"Aku antar kamu pulang," pemuda itu berucap tegas.
"Tapi ....""Nggak ada tapi-tapian. Kamu mau ketemu preman lagi kayak tadi?" Kali ini ia menatapku tajam, tak ingin perintahnya ditolak.Ini jelas bukan sebuah permintaan atau penawaran, tapi perintah.Entah bagaimana ceritanya Erick bisa datang menyelamatkanku. Eloknya lagi dia bisa membawa serta dua orang pemuda gagah berseragam tentara bersamanya.Terang saja ketiga preman tadi tidak mampu berkutik. Mereka cuma bisa cengengesan dan menjauh satu langkah dariku."Eh, sorry ye, Tong. Tadi kite cuma ngobrol bentar ame cewek loe, kagak kite apa-apain bener, masih utuh. Hehe," ucap si kepala preman sambil cengengesan. Lalu mereka mundur teratur meninggalkan kami.Erick bisa seheroik itu ternyata. Rasanya kayak aku jadi seorang puteri yang diculik penjahat, terus diselamatkan oleh pangeran tampan berkuda putih. So sweet banget 'kan?Tapi sayangnya aku masih kesal sama dia, jadinya so sweet-nya dianulir saja. Sikapnya menyebalkan: melambungkan angan-anganku sampai ke langit, lalu menjatuhkanku kembali ke bumi tanpa perasaan."Buruan naik," kata Erick yang sudah siap di atas sepeda motornya. "Kamu mau naik sendiri atau... mau aku bantuin?"Ada penekanan tersendiri di tiga kata terakhirnya, seperti ingin menggodaku. Setelah sekian minggu dia bersikap dingin padaku, aku melihat lagi seringaian nakalnya.Oh, Tuhan. Aku baru sadar kalau aku merindukan kejahilannya. Sepi banget hidupku tanpa Erick.Tanpa protes lagi aku naik ke motornya, ketimbang nanti dia bantuin tapi malah jadi modus untuk menggendong aku ala bridal style macam di novel-novel itu. Bisa-bisa aku malah halusinasi jadi pengantin, kan bahaya.Ah, mikir apa sih aku ini? Hanya karena sedikit digoda aku kembali goyah. Ah, payah! Sadar, Velove!Ini kali pertama aku naik motor bersama cowok yang aku suka. Rasanya tuh seperti semua yang menyebalkan kemarin lenyap dalam sekejap mata.Eh, tapi aku kan belum menyebutkan alamatku, memangnya Erick tahu aku tinggal di mana? Tahu ah, aku malas untuk bertanya, masih canggung rasanya. Jadi aku ikut saja, percaya dia bukan orang jahat.Belum lama kami jalan, Erick menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah makan Padang."Mau ngapain ke sini?" tanyaku heran. Perasaan Bu Wiwin tidak bilang kalau panti asuhan kami pindah tempat."Ngapain? Mau beli mur baut," jawab Erick seenaknya."Hah?" Aku semakin melongo dibuatnya."Ya mau makan lah, Neng. Memang kamu nggak lapar dari tadi siang cuma minum air putih?""Oh."Aku tersipu malu. Ya ampun, Erick ternyata diam-diam memperhatikan aku, dia tahu aku tidak makan siang hari ini. Aku memang lapar, mungkin karena ini kerja otakku jadi sedikit melambat."Ayo masuk. Makan saja, aku yang bayar." Tanpa permisi dia menarik tanganku dan mengajakku memasuki warung makan itu.Walaupun masih ada rasa canggung, aku menerima traktiran Erick. "Terima kasih, Rick. Aku memang sudah kelaparan dari tadi. Sekali lagi makasih, ya.""Aku tahu, aku kan selalu mengawasimu." Erick menatapku misterius, namun sekejap kemudian dia fokus pada makanannya.Dengan lahap ia menyantap nasi padang dengan rendang sapi di hadapannya. Sepertinya bukan hanya aku yang lapar, tetapi aku tak bisa makan secepat Erick.Hanya dalam sepuluh menit lelaki itu telah menghabiskan makanannya."Mamaku meninggal hampir tiga tahun lalu," ujarnya tiba-tiba membuka percakapan.Tunggu! Apakah Erick berniat curhat kepadaku? Kenapa begitu tiba-tiba bicara tentang mamanya yang sudah meninggal?"Sedih banget, aku sama sekali nggak tahu kalau Mama selama ini menahan rasa sakit. Wanita itu selalu tersenyum, rasanya aku tidak percaya sewaktu tahu kondisi penyakit Mama sudah parah, dan tak lama kemudian Mama meninggal," kisahnya sedikit sendu.Duh, kok tiba-tiba jadi sedih gini? Aku yang memang sedang tidak enak makan, jadi semakin lambat mengunyah makananku."Yang bikin aku marah, ternyata Papa sudah tahu kalau kondisi Mama tidak baik, tapi Papa tidak mau memberi perhatian lebih pada Mama. Seandainya Papa lebih peduli pada Mama, pasti sekarang Mama masih hidup." Ucapan Erick penuh penyesalan dan kepedihan.Aku bingung harus berkomentar apa, jadi aku hanya mendengarkan. Setelah meneguk minumannya, Erick melanjutkan kembali ceritanya."Sejak saat itu aku marah kepada Papa. Dulu aku adalah siswa yang berprestasi, namun sejak Mama meninggal aku jadi malas belajar. Aku sering bolos, atau kalaupun aku masuk kelas aku hanya ingin bermain-main dengan teman-teman cewek, aku nggak pernah serius belajar, hingga nilaiku jeblok dan aku sempat tinggal kelas dua kali.""Erick ...." Aku coba menginterupsi omongannya.Pembicaraan Erick makin serius. Aku takut kalau Erick akan melibatkanku secara emosi, sedangkan hubunganku dengan dia cuma sebatas teman. Bagaimana kalau perasaanku jadi semakin terikat padanya? Aku nggak ingin membangun harapan palsu, sudah cukup kemarin-kemarin aku merasakan cinta bertepuk sebelah tangan.Namun, tampaknya lelaki ini memang sudah bertekad untuk membuka semuanya kepadaku. Tanpa kuminta ia menceritakan kisah kelam dalam kehidupannya."Setelah kejadian memalukan itu, Papa mengajak aku bicara baik-baik. Papa meminta maaf, yah, semacam itulah kira-kira. Aku menerima dan memutuskan bahwa aku harus naik kelas di tahun ajaran itu, jadi aku belajar sungguh-sungguh dan berhasil. Tapi Papa kembali membuat aku kecewa, karena tiba-tiba Papa menikah dengan wanita yang tidak aku sukai, yang usianya hanya sedikit lebih tua dari kakakku."Suara Erick terdengar makin sedih. Aku merasa dadaku mulai sesak. Perasaan empati yang membuncah menimbulkan kepiluan di hatiku. "Aku kembali ke sikap lamaku, suka bolos, malas belajar, dan main-main dengan cewek," tambah Erick. "Sampai akhirnya kepala sekolah yang sudah dua tahun bersabar dengan kelakuanku, menghubungi Papa dan mengatakan bahwa aku akan di-DO. Papa malu. Papa marah besar kepadaku."Si Jarjit terkekeh sendiri, seolah senang bisa membuat papanya kalang kabut. Yang kudengar hubungan antara anak dan orang tua bisa sedekat ini, sangat menyayangi seperti teman dekat, lalu berubah jadi kesal seperti sedang menghadapi musuh paling menjengkelkan."Papa memohon pada kepala sekolah supaya aku dibiarkan pindah ke sekolah lain, Papa sampai memohon-mohon, hingga kepala sekolah setuju. Jadilah aku dipindahkan ke sekolah kita," terangnya sembari tersenyum kepadaku.Walah, ternyata begitu ceritanya. Rupanya apa yang Nina katakan waktu itu benar adanya. Sahabatku itu tampaknya memang cocok menjadi wartawan gosip."Awalnya aku berniat untuk tetap menjadi pembangkang di sekolah yang baru. Aku akan tetap suka bolos, malas belajar, dan main-main dengan cewek."Erick menjeda perkataannya. Lalu secara tiba-tiba dia menoleh kepadaku dan menatapku sungguh-sungguh. Niatku ingin membalas tatapannya, tetapi aku malah jadi salah tingkah sendiri.Kembali Erick mengucapkan kalimat yang membuat anganku melambung tinggi. "Tapi semua rencana itu berubah sejak aku mengenal kamu, Love."Motor Erick melaju dengan kecepatan sedang membawa kami kembali ke jalanan Jakarta yang ramai. Lenganku memeluk pinggangnya dengan malu-malu. Senyum bahagia merekah di bibirku. Masih ku ingat momen ketika cowok yang telah mencuri hatiku itu menyatakan perasaannya, menceritakan bagaimana ia jatuh hati padaku. Harapan yang sempat kupupus kembali bersemi di hati, merekahkan bunga-bunga cinta dengan begitu indahnya.Erick menatapku dalam, sedangkan aku hanya sanggup berpaling dan menatap gelas berisi air teh di hadapanku. Teh yang tadinya panas sudah mulai mendingin, gantian wajahku yang memanas. "Waktu Bu Cicil bilang aku mesti duduk di sebelah kamu terus aku lihat raut wajahmu yang syok, aku bertekad untuk menjadikan kamu 'target' berikutnya. Lalu aku pasang senyuman mautku dan mengajak kamu berkenalan, berharap kamu akan takluk. Namun setelah aku menatapmu, ternyata aku yang takluk," seringai Erick.Kudengar suara tawanya yang renyah, entah dia menertawakan dirinya sendiri, atau dirik
"Wuhuuuu...! Velove memang paling bisa diandalkan dalam urusan menyanyi, Sodara-sodara." "Yo'i, Nin! Isyana-nya SMA 88 gitu loh!" Kedua sahabatku kompak menyemangati dan memuji penampilanku. Mereka bahkan membawa pom-pom cheerleader, dan berteriak-teriak ketika aku berada di panggung. "Apaan sih, kalian ini?" Aku tersipu mendengar pujian dari mereka berdua. Masa aku disamain sama Isyana Sarasvati yang punya suara merdu nan melengking indah itu? Kan malu kalau sampai ketahuan aku besar kepala. Eh? Teman-teman sekelas yang lain pun ikut menyalamiku. Hari ini hari kelulusan kami. Setiap kelas diminta mengirimkan satu talenta untuk memeriahkan acara, dan aku yang dipilih oleh teman-teman untuk mewakili kelas kami. Mereka masih heboh berceloteh tentang ini itu, tapi satu sosok yang aku cari tidak ada di antara mereka. Mataku mencari di setiap sudut, tetapi tak tampak batang hidungnya. "Ngapain, Vel? Nyariin Jarjit ya?" tanya Sandra yang sudah ikut-ikutan menyematkan nama Jarjit pada p
"Love...." "Erick sayang, di sini saja." "Erick, tetap di sini! Turuti kata Papa!" Suara-suara itu masih sempat kudengar tatkala aku keluar dari rumah mewah milik keluarga Erick, bersaut-sautan memenuhi indra pendengaranku. Sepertinya pacarku ingin mengejarku, tapi sudah jelas cewek yang sedari tadi menempel di lengannya seperti ulat bulu itu tidak membiarkannya. Seruan Om Johan bahkan lebih keras lagi. Akan tetapi aku masih berharap Erick akan menyusulku, karena aku percaya ia mencintai aku. Dengan wajah bersimbah air mata aku berjalan tak tentu arah. Hatiku sakit tak terkira. "Kenapa, Non, kok nangis?" "Disakiti pacarnya ya, Mbak?" Beberapa orang yang berpapasan denganku tampak menunjukkan perhatian dan keprihatinan saat melihat penampakanku yang berjalan gontai dengan muka amburadul. Kebanyakan hanya menatapku aneh, namun ada sebagian yang bertanya. Saat merasa kelelahan, aku memilih untuk duduk di dekat trotoar. Kaki lelah berjalan, tetapi hatiku lebih lelah lagi. Meskip
