hae meletakkan kardus di lantai.
"Kurasa karena aku berhasil melalui tes yang diberikan kemarin," jawabku, gugup.
Chin-Hae mengangkat sebelah alis. "Tes?"
"Iya. Banyak sekali tes yang harus aku kerjakan kemarin."
Chin-Hae tertegun seraya menatapku. "Yah, dari dulu kamu memang pintar. Tapi tetap saja aneh. Bidang yang kamu kuasai tidak sesuai dengan Byeoul."
"Hanya tes umum, Chin-Hae."
Chin-Hae menghela napas. "Ah, sudahlah. Yang jelas aku senang kamu mendapatkan pekerjaan itu."
Chin-Hae memang sahabat terbaik. Meskipun pekerjaan itu ditawarkan padanya terlebih dahulu, ia tidak menyesal. Kami memang sudah bersahabat sejak lama. Aku, Chin-Hae dan Hwa-Young selalu bersama-sama. Namun, akhirnya kami harus berpisah dengan Hwa-Young yang melanjutkan kuliah di Perancis. Sejak itu kami tidak pernah mendengar kabar Hwa-Young. Kami tidak tahu yang terjadi, tetapi aku dan Chin-Hae selalu berharap suatu saat akan bertemu dengannya lagi.
Chin-Hae merentangkan kedua tangannya ke samping, kemudian mengedarkan pandangan. "Kurasa sudah semua."
"Yap. Biarkan aku yang merapikannya sendiri, Chin-Hae."
Chin-Hae melihat jam tangannya. "Siang ini aku janjian makan siang dengan Seo-Yun."
Aku tersenyum. "Kalau begitu jangan biarkan pacarmu menunggu, Kawan."
Chin-Hae tertawa kecil. "Tentu tidak. Aku laki-laki setia dan bukan playboy seperti kamu."
"Ah, kamu ..., sudah sana!" Aku mendorongnya ke pintu keluar.
Setibanya di pintu, Chin-Hae tersenyum lebar. "Oke, kabari aku kalau kamu perlu bantuan."
Tanpa menunggu jawaban, ia berlalu meninggalkanku. Aku tersenyum melihatnya dari jauh. Ketika hendak masuk ke dalam unit, tiba-tiba ponselku berbunyi.
"So Hyun-Jae ...," gumamku membaca nama pengirim pesan. Aku pun segera membuka pesannya.
So Hyun-Jae: Bagaimana hari pertamamu di apartemen itu?
Dae-Ho: Bagus.
So Hyun-Jae: Masih ada fasilitas lainnya.
Dae-Ho: Maksudnya?
So Hyun-Jae: Aku baru mengirimkan uang ke rekeningmu. Pakailah untuk membeli baju baru. Jangan sampai besok kamu datang ke Byeoul dengan pakaian seperti kemarin. Nanti tidak akan ada orang yang percaya denganmu.
Dae-Ho: Terima kasih.
So Hyun-Jae: Tidak perlu. Aku melakukannya bukan untukmu. Kamu tahu itu, 'kan?!"
Dae-Ho: Aku paham.
So Hyun-Jae: Bagus. Pastikan semua berjalan sesuai rencana. Jangan hubungi aku, sebelum aku menghubungimu lebih dulu.
Itulah pesan terakhirnya. Pekerjaan ini memang penuh risiko, tetapi semua sudah terjadi. Lebih baik sekarang aku menikmatinya. Besok aku harus bekerja sesuai rencana. Demi nyawaku dan juga mencari gadis itu.
Aku mengambil sweater lalu keluar dari dalam unit. Namun, baru saja berjalan beberapa langkah, terdengar suara seseorang yang memanggil.
"Park Dae-Ho?"
Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Kulihat seorang perempuan berdiri di depan unit yang ada di seberang unitku. Ia sudah sangat kukenal. Ya. Ia adalah ....
Bersambung
"Hwa-Young ...."Aku membeku menatapnya. Perempuan yang selama ini tak ada kabar; sahabat yang selama ini menghilang, sekarang berada tepat di depanku. Ia Hwa-Young yang sama, tetapi penampilannya tak lagi sama. Perempuan yang berpenampilan tomboy, kini berubah fenimim. Rambutnya yang dulu hitam dan pendek, sekarang kecokelatan dan terurai sepunggung. Kini ia makin cantik dengan make-up natural. Matanya yang lebar; hidungnya yang mungil dan sedikit mancung; serta bibirnya yang tipis, sekarang tampak lebih memesona. Namun, dari semuanya, yang paling berbeda adalah pakaian yang ia kenakan. Hwa-Young yang dulu selalu mengenakan kaus lusuh dan celana jeans sobek, berganti Hwa-Young yang dibalut mini dress ketat dan mempertontonkan lekuk dadanya yang proporsional, pinggang ramping, dan kaki yang jenjang. Inilah Hwa-Young yang sekarang; Hwa-Young yang berhasil membuatku terkesima dengan kecantikannya."Dae-Ho."
"Jangan ceritakan pada orang lain."Hwa-Young melumat bibirku. Bibir kami bertaut, sambil saling menyesap lidah. Tanganku menyelinap ke balik kaus, lalu meremas-remas dadanya. Hwa-Young tak tinggal diam, tangannya merayap mengusap milikku dari balik celana. Paham maksudnya, aku mengubah posisi sampai milikku berhadapan dengan wajahnya, begitupun sebaliknya. Tanpa menunggu lama, ia menurunkan celanaku. Dalam posisi tersebut kami saling memanjakan intim masing-masing. Saat lidah Hwa-Young memberi kehangatan pada milikku, aku menyibak intimnya kemudian membelainya dengan lidahku. Desahannya terdengar makin jelas bersamaan dengan milikku yang makin berdiri kukuh, menunjukkan kami siap memulai sesi utama.Hwa-Young berbalik seraya membelakangiku dengan posisi merangkak."Dae-Ho ...," ucapnya setengah mendesah saat milikku masuk ke dalam intimnya.
Tiga pasang mata menatapku tajam, seolah-olah aku seorang terpidana yang bersiap menerima hukuman. Tangan dan kakiku dingin; keringat berkucuran membasahi seluruh tubuh. Berkali-kali aku mengubah posisi duduk dengan gelisah.Tiba-tiba Chun-Ae angkat bicara, "Aku setuju, Sajangnim. Tapi menurutku dia harus kita uji selama dua minggu. Kalau hasilnya buruk, jangan harap bisa bertahan di Byeoul. Bagaimana, Sajangnim?""Cih! Berani-beraninya kamu tidak menghormati Sajangnim!""Cukup, Lee Yeong-Hyeong." Byun In-Su menengahi. "Aku setuju dengan Chun-Ae.""Sajangnim, tapi itu tidak adil bagi—""Cukup! Akulah yang memutuskan!" Byun In-Su menatap tajam hingga membuat Lee Yeong-Hyeong menunduk.Pandangan Byun In-Su kembali beralih padaku. "Dua minggu. Itulah waktu ujianmu, Ki
Sebelum Goo Ha-Neul melangkah, aku buru-buru mencekal tangannya.Goo Ha-Neul memandangku, geram. "Apa maksudmu?""Ini bukan ajakan, tapi perintahku sebagai atasan." Aku menatapnya, sungguh-sungguh.Goo Ha-Neul tertegun dan membalas tatapanku. Sedetik kemudian dia terkekeh keras. Aku yakin suaranya terdengar sampai luar ruangan, tetapi tampaknya dia sama sekali tidak peduli."Perintah? Ya, silakan memberi perintah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, supaya aku dapat melaporkanmu." Goo Ha-Neul menepis tanganku, kemudian berjalan ke pintu ruangan.Aku mengejar dan menarik tangannya. Goo Ha-Neul berhenti, melirik sinis. Kali ini dia tampak sangat marah."Harus kukatakan berapa kali?" Dia melirik tanganku.Aku buru-bu
Klise. Mungkin itulah yang dipikirkan ketika mendengar "cinta pada jumpa pertama". Begitulah kenyataan yang terjadi padaku. Ironis. Aku yang seorang playboy dan tak pernah jatuh cinta, justru mengalaminya. Selama ini aku menganggap cinta hanyalah kesenangan tanpa melibatkan perasaan. Namun, di malam itu semua pandanganku tentang "cinta" berubah. Di malam aku bertemu dengannya .... *** Malam hari di tengah Kota Seoul. Di suatu tempat yang kerap membawa pengunjungnya ke dalam ilusi. Sebuah tempat berdesain klasik yang selaras dengan namanya "Classic Seoul". Musik bertempo cepat mengentak tubuh-tubuh berpeluh, memperagakan kepiawaian menari; memikat lawan jenis untuk larut dalam kesenangan. Berbagai minuman tersaji untuk membuai hasrat, luruh ke dalam utopia. Ingar-bingar terhelat sempurna di nightclub tersebut. Seperti biasa, hampir setiap akhir pekan aku selalu ke sana untuk sekadar melepas pe
Aku mulai menggerakkan pinggul maju-mundur, membawa milikku menjelajahi intimnya. Perempuan itu memeluk dan mengusap bahuku. Meskipun ia terpejam, sentuhannya seakan-akan sedang mencurahkan isi hati. Sentuhan lembut, tetapi sepi; sedih; merintih. Seolah-olah ia sedang memohon pertolongan. Tak ada luapan gairah berlebihan, kecuali hanya perasaannya yang dalam. Belum pernah aku bercumbu seperti itu; belum pernah perasaanku bergetar ketika disentuh. Alih-alih mencumbunya dengan liar, aku membalas perasaannya dengan tak kalah lembut. Sambil terus bergerak, kukecup bibirnya dalam-dalam. Desahannya terdengar lirih setiap kali milikku bergerak. Sampai akhirnya, ia mencengkeram punggungku sembari kedua kakinya mengapit pinggangku. Tubuhnya bergelinjang-gelinjang selama beberapa detik, lalu akhirnya terkulai di atas ranjang dengan napas terengah-engah."Thank you," bisiknya seraya mendekapku.***
Sebelum Goo Ha-Neul melangkah, aku buru-buru mencekal tangannya.Goo Ha-Neul memandangku, geram. "Apa maksudmu?""Ini bukan ajakan, tapi perintahku sebagai atasan." Aku menatapnya, sungguh-sungguh.Goo Ha-Neul tertegun dan membalas tatapanku. Sedetik kemudian dia terkekeh keras. Aku yakin suaranya terdengar sampai luar ruangan, tetapi tampaknya dia sama sekali tidak peduli."Perintah? Ya, silakan memberi perintah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, supaya aku dapat melaporkanmu." Goo Ha-Neul menepis tanganku, kemudian berjalan ke pintu ruangan.Aku mengejar dan menarik tangannya. Goo Ha-Neul berhenti, melirik sinis. Kali ini dia tampak sangat marah."Harus kukatakan berapa kali?" Dia melirik tanganku.Aku buru-bu
Tiga pasang mata menatapku tajam, seolah-olah aku seorang terpidana yang bersiap menerima hukuman. Tangan dan kakiku dingin; keringat berkucuran membasahi seluruh tubuh. Berkali-kali aku mengubah posisi duduk dengan gelisah.Tiba-tiba Chun-Ae angkat bicara, "Aku setuju, Sajangnim. Tapi menurutku dia harus kita uji selama dua minggu. Kalau hasilnya buruk, jangan harap bisa bertahan di Byeoul. Bagaimana, Sajangnim?""Cih! Berani-beraninya kamu tidak menghormati Sajangnim!""Cukup, Lee Yeong-Hyeong." Byun In-Su menengahi. "Aku setuju dengan Chun-Ae.""Sajangnim, tapi itu tidak adil bagi—""Cukup! Akulah yang memutuskan!" Byun In-Su menatap tajam hingga membuat Lee Yeong-Hyeong menunduk.Pandangan Byun In-Su kembali beralih padaku. "Dua minggu. Itulah waktu ujianmu, Ki
"Jangan ceritakan pada orang lain."Hwa-Young melumat bibirku. Bibir kami bertaut, sambil saling menyesap lidah. Tanganku menyelinap ke balik kaus, lalu meremas-remas dadanya. Hwa-Young tak tinggal diam, tangannya merayap mengusap milikku dari balik celana. Paham maksudnya, aku mengubah posisi sampai milikku berhadapan dengan wajahnya, begitupun sebaliknya. Tanpa menunggu lama, ia menurunkan celanaku. Dalam posisi tersebut kami saling memanjakan intim masing-masing. Saat lidah Hwa-Young memberi kehangatan pada milikku, aku menyibak intimnya kemudian membelainya dengan lidahku. Desahannya terdengar makin jelas bersamaan dengan milikku yang makin berdiri kukuh, menunjukkan kami siap memulai sesi utama.Hwa-Young berbalik seraya membelakangiku dengan posisi merangkak."Dae-Ho ...," ucapnya setengah mendesah saat milikku masuk ke dalam intimnya.
"Hwa-Young ...."Aku membeku menatapnya. Perempuan yang selama ini tak ada kabar; sahabat yang selama ini menghilang, sekarang berada tepat di depanku. Ia Hwa-Young yang sama, tetapi penampilannya tak lagi sama. Perempuan yang berpenampilan tomboy, kini berubah fenimim. Rambutnya yang dulu hitam dan pendek, sekarang kecokelatan dan terurai sepunggung. Kini ia makin cantik dengan make-up natural. Matanya yang lebar; hidungnya yang mungil dan sedikit mancung; serta bibirnya yang tipis, sekarang tampak lebih memesona. Namun, dari semuanya, yang paling berbeda adalah pakaian yang ia kenakan. Hwa-Young yang dulu selalu mengenakan kaus lusuh dan celana jeans sobek, berganti Hwa-Young yang dibalut mini dress ketat dan mempertontonkan lekuk dadanya yang proporsional, pinggang ramping, dan kaki yang jenjang. Inilah Hwa-Young yang sekarang; Hwa-Young yang berhasil membuatku terkesima dengan kecantikannya."Dae-Ho."
Aku membaca dokumen-dokumen yang diberikan So Hyun-Jae. Dokumen itu menjelaskan kalau aku akan mendapatkan identitas baru sebagai Manager Keuangan yang dibajak dari perusahaan pesaing. Tugas pertama yang harus dijalankan adalah berusaha mendapatkan kepercayaan Direktur Utama agar dipromosikan menjadi Direktur Keuangan. Dengan begitu, akses keuangan perusahaan terbuka dan dapat dicuri.Sudah jelas kalau pekerjaan itu sangat berat, tetapi imbalannya pun luar biasa. Uang jutaan dollar menanti jika berhasil menuntaskan tugas tersebut. Sebaliknya, kalau gagal akan mendapat sanksi keras. Namun, tidak diterangkan secara detail sanksi yang akan dijatuhkan.Aku mengembalikan kertas-kertas itu ke dalam map, kemudian menatap So Hyun-Jae. "Apa sanksi yang akan diberikan kalau gagal?"Sudut bibir So Hyun-Jae terpantik, lalu menempelkan telunjuknya di pelipisku.
Aku mulai menggerakkan pinggul maju-mundur, membawa milikku menjelajahi intimnya. Perempuan itu memeluk dan mengusap bahuku. Meskipun ia terpejam, sentuhannya seakan-akan sedang mencurahkan isi hati. Sentuhan lembut, tetapi sepi; sedih; merintih. Seolah-olah ia sedang memohon pertolongan. Tak ada luapan gairah berlebihan, kecuali hanya perasaannya yang dalam. Belum pernah aku bercumbu seperti itu; belum pernah perasaanku bergetar ketika disentuh. Alih-alih mencumbunya dengan liar, aku membalas perasaannya dengan tak kalah lembut. Sambil terus bergerak, kukecup bibirnya dalam-dalam. Desahannya terdengar lirih setiap kali milikku bergerak. Sampai akhirnya, ia mencengkeram punggungku sembari kedua kakinya mengapit pinggangku. Tubuhnya bergelinjang-gelinjang selama beberapa detik, lalu akhirnya terkulai di atas ranjang dengan napas terengah-engah."Thank you," bisiknya seraya mendekapku.***
Klise. Mungkin itulah yang dipikirkan ketika mendengar "cinta pada jumpa pertama". Begitulah kenyataan yang terjadi padaku. Ironis. Aku yang seorang playboy dan tak pernah jatuh cinta, justru mengalaminya. Selama ini aku menganggap cinta hanyalah kesenangan tanpa melibatkan perasaan. Namun, di malam itu semua pandanganku tentang "cinta" berubah. Di malam aku bertemu dengannya .... *** Malam hari di tengah Kota Seoul. Di suatu tempat yang kerap membawa pengunjungnya ke dalam ilusi. Sebuah tempat berdesain klasik yang selaras dengan namanya "Classic Seoul". Musik bertempo cepat mengentak tubuh-tubuh berpeluh, memperagakan kepiawaian menari; memikat lawan jenis untuk larut dalam kesenangan. Berbagai minuman tersaji untuk membuai hasrat, luruh ke dalam utopia. Ingar-bingar terhelat sempurna di nightclub tersebut. Seperti biasa, hampir setiap akhir pekan aku selalu ke sana untuk sekadar melepas pe