Motor Erick melaju dengan kecepatan sedang membawa kami kembali ke jalanan Jakarta yang ramai. Lenganku memeluk pinggangnya dengan malu-malu. Senyum bahagia merekah di bibirku.
Masih ku ingat momen ketika cowok yang telah mencuri hatiku itu menyatakan perasaannya, menceritakan bagaimana ia jatuh hati padaku. Harapan yang sempat kupupus kembali bersemi di hati, merekahkan bunga-bunga cinta dengan begitu indahnya.Erick menatapku dalam, sedangkan aku hanya sanggup berpaling dan menatap gelas berisi air teh di hadapanku. Teh yang tadinya panas sudah mulai mendingin, gantian wajahku yang memanas."Waktu Bu Cicil bilang aku mesti duduk di sebelah kamu terus aku lihat raut wajahmu yang syok, aku bertekad untuk menjadikan kamu 'target' berikutnya. Lalu aku pasang senyuman mautku dan mengajak kamu berkenalan, berharap kamu akan takluk. Namun setelah aku menatapmu, ternyata aku yang takluk," seringai Erick.Kudengar suara tawanya yang renyah, entah dia menertawakan dirinya sendiri, atau diriku yang polos dan naif."Astaga!" Aku menutupi mulutku dengan tangan, tak percaya dengan apa yang ia katakan. Aku membuat sang playboy takluk? Kalau Nina mendengarnya dia pasti akan berseru, "Unbelievable!" dengan gaya dramatis, dan Sandra akan berteriak, "Uwuuu!"Ah, gara-gara mereka juga aku jadi begini.Sesaat Erick mengembuskan napas, kemudian melanjutkan kata-katanya lagi. "Sayangnya aku terlambat menyadari itu. Aku hanya berpikir aku mendapatkan kesenangan dari menggodamu, main-main denganmu. Hingga suatu hari aku tersadar bahwa perasaanku padamu berbeda, lalu aku mulai menjauhi kamu, bahkan berupaya membuat kamu cemburu dengan mendekati cewek lain."Pengakuan Erick membuatku tertegun. Jadi itu alasan dia bersikap dingin padaku akhir-akhir ini. Mengesalkan, sekaligus melegakan, Erick bukannya tertarik dengan Merry yang centil itu."Meskipun demikian aku tidak bisa memungkiri bahwa aku peduli padamu, jadi diam-diam aku selalu mengawasi kamu, hanya saja kamu tak menyadarinya. Lalu sore tadi aku melihat kamu diganggu oleh preman-preman itu, aku tidak bisa tinggal diam," lanjut Erick.Dari raut wajahnya aku melihat bahwa ia benar-benar tak suka melihat aku diganggu para preman tadi. Tak ada senyum di wajahnya, dagunya mengeras, tatapannya tajam, seolah siap turun tangan menghajar para preman itu, jika sampai mereka berani melecehkanku lebih lanjut."Terima kasih, Erick, atas pertolonganmu. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika kamu tidak datang," ucapku tulus. Tadi bahkan aku belum sempat berterima kasih atas pertolongannya yang begitu heroik.Erick tersenyum dengan begitu manis, dan dengan berani ia menggenggam tanganku. "Dengan senang hati, Love. Sekarang aku tahu aku sayang kamu dan nggak bisa jauh darimu."Tatapan matanya melembut seketika. Ia memandangku dengan begitu ... mesra? Senyumannya pun berbeda.Oh, tidak! Apakah aku akan ditembak? Hatiku seakan mau meledak saking gugupnya, berharap bahwa ini sungguhan, tapi di pihak lain aku merasa ini semua hanya khayalan."Love, maukah kamu ....""Drrt ... drrtt ... drrttt."Perkataan Erick terpotong oleh suara getaran ponselku dari dalam tas. Aku terkesiap. Ya ampun, aku baru sadar hari sudah petang. Bisa kulihat dari kaca jendela rumah makan ini, bahwa langit di luar telah mulai gelap, dan jalanan mulai diterangi oleh lampu-lampu listrik."Maaf ya, Rick, aku jawab dulu ....""Jawab saja, Sayang," ujar Erick penuh pengertian.Duh, merona saya jadinya dipanggil 'sayang' begitu, salah tingkah jadinya. Sesekali kulirik Erick yang tak jua memalingkan tatapannya dariku.Aku menjawab panggilan suara yang membuatku harus pulang secepatnya itu."Makananmu nggak dihabiskan dulu?" tanya Erick sembari menunjuk piring yang berisi makananku.Aku menggeleng dengan perasaan rikuh karena aku sudah ditraktir makan, tapi malah tidak aku habiskan. Erick curang sih, dia makan cepat-cepat lalu tahu-tahu ngajakin ngomong tentang hal yang bikin hati cenat cenut, gimana aku bisa enak makan?Jadinya pembicaraan serius itu belum berlanjut. Erick langsung mengantarku pulang."Di sini tempat aku tinggal," ucapku sedikit ragu ketika akhirnya kami sampai. Aku turun dari motornya. "Kamu ... nggak masalah berteman denganku setelah mengetahui ini?" tanyaku sedikit cemas.Aku memang bukan anak dari keluarga normal, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Aku hanyalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.Aku tidak tahu asal usulku, siapa ayah dan ibuku. Kata Bu Wiwin yang menjadi Ibu Kepala Panti, waktu aku bayi aku ditaruh dalam keranjang, lalu seseorang, entah siapa, meletakkan keranjang itu di depan gerbang panti asuhan ini. Benar-benar mirip dengan yang ada di sinetron.Nama Velove diberikan padaku karena di selimut yang membungkus badan kecilku kata itu tertulis.Erick menatapku serius. "Kamu malu jadi anak panti?" Pertanyaannya mengandung nada mencemooh."Eh, bukan begitu, Rick!" sahutku cepat. "Aku sudah menerima kenyataan bahwa aku bukan anak siapa-siapa, dan aku bahagia di sini dengan teman-temanku, dan ibu-ibu pengurus panti. Hanya saja aku tahu, tidak semua siswa di sekolah mau berteman denganku karena latar belakangku ini."Kututurkan kepada Erick bahwa sejak kecil aku selalu jadi bahan ejekan teman-teman sebayaku, namun aku beruntung karena selalu saja ada anak baik yang mau berteman denganku, jadi aku tidak merasa tersisihkan. Saat ini pun aku punya Sandra dan Nina yang menjadi sahabatku, menyayangiku apa adanya.Hanya saja aku tidak tahu bagaimana tanggapan Erick setelah mendengar kenyataan ini. Dia anak orang kaya, sedangkan aku ... masih mending kalau bisa disebut sebagai anak orang miskin. Lah, orang tua saja aku tak punya, apa yang bisa dibanggakan dariku?"Ya sudah kalau kamu tidak malu. Tidak usah pedulikan perkataan orang, belum tentu mereka sebaik kamu," kata Erick seraya tersenyum, membuatku lega. Ah, syukurlah, ia tak seperti anak-anak konglomerat yang lain, yang enggan berteman denganku karena aku tak selevel dengan mereka."Ehmm ... jadi ...." kataku sedikit kikuk.Duh, bagaimana bilangnya ya? Tadi di tempat makan Erick sempat berniat menembak aku, tapi momennya nggak jadi romantis karena ada telepon masuk dari Ibu Panti yang menginterupsi. Aku ingin menanyakan hal itu tapi aku malu. Aku takut Erick menilaiku murahan karena menanyakan tentang sesuatu yang baru ada dalam anganku.Erick tergelak kecil melihat kegalauanku. "Masuklah, Love. Kamu pasti sudah ditunggu, ini sudah jam tujuh lebih. Kamu istirahat ya," perintah Erick tanpa basa-basi lain.Ada sedikit kekecewaan dalam hatiku. Mengapa tidak mengulangi yang tadi? Tidak inginkah dia menyelesaikan kalimat yang tertunda tadi? Sementara harapanku sudah mulai membubung, tak ada dasar yang kuat untuk itu. Bila aku terjatuh lagi, pasti tak kalah sakit dari sebelumnya.Ah, sudahlah, mungkin memang belum saatnya. Aku harus sadar diri. Aku mengangguk dan berpamitan kepada pemuda itu.Saat aku melangkah tiba-tiba Erick memegang lenganku. "Eh, ada siapa itu di jalan?" serunya dengan mata menatap ke belakangku.Spontan aku menengok ke arah yang Erick tunjuk, kemudian, "Cup!" sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh pipiku."Eh?" Aku menoleh ke Erick lagi. Dia terkekeh dengan wajah malu-malu. Lelaki itu mencium pipiku.Kupegang pipiku, seketika kurasakan suhunya naik, lantas aku tersipu malu."Mulai hari ini kita jadian ya. Sampai besok, Love. Daah!"Dengan tawa riang Erick kembali menaiki kendaraannya, melambaikan tangan kepadaku dan berlalu. Sesekali ia mengengok ke belakang dengan cengiran jahilnya."Astaga! Aaaakkkkhhhhh!" pekikku tertahan. Aku menari berputar-putar di depan gerbang panti. Jadi begini rasanya ditembak dan jadian? Begini rasanya punya pacar? Seperti terbang ke awan.Eh, tapi aku tidak mungkin cerita sekarang ke Ibu Panti ... hmm, mungkin besok. Kira-kira aku dimarahi nggak, ya? Duh!Waktu aku masuk Bu Wiwin hanya bertanya mengapa aku terlambat pulang. "Tadi ngerjain tugas dulu, Bu, sama Nina sampai sore. Terus tadi diajakin makan sekalian, juga diantarkan pulang sama teman," tuturku mulai membuat alasan. Setidaknya aku tidak berbohong, memang itu yang kulakukan."Sama Nina juga?" tanyanya penuh selidik."Eh, b-bukan, Bu. Sama teman sekelas yang lain," jawabku dengan perasaan sedikit bersalah. Duh, gawat kalau sampai ketahuan.Bu Wiwin menatapku sedikit curiga. Jangan sampai dia tanya siapa nama temanku, aku nggak bisa bohong.Di luar dugaan Bu Wiwin hanya tersenyum lalu menyuruhku untuk segera mandi, dan beristirahat."Huft, selamat deh." Aku menghela napas lega.Ternyata kelegaan itu hanya berlangsung malam ini, karena keesokan harinya terjadi kehebohan."Mbak Velo, ada temannya yang nyariin, orangnya ganteng!" seru Betty, salah satu adikku di panti, ketika aku sedang berkemas untuk berangkat sekolah.Waktu aku tengok ke depan Erick sudah di ruang tamu, sedang mengobrol dengan Bu Wiwin. Waduh, gawat! Mengapa Erick malah datang ke mari?"Eh, Erick ...." Aku salah tingkah seperti anak yang ketahuan mencuri, apalagi Bu Wiwin sempat menatapku dalam diam."Hai, Love. Kita berangkat bareng ya," ajak Erick santai.Lho, kok? Apakah semudah itu Erick menaklukkan hati Bu Wiwin? Ibu Panti kami ini memang bukan orang yang galak atau kaku, tapi setahuku dia selalu berupaya agar anak-anak asuhnya memiliki moral yang baik, termasuk berjaga agar kami tidak pacaran dulu sebelum lulus sekolah."Buruan, Velo. Nanti kalian telat lagi," tegur Bu Wiwin saat melihatku terbengong. Wanita itu mengangguk dan tersenyum kepadaku."Eh, iya, Bu." Aku bergegas kembali ke kamarku untuk mengambil tas dan memakai sepatu.Bu Wiwin tidak menanyakan apapun hingga aku dan Erick pergi."Kamu ngapain mesti jemput di panti sih?" protesku kepada kekasihku itu."Aku cuma pingin berangkat sekolah bareng teman sekelas yang merangkap pacarku. Nggak salah 'kan? Bu Wiwin baik kok," jawab Erick penuh percaya diri.Keberanian Erick tidak berhenti sampai di situ. Saat di sekolah dia tidak segan menggandeng tanganku dan meyatakan ke orang-orang bahwa kami sudah menjadi sepasang kekasih.Perasaanku antara senang dan malu. Tak kusangka Erick bisa se-gentleman ini.Saat aku sudah kembali ke panti, Bu Wiwin tidak terlalu banyak bicara padaku. "Velo, Ibu sudah bicara dengan pacar kamu tadi. Erick anak yang baik."Betapa lega hatiku mendapat lampu hijau dari Bu Wiwin."Kamu sudah dewasa, sebentar lagi kamu sudah lulus SMA. Yang penting kamu jaga diri ya, selalu ingat apa yang sudah ibu-ibu panti ajarkan kepadamu," imbuhnya penuh pengertian."Bu Wiwin ... terima kasih, Bu." Aku memeluk Wiwin penuh haru. Tak kusangka wanita yang sudah kuanggap ibuku sendiri itu memperbolehkan aku memiliki pacar.Hari-hariku terasa indah dan sempurna dengan kehadiran Erick. Kami selalu bersama, saling mendukung dan membantu. Bahkan Erick mulai menunjukkan kecerdasan yang sebenarnya dia miliki, hingga ia kembali meraih prestasi di sekolah. Aku yang biasanya juara umum di sekolah, harus turun ke ranking dua.Tapi aku tidak merasa tersaingi, justru aku merasa bangga karena pacarku lelaki yang serius dalam studinya.Kami sangat bahagia.Namun menjelang kelulusan sekolah, situasinya mulai berubah ketika aku bertemu orang tua Erick. Ketakutanku terjadi."Wuhuuuu...! Velove memang paling bisa diandalkan dalam urusan menyanyi, Sodara-sodara." "Yo'i, Nin! Isyana-nya SMA 88 gitu loh!" Kedua sahabatku kompak menyemangati dan memuji penampilanku. Mereka bahkan membawa pom-pom cheerleader, dan berteriak-teriak ketika aku berada di panggung. "Apaan sih, kalian ini?" Aku tersipu mendengar pujian dari mereka berdua. Masa aku disamain sama Isyana Sarasvati yang punya suara merdu nan melengking indah itu? Kan malu kalau sampai ketahuan aku besar kepala. Eh? Teman-teman sekelas yang lain pun ikut menyalamiku. Hari ini hari kelulusan kami. Setiap kelas diminta mengirimkan satu talenta untuk memeriahkan acara, dan aku yang dipilih oleh teman-teman untuk mewakili kelas kami. Mereka masih heboh berceloteh tentang ini itu, tapi satu sosok yang aku cari tidak ada di antara mereka. Mataku mencari di setiap sudut, tetapi tak tampak batang hidungnya. "Ngapain, Vel? Nyariin Jarjit ya?" tanya Sandra yang sudah ikut-ikutan menyematkan nama Jarjit pada p
"Love...." "Erick sayang, di sini saja." "Erick, tetap di sini! Turuti kata Papa!" Suara-suara itu masih sempat kudengar tatkala aku keluar dari rumah mewah milik keluarga Erick, bersaut-sautan memenuhi indra pendengaranku. Sepertinya pacarku ingin mengejarku, tapi sudah jelas cewek yang sedari tadi menempel di lengannya seperti ulat bulu itu tidak membiarkannya. Seruan Om Johan bahkan lebih keras lagi. Akan tetapi aku masih berharap Erick akan menyusulku, karena aku percaya ia mencintai aku. Dengan wajah bersimbah air mata aku berjalan tak tentu arah. Hatiku sakit tak terkira. "Kenapa, Non, kok nangis?" "Disakiti pacarnya ya, Mbak?" Beberapa orang yang berpapasan denganku tampak menunjukkan perhatian dan keprihatinan saat melihat penampakanku yang berjalan gontai dengan muka amburadul. Kebanyakan hanya menatapku aneh, namun ada sebagian yang bertanya. Saat merasa kelelahan, aku memilih untuk duduk di dekat trotoar. Kaki lelah berjalan, tetapi hatiku lebih lelah lagi. Meskip
"Ekheeem!" Suara dehaman yang cukup keras itu sontak membawa aku dan Erick ke dunia nyata. "Maaf mengganggu, Mbak, tapi saya mau bayar nih, bukan mau nonton drakor," cakap seorang wanita dengan senyuman menggoda. Di tangannya ada keranjang dengan cukup banyak barang belanjaan di dalamnya. "Eh, maaf, Bu," ucapku sambil menunduk. Dengan perasaan malu, aku melepaskan diri dari pelukan Erick. Duh, untung ada ibu itu yang mau beli, kalau nggak pasti sudah ada adegan drakor beneran antara aku dan Erick. Tahu 'kan maksud saya? "Sekali lagi maaf, ya, Bu." Aku merasa tidak enak kepada pembeli itu, sampai aku jadi salah tingkah dan kebingungan sendiri sewaktu kami telah berhadapan di depan meja kasir. "Tenang saja, Mbak, pacarnya masih di situ tuh," ujar si ibu menunjuk ke arah rak-rak yang berisi makanan. Aku melihat Erick yang sempat mengintip sambil senyum-senyum kepadaku. "Eh, iya, Bu," sahutku cepat. Duh, gawat! 'Konsentrasi, Velove, konsentrasi!' batinku memarahiku. "Semuanya lima
"Love! Tunggu!" "Erick, jangan pergi!" Bagaikan mimpi buruk, suara-suara itu kembali memutar memori pedih, ketika aku datang ke rumah Erick dan papanya merendahkan aku. Ada Erick, dan ada mantan kekasihnya. Erick ingin mengejarku, namun wanita penggoda itu menahannya. Dan Erick tidak akan menyusulku. Bedanya kali ini tidak ada Om Johan. Hanya Awan mendung dan tiupan angin menjelang hujan yang menggantikannya. Tanpa memedulikan gerimis yang mulai turun, aku terus melangkahkan kaki. Aku tak tahu arah tujuanku, kakiku hanya tidak bisa berhenti. Kembali ke toko? Bu Iin pasti sudah pergi. Datang ke panti? Aku malu. Entah apa yang akan Bu Wiwin katakan jika mengetahui masalah ini. Pulang ke kontrakan? Oh, aku sungguh tidak sanggup bertemu muka dengan Erick, apalagi Stella mungkin masih ada di sana. Aku tak punya tempat untuk berlindung, itulah sebabnya aku hanya bisa pergi. Hujan yang semakin lebat sama sekali tak membuatku ingin menepi dan berteduh. Aku terus berjalan. Walaupun pa
Wanita dengan payung hijau itu adalah sosok pertama yang aku lihat ketika aku tersadar. "Kamu sudah bangun, Nak? Saya Bu Berta yang membawa kamu ke rumah sakit. Namamu Velove?" tanya wanita berbadan tinggi besar itu. Ia tampak lega melihatku akhirnya siuman. Mungkin Bu Berta telah melihat kartu identitasku sehingga ia tahu namaku. Aku tersenyum dan mencoba bangun, namun rasanya kepalaku masih berat. Aku melihat jarum dan selang infus terpasang di lenganku. Sepertinya kemarin aku sekarat. "Tiduran saja dulu. Kamu tidak sadarkan diri selama tiga hari. Badanmu demam tinggi. Syukurlah sekarang kamu sudah sadar dan tidak demam lagi," ucap Bu Berta dengan lembut. Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari? Dan selama itu hanya mimpi buruk yang aku temui. Erick mengejarku. "Love, jangan pergi," ucapnya seraya membawaku ke dalam pelukannya. Ia mendekapku erat, seolah tak ingin aku pergi lagi. "Erick...." Aku sangat bahagia. Aku membalas pelukannya erat, tak ingin aku lepaskan. Dekapan Eri
"Silakan Ibu tanda tangan di sini." Seorang pria berpakaian formal menyodorkan satu map berisi dokumen kepadaku.Tanganku menggenggam erat dokumen itu dengan tubuh gemetaran. Ingin rasanya aku merobeknya, agar niat jahat mereka tak terwujud.Tapi ... ada tanda tangan suamiku di situ? Mendadak kepalaku terasa pening, mataku berkunang-kunang, seolah dunia ini akan runtuh."Velo!" seru Bu Berta yang menahan tubuhku supaya tidak jatuh. Ia membawaku ke kamar dan menyuruhku berbaring. Aku memejamkan mata. 'Sabar ya, Nak,' ucapku dalam hati seolah menguatkan bayi di dalam kandunganku. Aku merasakan tendangan yang cukup kuat di perutku, seakan-akan ia juga ingin menyemangati ibunya. "Bapak ini gimana sih? Kalau mau ngasih surat gugatan cerai lihat situasi dong! Kak Velo kondisinya lagi lemah gitu, habis sembuh dari sakit, sedang hamil pula. Tega bener sih? Nggak punya perasaan! Mikir dong, Pak!" teriak Selvi lantang. Ia memarahi orang-orang itu dengan garang. "Maaf, Dik. Kami cuma melaksan
[Kembali ke masa kini] Bu Berta mendengarkan ceritaku sambil berurai air mata. Ini kali pertama aku melihat dia menangis. Ibu kuat itu bersedih untukku. "Sini, Nak. Bu Ber mau berikan pelukan beruang untukmu," ucapnya dengan suara sendu. Aku mendengar keprihatinannya. Dengan penuh haru aku menghamburkan diri ke pelukan Bu Berta, wanita yang selama tiga tahun ini menjadi penolongku, seseorang yang telah ku anggap ibuku sendiri. Saat aku tak punya tempat berteduh, ia menjadi payung untukku. "Velo, bagaimana bisa kamu menyimpan semuanya sendirian selama ini, Nak?" sesalnya sembari terus mengusap kepalaku. "Maaf ya, Bu. Saya baru bisa cerita sekarang. Saya tidak ingin menjadi beban, dan sejujurnya saya malu dengan kisah hidup saya," sahutku penuh penyesalan. Bu Berta melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang lenganku. "Kenapa malu, Sayang? Kamu tidak melakukan kejahatan yang melanggar hukum." "Bukan itu, Bu. Selama ini saya hanyalah seorang perempuan naif yang dibutakan oleh c
Apa maksud orang ini? Melamar jadi ayah Ricky? Terus aku yang ibunya Ricky ini akan dia anggap sebagai apanya? Istrinya? Nah, lho! Aku malah jadi mikir sampai ke situ, gawat nih! Mas-mas satu ini memang hobinya bikin baper. Sadar, Velove! Ingat siapa dirimu! Jangan sampai peristiwa dahulu terulang kembali! "Oh, kalau itu silakan hubungi bagian HRD ya, Pak. Saya hanya bagian cleaning service," kata Bu Berta yang melirikku dengan genit sebelum berjalan menuju rusunnya. "Bagaimana, Bu HRD? Apakah boleh? Ini anaknya mau lho sama saya." Pria itu bertanya dengan begitu percaya diri. "Heleh!" cemoohku meremehkan ucapannya. Mukaku saja yang mungkin terlihat santai, padahal jantungku dag dig dug der saja. "Masa Ibu nggak percaya sih? Nih, saya buktikan ya." Penghuni rusun 203 itu menyodorkan pipinya pada Ricky, dan tanpa ragu anakku menciumnya. "Tuh, kan! Ibu HRD sudah lihat sendiri kan?" tambah pria itu lagi sedikit pongah. Anakku memang sedekat itu dengan Mas Vincent Memang ya, pria s
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni