Klise. Mungkin itulah yang dipikirkan ketika mendengar "cinta pada jumpa pertama". Begitulah kenyataan yang terjadi padaku. Ironis. Aku yang seorang playboy dan tak pernah jatuh cinta, justru mengalaminya. Selama ini aku menganggap cinta hanyalah kesenangan tanpa melibatkan perasaan. Namun, di malam itu semua pandanganku tentang "cinta" berubah. Di malam aku bertemu dengannya ....
***
Malam hari di tengah Kota Seoul. Di suatu tempat yang kerap membawa pengunjungnya ke dalam ilusi. Sebuah tempat berdesain klasik yang selaras dengan namanya "Classic Seoul".
Musik bertempo cepat mengentak tubuh-tubuh berpeluh, memperagakan kepiawaian menari; memikat lawan jenis untuk larut dalam kesenangan. Berbagai minuman tersaji untuk membuai hasrat, luruh ke dalam utopia. Ingar-bingar terhelat sempurna di nightclub tersebut.
Seperti biasa, hampir setiap akhir pekan aku selalu ke sana untuk sekadar melepas penat dan bersenang-senang. Tentu saja dengan menenggak minuman keras dan perempuan. Aku yang baru saja tiba segera duduk di depan meja bar. Melihat kedatanganku Bartender pun tersenyum.
"Minuman seperti biasa?"
"Yap," jawabku sambil memunggunginya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tidak seperti biasanya, malam itu perempuan-perempuan di sana sudah memiliki pasangan. Kalaupun ada yang sendiri, tidak cukup membuatku tertarik.
Tak terasa waktu berlalu demikian cepat; gelas demi gelas pun sudah habis kutenggak. Pandanganku mulai kabur, meski masih cukup sadar untuk menikmati hiburan malam. Sayang, masih tidak ada perempuan yang berhasil memantik gairah.
Aku menghela napas seraya mengambil dompet. "Berapa semua—"
"Pesan Jack Daniels."
Suara itu menginterupsiku. Aku pun menoleh dan melihat seorang perempuan berpakaian hitam baru saja duduk di sebelahku. Meskipun pandanganku terpengaruh alkohol, aku yakin kalau ia perempuan yang sangat cantik.
"Mohon ditunggu," tukas Bartender.
"Suka jenis whiskey?" tanyaku, membuka pembicaraan.
Perempuan itu tersenyum canggung sebelum mengalihkan pandangan pada Bartender yang mengantar pesanannya.
"Apa kamu tahu kalau whiskey bisa meningkatkan keberuntungan?" tanyaku, mencoba kembali.
Perempuan tersebut menggeleng. "Benarkah?"
Aku mengambil botol minum pesanannya. "Boleh?"
Ia tersenyum dan mengangguk.
Setelah aku menenggak minuman, ia bertanya, "Jadi?"
Aku tersenyum sambil memandangnya. "Sekarang aku benar-benar beruntung bertemu perempuan cantik sepertimu."
Ia tertawa kecil. "Pick-up line" tersebut berhasil mencairkan suasana. Malam itu kami melewati waktu bersama; menenggak gelas demi gelas, botol demi botol. Sampai akhirnya ia jatuh di pelukanku. Di sebuah kamar hotel ....
Perempuan itu telentang di ranjang. Bibir kami saling bertautan dan melumat dalam-dalam. Kubelai pipinya dengan lembut lalu merayap ke bawah sampai tiba di dadanya yang membusung. Perlahan-lahan kuremas dadanya hingga ia mendesah lirih. Desahan itu memancing gairahku. Aku pun segera melepaskan pakaiannya sampai tubuh elok perempuan tersebut membuatku terkesiap. Sudah banyak perempuan cantik yang melewatkan malam bersamaku, tetapi tak satu pun yang menyamainya.
Pandanganku menyapu setiap bagian tubuhnya yang indah. Ia memiliki sepasang gunung gelatin yang bergelayut manja di dadanya; pinggangnya melekuk sempurna bak gelas bertangkai; daerah intimnya pun sangat memesona. Walaupun memiliki kulit putih dan jernih, terdapat tanda lahir di paha kanan bagian dalam, di dekat daerah intimnya.
Melihat keindahan tersebut, membangkitkan milikku. Hal itu tidak lolos dari perhatiannya. Dengan lincah tangannya menarik turun celanaku, sampai akhirnya milikku tampil utuh di hadapannya. Matanya melebar, memandang milikku yang telah berdiri kukuh, bersiap menerima cumbuannya. Perlahan-lahan lidahnya mulai menari, membasahi tiap inci milikku sebelum akhirnya memasukannya ke dalam mulut. Kemudian ia mengisap dan mengulum milikku, memompa gairah menuju puncak. Cumbuannya tak ayal membuat milikku berdenyut pelan, memberi sinyal kalau ia meminta lebih dari sekadar itu.
Kurebahkan ia ke ranjang. Tanpa menunggu lama lidahku mengusap lembut dadanya yang proporsional dan padat. Sesekali aku mengulum dan mengigit kecil buah cherry di dadanya. Kenikmatan demi kenikmatan yang dirasakan, membuat tubuhnya bergelinjang; desahannya pun terdengar makin jelas.
Ia memandangku lamat-lamat, seakan-akan meminta sesi puncak agar segera dimulai. Aku pun segera mengarahkan milikku ke bagian intimnya. Dengan sedikit dorongan, milikku menyeruak masuk ke dalam.
Ia terpejam seraya mendesah, "Aaahm ...."
Bersambung
Aku mulai menggerakkan pinggul maju-mundur, membawa milikku menjelajahi intimnya. Perempuan itu memeluk dan mengusap bahuku. Meskipun ia terpejam, sentuhannya seakan-akan sedang mencurahkan isi hati. Sentuhan lembut, tetapi sepi; sedih; merintih. Seolah-olah ia sedang memohon pertolongan. Tak ada luapan gairah berlebihan, kecuali hanya perasaannya yang dalam. Belum pernah aku bercumbu seperti itu; belum pernah perasaanku bergetar ketika disentuh. Alih-alih mencumbunya dengan liar, aku membalas perasaannya dengan tak kalah lembut. Sambil terus bergerak, kukecup bibirnya dalam-dalam. Desahannya terdengar lirih setiap kali milikku bergerak. Sampai akhirnya, ia mencengkeram punggungku sembari kedua kakinya mengapit pinggangku. Tubuhnya bergelinjang-gelinjang selama beberapa detik, lalu akhirnya terkulai di atas ranjang dengan napas terengah-engah."Thank you," bisiknya seraya mendekapku.***
Aku membaca dokumen-dokumen yang diberikan So Hyun-Jae. Dokumen itu menjelaskan kalau aku akan mendapatkan identitas baru sebagai Manager Keuangan yang dibajak dari perusahaan pesaing. Tugas pertama yang harus dijalankan adalah berusaha mendapatkan kepercayaan Direktur Utama agar dipromosikan menjadi Direktur Keuangan. Dengan begitu, akses keuangan perusahaan terbuka dan dapat dicuri.Sudah jelas kalau pekerjaan itu sangat berat, tetapi imbalannya pun luar biasa. Uang jutaan dollar menanti jika berhasil menuntaskan tugas tersebut. Sebaliknya, kalau gagal akan mendapat sanksi keras. Namun, tidak diterangkan secara detail sanksi yang akan dijatuhkan.Aku mengembalikan kertas-kertas itu ke dalam map, kemudian menatap So Hyun-Jae. "Apa sanksi yang akan diberikan kalau gagal?"Sudut bibir So Hyun-Jae terpantik, lalu menempelkan telunjuknya di pelipisku.
"Hwa-Young ...."Aku membeku menatapnya. Perempuan yang selama ini tak ada kabar; sahabat yang selama ini menghilang, sekarang berada tepat di depanku. Ia Hwa-Young yang sama, tetapi penampilannya tak lagi sama. Perempuan yang berpenampilan tomboy, kini berubah fenimim. Rambutnya yang dulu hitam dan pendek, sekarang kecokelatan dan terurai sepunggung. Kini ia makin cantik dengan make-up natural. Matanya yang lebar; hidungnya yang mungil dan sedikit mancung; serta bibirnya yang tipis, sekarang tampak lebih memesona. Namun, dari semuanya, yang paling berbeda adalah pakaian yang ia kenakan. Hwa-Young yang dulu selalu mengenakan kaus lusuh dan celana jeans sobek, berganti Hwa-Young yang dibalut mini dress ketat dan mempertontonkan lekuk dadanya yang proporsional, pinggang ramping, dan kaki yang jenjang. Inilah Hwa-Young yang sekarang; Hwa-Young yang berhasil membuatku terkesima dengan kecantikannya."Dae-Ho."
"Jangan ceritakan pada orang lain."Hwa-Young melumat bibirku. Bibir kami bertaut, sambil saling menyesap lidah. Tanganku menyelinap ke balik kaus, lalu meremas-remas dadanya. Hwa-Young tak tinggal diam, tangannya merayap mengusap milikku dari balik celana. Paham maksudnya, aku mengubah posisi sampai milikku berhadapan dengan wajahnya, begitupun sebaliknya. Tanpa menunggu lama, ia menurunkan celanaku. Dalam posisi tersebut kami saling memanjakan intim masing-masing. Saat lidah Hwa-Young memberi kehangatan pada milikku, aku menyibak intimnya kemudian membelainya dengan lidahku. Desahannya terdengar makin jelas bersamaan dengan milikku yang makin berdiri kukuh, menunjukkan kami siap memulai sesi utama.Hwa-Young berbalik seraya membelakangiku dengan posisi merangkak."Dae-Ho ...," ucapnya setengah mendesah saat milikku masuk ke dalam intimnya.
Tiga pasang mata menatapku tajam, seolah-olah aku seorang terpidana yang bersiap menerima hukuman. Tangan dan kakiku dingin; keringat berkucuran membasahi seluruh tubuh. Berkali-kali aku mengubah posisi duduk dengan gelisah.Tiba-tiba Chun-Ae angkat bicara, "Aku setuju, Sajangnim. Tapi menurutku dia harus kita uji selama dua minggu. Kalau hasilnya buruk, jangan harap bisa bertahan di Byeoul. Bagaimana, Sajangnim?""Cih! Berani-beraninya kamu tidak menghormati Sajangnim!""Cukup, Lee Yeong-Hyeong." Byun In-Su menengahi. "Aku setuju dengan Chun-Ae.""Sajangnim, tapi itu tidak adil bagi—""Cukup! Akulah yang memutuskan!" Byun In-Su menatap tajam hingga membuat Lee Yeong-Hyeong menunduk.Pandangan Byun In-Su kembali beralih padaku. "Dua minggu. Itulah waktu ujianmu, Ki
Sebelum Goo Ha-Neul melangkah, aku buru-buru mencekal tangannya.Goo Ha-Neul memandangku, geram. "Apa maksudmu?""Ini bukan ajakan, tapi perintahku sebagai atasan." Aku menatapnya, sungguh-sungguh.Goo Ha-Neul tertegun dan membalas tatapanku. Sedetik kemudian dia terkekeh keras. Aku yakin suaranya terdengar sampai luar ruangan, tetapi tampaknya dia sama sekali tidak peduli."Perintah? Ya, silakan memberi perintah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, supaya aku dapat melaporkanmu." Goo Ha-Neul menepis tanganku, kemudian berjalan ke pintu ruangan.Aku mengejar dan menarik tangannya. Goo Ha-Neul berhenti, melirik sinis. Kali ini dia tampak sangat marah."Harus kukatakan berapa kali?" Dia melirik tanganku.Aku buru-bu
Sebelum Goo Ha-Neul melangkah, aku buru-buru mencekal tangannya.Goo Ha-Neul memandangku, geram. "Apa maksudmu?""Ini bukan ajakan, tapi perintahku sebagai atasan." Aku menatapnya, sungguh-sungguh.Goo Ha-Neul tertegun dan membalas tatapanku. Sedetik kemudian dia terkekeh keras. Aku yakin suaranya terdengar sampai luar ruangan, tetapi tampaknya dia sama sekali tidak peduli."Perintah? Ya, silakan memberi perintah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, supaya aku dapat melaporkanmu." Goo Ha-Neul menepis tanganku, kemudian berjalan ke pintu ruangan.Aku mengejar dan menarik tangannya. Goo Ha-Neul berhenti, melirik sinis. Kali ini dia tampak sangat marah."Harus kukatakan berapa kali?" Dia melirik tanganku.Aku buru-bu
Tiga pasang mata menatapku tajam, seolah-olah aku seorang terpidana yang bersiap menerima hukuman. Tangan dan kakiku dingin; keringat berkucuran membasahi seluruh tubuh. Berkali-kali aku mengubah posisi duduk dengan gelisah.Tiba-tiba Chun-Ae angkat bicara, "Aku setuju, Sajangnim. Tapi menurutku dia harus kita uji selama dua minggu. Kalau hasilnya buruk, jangan harap bisa bertahan di Byeoul. Bagaimana, Sajangnim?""Cih! Berani-beraninya kamu tidak menghormati Sajangnim!""Cukup, Lee Yeong-Hyeong." Byun In-Su menengahi. "Aku setuju dengan Chun-Ae.""Sajangnim, tapi itu tidak adil bagi—""Cukup! Akulah yang memutuskan!" Byun In-Su menatap tajam hingga membuat Lee Yeong-Hyeong menunduk.Pandangan Byun In-Su kembali beralih padaku. "Dua minggu. Itulah waktu ujianmu, Ki
"Jangan ceritakan pada orang lain."Hwa-Young melumat bibirku. Bibir kami bertaut, sambil saling menyesap lidah. Tanganku menyelinap ke balik kaus, lalu meremas-remas dadanya. Hwa-Young tak tinggal diam, tangannya merayap mengusap milikku dari balik celana. Paham maksudnya, aku mengubah posisi sampai milikku berhadapan dengan wajahnya, begitupun sebaliknya. Tanpa menunggu lama, ia menurunkan celanaku. Dalam posisi tersebut kami saling memanjakan intim masing-masing. Saat lidah Hwa-Young memberi kehangatan pada milikku, aku menyibak intimnya kemudian membelainya dengan lidahku. Desahannya terdengar makin jelas bersamaan dengan milikku yang makin berdiri kukuh, menunjukkan kami siap memulai sesi utama.Hwa-Young berbalik seraya membelakangiku dengan posisi merangkak."Dae-Ho ...," ucapnya setengah mendesah saat milikku masuk ke dalam intimnya.
"Hwa-Young ...."Aku membeku menatapnya. Perempuan yang selama ini tak ada kabar; sahabat yang selama ini menghilang, sekarang berada tepat di depanku. Ia Hwa-Young yang sama, tetapi penampilannya tak lagi sama. Perempuan yang berpenampilan tomboy, kini berubah fenimim. Rambutnya yang dulu hitam dan pendek, sekarang kecokelatan dan terurai sepunggung. Kini ia makin cantik dengan make-up natural. Matanya yang lebar; hidungnya yang mungil dan sedikit mancung; serta bibirnya yang tipis, sekarang tampak lebih memesona. Namun, dari semuanya, yang paling berbeda adalah pakaian yang ia kenakan. Hwa-Young yang dulu selalu mengenakan kaus lusuh dan celana jeans sobek, berganti Hwa-Young yang dibalut mini dress ketat dan mempertontonkan lekuk dadanya yang proporsional, pinggang ramping, dan kaki yang jenjang. Inilah Hwa-Young yang sekarang; Hwa-Young yang berhasil membuatku terkesima dengan kecantikannya."Dae-Ho."
Aku membaca dokumen-dokumen yang diberikan So Hyun-Jae. Dokumen itu menjelaskan kalau aku akan mendapatkan identitas baru sebagai Manager Keuangan yang dibajak dari perusahaan pesaing. Tugas pertama yang harus dijalankan adalah berusaha mendapatkan kepercayaan Direktur Utama agar dipromosikan menjadi Direktur Keuangan. Dengan begitu, akses keuangan perusahaan terbuka dan dapat dicuri.Sudah jelas kalau pekerjaan itu sangat berat, tetapi imbalannya pun luar biasa. Uang jutaan dollar menanti jika berhasil menuntaskan tugas tersebut. Sebaliknya, kalau gagal akan mendapat sanksi keras. Namun, tidak diterangkan secara detail sanksi yang akan dijatuhkan.Aku mengembalikan kertas-kertas itu ke dalam map, kemudian menatap So Hyun-Jae. "Apa sanksi yang akan diberikan kalau gagal?"Sudut bibir So Hyun-Jae terpantik, lalu menempelkan telunjuknya di pelipisku.
Aku mulai menggerakkan pinggul maju-mundur, membawa milikku menjelajahi intimnya. Perempuan itu memeluk dan mengusap bahuku. Meskipun ia terpejam, sentuhannya seakan-akan sedang mencurahkan isi hati. Sentuhan lembut, tetapi sepi; sedih; merintih. Seolah-olah ia sedang memohon pertolongan. Tak ada luapan gairah berlebihan, kecuali hanya perasaannya yang dalam. Belum pernah aku bercumbu seperti itu; belum pernah perasaanku bergetar ketika disentuh. Alih-alih mencumbunya dengan liar, aku membalas perasaannya dengan tak kalah lembut. Sambil terus bergerak, kukecup bibirnya dalam-dalam. Desahannya terdengar lirih setiap kali milikku bergerak. Sampai akhirnya, ia mencengkeram punggungku sembari kedua kakinya mengapit pinggangku. Tubuhnya bergelinjang-gelinjang selama beberapa detik, lalu akhirnya terkulai di atas ranjang dengan napas terengah-engah."Thank you," bisiknya seraya mendekapku.***
Klise. Mungkin itulah yang dipikirkan ketika mendengar "cinta pada jumpa pertama". Begitulah kenyataan yang terjadi padaku. Ironis. Aku yang seorang playboy dan tak pernah jatuh cinta, justru mengalaminya. Selama ini aku menganggap cinta hanyalah kesenangan tanpa melibatkan perasaan. Namun, di malam itu semua pandanganku tentang "cinta" berubah. Di malam aku bertemu dengannya .... *** Malam hari di tengah Kota Seoul. Di suatu tempat yang kerap membawa pengunjungnya ke dalam ilusi. Sebuah tempat berdesain klasik yang selaras dengan namanya "Classic Seoul". Musik bertempo cepat mengentak tubuh-tubuh berpeluh, memperagakan kepiawaian menari; memikat lawan jenis untuk larut dalam kesenangan. Berbagai minuman tersaji untuk membuai hasrat, luruh ke dalam utopia. Ingar-bingar terhelat sempurna di nightclub tersebut. Seperti biasa, hampir setiap akhir pekan aku selalu ke sana untuk sekadar melepas pe