"Love...."
"Erick sayang, di sini saja."
"Erick, tetap di sini! Turuti kata Papa!"
Suara-suara itu masih sempat kudengar tatkala aku keluar dari rumah mewah milik keluarga Erick, bersaut-sautan memenuhi indra pendengaranku.
Sepertinya pacarku ingin mengejarku, tapi sudah jelas cewek yang sedari tadi menempel di lengannya seperti ulat bulu itu tidak membiarkannya. Seruan Om Johan bahkan lebih keras lagi.
Akan tetapi aku masih berharap Erick akan menyusulku, karena aku percaya ia mencintai aku.
Dengan wajah bersimbah air mata aku berjalan tak tentu arah. Hatiku sakit tak terkira.
"Kenapa, Non, kok nangis?"
"Disakiti pacarnya ya, Mbak?"
Beberapa orang yang berpapasan denganku tampak menunjukkan perhatian dan keprihatinan saat melihat penampakanku yang berjalan gontai dengan muka amburadul. Kebanyakan hanya menatapku aneh, namun ada sebagian yang bertanya.
Saat merasa kelelahan, aku memilih untuk duduk di dekat trotoar. Kaki lelah berjalan, tetapi hatiku lebih lelah lagi.
Meskipun aku hanya gadis yatim piatu yang tinggal di panti, dan selama ini ada cukup banyak orang yang tak menganggapku, baru kali ini aku merasa begitu direndahkan, dan terhina.
'Erick... Erick...," batinku gejolak memanggil nama lelaki yang aku cintai itu. Aku masih berharap akan melihat dia berlari datang kepadaku, menenangkan dan meyakinkan aku bahwa aku yang paling penting buat dia, tidak soal apa pandangan keluarganya.
Tapi harapan itu sama sekali tidak terwujud. Saat aku tengok ponselku pun sama sekali tidak ada telepon atau pesan masuk darinya. Sungguh kah ia tak peduli kepadaku?
Dengan hati kacau aku pulang naik angkot. Tak aku pedulikan sesama penumpang yang sempat memperhatikan aku.
"Velove, kamu kenapa?" tanya Bu Wiwin saat aku sudah kembali ke panti. Ia memandang aku yang masuk dengan muka kusut.
Ketika aku melihat wajah prihatin Bu Wiwin, air mata yang sudah surut, kembali mengalir deras tak terbendung. Aku menangis di pelukan ibu pantiku, dan sambil tersedu-sedu aku menceritakan apa yang sudah terjadi.
"Sabar ya, Nak," katanya sembari terus mengusap punggungku. "Ditunggu saja, mungkin ada hal yang harus Erick bicarakan dengan orang tuanya. Pasti sulit baginya kalau harus melawan ayahnya. Nanti dia pasti datang lagi nyariin kamu."
"Iya, Bu." Aku mencoba tersenyum dan menyeka air mata yang membasahi kedua pipiku. Setidaknya aku merasa lebih lega, setelah bercerita kepada Bu Wiwin.
Akan tetapi kenyataannya Erick tak muncul juga, ia bagai hilang ditelan bumi.
Aku nelangsa. Seandainya kami putus, setidaknya dia mesti bilang, 'Velove, aku tidak bisa melawan papaku. Kita putus saja.' Menyakitkan, tapi akan terasa melegakan, ketimbang digantung tanpa kepastian seperti ini.
Aku bisa memahami seandainya Erick tak mampu melawan ayahnya, tapi jangan gantungkan aku seperti ini.
Setelah berhari-hari aku menunggu, Erick tidak juga muncul. Hatiku patah semakin parah, namun aku tidak bisa melupakannya begitu saja.
Kegalauanku sedikit terobati ketika Nina muncul di panti. Ia memang teman sejati yang menjadi saudara dalam kesesakan hati.
"Besok aku ke Bandung, Vel, aku jadi kuliah di sana," ucapnya dengan wajah sedikit sedih, sebab kami harus berpisah.
Nina memang sudah berulang-ulang menyebutkan tentang rencananya untuk kuliah di Bandung. Sedangkan Sandra malah sudah lebih dulu terbang ke Jogja.
"Kamu sendiri gimana? Nggak jadi ambil beasiswa itu?" tanyanya sembari menatapku dengan wajah prihatin. Nina, si jahil, sering bersikap cuek dan seenaknya saat aku senang, tetapi ia juga selalu tahu ketika aku sedih.
Aku tertunduk lesu dan menggelengkan kepalaku, ketika mendengar pertanyaan Nina. Aku tak berharap lagi bisa kuliah.
"Enggak, Nin. Lebih baik aku kerja saja. Kalaupun aku dapat beasiswa untuk bayar kuliahku, aku masih harus mikirin uang kos, makan, juga yang lain-lain. Tapi kalau aku kerja, aku nggak perlu mikirin itu, malahan aku bisa bantu keuangan di panti," terangku dengan perasaan pahit.
Nina memahami keresahanku. Sebenarnya alasan lain aku tidak mau mengambil beasiswa itu karena tidak mau lagi berurusan dengan Erick.
Kami sama-sama mendapat tawaran beasiswa di sebuah universitas di Jakarta. Kami bahkan sudah berencana untuk kuliah di tempat yang sama. Tapi dengan situasi sekarang ini, aku tidak ingin lagi melanjutkan rencana itu.
"Si Jarjit itu memang keterlaluan. Nggak perlu lagi kamu tangisi cowok macam itu, Vel, masih banyak yang lain. Dua tiga kaki meja, si Jarjit ke laut aja."
"Hahahaha."
Aku terpingkal-pingkal demi mendengar pantun Nina. Lucu sekali dia kalau sudah menirukan gaya teman Upin Ipin itu. Rasanya aku tidak ingat kapan terakhir aku tertawa selepas ini.
"Gitu dong, ketawa. Kembalikan Veloveku yang dulu selalu ceria," ucap Nina sembari menyenggol lenganku.
Aku tersenyum pada sahabatku itu. "Makasih ya, Nin. Kamu memang sahabat yang terbaik."
"Siapa dulu dong? Nina!" Kami pun tertawa lagi.
Awalnya ku pikir aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, walaupun cuma rendahan dan bergaji kecil. Namun dengan ijazah SMA saja, apalagi aku masih lulusan baru, tidak ada perusahaan yang mau menerima aku.
Rasanya hampir putus asa, tapi aku terus mencoba. Sampai suatu hari Bu Wiwin bilang ada lowongan di Indah Mart, sebuah minimarket yang letaknya tidak jauh dari panti, jadi aku mencoba melamar di sana, dan diterima.
"Makasih ya, Bu Iin, sudah mau menerima saya," kataku pada pemilik minimarket itu.
"Sama-sama, Velove. Ibu sudah kenal kamu dari kecil, kamu anak baik dan rajin jadi Ibu tidak ragu untuk menerima kamu bekerja di sini."
Jadilah aku mendapat pekerjaan di Indah Mart. Pekerjaannya tidak ringan dan gajinya tidak besar, tapi aku tidak mengeluh. Aku bersyukur bisa mendapat pekerjaan itu, setidaknya aku tidak menjadi pengangguran terlalu lama.
Bu Iin orang yang baik. Ia telah mengenal para ibu di panti, dan sesekali suka berbagi makanan dengan anak-anak di sini.
Bosku itu bahkan selalu memberi aku makan siang, sehingga aku tidak perlu membawa bekal dari rumah. Apa saja yang dia masak hari itu, makanan itu juga yang menjadi makan siangku. Itu sudah lebih dari cukup.
"Kalau ada makanan di meja, atau kulkas, ambil saja, makan. Kalau haus juga ambil air di dispenser. Buat teh atau kopi juga boleh. Anggap saja rumah sendiri," pesan Bu Iin.
"Terima kasih, Bu," sahutku sembari tersenyum lebar. Dalam hati aku berjanji akan bekerja keras dan rajin untuknya.
Siapa yang tidak bahagia punya bos sebaik itu?
Hari-hariku selalu sibuk, sehingga tidak ada kesempatan lagi memikirkan Erick atau rasa sakit hatiku. Walaupun terkadang aku masih teringat padanya, aku sudah lebih lapang hati, toh aku telah membuang semua harapan yang pernah kumiliki bersama Erick.
Bagaimanapun Erick adalah cinta pertamaku, tidak mungkin semudah itu aku melupakannya. Tapi aku yakin nanti aku akan move-on dari Erick. Pasti!
Lalu suatu hari saat aku sedang bekerja, keyakinan itu harus runtuh. Hatiku goyah lagi.
Kala itu aku sedang menata barang-barang di rak. Terdengar suara pintu minimarket terbuka.
"Selamat datang di In ...."
Ucapanku terputus. Aku tercengang melihat sosok yang memasuki toko, sampai barang yang aku pegang terjatuh.
Orang itu menatapku tajam namun sendu. Ia berjalan ke arahku tanpa ragu, dan tiba-tiba memelukku sangat erat.
"Love, aku kangen banget. Hidupku sepi tanpa kamu, rasanya seperti nggak bisa hidup. Walaupun berbulan-bulan kita tidak bertemu, cintaku padamu tak pernah sekalipun padam."
"Erick...."
Babak baru dalam hidupku telah dimulai.
"Ekheeem!" Suara dehaman yang cukup keras itu sontak membawa aku dan Erick ke dunia nyata. "Maaf mengganggu, Mbak, tapi saya mau bayar nih, bukan mau nonton drakor," cakap seorang wanita dengan senyuman menggoda. Di tangannya ada keranjang dengan cukup banyak barang belanjaan di dalamnya. "Eh, maaf, Bu," ucapku sambil menunduk. Dengan perasaan malu, aku melepaskan diri dari pelukan Erick. Duh, untung ada ibu itu yang mau beli, kalau nggak pasti sudah ada adegan drakor beneran antara aku dan Erick. Tahu 'kan maksud saya? "Sekali lagi maaf, ya, Bu." Aku merasa tidak enak kepada pembeli itu, sampai aku jadi salah tingkah dan kebingungan sendiri sewaktu kami telah berhadapan di depan meja kasir. "Tenang saja, Mbak, pacarnya masih di situ tuh," ujar si ibu menunjuk ke arah rak-rak yang berisi makanan. Aku melihat Erick yang sempat mengintip sambil senyum-senyum kepadaku. "Eh, iya, Bu," sahutku cepat. Duh, gawat! 'Konsentrasi, Velove, konsentrasi!' batinku memarahiku. "Semuanya lima
"Love! Tunggu!" "Erick, jangan pergi!" Bagaikan mimpi buruk, suara-suara itu kembali memutar memori pedih, ketika aku datang ke rumah Erick dan papanya merendahkan aku. Ada Erick, dan ada mantan kekasihnya. Erick ingin mengejarku, namun wanita penggoda itu menahannya. Dan Erick tidak akan menyusulku. Bedanya kali ini tidak ada Om Johan. Hanya Awan mendung dan tiupan angin menjelang hujan yang menggantikannya. Tanpa memedulikan gerimis yang mulai turun, aku terus melangkahkan kaki. Aku tak tahu arah tujuanku, kakiku hanya tidak bisa berhenti. Kembali ke toko? Bu Iin pasti sudah pergi. Datang ke panti? Aku malu. Entah apa yang akan Bu Wiwin katakan jika mengetahui masalah ini. Pulang ke kontrakan? Oh, aku sungguh tidak sanggup bertemu muka dengan Erick, apalagi Stella mungkin masih ada di sana. Aku tak punya tempat untuk berlindung, itulah sebabnya aku hanya bisa pergi. Hujan yang semakin lebat sama sekali tak membuatku ingin menepi dan berteduh. Aku terus berjalan. Walaupun pa
Wanita dengan payung hijau itu adalah sosok pertama yang aku lihat ketika aku tersadar. "Kamu sudah bangun, Nak? Saya Bu Berta yang membawa kamu ke rumah sakit. Namamu Velove?" tanya wanita berbadan tinggi besar itu. Ia tampak lega melihatku akhirnya siuman. Mungkin Bu Berta telah melihat kartu identitasku sehingga ia tahu namaku. Aku tersenyum dan mencoba bangun, namun rasanya kepalaku masih berat. Aku melihat jarum dan selang infus terpasang di lenganku. Sepertinya kemarin aku sekarat. "Tiduran saja dulu. Kamu tidak sadarkan diri selama tiga hari. Badanmu demam tinggi. Syukurlah sekarang kamu sudah sadar dan tidak demam lagi," ucap Bu Berta dengan lembut. Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari? Dan selama itu hanya mimpi buruk yang aku temui. Erick mengejarku. "Love, jangan pergi," ucapnya seraya membawaku ke dalam pelukannya. Ia mendekapku erat, seolah tak ingin aku pergi lagi. "Erick...." Aku sangat bahagia. Aku membalas pelukannya erat, tak ingin aku lepaskan. Dekapan Eri
"Silakan Ibu tanda tangan di sini." Seorang pria berpakaian formal menyodorkan satu map berisi dokumen kepadaku.Tanganku menggenggam erat dokumen itu dengan tubuh gemetaran. Ingin rasanya aku merobeknya, agar niat jahat mereka tak terwujud.Tapi ... ada tanda tangan suamiku di situ? Mendadak kepalaku terasa pening, mataku berkunang-kunang, seolah dunia ini akan runtuh."Velo!" seru Bu Berta yang menahan tubuhku supaya tidak jatuh. Ia membawaku ke kamar dan menyuruhku berbaring. Aku memejamkan mata. 'Sabar ya, Nak,' ucapku dalam hati seolah menguatkan bayi di dalam kandunganku. Aku merasakan tendangan yang cukup kuat di perutku, seakan-akan ia juga ingin menyemangati ibunya. "Bapak ini gimana sih? Kalau mau ngasih surat gugatan cerai lihat situasi dong! Kak Velo kondisinya lagi lemah gitu, habis sembuh dari sakit, sedang hamil pula. Tega bener sih? Nggak punya perasaan! Mikir dong, Pak!" teriak Selvi lantang. Ia memarahi orang-orang itu dengan garang. "Maaf, Dik. Kami cuma melaksan
[Kembali ke masa kini] Bu Berta mendengarkan ceritaku sambil berurai air mata. Ini kali pertama aku melihat dia menangis. Ibu kuat itu bersedih untukku. "Sini, Nak. Bu Ber mau berikan pelukan beruang untukmu," ucapnya dengan suara sendu. Aku mendengar keprihatinannya. Dengan penuh haru aku menghamburkan diri ke pelukan Bu Berta, wanita yang selama tiga tahun ini menjadi penolongku, seseorang yang telah ku anggap ibuku sendiri. Saat aku tak punya tempat berteduh, ia menjadi payung untukku. "Velo, bagaimana bisa kamu menyimpan semuanya sendirian selama ini, Nak?" sesalnya sembari terus mengusap kepalaku. "Maaf ya, Bu. Saya baru bisa cerita sekarang. Saya tidak ingin menjadi beban, dan sejujurnya saya malu dengan kisah hidup saya," sahutku penuh penyesalan. Bu Berta melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang lenganku. "Kenapa malu, Sayang? Kamu tidak melakukan kejahatan yang melanggar hukum." "Bukan itu, Bu. Selama ini saya hanyalah seorang perempuan naif yang dibutakan oleh c
Apa maksud orang ini? Melamar jadi ayah Ricky? Terus aku yang ibunya Ricky ini akan dia anggap sebagai apanya? Istrinya? Nah, lho! Aku malah jadi mikir sampai ke situ, gawat nih! Mas-mas satu ini memang hobinya bikin baper. Sadar, Velove! Ingat siapa dirimu! Jangan sampai peristiwa dahulu terulang kembali! "Oh, kalau itu silakan hubungi bagian HRD ya, Pak. Saya hanya bagian cleaning service," kata Bu Berta yang melirikku dengan genit sebelum berjalan menuju rusunnya. "Bagaimana, Bu HRD? Apakah boleh? Ini anaknya mau lho sama saya." Pria itu bertanya dengan begitu percaya diri. "Heleh!" cemoohku meremehkan ucapannya. Mukaku saja yang mungkin terlihat santai, padahal jantungku dag dig dug der saja. "Masa Ibu nggak percaya sih? Nih, saya buktikan ya." Penghuni rusun 203 itu menyodorkan pipinya pada Ricky, dan tanpa ragu anakku menciumnya. "Tuh, kan! Ibu HRD sudah lihat sendiri kan?" tambah pria itu lagi sedikit pongah. Anakku memang sedekat itu dengan Mas Vincent Memang ya, pria s
Pernah dengar istilah 'muka Rambo hati Romeo'? Kata-kata ini kayaknya cocok menggambarkan tetanggaku satu ini. Kesan pertamaku saat mengamati penampilan dia, aku mikir, 'orang ini macam gelandangan saja.' Akan tetapi setelah melihat keramahan dan senyumannya, aku merasa dia orang yang baik. Kata orang kepribadian kita bisa dilihat dari sorot mata, dan dari matanya aku melihat kebaikan hati serta ketulusan. Senyumannya seolah berkata, 'Aku orang baik, jangan takut pada penampilanku. Aku tidak akan menyakitimu, apalagi membuat kamu menangis.' Seperti saat ini, dia tersenyum ramah kepadaku. Tentu saja aku membalasnya dengan ramah pula. Tapi kok lama-lama ada yang aneh ya? Dia tampak seperti menahan tawa, aku jadi bingung. Apa mukaku seperti badut, kok diketawain? "Oke, aku pamit dulu ya, masih mau ke tetangga yang lain. Sampai ketemu lagi, Ve," pamitnya sembari tetap tersenyum lebar. Dia berlalu bersama sekeranjang besar jeruk yang akan ia bagikan ke sesama penghuni rusun ini. "Mak
Sejak hari itu lorong di depan rumahku menjadi lebih ramai. Ada saja perempuan yang iseng lewat sembari memanggil-manggil tetanggaku itu. Mas Vincent yang mirip gelandangan itu, sekarang nampak ganteng dengan penampilan yang rapi dan bersih. Rambutnya dipangkas rapi dan kumis serta bulu halus lain di rahang dan pipinya juga dicukur bersih. Aku saja sampai melongo waktu pertama melihatnya. "Kenapa, Ve? Baru nyadar ya kalau saya ganteng?" ucapnya penuh percaya diri. "Mas Vincent memang ganteng kok. Hehe," jawabku jujur. Dia memang sudah tampan sebelum make over ini. Kadang aku diam-diam memperhatikan saat ia bersama Ricky, Mas Vincent tuh berwajah ganteng. Tapi setelah bercukur dengan benar dan merapikan rambut, ia jadi tampak bersih dan lebih muda. Nggak heran sih kalau para gadis di rusun ini tiba-tiba jadi tertarik padanya, dan berupaya mendekatinya. Mulai dari yang pura-pura lewat lalu memanggil, "Mas Vincent...." Membawakan makanan, "Mas, tadi saya masak rendang jengkol keba
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni