"Maafkan aku, Love. Aku memang salah. Aku menyesal."
Suara Erick terdengar begitu pilu, ia mengiba, memohon-mohon, bahkan berlutut di hadapanku. Raut wajahnya menggambarkan penyesalan yang dalam.
"Aku sudah memaafkan kamu." Aku menanggapinya setengah hati, berharap kalimat yang ku ucapkan itu segera mengusirnya dari sini.
Tergambar perasaan lega dan senang di wajah tampan yang pernah membuatku tergila-gila itu. "Terima kasih, Cinta. Aku berjanji ...."
"Aku memaafkan kamu, bukan menerimamu kembali," tukasku dengan nada yang semakin dingin.
Erick tampak kecewa. Wajah yang sempat ceria kini mendung lagi. "Aku tahu aku salah, tapi waktu itu aku terpaksa ...."
"Terpaksa??? Dengan penuh gairah kau mencumbu wanita itu di depan mataku, kau bilang itu terpaksa?" seruku gusar. "Aku masih mengingat dengan jelas hari itu. Perlu kamu ketahui, aku belum dementia."
Aku berupaya untuk tidak murka, apalagi menangis di hadapan Erick. 'Waktu untuk menangis dan berkabung atas pengkhianatanmu sudah habis, Erick,' batinku pedih.
Erick, cinta pertamaku, pria yang pernah menjadi sinar matahari dalam hidupku, kini hanyalah seorang mantan suami yang telah berkhianat dan menghancurkan hati dan hidupku.
"Oke," ucap Erick sembari bangkit berdiri. "Katakanlah kau tidak ingin menerimaku kembali. Tapi aku yakin dalam hatimu, kamu pasti masih menyimpan cinta dan kenangan kita, Love."
Aku mencibir sinis. Kepercayaan diri dari mana yang dia dapatkan? "Apa yang bisa diharapkan dari cinta yang sudah ternodai oleh pengkhianatan? Kita sudah berakhir, Erick," cemoohku mulai kehabisan tenaga. Lelah sekali rasanya ribut seperti ini.
"Setidaknya pikirkan anak kita, Love."
"Dia anakku, bukan anakmu, Erick."
"Ricky anakku juga, Velove, darah dagingku. Kau pikir kau bisa hamil sendirian tanpa kontribusi seorang laki-laki?" Suara Erick mulai terdengar meninggi. "Kau bahkan menamainya Ricky, sesuai keinginan kita dulu, apa kau lupa?"
Kalimat terakhir Erick seperti sebuah pukulan telak yang membungkamku. Yang ia ucapkan memang benar, namun itu tidak bisa menutupi kenyataan bahwa ia adalah mantan suami yang pengecut dan tidak bertanggung jawab.
"Cinta, tolong jangan keras kepala," ucap pria itu dengan nada yang lebih lembut. "Aku memang salah, aku khilaf untuk sesaat karena tekanan dari orang tuaku yang terlalu kuat. Tapi aku sudah meninggalkan wanita itu, Sayang. Kami tak punya hubungan apa-apa. Kau pergi tanpa pamit, dan tidak kembali, membuat hatiku hancur berkeping-keping. Tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Kehidupanku selama tiga tahun di sini terasa damai dan tenang, tapi sekarang semua ketenangan itu hancur karena kehadiran mantan suamiku lagi. Runyam!
Aku ingin berteriak, marah, menangis, namun aku menahan diri. Rasanya tidak enak kalau kami malah menarik perhatian penghuni rusun yang lain dengan drama tidak bermutu ini.
Erick berupaya meraih tanganku, namun aku menepisnya.
"Erick, jangan buat keributan di sini, aku malu dengan tetangga, dan aku capek. Tolong pergilah," pintaku yang merasakan lelah secara fisik dan emosi.
Aku merasa tidak sanggup bicara lebih lanjut dengan Erick, setidaknya untuk saat ini. Aku sadar ada yang harus diselesaikan di antara kami, tapi tidak sekarang.
"Tapi, Love, kita harus bicara ...."
"Jangan sekarang, Erick, tolong. Pergilah dulu." Dengan tatapan mata letih aku memohon kepada pria itu. Aku belum siap secara mental untuk bertemu lagi, apalagi berbicara dengan mantan suamiku.
Akhirnya Erick mengalah. "Baiklah, tapi aku akan datang lagi besok. Beri aku kesempatan untuk bicara, Love," ujar Erick bersungguh-sungguh.
"Ya, terserah."
"Jaga dirimu, My Love. Aku mencintaimu."
Aku melihat pria itu bermaksud untuk memelukku sebelum pergi, tapi aku bergerak lebih cepat dengan menutup pintu rumahku dan menguncinya.
"Love ...," desah Erick mengembuskan kekecewaan tanpa tanggapan apapun dariku. Dengan berat hati ia pergi meninggalkan tempat tinggalku ini.
Setelah menyadari langkah Erick menghilang dari pendengaranku, aku yang bersandar pada pintu, dan seketika merosot ke lantai, dengan tubuh yang terasa sangat lemas.
Seluruh emosi dan pikiran berkecamuk di kepalaku. 'Kenapa kamu harus datang lagi, Erick? Kenapa?' rutukku dalam hati.
Ketika aku sedang merenungi nasibku, dari luar terdengar suara ketukan di pintu.
"Tok tok tok."
Aku mengabaikannya, namun ketukan itu terdengar lagi.
"Velo, kamu di dalam, Nak?"
Ibu Berta! Ia pasti sudah mendengar keributan tadi. Aku merasa tak enak hati dengan wanita baik itu.
Aku bangkit, membuka pintu, dan tanpa memandang aku berlari memeluk sosok yang berdiri di depan pintu itu.
"Bu Ber ...," lirihku, seraya melingkarkan lenganku di tubuhnya. Dia balas memeluk ku dan sedikit mengusap punggungku.
Tapi ... ada yang salah.
Ini bukan dada Bu Berta. Mengapa jadi keras begini? Dan wanginya ... maskulin, tiba-tiba membuat jantungku berdebar.
Astaga!
Aku mendongak dan melihat seringaian nakal dari pemilik tubuh itu.
"Velo." Terdengar suara Ibu Berta lagi, tapi ternyata ia berdiri di belakang orang yang aku peluk.
Mati aku! Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan orang itu, tetapi ia menahanku. Aku terpaksa harus memukul lengannya, barulah ia membiarkanku pergi.
Aku terbirit-birit masuk rumahku dan menutup pintu. Duh, kok bisa salah sih? Malu banget! Aku memukuli kepalaku pelan beberapa kali. Lalu kututupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku menjerit tanpa suara.
Kudengar suara pria itu terkekeh. "Hari ini pelukanku gratis, Ve, tapi besok bayar ya," godanya dari balik pintu.
Ini tadi melodrama aku kedatangan mantan suamiku yang ngajak balikan, kenapa malah tiba-tiba jadi romantic comedy gini ya? Sama dia pula! Kacau!
Aku malu, tapi juga ingin ketawa. Ingin ketawa tapi juga merasa malu. Bingung kan?
Gawat memang Mas 203 itu! Awalnya ia tetangga sebelah yang sangat baik, lalu beberapa bulan terakhir ini dia mulai mengusik kesendirianku dengan sikapnya yang tahu-tahu jadi 'nakal' dan suka menggoda.
"Aduh! Cubitan Ibu Berta boleh juga. Hehe," serunya. Rupanya Bu Berta menghukum pria pengganggu itu dengan mencubitnya.
"Makanya, jangan suka gangguin anak Ibu! Sudah, balik ke kandangmu sana!" hardik Bu Berta, tapi masih dengan nada ramah.
"Memangnya saya singa, Bu, disuruh masuk kandang?"
"Bukan singa tapi sapi, nanti Ibu yang jadi gembalanya, Mas ganteng," sahut Bu Berta yang memang suka melucu. "Velo, Ibu masuk ya."
Aku mendengar ketukan pintu lagi, kali ini Bu Berta sendiri yang membukanya karena tahu aku tidak mengunci pintuku.
Begitu pintu terbuka aku buru-buru menutupnya tanpa melirik ke arah mahkluk hidup yang masih setia berdiri di tempatnya semula. Aku mendengar ia terkekeh tapi tak aku tanggapi.
Aku dan Bu Berta saling memandang. Ia mengulum senyuman, sedangkan aku menahan tawa dan malu
"Duduk, Bu." Aku mendorong wanita paruh baya itu untuk duduk di kursi tak jauh dari pintu. Bu Berta tersenyum sambil memandangku.
"Kenapa, Bu? Ada yang lucu di muka saya?" tanyaku salah tingkah.
"Nggak apa-apa. Ya, Ibu maklum saja perawakan Ibu memang tinggi besar, jadi kalau kamu salah peluk bisa dimengerti. Walaupun, ehem ... mukanya jelas beda, bentuk badannya beda, dan ... ehem ... parfumnya ...."
"Eh, itu beneran saya nggak lihat tadi, Bu, jadi keliru," sahutku cepat-cepat.
Bu Berta mengangguk dengan senyum sok pengertiannya.
"Maaf ya, Bu, tadi saya nggak bermaksud membuat keributan." Aku meminta maaf atas kejadian dengan Erick tadi, sekaligus mengalihkan pembicaraan.
"Itu tadi mantan suami kamu ya?"
"Iya."
"Ngajak rujuk?"
"Iya."
Bu Berta kembali mengangguk-anggukkan kepala.
"Ya sudah, kamu pikirkan baik-baik ya, Nak, untung ruginya. Bagaimanapun kamu masih harus memikirkan Ricky, kamu juga masih muda, masih layak kalau mau menikah lagi," katanya penuh perhatian.
Setelah membuat pertimbangan sesaat, aku memutuskan untuk bicara dengan Bu Berta.
"Bu Ber, mungkin ini saatnya Velo bercerita."
"Velo, mungkin ini saatnya Bu Ber mendengarkan," timpalnya, membuat aku tersenyum ringan. Bu Berta selalu berupaya membuat suasana nyaman ketika orang ingin bicara serius dengannya.
"Kejadiannya dimulai lima tahun lalu...."
[Lima tahun sebelumnya] "Guys, tahu nggak tadi aku sempat lihat ada murid baru, cowok, di ruang guru gitu, gantengnya ngalahin Aliando Syarief. Terus usut punya usut nih, Detektif Nina dapat info kalau itu cowok cakep bakalan masuk ke kelas kita." Suasana kelas pagi ini hingar bingar bersaing dengan ramainya terminal angkot yang ada di seberang sekolahan. Maklum sekarang sudah jam pelajaran, namun Bu Cicil, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas kami, yang mengajar di jam pertama ini belum hadir. Dan Nina si tukang gosip telah memulai acara gibahannya. "Beneran ada cogan gituh?" Sandra yang duduk di samping Nina terpekik girang. Mereka berdua kompak cekikikan, dan melakukan toss dengan dua tangan berkali-kali. "Salah dengar kali loe, Nin. Masa iya ada murid baru pindah ke kelas tiga? Tanggung banget, udah jalan dua bulan pula kita di tahun ajaran ini," tukasku mencoba menyadarkan mereka dari mabuk cowok. "Idih, dibilangin juga kagak percaya lo," sungut Nina. "Entar kalau elo u
Sejak hari itu Erick mulai mendekati aku. Lelaki itu tidak melewatkan satu kesempatan pun untuk menggangguku, entah melalui senyuman, perkataan hingga perhatian. Aku yang awalnya menilai dia sebagai tukang tebar pesona, tiba-tiba menjadi bodoh dan membiarkannya. Entahlah, senyuman dan tatapannya yang membius itu seolah sudah melumpuhkan akal sehatku. Ada-ada saja kelakuannya. Saat aku sedang fokus belajar, dia meletakkan kepalanya di meja dengan posisi miring menghadap aku. Lantas dia akan memandangiku sambil senyum-senyum nggak jelas. Aku jadi salah tingkah. Kalau kutanya, "Ngapain sih ngelihatin aku terus?" dia akan menjawab, "Karena kamu cantik, Love." Lalu aku tersipu dan semakin salah tingkah. Gila saja, aku yang selalu menjaga diri agar tidak dekat dengan cowok manapun, bahkan sering bersikap ketus jika ada yang mendekati, justru sekarang seperti terkena hipnotis Erick, dan tak mampu menolak rayuannya.Saat awal perkenalan dia memanggilku 'Love', bagian dari namaku itulah yan
"Aku antar kamu pulang," pemuda itu berucap tegas."Tapi ...." "Nggak ada tapi-tapian. Kamu mau ketemu preman lagi kayak tadi?" Kali ini ia menatapku tajam, tak ingin perintahnya ditolak.Ini jelas bukan sebuah permintaan atau penawaran, tapi perintah. Entah bagaimana ceritanya Erick bisa datang menyelamatkanku. Eloknya lagi dia bisa membawa serta dua orang pemuda gagah berseragam tentara bersamanya. Terang saja ketiga preman tadi tidak mampu berkutik. Mereka cuma bisa cengengesan dan menjauh satu langkah dariku."Eh, sorry ye, Tong. Tadi kite cuma ngobrol bentar ame cewek loe, kagak kite apa-apain bener, masih utuh. Hehe," ucap si kepala preman sambil cengengesan. Lalu mereka mundur teratur meninggalkan kami.Erick bisa seheroik itu ternyata. Rasanya kayak aku jadi seorang puteri yang diculik penjahat, terus diselamatkan oleh pangeran tampan berkuda putih. So sweet banget 'kan? Tapi sayangnya aku masih kesal sama dia, jadinya so sweet-nya dianulir saja. Sikapnya menyebalkan: melam
Motor Erick melaju dengan kecepatan sedang membawa kami kembali ke jalanan Jakarta yang ramai. Lenganku memeluk pinggangnya dengan malu-malu. Senyum bahagia merekah di bibirku. Masih ku ingat momen ketika cowok yang telah mencuri hatiku itu menyatakan perasaannya, menceritakan bagaimana ia jatuh hati padaku. Harapan yang sempat kupupus kembali bersemi di hati, merekahkan bunga-bunga cinta dengan begitu indahnya.Erick menatapku dalam, sedangkan aku hanya sanggup berpaling dan menatap gelas berisi air teh di hadapanku. Teh yang tadinya panas sudah mulai mendingin, gantian wajahku yang memanas. "Waktu Bu Cicil bilang aku mesti duduk di sebelah kamu terus aku lihat raut wajahmu yang syok, aku bertekad untuk menjadikan kamu 'target' berikutnya. Lalu aku pasang senyuman mautku dan mengajak kamu berkenalan, berharap kamu akan takluk. Namun setelah aku menatapmu, ternyata aku yang takluk," seringai Erick.Kudengar suara tawanya yang renyah, entah dia menertawakan dirinya sendiri, atau dirik
"Wuhuuuu...! Velove memang paling bisa diandalkan dalam urusan menyanyi, Sodara-sodara." "Yo'i, Nin! Isyana-nya SMA 88 gitu loh!" Kedua sahabatku kompak menyemangati dan memuji penampilanku. Mereka bahkan membawa pom-pom cheerleader, dan berteriak-teriak ketika aku berada di panggung. "Apaan sih, kalian ini?" Aku tersipu mendengar pujian dari mereka berdua. Masa aku disamain sama Isyana Sarasvati yang punya suara merdu nan melengking indah itu? Kan malu kalau sampai ketahuan aku besar kepala. Eh? Teman-teman sekelas yang lain pun ikut menyalamiku. Hari ini hari kelulusan kami. Setiap kelas diminta mengirimkan satu talenta untuk memeriahkan acara, dan aku yang dipilih oleh teman-teman untuk mewakili kelas kami. Mereka masih heboh berceloteh tentang ini itu, tapi satu sosok yang aku cari tidak ada di antara mereka. Mataku mencari di setiap sudut, tetapi tak tampak batang hidungnya. "Ngapain, Vel? Nyariin Jarjit ya?" tanya Sandra yang sudah ikut-ikutan menyematkan nama Jarjit pada p
"Love...." "Erick sayang, di sini saja." "Erick, tetap di sini! Turuti kata Papa!" Suara-suara itu masih sempat kudengar tatkala aku keluar dari rumah mewah milik keluarga Erick, bersaut-sautan memenuhi indra pendengaranku. Sepertinya pacarku ingin mengejarku, tapi sudah jelas cewek yang sedari tadi menempel di lengannya seperti ulat bulu itu tidak membiarkannya. Seruan Om Johan bahkan lebih keras lagi. Akan tetapi aku masih berharap Erick akan menyusulku, karena aku percaya ia mencintai aku. Dengan wajah bersimbah air mata aku berjalan tak tentu arah. Hatiku sakit tak terkira. "Kenapa, Non, kok nangis?" "Disakiti pacarnya ya, Mbak?" Beberapa orang yang berpapasan denganku tampak menunjukkan perhatian dan keprihatinan saat melihat penampakanku yang berjalan gontai dengan muka amburadul. Kebanyakan hanya menatapku aneh, namun ada sebagian yang bertanya. Saat merasa kelelahan, aku memilih untuk duduk di dekat trotoar. Kaki lelah berjalan, tetapi hatiku lebih lelah lagi. Meskip
"Ekheeem!" Suara dehaman yang cukup keras itu sontak membawa aku dan Erick ke dunia nyata. "Maaf mengganggu, Mbak, tapi saya mau bayar nih, bukan mau nonton drakor," cakap seorang wanita dengan senyuman menggoda. Di tangannya ada keranjang dengan cukup banyak barang belanjaan di dalamnya. "Eh, maaf, Bu," ucapku sambil menunduk. Dengan perasaan malu, aku melepaskan diri dari pelukan Erick. Duh, untung ada ibu itu yang mau beli, kalau nggak pasti sudah ada adegan drakor beneran antara aku dan Erick. Tahu 'kan maksud saya? "Sekali lagi maaf, ya, Bu." Aku merasa tidak enak kepada pembeli itu, sampai aku jadi salah tingkah dan kebingungan sendiri sewaktu kami telah berhadapan di depan meja kasir. "Tenang saja, Mbak, pacarnya masih di situ tuh," ujar si ibu menunjuk ke arah rak-rak yang berisi makanan. Aku melihat Erick yang sempat mengintip sambil senyum-senyum kepadaku. "Eh, iya, Bu," sahutku cepat. Duh, gawat! 'Konsentrasi, Velove, konsentrasi!' batinku memarahiku. "Semuanya lima
"Love! Tunggu!" "Erick, jangan pergi!" Bagaikan mimpi buruk, suara-suara itu kembali memutar memori pedih, ketika aku datang ke rumah Erick dan papanya merendahkan aku. Ada Erick, dan ada mantan kekasihnya. Erick ingin mengejarku, namun wanita penggoda itu menahannya. Dan Erick tidak akan menyusulku. Bedanya kali ini tidak ada Om Johan. Hanya Awan mendung dan tiupan angin menjelang hujan yang menggantikannya. Tanpa memedulikan gerimis yang mulai turun, aku terus melangkahkan kaki. Aku tak tahu arah tujuanku, kakiku hanya tidak bisa berhenti. Kembali ke toko? Bu Iin pasti sudah pergi. Datang ke panti? Aku malu. Entah apa yang akan Bu Wiwin katakan jika mengetahui masalah ini. Pulang ke kontrakan? Oh, aku sungguh tidak sanggup bertemu muka dengan Erick, apalagi Stella mungkin masih ada di sana. Aku tak punya tempat untuk berlindung, itulah sebabnya aku hanya bisa pergi. Hujan yang semakin lebat sama sekali tak membuatku ingin menepi dan berteduh. Aku terus berjalan. Walaupun pa
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni