"Wuhuuuu...! Velove memang paling bisa diandalkan dalam urusan menyanyi, Sodara-sodara."
"Yo'i, Nin! Isyana-nya SMA 88 gitu loh!"
Kedua sahabatku kompak menyemangati dan memuji penampilanku. Mereka bahkan membawa pom-pom cheerleader, dan berteriak-teriak ketika aku berada di panggung.
"Apaan sih, kalian ini?" Aku tersipu mendengar pujian dari mereka berdua. Masa aku disamain sama Isyana Sarasvati yang punya suara merdu nan melengking indah itu? Kan malu kalau sampai ketahuan aku besar kepala. Eh?
Teman-teman sekelas yang lain pun ikut menyalamiku. Hari ini hari kelulusan kami. Setiap kelas diminta mengirimkan satu talenta untuk memeriahkan acara, dan aku yang dipilih oleh teman-teman untuk mewakili kelas kami.
Mereka masih heboh berceloteh tentang ini itu, tapi satu sosok yang aku cari tidak ada di antara mereka. Mataku mencari di setiap sudut, tetapi tak tampak batang hidungnya.
"Ngapain, Vel? Nyariin Jarjit ya?" tanya Sandra yang sudah ikut-ikutan menyematkan nama Jarjit pada pacarku.
"Hehehe, iya, San."
"Tadi sempat di sini, terus katanya nyariin papanya gitu," terang Sandra.
Aku hanya bisa ber-oh. Kalau sudah berkaitan dengan keluarganya aku tak berani banyak berkomentar.
"Lah, itu dia yang dicariin," seru Nina tak mau ketinggalan. "Panjang umur bener si Jarjit, pantesan serialnya Upin Ipin dari zaman gue masih TK sampai sekarang masih jalan terus. Hihihi."
"Hihihi." Sandra ikut cekikian mendengar lelucon Nina. Mereka berdua masih hobi saja meledekku, meskipun kami sekarang bukan murid SMA lagi.
Aku tak sanggup menahan senyumku demi melihat kekasihku berlari sumringah ke arahku. Secara reflek tanganku memeriksa rambutku, kalau-kalau ada helaiannya yang tidak rapi.
Sandra dan Nina bercie-cie menggodaku.
Dalam sekejap kekasihku telah berada tepat di depanku. "Ayo cepetan," ucap Erick seraya menarik tanganku tiba-tiba.
"Eh, mau kemana?" tanyaku berniat menolak.
"Udah, ikut aja." Erick terus menarikku dengan sedikit berlari, seolah ada hal penting yang ingin ia tunjukkan padaku. Kami melewati tatapan keheranan banyak murid yang masih berkerumun di gedung ini.
Saat kami sampai di lapangan tempat parkir, Erick berhenti. Aku pun berhenti dengan napas terengah-engah. Mata Erick celingukan.
"Eh, mana ya? Kok udah nggak ada?" tanyanya kebingungan. Pandangannya mengelilingi lapangan tempat parkir.
"Nyari siapa sih, Rick?" Kepo juga aku dibuatnya.
Erick memandangku sebentar, lalu kembali melihat sekeliling. "Papaku, tadi ada di sini. Aku bilang kepada Papa untuk menunggu karena aku mau ngenalin Papa ke kamu, tapi nggak tahunya dia keburu pergi. Huh!"
Lelaki itu mendengus kesal, dengan kaki menghentak ke tanah beberapa kali.
Duh, dikenalin ke Papa Erick? Mengapa tiba-tiba aku jadi deg-degan nggak karuan?
"Ya udah, mungkin papamu ada urusan penting, jadi harus cepat pergi," ucapku menenangkannya. Sebenarnya hatiku yang lebih lega, karena aku tidak jadi bertemu ayah Erick.
"Hmm, bisa jadi begitu," ujarnya mulai maklum. Kekesalan Erick memudar. Ah, syukurlah. Rasanya aku tidak sanggup kalau harus bertemu dengan orang tua Erick sekarang.
Di saat aku mulai tenang, secara mengejutkan Erick meremas tanganku.
"Aw! Apaan sih, Rick? Sakit tahu!" pekikku kesakitan.
"Sorry, Love. Aku terlalu bersemangat." Kekasihku menatapku dengan antusias. Duh, kok perasaanku jadi makin nggak enak ya? Erick nggak memikirkan ide gila, 'kan?
"Love..., kalau kita nggak bisa nemuin Papa di sini, kita samperin di rumah ya," usulnya tiba-tiba.
"Apah???"
Tolong! Rasanya aku mau pingsan.
***
"Ini Velove, pacar aku, Pa." Walau dengan raut muka tegang, Erick berhasil memperkenalkan aku pada papanya.
"Siang, Om, Tante." Aku menyapa orang-orang yang berada di ruangan ini. Suaraku nyaris serupa bisikan karena kegelisahan yang tiba-tiba mendera batinku.
Ada seorang pria tampan mirip Erick yang mungkin berusia pertengahan empat puluhan. Itu pasti Om Johan, Papa Erick. Di dekatnya ada seorang wanita anggun berwajah sendu, sepertinya dia mama tiri Erick.
Tapi ada satu orang yang tampaknya bukan anggota keluarga mereka. Setahuku Erick memang punya seorang saudara perempuan, tapi kakak, bukan adik. Kakak Erick juga sudah menikah dan tinggal di kota lain.
Perempuan muda yang ada di sini tampak begitu cantik dan modis dengan pakaian mewah, dan makeup cantik. Aroma parfumnya bahkan tercium dari tempatku berdiri. Penampilannya membuatku merasa seperti babu, sekalipun aku telah mengenakan gaun terbaikku.
"Pacar katamu?" Suara Om itu terdengar sinis. Sorot matanya tak bersahabat.
"Iya, Pa. Velove pacar aku, teman sekolahku di SMA 88. Dia yang sudah membuat aku semangat belajar lagi, sampai lulus dan jadi juara umum di sekolah. Aku serius sama dia, Pa. Nanti kalau aku sudah lulus kuliah, aku mau nikahin Velove," ujar Erick tanpa ragu.
Aku menggigit bibir. Ini tak seperti yang kuharapkan, walaupun aku telah memikirkan kemungkinan ini.
Kemarin saat Erick mengusulkan agar aku ikut ke rumahnya untuk bertemu papanya, aku langsung menolak. Bukannya aku tidak mau berkenalan dengan orang tua pacarku, tapi ... entahlah, aku punya perasaan tidak enak.
Erick berasal dari keluarga kaya raya, sedangkan aku cuma anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Jujur aku rendah diri.
Namun bukan Erick namanya kalau tidak ngotot. Dia bahkan memohon-mohon. "Ayolah, Love, please...," bujuknya sambil menggenggam erat tanganku.
"Aku ngajak kamu ketemu Papa, karena aku serius sama kamu, Love. Suatu hari nanti kita akan menikah pastinya, dan tidak mungkin aku tidak mengenalkan wanita pilihanku pada Papa," tambahnya lagi.
Setelah kupikir-pikir, benar juga perkataan Erick. Namun, tak berarti aku langsung yakin.
"Tapi, Rick...."
"Udah deh. Sekarang aku tanya, kamu serius nggak sama aku?" tanyanya dengan raut wajah sedikit kesal.
"Serius dong!"
"Makanya, ayo ketemu sama Papa. Ya? Atau kamu mau Papa yang nemuin kamu dan Bu Wiwin di panti?"
"Eh, enggak! Jangan!" tolakku cepat.
Wah, gawat kalau Papa Erick datang ke panti, sedangkan aku belum tahu orangnya seperti apa.
"Ya udah deh, aku ikut," jawabku pada akhirnya.
Dan di sinilah kami hari ini, di rumah keluarga Erick. Sedari kemarin aku terus menenangkan perasaan agar tidak overthinking, tapi ternyata kekhawatiranku itu benar terjadi.
"Jadi namamu Velove?" tanya pria itu.
Suara Papa Erick terdengar begitu dingin, rasanya seperti air es disiramkan ke mukaku.
"I-iya, Om," jawabku gugup.
"Hmm, kamu tinggal di mana? Apa pekerjaan ayahmu?" tanyanya lagi tanpa basa-basi.
Deg! Kalau bisa aku ingin menghilang ditelan bumi saja, ketimbang berada di situasi seperti ini. Aku bisa menebak ke mana arah pertanyaan Papa Erick ini.
"Pa! Jangan memojokkan pacarku seperti itu!" Erick mencoba membelaku.
"Memojokkan bagaimana? Pertanyaan Papa wajar saja kok."
Entah karena sudah lelah dengan situasi ini, atau ada kekuatan dari langit, akhirnya aku bisa membuka mulutku. "Saya tinggal di panti asuhan, Om. Saya anak yatim piatu, jadi saya tidak punya ayah," jawabku penuh ketegaran yang menyakitkan.
"Love...." Erick menatapku penuh penyesalan, entah apa yang ia sesali. Papa Erick mendengus penuh penghinaan.
"Memang kenyataannya begitu, Rick," ucapku berkata realistis. Ketimbang aku berbohong dan memalsukan identitasku, lebih baik aku berkata terus terang.
"Kamu sudah dengar sendiri kan, Rick?" Om Johan kembali bersuara. "Apa yang bisa kamu harapkan dari anak yatim piatu yang asal usulnya tidak jelas?"
"Papa!" teriak Erick mulai emosi.
"Paling-paling cuma mau numpang hidup enak dari harta kekayaan Papa."
Astaga! Seburuk itukah diriku di mata ayah Erick?
"Papa! Jangan keterlaluan ya! Velove tidak seperti itu."
Hatiku sakit saat mendengar hinaan Om Johan, tapi sepertinya Erick tidak kalah sakit, terlebih dia pasti malu dengan sikap papanya.
"Erick, dengarkan Papa. Kalau kamu cari istri, harusnya yang sepadan dengan kamu, punya kelas. Misalnya seperti Stella ini. Sudah bener kalau kamu sama Stella. Kenapa dulu harus putus?"
Oh, jadi gadis itu bernama Stella. Dan..., dia mantan pacar Erick?
Hatiku yang tadinya seperti dilempari dengan kerikil, kini serasa bagai ditimpuk dengan batu batu besar. Sakit banget! Bila hatiku ini terbuat dari daging, sudah pasti akan berdarah-darah.
Lalu seolah bagai mendapat lampu hijau, gadis cantik nan anggun yang sedari tadi menatapku dengan sinis itu tiba-tiba berdiri menghampiri aku dan Erick.
"Hai, Erick. Aku kangen lho," desahnya sembari menebar senyuman manis nan palsu.
"Hai, Velove. Aku Stella, calon tunangan Erick." Perempuan itu dengan manja bergelayut di lengan Erick. Sorot matanya memandangku hina.
Sudah cukup! Aku tak sanggup lagi. Tanpa permisi aku berlari ke luar, meninggalkan rumah itu, sebelum suara tangisan yang sedari tadi aku tahan di tenggorokanku pecah.
"Love...." "Erick sayang, di sini saja." "Erick, tetap di sini! Turuti kata Papa!" Suara-suara itu masih sempat kudengar tatkala aku keluar dari rumah mewah milik keluarga Erick, bersaut-sautan memenuhi indra pendengaranku. Sepertinya pacarku ingin mengejarku, tapi sudah jelas cewek yang sedari tadi menempel di lengannya seperti ulat bulu itu tidak membiarkannya. Seruan Om Johan bahkan lebih keras lagi. Akan tetapi aku masih berharap Erick akan menyusulku, karena aku percaya ia mencintai aku. Dengan wajah bersimbah air mata aku berjalan tak tentu arah. Hatiku sakit tak terkira. "Kenapa, Non, kok nangis?" "Disakiti pacarnya ya, Mbak?" Beberapa orang yang berpapasan denganku tampak menunjukkan perhatian dan keprihatinan saat melihat penampakanku yang berjalan gontai dengan muka amburadul. Kebanyakan hanya menatapku aneh, namun ada sebagian yang bertanya. Saat merasa kelelahan, aku memilih untuk duduk di dekat trotoar. Kaki lelah berjalan, tetapi hatiku lebih lelah lagi. Meskip
"Ekheeem!" Suara dehaman yang cukup keras itu sontak membawa aku dan Erick ke dunia nyata. "Maaf mengganggu, Mbak, tapi saya mau bayar nih, bukan mau nonton drakor," cakap seorang wanita dengan senyuman menggoda. Di tangannya ada keranjang dengan cukup banyak barang belanjaan di dalamnya. "Eh, maaf, Bu," ucapku sambil menunduk. Dengan perasaan malu, aku melepaskan diri dari pelukan Erick. Duh, untung ada ibu itu yang mau beli, kalau nggak pasti sudah ada adegan drakor beneran antara aku dan Erick. Tahu 'kan maksud saya? "Sekali lagi maaf, ya, Bu." Aku merasa tidak enak kepada pembeli itu, sampai aku jadi salah tingkah dan kebingungan sendiri sewaktu kami telah berhadapan di depan meja kasir. "Tenang saja, Mbak, pacarnya masih di situ tuh," ujar si ibu menunjuk ke arah rak-rak yang berisi makanan. Aku melihat Erick yang sempat mengintip sambil senyum-senyum kepadaku. "Eh, iya, Bu," sahutku cepat. Duh, gawat! 'Konsentrasi, Velove, konsentrasi!' batinku memarahiku. "Semuanya lima
"Love! Tunggu!" "Erick, jangan pergi!" Bagaikan mimpi buruk, suara-suara itu kembali memutar memori pedih, ketika aku datang ke rumah Erick dan papanya merendahkan aku. Ada Erick, dan ada mantan kekasihnya. Erick ingin mengejarku, namun wanita penggoda itu menahannya. Dan Erick tidak akan menyusulku. Bedanya kali ini tidak ada Om Johan. Hanya Awan mendung dan tiupan angin menjelang hujan yang menggantikannya. Tanpa memedulikan gerimis yang mulai turun, aku terus melangkahkan kaki. Aku tak tahu arah tujuanku, kakiku hanya tidak bisa berhenti. Kembali ke toko? Bu Iin pasti sudah pergi. Datang ke panti? Aku malu. Entah apa yang akan Bu Wiwin katakan jika mengetahui masalah ini. Pulang ke kontrakan? Oh, aku sungguh tidak sanggup bertemu muka dengan Erick, apalagi Stella mungkin masih ada di sana. Aku tak punya tempat untuk berlindung, itulah sebabnya aku hanya bisa pergi. Hujan yang semakin lebat sama sekali tak membuatku ingin menepi dan berteduh. Aku terus berjalan. Walaupun pa
Wanita dengan payung hijau itu adalah sosok pertama yang aku lihat ketika aku tersadar. "Kamu sudah bangun, Nak? Saya Bu Berta yang membawa kamu ke rumah sakit. Namamu Velove?" tanya wanita berbadan tinggi besar itu. Ia tampak lega melihatku akhirnya siuman. Mungkin Bu Berta telah melihat kartu identitasku sehingga ia tahu namaku. Aku tersenyum dan mencoba bangun, namun rasanya kepalaku masih berat. Aku melihat jarum dan selang infus terpasang di lenganku. Sepertinya kemarin aku sekarat. "Tiduran saja dulu. Kamu tidak sadarkan diri selama tiga hari. Badanmu demam tinggi. Syukurlah sekarang kamu sudah sadar dan tidak demam lagi," ucap Bu Berta dengan lembut. Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari? Dan selama itu hanya mimpi buruk yang aku temui. Erick mengejarku. "Love, jangan pergi," ucapnya seraya membawaku ke dalam pelukannya. Ia mendekapku erat, seolah tak ingin aku pergi lagi. "Erick...." Aku sangat bahagia. Aku membalas pelukannya erat, tak ingin aku lepaskan. Dekapan Eri
"Silakan Ibu tanda tangan di sini." Seorang pria berpakaian formal menyodorkan satu map berisi dokumen kepadaku.Tanganku menggenggam erat dokumen itu dengan tubuh gemetaran. Ingin rasanya aku merobeknya, agar niat jahat mereka tak terwujud.Tapi ... ada tanda tangan suamiku di situ? Mendadak kepalaku terasa pening, mataku berkunang-kunang, seolah dunia ini akan runtuh."Velo!" seru Bu Berta yang menahan tubuhku supaya tidak jatuh. Ia membawaku ke kamar dan menyuruhku berbaring. Aku memejamkan mata. 'Sabar ya, Nak,' ucapku dalam hati seolah menguatkan bayi di dalam kandunganku. Aku merasakan tendangan yang cukup kuat di perutku, seakan-akan ia juga ingin menyemangati ibunya. "Bapak ini gimana sih? Kalau mau ngasih surat gugatan cerai lihat situasi dong! Kak Velo kondisinya lagi lemah gitu, habis sembuh dari sakit, sedang hamil pula. Tega bener sih? Nggak punya perasaan! Mikir dong, Pak!" teriak Selvi lantang. Ia memarahi orang-orang itu dengan garang. "Maaf, Dik. Kami cuma melaksan
[Kembali ke masa kini] Bu Berta mendengarkan ceritaku sambil berurai air mata. Ini kali pertama aku melihat dia menangis. Ibu kuat itu bersedih untukku. "Sini, Nak. Bu Ber mau berikan pelukan beruang untukmu," ucapnya dengan suara sendu. Aku mendengar keprihatinannya. Dengan penuh haru aku menghamburkan diri ke pelukan Bu Berta, wanita yang selama tiga tahun ini menjadi penolongku, seseorang yang telah ku anggap ibuku sendiri. Saat aku tak punya tempat berteduh, ia menjadi payung untukku. "Velo, bagaimana bisa kamu menyimpan semuanya sendirian selama ini, Nak?" sesalnya sembari terus mengusap kepalaku. "Maaf ya, Bu. Saya baru bisa cerita sekarang. Saya tidak ingin menjadi beban, dan sejujurnya saya malu dengan kisah hidup saya," sahutku penuh penyesalan. Bu Berta melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang lenganku. "Kenapa malu, Sayang? Kamu tidak melakukan kejahatan yang melanggar hukum." "Bukan itu, Bu. Selama ini saya hanyalah seorang perempuan naif yang dibutakan oleh c
Apa maksud orang ini? Melamar jadi ayah Ricky? Terus aku yang ibunya Ricky ini akan dia anggap sebagai apanya? Istrinya? Nah, lho! Aku malah jadi mikir sampai ke situ, gawat nih! Mas-mas satu ini memang hobinya bikin baper. Sadar, Velove! Ingat siapa dirimu! Jangan sampai peristiwa dahulu terulang kembali! "Oh, kalau itu silakan hubungi bagian HRD ya, Pak. Saya hanya bagian cleaning service," kata Bu Berta yang melirikku dengan genit sebelum berjalan menuju rusunnya. "Bagaimana, Bu HRD? Apakah boleh? Ini anaknya mau lho sama saya." Pria itu bertanya dengan begitu percaya diri. "Heleh!" cemoohku meremehkan ucapannya. Mukaku saja yang mungkin terlihat santai, padahal jantungku dag dig dug der saja. "Masa Ibu nggak percaya sih? Nih, saya buktikan ya." Penghuni rusun 203 itu menyodorkan pipinya pada Ricky, dan tanpa ragu anakku menciumnya. "Tuh, kan! Ibu HRD sudah lihat sendiri kan?" tambah pria itu lagi sedikit pongah. Anakku memang sedekat itu dengan Mas Vincent Memang ya, pria s
Pernah dengar istilah 'muka Rambo hati Romeo'? Kata-kata ini kayaknya cocok menggambarkan tetanggaku satu ini. Kesan pertamaku saat mengamati penampilan dia, aku mikir, 'orang ini macam gelandangan saja.' Akan tetapi setelah melihat keramahan dan senyumannya, aku merasa dia orang yang baik. Kata orang kepribadian kita bisa dilihat dari sorot mata, dan dari matanya aku melihat kebaikan hati serta ketulusan. Senyumannya seolah berkata, 'Aku orang baik, jangan takut pada penampilanku. Aku tidak akan menyakitimu, apalagi membuat kamu menangis.' Seperti saat ini, dia tersenyum ramah kepadaku. Tentu saja aku membalasnya dengan ramah pula. Tapi kok lama-lama ada yang aneh ya? Dia tampak seperti menahan tawa, aku jadi bingung. Apa mukaku seperti badut, kok diketawain? "Oke, aku pamit dulu ya, masih mau ke tetangga yang lain. Sampai ketemu lagi, Ve," pamitnya sembari tetap tersenyum lebar. Dia berlalu bersama sekeranjang besar jeruk yang akan ia bagikan ke sesama penghuni rusun ini. "Mak
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni