Begitu masuk restoran, aku mencari sosok pria yang wajahnya sama seperti di foto kemarin. Informasi yang kudapat, katanya dia seorang pewaris salah satu perusahaan besar di kota Beijing. Dia sangat tampan di foto, tapi saat aku menemukannya di sudut restoran... ternyata wajahnya tidak sama seperti di foto itu. Sedikit ada perbedaan di bagian hidung, mata, dagu dan bentuk rahangnya. Dia pasti menggunakan aplikasi khusus untuk memperbaiki wajahnya lalu ditunjukkan pada ayahku. Aku tersenyum kecut, mengecewakan. Orang seperti dia biasanya tidak percaya diri dan manipulatif. Kali ini aku tidak akan menegur perihal fotonya yang berbeda dengan wajah aslinya, orang seperti dia... aku tahu bagaimana ending-nya nanti. Dia akan membela diri dengan cara mencari-cari kejelekan orang lain.
Pria yang kusebutkan menengok ke samping ketika menyadari kehadiranku, bahkan etikanya begitu buruk. Ada seseorang datang bukannya berdiri untuk menyambut, malah tetap duduk dan memandangku remeh. Pandangan matanya menelusuri kaki hingga kepalaku, seolah menilai apa yang bagus dari tubuhku. Aku membiarkannya menilai, asal dia tidak sampai menyentuhku, meski sebenarnya aku ingin mencolok matanya. Heh!
"Halo, Tuan Jamie Lim?" sapaku bermaksud menghentikan tindakan kurang ajarnya. Aku harus tetap profesional meskipun sedang tidak bekerja. Jika aku masih diam di tempat, pria ini pasti akan mengomentari bagian tubuhku yang menurutnya tidak memuaskan.
"Maria Tan?"
Bahkan dia memanggilku tanpa sebutan 'nona', sedangkan aku adalah orang yang baru dia temui. Bukannya aku ingin dihormati atau sejenisnya, tapi seseorang seperti dia — yang katanya pewaris tunggal perusahaan besar, apakah tidak punya etika dalam menghadapi orang baru? Jika dia memimpin perusahaan... aku tidak yakin dia bisa mengambil hati para investor.
"Bolehkah aku duduk?" tanyaku dengan maksud menyindir. Baru datang, bukannya menyuruhku duduk malah menjelajahi tubuhku dengan matanya yang buas.
"Tentu saja." Dia meringis.
Aku pun duduk di kursi yang lain, tidak ada kursi lagi karena di meja ini hanya tersedia dua kursi. Sepertinya pria ini sengaja memesan meja untuk pasangan. Aku tertegun saat menyadari di atas meja sudah ada dua menu makanan dan minuman yang sama, dua-duanya masih utuh dan tatanannya masih sangat sempurna. Aromanya harum dan khas, sepertinya masih panas karena uapnya terasa hangat saat menerpa permukaan kulitku.
"Apa anda sedang makan bersama orang lain?" tanyaku.
"Siapa yang kau maksud? Aku akan makan bersamamu."
"Tapi makanan ini..."
"Aku sudah memesan makanan untuk kita berdua, bagaimana kalau kita makan dulu?"
Lagi-lagi aku terdiam. Orang ini, jika ingin memesan makanan terlebih dahulu seharusnya bertanya padaku makanan apa yang ingin kumakan, dia malah memesan sesuka hati tanpa memerhatikan pendapatku. Dia pikir aku menyukai semua jenis makanan?
Aku tidak menyukai menu ini.
Tidak masalah, aku bisa memakannya sedikit untuk menghargai pemberiannya.
"Oh, ya ampun, minus sekali," gumamku lirih.
"Apa?"
"Tidak ada, aku hanya merasa sedikit tidak nyaman."
"Kau tidak menyukai tempatnya? Tempat ini sangat bagus dan terkenal. Apa kau tidak tahu?"
"Tuan, tidak semua hal harus kuketahui." Aku tersenyum tipis.
Pria itu tersenyum simpul lalu menyantap makanannya dengan nikmat, antara kelaparan atau itu adalah menu favoritnya. Aku tidak tahu. Sedangkan aku hanya menelannya beberapa suap karena aku sungguh tidak menyukai makanan ini.
Setelah pria bernama Jamie Lim ini telah menyelesaikan kudapannya, dia meletakkan sendok dan garpu di atas piring lalu meneguk wine perlahan-lahan.
"Kenapa tidak dihabiskan?" tanyanya ketika melihat isi piringku cukup utuh.
"Aku sudah merasa kenyang."
Pria itu mengangguk lalu memanggil pelayan, kemudian meminta hidangan pencuci mulut.
"Maria Tan, aku dengar kau mendapat jabatan tinggi di perusahaan ayahmu."
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Kau pasti mendapat banyak perhatian," sambungnya. Aku mendeteksi nada mengejek di dalam suaranya.
Aku tahu Jamie sedang menyindirku, aku kembali tersenyum. "Bukankah anda juga seperti itu, Tuan Jamie?"
Ekspresi mengejek Jamie berubah menjadi kaku.
"Meskipun aku bekerja di perusahaan ayahku, tapi aku bisa memastikan orang lain memperhatikanku karena prestasi yang aku capai, bukan karena statusku sebagai ahli waris."
Jamie tersenyum sinis. "Omong-omong... sepertinya ayahmu sangat terobsesi padaku, dia sangat ingin aku menikahimu. Dia mungkin berpikir kalau seleraku mudah digapai, tapi kau harus tahu, seleraku lebih tinggi dari perkiraan ayahmu."
Dia merendahkan aku lagi. Kali ini Ayah akan gagal lagi mencarikan aku jodoh. Heh! Kalau begitu... syukurlah.
"Em, begitu ya?" Aku melemaskan punggung dan bersandar di kursi, salah satu tangan kuletakkan di bawah dagu dan kusilangkan kaki supaya aku terlihat santai.
"Ya, tentu saja, karena aku adalah pewaris tunggal MXlim maka seleraku juga pasti berkualitas. Kau tahu Lucas?"
"Lucas?"
"Ya, Lucas Chen. Dia sama sepertiku, lahir di bulan September dan shio kami sama. Kau harus mempelajari orang yang lahir di bulan September itu seperti apa. Lucas Chen, dia berwawasan sangat luas dan memiliki pemikiran yang cerdas, sama sepertiku. Tapi... wawasanmu sepertinya kurang, yang ada kau tidak akan bisa mengimbangiku kalau kita menikah."
Lucas Chen? Si pengacara tingkat nasional itu? Memangnya Jamie Lim ini siapa sampai berani menyamakan dirinya dengan seorang Lucas Chen? Meskipun aku tidak tahu seperti apa wajah Lucas Chen, tapi menurut rumor yang beredar Lucas Chen sulit disamakan dengan orang lain karena kesempurnaannya. Baik dari segi fisik dan pencapaian.
"Tuan Jamie, jika anda mau menolakku maka sebaiknya tolak saja menggunakan kata-kata yang jelas, dari pada anda membicarakan tentang omong kosong di depanku, itu sangat mengganggu dan menjijikkan. Anda pikir aku akan percaya? Bahkan orang awam pun tahu anda tidak sebanding dengan Lucas Chen. Perbandingan kalian terlalu jauh, sebaiknya anda jangan membicarakan hal itu lagi pada orang lain karena itu sangat memalukan. Kurasa pertemuan kita sampai di sini saja. Permisi."
Aku berdiri dari kursi, wajah Jamie membeku dan memerah.
"Oh ya, sebaiknya anda segera pulang dan segera bercermin. Lihat siapa diri anda sebenarnya," tuturku.
Aku meninggalkan senyum simpul sebelum pergi menuju kasir, aku membayar semua tagihannya. Aku tahu MXlim lebih besar daripada perusahaan ayahku, tapi dia tidak berhak merendahkan aku. Dia pikir aku semiskin apa?
Orang lain boleh menilaiku, membicarakan aku, mengomentari aku. Tapi itu bukan berarti aku seperti yang dia bicarakan. Cara seseorang berkomentar tentang diriku, itu menunjukkan seperti apa dia bukan seperti apa diriku.
-o0o-
Sebenarnya aku sudah muak dengan kencan buta yang disiapkan oleh orang tuaku, tapi aku hanya bisa mengikutinya dan aku belum menemukan pria yang cocok. Selain tidak ada yang cocok, di dunia ini memang sulit menemukan orang yang tulus. Terlalu banyak orang manipulatif, baik di depan buruk di belakang. Aku hanya takut di antara mereka mau menikahiku hanya karna ayahku kaya atau memanfaatkan ayahku sebagai batu loncatan untuk mengembangkan bisnis mereka, apalagi mereka dari keluarga pembisnis yang levelnya di bawah ayahku. Aku hanya tidak mau mengambil resiko dan aku tidak mau menikah karena bisnis. Aku hanya ingin menikah karena kami benar-benar saling cinta, tapi orang tuaku tidak mengerti itu. Aku tidak tahu Jamie Lim pria ke berapa yang melakukan kencan buta denganku, aku sudah malas menghitungnya.
Aku tetap mengabaikan pria itu dan berusaha sabar agar tidak membalas pesannya dengan kata-kata kasar. Masalahnya hanya waktu, dia akan lelah sendiri jika aku tidak pernah merespon. Dia memiliki kesan yang lugu, sebenarnya itu hanya topeng. Dia sebenarnya buaya berkepala serigala.Aku ini wanita mandiri, bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri, ke mana-mana sendiri dan membeli apapun menggunakan uangku sendiri. Tiba-tiba dipertemukan dengan pria yang hanya bermodal mengirim pesan: sedang apa, apa kau sudah bangun, jangan lupa makan, jangan lupa mandi, selamat tidur, selamat siang, selamat pagi, jangan lupa buang air, membuang sampah, mencuci baju, membersihkan dosa, menutup pintu, jendela, menutup aib dan lain-lain. Ya ampun, maaf, itu sangat tidak berguna bagiku. Apalagi pria yang gila wanita, dalam hidupnya pasti hanya terbayang-bayang tubuh wanita. Siapa yang bisa hidup dengan pria seperti itu? Hanya yang sama-sama gila yang bisa.Percayalah, di zaman ini pria yang punya banyak u
"Ayah ingin mencarikan aku suami atau mencari penyokong untuk perusahaan Ayah? Kali ini aku tidak setuju, lagi pula aku tidak ingin menikah dengan siapapun."Ayah menghela nafas berat. "Nak, ayah hanya ingin kau menikah dan hidupmu terjamin. Ayah sangat heran padamu, banyak wanita berlomba-lomba mencari perhatian Lucas Chen, kenapa kau tidak? Ini adalah kesempatan emas, Nak. Di lain waktu belum tentu dapat. Lagipula ayah sudah dikonfirmasi kalau Lucas Chen setuju dengan kencan buta.""Ayah! Bukankah aku sudah memperingatkan? Ayah tidak boleh mengemis-ngemis lagi berharap para pria mau berkencan denganku. Apa Ayah tidak dengar gosip di luar sana? Mereka mengira Ayah menjualku dan terobsesi punya menantu kaya.""Ayah dengar, semuanya. Tapi mereka tidak tahu niat ayah yang sebenarnya, jadi biarkan saja. Kadang ayah iri melihat putri rekan-rekan ayah yang begitu bersemangat mencari perhatian Lucas Chen, tapi kenapa kau tidak melakukannya? Bahkan rekan-rekan ayah sudah banyak yang memiliki
"Siapa kau?" tanyaku waspada. "Aku adalah salah satu orang yang masuk ke dalam daftar calon suamimu." "Maaf, aku tidak memiliki calon suami. Katakan siapa namamu!" "Kau tidak mengenalku?" "Tidak." "Baiklah, izinkan aku berpakaian terlebih dahulu." Aku memberinya jalan dan dia meninggalkan kamar mandi menuju lemari, membukanya lalu mengambil pakaian baru dari sana. Diam-diam aku berjalan menuju telepon yang terletak di meja samping ranjang, aku mengangkat gagangnya dan menekan angka satu untuk memanggil bagian resepsionis. Belum sampai dijawab, pria yang kupikir sedang ganti baju di kamar mandi ternyata berdiri di belakangku dan mengambil alih gagang telepon dengan tenang. "Tidak perlu memanggil orang karena orang lain tidak akan peduli. Aku kemari hanya untuk numpang mandi, kau tidak perlu lapor polisi atau semacamnya jika ingin selamat," bisiknya. Tak! Pria ini meletakkan kembali gagang telepon ke tempat semula. "Tuan, aku tidak tahu siapa anda, tapi bisakah anda menggunakan
"Hahaha! Itu benar, Tuan Jamie," sahutku. "Ayahku memang terobsesi memiliki menantu kaya. Sebenarnya bukan untuk menyokong XP Fire, dia hanya ingin aku bahagia dengan memiliki suami yang sepadan denganku. Kami tidak munafik, sebenarnya keluarga kalian juga begitu kan? Bahkan di antara kalian pasti dipaksa menikahi orang di atas kalian. Hanya saja... kalian tidak memperlihatkannya. Aku tidak dijual, ayahku hanya berusaha mencarikan aku suami, meski begitu... yang berhak menilai calon suamiku adalah aku sendiri, dan..." Aku melirik Jamie dengan muak. "Tentu saja Tuan Jamie Lim bukan seleraku, maaf. Karena itulah saat di restoran aku meninggalkan anda. Anda bukan tipe idealku." "Bukankah aku yang meninggalkanmu?" sahut Jamie dengan sorot mata mengancam. Aku tersenyum sinis lalu beralih pada teman-teman Jamie. "Kalau kalian tidak percaya, kalian bisa cek rekaman CCTV di restoran itu, kalian akan tahu siapa yang lebih sampah di sana," kataku pada teman-teman Jamie. Aku melirik Jamie deng
"Wah, bukankah itu Evin Ji?" "Itu Evin Ji." "Iya, itu Evin Ji." "Dia sangat tampan jika dilihat langsung." "Benar. Dia adalah orang yang akan menerima kekuasaan tertinggi di Lissel Group." "Aku belum pernah melihat pria seperti itu, dia terlalu sempurna." Sejak kehadiran pria itu, mulailah terdengar bisikan-bisikan dari para tamu, membicarakan tentang Evin. Para wanita begitu memuja dan memuji sosok Evin Ji. Mereka tidak tahu siapa sebenarnya Evin, jika mereka tahu — mereka tidak akan pernah mengatakan hal-hal yang membuat nama Evin melambung tinggi. Tapi bagaimanapun juga, Evin tetap menjadi yang nomor satu meskipun dia bejat. Karena dia tertolong secara financial dan fisik. Jika dia miskin atau jelek, dia sudah dihujat habis-habisan. Jika kau kaya atau tampan/cantik, kau akan aman. "Bagaimana, Nona Maria? Apa menurutmu Evin Ji pria yang tampan?" tanya Nyonya Mo padaku. "Tidak munafik, sebagai wanita saya mengakui kalau Evin Ji adalah pria yang tampan dan sempurna." "Apa dia
Pria aneh. Bagaimana bisa kami bertemu dengan situasi seperti ini? Berawal dari dia mandi di kamarku, lalu bertemu di lorong sepi dan mengantarku ke kamar. Dia berkata kami saling kenal dan merupakan calon suamiku? Apa dia sedang berhalusinasi? Atau hanya menggodaku? Sepertinya dia hanya menggodaku karena aku memang sedang cantik malam ini. Tapi... sedang apa dia di lorong sepi itu? Dan siapa dia? Dia tahu namaku dan tahu nama ayahku. Dia juga tahu kalau aku adalah tamu undangan Lissel Group. Astaga, pria itu membuatku semakin takut, dia masuk kamarku tanpa izin — bahkan masuk tanpa kunci akses, lalu kami bertemu di lorong sepi, bahkan dia menyapaku seolah dia tahu wanita di lorong itu adalah aku. Tidak, mungkin saja itu memang kebetulan. Apa aku terlalu menganggapnya serius? Tidak. Masalah ini memang serius. Kejadian demi kejadian tampaknya tidak kebetulan. Sejak dia mandi di kamarku sudah aneh dan dia mengatakan hal-hal yang tidak kumengerti. Aku tidak merasa pernah bertemu dengan
Pria ini tergelak, cenderung mengejek. "Kau sangat tidak sopan, Nona. Harusnya kau menawarkan sarapan padaku atau mengajakku sarapan bersama di sini. Bahkan tak menyuruhku duduk, kau malah mengusirku?" "Sayangnya aku tidak punya niat mengajak anda sarapan bersama, karena itu aku bersikap tidak sopan, maaf." Pria ini tergelak lagi, kali ini dia tampak merasa geli dengan responku. "Baiklah, kalau begitu apa boleh aku duduk semeja denganmu?" "Maaf, sebaiknya anda cari tempat duduk lain saja. Di sana banyak meja yang kosong." "Kenapa?" "Karena aku merasa tidak nyaman dengan anda, maaf." Pria ini tercengang mendengar jawabanku yang mungkin membuat harga dirinya merosot. "Rupanya kau sangat 'jujur'." "Terima kasih, itu adalah salah satu kelebihanku." "Hahaha! Baiklah, rupanya kau sangat menyebalkan. Nikmati sarapanmu, aku tidak akan mengganggu. Sampai jumpa." Pria itu pergi meninggalkan mejaku. Kukira dia akan mengambil sarapan, ternyata tidak. Dia meninggalkan ruang penjamuan. Lalu
Muncul rasa tidak enak dalam diriku, pria itu tampak sangat santai saat resepsionis berhasil memanggil petugas keamanan ke lobby. Aku khawatir aku salah paham dengannya, mungkin saja kami memang bertemu secara kebetulan. Tidak, bisa jadi dia berlagak polos supaya orang lain tidak curiga kalau dia itu penguntit. "Nona, di mana orangnya?" tanya salah seorang petugas keamanan padaku. Dengan mantap aku menunjuk ke arah pria aneh itu yang masih berdiri di tempatnya. Petugas berbalik untuk melihat siapa orang yang kutunjuk. Petugas keamanan kaget dan kebingungan. Dua petugas itu malah membungkuk singkat sebagai sapaan hormat terhadap pria itu. Apa sebelum menangkap penjahat mereka selalu memberi hormat terlebih dahulu? Aneh. Orang-orang di Del Express banyak yang aneh. Yang lebih aneh, pria itu malah menyerahkan kedua tangannya kepada petugas untuk diborgol. Apa dia sangat ingin ditangkap? Ya Tuhan, dia sungguh manusia aneh. Karena sudah begitu, kedua petugas memborgol si pria dan berkat
Aku menoleh ke belakang ketika seorang pria memanggil namaku. Jamie Lim.Astaga, aku lupa kalau orang itu selalu hadir di acara-acara seperti ini.Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk sebagai balasan. Saat hendak pergi menghindarinya, pria itu malah menarikku bergabung bersama teman-temannya.Aku berusaha memberinya kode supaya melepaskan tanganku, tapi sepertinya dia tidak mengerti. Orang tolol ini, membuatku malu karena orang-orang di sekitar melihat, aku takut mereka akan berpikir bahwa aku memiliki hubungan dekat dengan Jamie Lim.“Bukankah kau Maria Tan yang sekarang jadi wakil presdir di XP?” tanya seorang teman Jamie.“Iya, kau benar. Seminggu yang lalu dia sempat kencan buta denganku,” sahut Jamie dengan girang.“Benarkah?”“Tentu saja. Kalian tahu ayahnya kan? Dia sangat terobsesi memiliki menantu kaya dan aku salah satu targetnya. Tapi… kalian tahu kan seleraku seperti apa? Maria Tan tidak bisa menggapai itu dan aku menolaknya saat kami kencan buta. Aku tidak bisa meneri
"Tidak, Kek. Buka mata Kakek. Berhenti menunggalkan aku sebagai cucu Kakek sedangkan masih ada tiga cucu Kakek yang lain. Kek, berhenti menyakiti Evin, Cicillia dan Meghan, mereka sangat menyayangi Kakek tapi apa yang Kakek lakukan pada mereka?" Hermand terdiam. Benar, sikapnya terhadap Lucas dan ketiga cucunya yang lain sangat kontras. Tidak salah jika Lucas memilih meninggalkan rumah supaya Hermand lebih fokus kepada tiga cucunya yang lain. Supaya Hermand sadar bahwa ada cucu lain selain Lucas yang harus diperhatikan. Yang membutuhkan cinta - kasih yang sama seperti cinta dan kasihnya kepada Lucas. Sakit hati tetaplah sakit hati, karena kesakitan itu membuat Hermand menutup sebelah matanya dan hanya melihat Lucas seorang sebagai cucunya. Cucu kesayangan dan pewaris utama dari Lissel Group. Evin? Hermand tidak pernah menganggap Evin
"Kau yakin? Kau sudah memeriksanya?" "Kami sangat yakin, Tuan." Evin meletakan kedua tangannya di atas meja, mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari telunjuknya.Tuk. tuk. tuk. "Setelah ini apa rencana kalian?" "Kami akan terus mengawasinya dan mengelilingi area kafe, kami berasumsi kalau kakak anda pergi melalui jalan yang tersembunyi." "Baiklah, apa pun itu... kalian harus menemukannya, kalau tidak... aku tidak akan membayar kalian." "Baik, Tuan." -o0o- Seminggu berlalu... Akhirnya Evin berhasil membawa kakak
Evin selalu berusaha menjadi seperti kakaknya, ingin menyamainya, tapi sekeras apa pun dia berusaha, dia dan kakaknya adalah orang yang berbeda dan sampai kapan pun tidak akan bisa sama. Mencari sesuatu yang membuat Kakek menyukai kakaknya, Evin tak menemukan sesuatu yang spesial. Kakaknya sama saja seperti orang pada umumnya, bahkan lebih pembangkang dari pada Evin sampai-sampai berani meninggalkan rumah. "Kenapa aku yang harus menikah duluan? Kakak lebih tua, kenapa bukan kakak saja yang menikah dulu?" balas Evin menahan kecewa. "Kau menginginkan itu? Kalau begitu bawa kakakmu pulang." "Kalau aku membawanya pulang, Kakek tidak perlu lagi menyuruhku untuk menikah, bukan?" "Ya, terserah kau mau melakukan apa. Kau mau menjadi fotog
"Kenapa Mom selalu menyalahkan foto-foto ini dari pada menyalahkan diri Mom sendiri?" balas Evin. "Kenapa Mom menyalahkan diri sendiri? Tentu saja foto-foto itu yang membuatmu mengabaikan perusahaan! Kau berlagak sibuk dengan wanita, padahal kau menutupi foto-foto itu dengan wanita!" "Mom, apa salahnya aku menjadi fotografer?" Evin berdiri dari kursinya. "Fotografer tidak akan menjamin hidupmu!" "Bisa, Mom! Mom saja yang tidak suka aku menjadi fotografer! Mom, tidak bisakah Mom mendukung satu saja yang menjadi impianku?" "Dengar, Evin, Lissel Group jauh lebih membuatmu bahagia dari pada fotografi." "Itu menurut Mom, tapi tidak
"Kau sangat kasar, Tuan." "Aku memang orang yang kasar dan aku tidak menyukai wanita, aku tidak akan menikah dengan siapa pun." "Bagus, itulah yang kucari..." Maria mencondongkan tubuhnya ke tubuh Lucas dan membisikkan kalimat dengan suara menggoda, "Bukankah aku cantik? Menikah saja denganku, meskipun menikah, kau akan tetap merasa tidak menikahi siapa pun. Kau hanya perlu berada di sisiku saat di depan orang tuaku saja. Bagaimana? Bukankah itu sangat menarik?" "..." Tanpa takut, Maria membelai wajah Lucas. Tangannya merasakan kalau jenggot Lucas baru saja dicukur. Kulit yang halus membuat Maria merasa terpukau. 'Kulit seorang pria bagaimana bisa sehalus ini?' Awalnya Lucas men
Sementara di kantor tempat Maria bekerja, begitu mendapat telepon dari rumah, Maria panik setengah mati. Tidak, dia kaget dan penasaran tentang motif apa di balik kedatangan Lucas di rumahnya. Buru-buru Maria meninggalkan ruangannya dan pulang meskipun belum jamnya untuk pulang. Sebagai pimpinan, Maria bebas pergi kapan saja kalau tidak ada pekerjaan lagi di kantor. Maria mengendarai mobilnya sedikit mengebut sambil membawa rasa penasaran yang membuatnya tidak sabar untuk bisa sampai di rumah. Tak bisa dipungkiri, Maria merasa senang atas kedatangan Lucas. Saat menerima panggilan dari Ros tadi, dia mendengar suara ibunya sedang mengatakan sesuatu. Tapi Maria tidak tahu apa yang dikatakan oleh ibunya karena suaranya terdengar samar-samar. Maria tidak menyangka, Lucas datang sendiri ke rumahnya. Padahal yang Maria minta hanya alamat rum
Jarum jam menunjukkan pukul 17.00. Harusnya jam kerja sudah berakhir, tapi aku masih memiliki beberapa hal yang harus kukerjakan. Di samping itu, pikiranku terus tertuju pada undangan Jenny — membuatku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. "Bu Maria, ini ada beberapa dokumen yang memerlukan tanda tangan anda," ucap Selly, sekretarisku. Dia masuk ke dalam ruanganku sambil membawa tumpukan kertas. Aku melirik lagi ke arah jam digital di meja kerjaku. Entah kenapa aku merasa tidak sabar untuk meninggalkan kantor. "Aku harus pergi ke suatu tempat, apa aku bisa menundanya besok?" kataku pada Selly. Ada nada memaksa di sana. "Tentu saja. Di mana saya harus meletakkan ini?" "Tolong letakkan di meja dekat rak buku! Besok akan kuperiksa." "Baik." "Oh ya, Selly. Apa ada pakaianku di kantor?" "Ada. Apa anda ingin aku menyiapkannya?" "Iya. Aku akan pergi ke pesta reuni, tolong siapkan!" "Pesta? Apa anda ingin memakai gaun atau semacamnya?" "Tidak. Jangan terlalu mewah, aku hanya perlu terli
Label 'barang dagangan' sudah melekat di dalam diriku, jadi sekalian saja aku merendahkan diriku sendiri dengan mengajak Lucas menikah. Namun, ajakanku langsung ditolak olehnya, harga diriku semakin jatuh. Ah, tanpa itu pun harga diriku sudah jatuh sejak ayahku menjodohkan aku dengan beberapa pria kenalannya. Kencan buta sialan! Dikarenakan oleh label itu, reputasi XP Fire juga terpengaruh. Untungnya aku bisa menyelamatkan XP Fire, yah... walaupun posisinya tidak setinggi dulu. Sungguh menjengkelkan!Aku tidak marah pada Lucas meskipun dia menolakku, aku hanya marah pada diriku sendiri yang tidak dapat mengontrol emosi. Seandainya aku bisa lebih tenang, aku tidak akan berkata pada Evin 'akan segera menikah'— bahkan dengan beraninya aku menunjukkan Lucas padanya sebagai calon suamiku. Jika aku tidak melakukan semua itu, aku tidak akan sampai menerima tantangan dari Evin. Biasanya aku bisa mengendalikan diri, tapi saat di depan Evin — entah kenapa aku merasa lebih emosional."Sekarang ap