"Wah, bukankah itu Evin Ji?"
"Itu Evin Ji."
"Iya, itu Evin Ji."
"Dia sangat tampan jika dilihat langsung."
"Benar. Dia adalah orang yang akan menerima kekuasaan tertinggi di Lissel Group."
"Aku belum pernah melihat pria seperti itu, dia terlalu sempurna."
Sejak kehadiran pria itu, mulailah terdengar bisikan-bisikan dari para tamu, membicarakan tentang Evin. Para wanita begitu memuja dan memuji sosok Evin Ji. Mereka tidak tahu siapa sebenarnya Evin, jika mereka tahu — mereka tidak akan pernah mengatakan hal-hal yang membuat nama Evin melambung tinggi. Tapi bagaimanapun juga, Evin tetap menjadi yang nomor satu meskipun dia bejat. Karena dia tertolong secara financial dan fisik. Jika dia miskin atau jelek, dia sudah dihujat habis-habisan. Jika kau kaya atau tampan/cantik, kau akan aman.
"Bagaimana, Nona Maria? Apa menurutmu Evin Ji pria yang tampan?" tanya Nyonya Mo padaku.
"Tidak munafik, sebagai wanita saya mengakui kalau Evin Ji adalah pria yang tampan dan sempurna."
"Apa dia termasuk target ayahmu, Nona Maria?"
"Tentu saja tidak, Nyonya Mo. Orang seperti kami tidak sepadan dengan keluarga Ji dan Lissel Group," jawabku merendah.
"Jika dia bukan target ayahmu, maka aku tidak perlu bersaing dengan ayahmu. Aku memiliki putri yang sangat cantik, sayangnya dia tidak di negara ini. Apa menurutmu Evin Ji cocok dengan putriku?"
"Putri anda sangat cantik dan berbakat, tentu dia akan menjadi pendamping yang sepadan untuk Evin Ji. Lagipula latar belakang keluarga anda juga sangat mendukung, saya yakin anda memiliki kepercayaan diri untuk mendapatkan hati keluarga Ji."
"Kau mengenal putriku? Bukankah kalian tidak pernah berteman? Bahkan kau tidak pernah satu sekolah dengan putriku."
"Saya pernah bertemu satu kali di Los Angeles saat saya melakukan perjalanan bisnis." Dan kami bertemu di sebuah kelab, putri anda sedang 'bersenang-senang' bersama seorang pria yang kukenal. Sejak saat itulah hubunganku dengan kekasihku berakhir. Tentu anda tidak tahu tentang hal itu, Nyonya Mo. Sebagai seorang ibu kandung, anda tidak tahu sifat asli anak anda. anak anda itu, memang sangat cocok dengan Evin Ji. Sangat cocok.
"Oh, begitu rupanya?" balas Nyonya Mo tak berminat.
Aku tersenyum. Membahas tentang putri Nyonya Mo membuatku teringat kembali pada kisah kelam di malam itu. Bahkan aku berharap putri Nyonya Mo tidak kembali ke negara ini.
Kami makan malam bersama dengan suasana damai dan menyenangkan, ditemani alunan saxophone bernuansa romantis dan mewah. Para tamu tampak menikmati jamuannya karena rasanya memang enak dan semua menu yang disajikan mendapat begitu banyak pujian. Aku yakin, pasti pihak Lissel Group memikirkan segalanya dengan matang supaya kami puas. Tentu saja, karena Lissel Group adalah perusahaan terpandang yang wajahnya tidak boleh ternodai sedikit pun oleh aib.
Usai makan malam, para tamu menyapa tuan rumah dan berbincang sebentar, sedangkan aku diam-diam meninggalkan aula karena ada orang yang harus kuhindari.
Aku tidak langsung kembali ke kamar, melainkan pergi ke kafetaria yang berada di lantai bawah. Di sana menyediakan berbagai macam minuman, dessert dan makanan ringan. Aku hanya memesan latte. Kafe cukup ramai di malam hari, tentu bukan para tamu pesta yang meramaikan, melainkan orang-orang yang sengaja menginap di sini untuk liburan, pertemuan bisnis atau mungkin pasangan yang bulan madu.
Sama seperti di aula makan malam, di sini juga ditemani oleh alunan musik bernuansa romantis, hanya saja di sini menggunakan music player, sedangkan di aula makan malam langsung dari saksofonis terkenal.
Setelah bosan di kafe aku jalan-jalan ke tempat-tempat khusus di Del Express. Kolam renang, taman indoor, tempat olahraga dan tempat hiburan lainnya. Namun, celaka! Aku lupa jalan kembali. Di mana letak lift? Aku berputar-putar menelusuri lorong, tak kutemukan satu pun petugas Del Express.
Sialan! Bagaimana caranya aku bisa kembali ke kamar?
Siapa desainer hotel ini? Membuat lorong berputar-putar membuat orang bingung. Seharusnya di sisi tertentu diberi tanda atau apa pun itu. Kalau begini aku kesulitan mencari lift atau tangga darurat.
"Tersesat, Nona?"
Aku berbalik dengan perasaan kaget. Seorang pria memakai setelan jas berwarna hitam berdiri di belakangku. Pria ini tinggi sekali sampai aku harus mengangkat wajah untuk melihat wajahnya.
"S-siapa?" tanyaku saat aku memastikan tidak ada logo Del Express di bajunya, itu artinya dia bukan petugas hotel.
"Calon suamimu." balasnya ambigu.
Aku mengernyit tidak mengerti. Bagaimana bisa orang gila bisa masuk ke Del Express?
"Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku.
Sekarang gantian pria ini yang mengerutkan dahi. "Belum sehari kau sudah lupa?"
"Belum sehari? Seharian ini aku tidak bertemu dengan anda, sebelumnya aku hanya bertemu..." Aku menghentikan kalimat karena teringat sesuatu. Teringat pria aneh yang masuk kamarku tanpa izin dan mandi di sana, juga mengaku sebagai calon suamiku. "Anda... pria gila yang masuk kamarku tadi? Apa benar pria itu anda?" tanyaku akhirnya menyadari.
"Jadi menurutmu aku gila?"
"T-tidak, maksudku... sikap anda tadi sangat aneh, jadi aku sempat berpikir... kalau anda tidak waras. Maaf. Lagipula anda sangat aneh, mengaku sebagai calon suamiku. Sepertinya anda salah mengenali orang."
Pria ini tersenyum miring. "Ya, mungkin. Jadi apa yang kau lakukan di sini? Bukankah acara makan malam belum selesai?"
"Aku hanya ingin melihat-lihat di daerah sini. Tapi... bagaimana anda tahu kalau aku adalah tamu undangan di sini?" tanyaku dengan spontan.
"Karena aku yang mengundangmu."
"Apa?" Aku sungguh kaget dan tidak bisa mencerna kalimatnya.
"Bukankah kau ingin keluar dari sini? Mau kubantu?" Pria ini malah mengalihkan pembahasan. Saat pertemuan pertama juga begitu, dia selalu menghindari pertanyaanku.
"Boleh saja, tapi sebelum itu katakan siapa anda. Bukankah kita tidak saling kenal?"
"Kita saling kenal."
"Tidak."
"Terserah."
Pria itu pergi meninggalkan aku, selain ketus dia juga sedikit aneh. Karena aku tidak tahu jalan, terpaksa aku mengikutinya di belakang tapi dengan jarak sekitar dua meter untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya: dia secara tiba-tiba mencekikku atau semacamnya. Aku tidak mau mati sekarang. Mungkinkah dia orang yang ditugaskan untuk menyakiti aku? Tapi jika itu memang niatnya, aku sudah disakiti sejak tadi saat kami bertemu di kamar.
Berkat mengikuti dia, akhirnya aku menemukan lift. Pria itu menekan tombol lift, tak lama kemudian lift terbuka.
"Silakan masuk," ucapnya.
Aku sempat ragu, tapi akhirnya aku masuk ke dalam lift karena di dalam lift ada orang lain, kurasa akan aman karena di dalam lift ada cukup banyak orang. Dia menekan tombol sepuluh, itu adalah lantai di mana kamarku berada.
"Apa anda juga menginap di lantai sepuluh?" tanyaku basa-basi.
"Iya."
Hening.
"Berapa nomor kamar anda?" tanyaku lagi.
"Apa kau mau mampir ke kamarku?"
"Bukan begitu, aku hanya... ingin tahu."
"Kalau sudah tahu apa kau mau mampir ke kamarku?"
"Ah, sudahlah! Lupakan! Anggap saja aku tidak pernah bertanya."
Hening. Setelah itu aku tak mengajukan pertanyaan lagi karena jawaban pria ini membuatku merasa dipermalukan. Keheningan menguasai sampai kami tiba di lantai sepuluh.
Kami keluar dari lift bersama-sama dan pria ini memimpin jalan menuju kamarku. Aku merasa bersyukur karena aku pun lupa letak kamarku di mana.
"Ini kamarmu, bukan?" tanyanya saat kami tiba di depan kamar nomor 1024.
Setelah mengecek nomornya, ternyata benar kamarku. "Terima kasih atas bantuannya."
Pria ini mengangguk singkat. "Sampai jumpa, Nona Maria Tan." Dia berbalik dan pergi, padahal aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padanya.
"T-tunggu!" Aku berusaha mencegah, tapi pria itu tetap berjalan tanpa berbalik. Memberi respon pun tidak.
Pria aneh. Bagaimana bisa kami bertemu dengan situasi seperti ini? Berawal dari dia mandi di kamarku, lalu bertemu di lorong sepi dan mengantarku ke kamar. Dia berkata kami saling kenal dan merupakan calon suamiku? Apa dia sedang berhalusinasi? Atau hanya menggodaku? Sepertinya dia hanya menggodaku karena aku memang sedang cantik malam ini. Tapi... sedang apa dia di lorong sepi itu? Dan siapa dia? Dia tahu namaku dan tahu nama ayahku. Dia juga tahu kalau aku adalah tamu undangan Lissel Group. Astaga, pria itu membuatku semakin takut, dia masuk kamarku tanpa izin — bahkan masuk tanpa kunci akses, lalu kami bertemu di lorong sepi, bahkan dia menyapaku seolah dia tahu wanita di lorong itu adalah aku. Tidak, mungkin saja itu memang kebetulan. Apa aku terlalu menganggapnya serius? Tidak. Masalah ini memang serius. Kejadian demi kejadian tampaknya tidak kebetulan. Sejak dia mandi di kamarku sudah aneh dan dia mengatakan hal-hal yang tidak kumengerti. Aku tidak merasa pernah bertemu dengan
Pria ini tergelak, cenderung mengejek. "Kau sangat tidak sopan, Nona. Harusnya kau menawarkan sarapan padaku atau mengajakku sarapan bersama di sini. Bahkan tak menyuruhku duduk, kau malah mengusirku?" "Sayangnya aku tidak punya niat mengajak anda sarapan bersama, karena itu aku bersikap tidak sopan, maaf." Pria ini tergelak lagi, kali ini dia tampak merasa geli dengan responku. "Baiklah, kalau begitu apa boleh aku duduk semeja denganmu?" "Maaf, sebaiknya anda cari tempat duduk lain saja. Di sana banyak meja yang kosong." "Kenapa?" "Karena aku merasa tidak nyaman dengan anda, maaf." Pria ini tercengang mendengar jawabanku yang mungkin membuat harga dirinya merosot. "Rupanya kau sangat 'jujur'." "Terima kasih, itu adalah salah satu kelebihanku." "Hahaha! Baiklah, rupanya kau sangat menyebalkan. Nikmati sarapanmu, aku tidak akan mengganggu. Sampai jumpa." Pria itu pergi meninggalkan mejaku. Kukira dia akan mengambil sarapan, ternyata tidak. Dia meninggalkan ruang penjamuan. Lalu
Muncul rasa tidak enak dalam diriku, pria itu tampak sangat santai saat resepsionis berhasil memanggil petugas keamanan ke lobby. Aku khawatir aku salah paham dengannya, mungkin saja kami memang bertemu secara kebetulan. Tidak, bisa jadi dia berlagak polos supaya orang lain tidak curiga kalau dia itu penguntit. "Nona, di mana orangnya?" tanya salah seorang petugas keamanan padaku. Dengan mantap aku menunjuk ke arah pria aneh itu yang masih berdiri di tempatnya. Petugas berbalik untuk melihat siapa orang yang kutunjuk. Petugas keamanan kaget dan kebingungan. Dua petugas itu malah membungkuk singkat sebagai sapaan hormat terhadap pria itu. Apa sebelum menangkap penjahat mereka selalu memberi hormat terlebih dahulu? Aneh. Orang-orang di Del Express banyak yang aneh. Yang lebih aneh, pria itu malah menyerahkan kedua tangannya kepada petugas untuk diborgol. Apa dia sangat ingin ditangkap? Ya Tuhan, dia sungguh manusia aneh. Karena sudah begitu, kedua petugas memborgol si pria dan berkat
"Halo, Etman, aku akan hadir ke pesta. Saat kau tiba segera bawa semua barang-barangku dan tunggu aku di lobby. Setelah pesta selesai aku langsung pulang dan satu lagi, jangan menerima pesan apapun kecuali dari mulutku sendiri. Apa kau mengerti?" jelasku pada sopirku melalui telepon."Baik, Nona. Saya mengerti."Akhirnya aku memutuskan untuk hadir ke pesta. Soal Evin? Aku sudah menyiapkan rencanaku. Kuharap hari ini aku beruntung....Pesta dimulai pukul 20.00. Saat ini masih pukul 19.00, sedangkan aku baru saja selesai berdandan. Long dress bahan brukat dan satin membungkus tubuhku, dress ini merupakan koleksi terbaru dari Louvi Paris dan hanya tersedia lima buah di dunia dengan warna yang berbeda-beda. Aku memilih warna dark navy karena aku menyukai warna itu. Jangan tanya betapa mahalnya dress ini. Rambut panjangku kubiarkan terurai dan sebagian kujepit supaya terlihat lebih rapi. Karena aku sudah cantik sejak lahir, aku tidak perlu berlebihan memoles wajahku.Sebelum pukul 20.00
Bros emas berbentuk logo RenZ. Tidak ada yang memiliki bros itu selain CEO RenZ. Itu artinya sang CEO sendiri yang menemuiku? Biasanya dia menyuruh orang lain untuk menemui rekan bisnis. Tapi kali ini dia sendiri yang menemuiku? Wow, di luar dugaan. Tapi itu berita bagus! Sangat bagus! "Hai, Maria!" Seorang wanita seusiaku datang menyapa. Aku menoleh ke samping untuk melihat siapa yang datang. "Jenny? Benarkah kau Jenny?" balasku dengan nada terkaget-kaget. "Ya, aku Jenny. Syukurlah kau masih mengingatku." Wanita itu tersenyum sumringah. "Oh, astaga. Bagaimana kabarmu?" Aku menjabat tangannya dan dia balas menjabat tanganku. "Baik, sangat baik. Bagaimana denganmu, Maria?" "Aku juga baik." "Omong-omong... kau juga diundang ke pesta ini? Kudengar hubungan XP Fire dan Lissel Group tidak baik." "Entahlah, aku hanya memenuhi undangan untuk menggantikan ayahku, selalu seperti itu." "Hahaha! Sudah kuduga. Kudengar kau... dijual... oleh ayahmu? Itu tidak benar kan?" tanya Jenny denga
"Tidak, hanya saja... kau terlihat gugup. Kau tidak berbohong padaku kan? Maria, kalau kau masih mencintaiku, katakan saja. Tidak perlu bersembunyi seperti ini," balas Evin dengan penuh percaya diri. "Heh, Evin... Evin... Kau tahu betul bagaimana aku. Jika aku kehilangan barang, aku akan membelinya yang baru dari pada harus repot-repot mencarinya." "Tapi jika barang itu adalah berlian, bukankah kau akan tetap mencarinya?" "Sayangnya kau bukan berlian, Evin. Berhenti menganggap dirimu sangat berharga. Sekalipun kau seorang pewaris Lissel Group, tapi bagiku kau hanya tisu toilet. Apa kau lupa dengan kejadian di Los Angeles? Itulah dirimu yang sebenarnya." Wajah Evin merah padam. Dia tersulut emosi, aku tahu ucapanku akan membuatnya sangat marah. Tapi itu tidak sebanding dengan apa yang aku rasakan saat di Los Angeles. Kejadian itu akan selalu kuingat sampai aku mati. Luka itu masih basah hingga saat ini. Aku tidak dendam pada Evin, aku hanya tidak bisa melupakan luka yang dia ciptaka
Akhirnya aku menemukan toilet wanita berkat bantuan petugas hotel. Kebetulan toilet sedang sepi, hanya ada petugas yang sedang membersihkan toilet kemudian pergi saat aku baru menyalakan kran wastafel. Aku mencuci kedua tanganku di bawah aliran air, dengan begini aku merasa lebih rileks. Aku terbiasa melakukan hal ini ketika merasa gugup atau terkejut akan sesuatu. Suara gemericik aliran air dan rasa dingin di tanganku membuat sensasi yang menenangkan. Ada begitu banyak pertanyaan di kepalaku. Kenapa dia tidak memberitahu aku kalau dia adalah Lucas Chen? KENAPA? Kenapa dia tidak bilang sejak awal? Tetap saja dia pria aneh, tiba-tiba masuk kamarku dan mandi di sana. Lalu dapat dari mana kartu akses kamarku? Jika dia termasuk tamu undangan di sini, tentu dia mendapat kamar dari Lissel Group, tapi dia... wah... pria itu benar-benar aneh. Tidak masuk akal. Lalu apa maksudnya dia memakai bros emas logo RenZ? Apa Lucas seorang CEO? Bukankah dia hanya seorang pengacara yang kebetulan popule
Label 'barang dagangan' sudah melekat di dalam diriku, jadi sekalian saja aku merendahkan diriku sendiri dengan mengajak Lucas menikah. Namun, ajakanku langsung ditolak olehnya, harga diriku semakin jatuh. Ah, tanpa itu pun harga diriku sudah jatuh sejak ayahku menjodohkan aku dengan beberapa pria kenalannya. Kencan buta sialan! Dikarenakan oleh label itu, reputasi XP Fire juga terpengaruh. Untungnya aku bisa menyelamatkan XP Fire, yah... walaupun posisinya tidak setinggi dulu. Sungguh menjengkelkan!Aku tidak marah pada Lucas meskipun dia menolakku, aku hanya marah pada diriku sendiri yang tidak dapat mengontrol emosi. Seandainya aku bisa lebih tenang, aku tidak akan berkata pada Evin 'akan segera menikah'— bahkan dengan beraninya aku menunjukkan Lucas padanya sebagai calon suamiku. Jika aku tidak melakukan semua itu, aku tidak akan sampai menerima tantangan dari Evin. Biasanya aku bisa mengendalikan diri, tapi saat di depan Evin — entah kenapa aku merasa lebih emosional."Sekarang ap
Aku menoleh ke belakang ketika seorang pria memanggil namaku. Jamie Lim.Astaga, aku lupa kalau orang itu selalu hadir di acara-acara seperti ini.Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk sebagai balasan. Saat hendak pergi menghindarinya, pria itu malah menarikku bergabung bersama teman-temannya.Aku berusaha memberinya kode supaya melepaskan tanganku, tapi sepertinya dia tidak mengerti. Orang tolol ini, membuatku malu karena orang-orang di sekitar melihat, aku takut mereka akan berpikir bahwa aku memiliki hubungan dekat dengan Jamie Lim.“Bukankah kau Maria Tan yang sekarang jadi wakil presdir di XP?” tanya seorang teman Jamie.“Iya, kau benar. Seminggu yang lalu dia sempat kencan buta denganku,” sahut Jamie dengan girang.“Benarkah?”“Tentu saja. Kalian tahu ayahnya kan? Dia sangat terobsesi memiliki menantu kaya dan aku salah satu targetnya. Tapi… kalian tahu kan seleraku seperti apa? Maria Tan tidak bisa menggapai itu dan aku menolaknya saat kami kencan buta. Aku tidak bisa meneri
"Tidak, Kek. Buka mata Kakek. Berhenti menunggalkan aku sebagai cucu Kakek sedangkan masih ada tiga cucu Kakek yang lain. Kek, berhenti menyakiti Evin, Cicillia dan Meghan, mereka sangat menyayangi Kakek tapi apa yang Kakek lakukan pada mereka?" Hermand terdiam. Benar, sikapnya terhadap Lucas dan ketiga cucunya yang lain sangat kontras. Tidak salah jika Lucas memilih meninggalkan rumah supaya Hermand lebih fokus kepada tiga cucunya yang lain. Supaya Hermand sadar bahwa ada cucu lain selain Lucas yang harus diperhatikan. Yang membutuhkan cinta - kasih yang sama seperti cinta dan kasihnya kepada Lucas. Sakit hati tetaplah sakit hati, karena kesakitan itu membuat Hermand menutup sebelah matanya dan hanya melihat Lucas seorang sebagai cucunya. Cucu kesayangan dan pewaris utama dari Lissel Group. Evin? Hermand tidak pernah menganggap Evin
"Kau yakin? Kau sudah memeriksanya?" "Kami sangat yakin, Tuan." Evin meletakan kedua tangannya di atas meja, mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari telunjuknya.Tuk. tuk. tuk. "Setelah ini apa rencana kalian?" "Kami akan terus mengawasinya dan mengelilingi area kafe, kami berasumsi kalau kakak anda pergi melalui jalan yang tersembunyi." "Baiklah, apa pun itu... kalian harus menemukannya, kalau tidak... aku tidak akan membayar kalian." "Baik, Tuan." -o0o- Seminggu berlalu... Akhirnya Evin berhasil membawa kakak
Evin selalu berusaha menjadi seperti kakaknya, ingin menyamainya, tapi sekeras apa pun dia berusaha, dia dan kakaknya adalah orang yang berbeda dan sampai kapan pun tidak akan bisa sama. Mencari sesuatu yang membuat Kakek menyukai kakaknya, Evin tak menemukan sesuatu yang spesial. Kakaknya sama saja seperti orang pada umumnya, bahkan lebih pembangkang dari pada Evin sampai-sampai berani meninggalkan rumah. "Kenapa aku yang harus menikah duluan? Kakak lebih tua, kenapa bukan kakak saja yang menikah dulu?" balas Evin menahan kecewa. "Kau menginginkan itu? Kalau begitu bawa kakakmu pulang." "Kalau aku membawanya pulang, Kakek tidak perlu lagi menyuruhku untuk menikah, bukan?" "Ya, terserah kau mau melakukan apa. Kau mau menjadi fotog
"Kenapa Mom selalu menyalahkan foto-foto ini dari pada menyalahkan diri Mom sendiri?" balas Evin. "Kenapa Mom menyalahkan diri sendiri? Tentu saja foto-foto itu yang membuatmu mengabaikan perusahaan! Kau berlagak sibuk dengan wanita, padahal kau menutupi foto-foto itu dengan wanita!" "Mom, apa salahnya aku menjadi fotografer?" Evin berdiri dari kursinya. "Fotografer tidak akan menjamin hidupmu!" "Bisa, Mom! Mom saja yang tidak suka aku menjadi fotografer! Mom, tidak bisakah Mom mendukung satu saja yang menjadi impianku?" "Dengar, Evin, Lissel Group jauh lebih membuatmu bahagia dari pada fotografi." "Itu menurut Mom, tapi tidak
"Kau sangat kasar, Tuan." "Aku memang orang yang kasar dan aku tidak menyukai wanita, aku tidak akan menikah dengan siapa pun." "Bagus, itulah yang kucari..." Maria mencondongkan tubuhnya ke tubuh Lucas dan membisikkan kalimat dengan suara menggoda, "Bukankah aku cantik? Menikah saja denganku, meskipun menikah, kau akan tetap merasa tidak menikahi siapa pun. Kau hanya perlu berada di sisiku saat di depan orang tuaku saja. Bagaimana? Bukankah itu sangat menarik?" "..." Tanpa takut, Maria membelai wajah Lucas. Tangannya merasakan kalau jenggot Lucas baru saja dicukur. Kulit yang halus membuat Maria merasa terpukau. 'Kulit seorang pria bagaimana bisa sehalus ini?' Awalnya Lucas men
Sementara di kantor tempat Maria bekerja, begitu mendapat telepon dari rumah, Maria panik setengah mati. Tidak, dia kaget dan penasaran tentang motif apa di balik kedatangan Lucas di rumahnya. Buru-buru Maria meninggalkan ruangannya dan pulang meskipun belum jamnya untuk pulang. Sebagai pimpinan, Maria bebas pergi kapan saja kalau tidak ada pekerjaan lagi di kantor. Maria mengendarai mobilnya sedikit mengebut sambil membawa rasa penasaran yang membuatnya tidak sabar untuk bisa sampai di rumah. Tak bisa dipungkiri, Maria merasa senang atas kedatangan Lucas. Saat menerima panggilan dari Ros tadi, dia mendengar suara ibunya sedang mengatakan sesuatu. Tapi Maria tidak tahu apa yang dikatakan oleh ibunya karena suaranya terdengar samar-samar. Maria tidak menyangka, Lucas datang sendiri ke rumahnya. Padahal yang Maria minta hanya alamat rum
Jarum jam menunjukkan pukul 17.00. Harusnya jam kerja sudah berakhir, tapi aku masih memiliki beberapa hal yang harus kukerjakan. Di samping itu, pikiranku terus tertuju pada undangan Jenny — membuatku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. "Bu Maria, ini ada beberapa dokumen yang memerlukan tanda tangan anda," ucap Selly, sekretarisku. Dia masuk ke dalam ruanganku sambil membawa tumpukan kertas. Aku melirik lagi ke arah jam digital di meja kerjaku. Entah kenapa aku merasa tidak sabar untuk meninggalkan kantor. "Aku harus pergi ke suatu tempat, apa aku bisa menundanya besok?" kataku pada Selly. Ada nada memaksa di sana. "Tentu saja. Di mana saya harus meletakkan ini?" "Tolong letakkan di meja dekat rak buku! Besok akan kuperiksa." "Baik." "Oh ya, Selly. Apa ada pakaianku di kantor?" "Ada. Apa anda ingin aku menyiapkannya?" "Iya. Aku akan pergi ke pesta reuni, tolong siapkan!" "Pesta? Apa anda ingin memakai gaun atau semacamnya?" "Tidak. Jangan terlalu mewah, aku hanya perlu terli
Label 'barang dagangan' sudah melekat di dalam diriku, jadi sekalian saja aku merendahkan diriku sendiri dengan mengajak Lucas menikah. Namun, ajakanku langsung ditolak olehnya, harga diriku semakin jatuh. Ah, tanpa itu pun harga diriku sudah jatuh sejak ayahku menjodohkan aku dengan beberapa pria kenalannya. Kencan buta sialan! Dikarenakan oleh label itu, reputasi XP Fire juga terpengaruh. Untungnya aku bisa menyelamatkan XP Fire, yah... walaupun posisinya tidak setinggi dulu. Sungguh menjengkelkan!Aku tidak marah pada Lucas meskipun dia menolakku, aku hanya marah pada diriku sendiri yang tidak dapat mengontrol emosi. Seandainya aku bisa lebih tenang, aku tidak akan berkata pada Evin 'akan segera menikah'— bahkan dengan beraninya aku menunjukkan Lucas padanya sebagai calon suamiku. Jika aku tidak melakukan semua itu, aku tidak akan sampai menerima tantangan dari Evin. Biasanya aku bisa mengendalikan diri, tapi saat di depan Evin — entah kenapa aku merasa lebih emosional."Sekarang ap