"Ekheeem!" Suara dehaman yang cukup keras itu sontak membawa aku dan Erick ke dunia nyata. "Maaf mengganggu, Mbak, tapi saya mau bayar nih, bukan mau nonton drakor," cakap seorang wanita dengan senyuman menggoda. Di tangannya ada keranjang dengan cukup banyak barang belanjaan di dalamnya. "Eh, maaf, Bu," ucapku sambil menunduk. Dengan perasaan malu, aku melepaskan diri dari pelukan Erick. Duh, untung ada ibu itu yang mau beli, kalau nggak pasti sudah ada adegan drakor beneran antara aku dan Erick. Tahu 'kan maksud saya? "Sekali lagi maaf, ya, Bu." Aku merasa tidak enak kepada pembeli itu, sampai aku jadi salah tingkah dan kebingungan sendiri sewaktu kami telah berhadapan di depan meja kasir. "Tenang saja, Mbak, pacarnya masih di situ tuh," ujar si ibu menunjuk ke arah rak-rak yang berisi makanan. Aku melihat Erick yang sempat mengintip sambil senyum-senyum kepadaku. "Eh, iya, Bu," sahutku cepat. Duh, gawat! 'Konsentrasi, Velove, konsentrasi!' batinku memarahiku. "Semuanya lima
"Love! Tunggu!" "Erick, jangan pergi!" Bagaikan mimpi buruk, suara-suara itu kembali memutar memori pedih, ketika aku datang ke rumah Erick dan papanya merendahkan aku. Ada Erick, dan ada mantan kekasihnya. Erick ingin mengejarku, namun wanita penggoda itu menahannya. Dan Erick tidak akan menyusulku. Bedanya kali ini tidak ada Om Johan. Hanya Awan mendung dan tiupan angin menjelang hujan yang menggantikannya. Tanpa memedulikan gerimis yang mulai turun, aku terus melangkahkan kaki. Aku tak tahu arah tujuanku, kakiku hanya tidak bisa berhenti. Kembali ke toko? Bu Iin pasti sudah pergi. Datang ke panti? Aku malu. Entah apa yang akan Bu Wiwin katakan jika mengetahui masalah ini. Pulang ke kontrakan? Oh, aku sungguh tidak sanggup bertemu muka dengan Erick, apalagi Stella mungkin masih ada di sana. Aku tak punya tempat untuk berlindung, itulah sebabnya aku hanya bisa pergi. Hujan yang semakin lebat sama sekali tak membuatku ingin menepi dan berteduh. Aku terus berjalan. Walaupun pa
Wanita dengan payung hijau itu adalah sosok pertama yang aku lihat ketika aku tersadar. "Kamu sudah bangun, Nak? Saya Bu Berta yang membawa kamu ke rumah sakit. Namamu Velove?" tanya wanita berbadan tinggi besar itu. Ia tampak lega melihatku akhirnya siuman. Mungkin Bu Berta telah melihat kartu identitasku sehingga ia tahu namaku. Aku tersenyum dan mencoba bangun, namun rasanya kepalaku masih berat. Aku melihat jarum dan selang infus terpasang di lenganku. Sepertinya kemarin aku sekarat. "Tiduran saja dulu. Kamu tidak sadarkan diri selama tiga hari. Badanmu demam tinggi. Syukurlah sekarang kamu sudah sadar dan tidak demam lagi," ucap Bu Berta dengan lembut. Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari? Dan selama itu hanya mimpi buruk yang aku temui. Erick mengejarku. "Love, jangan pergi," ucapnya seraya membawaku ke dalam pelukannya. Ia mendekapku erat, seolah tak ingin aku pergi lagi. "Erick...." Aku sangat bahagia. Aku membalas pelukannya erat, tak ingin aku lepaskan. Dekapan Eri
"Silakan Ibu tanda tangan di sini." Seorang pria berpakaian formal menyodorkan satu map berisi dokumen kepadaku.Tanganku menggenggam erat dokumen itu dengan tubuh gemetaran. Ingin rasanya aku merobeknya, agar niat jahat mereka tak terwujud.Tapi ... ada tanda tangan suamiku di situ? Mendadak kepalaku terasa pening, mataku berkunang-kunang, seolah dunia ini akan runtuh."Velo!" seru Bu Berta yang menahan tubuhku supaya tidak jatuh. Ia membawaku ke kamar dan menyuruhku berbaring. Aku memejamkan mata. 'Sabar ya, Nak,' ucapku dalam hati seolah menguatkan bayi di dalam kandunganku. Aku merasakan tendangan yang cukup kuat di perutku, seakan-akan ia juga ingin menyemangati ibunya. "Bapak ini gimana sih? Kalau mau ngasih surat gugatan cerai lihat situasi dong! Kak Velo kondisinya lagi lemah gitu, habis sembuh dari sakit, sedang hamil pula. Tega bener sih? Nggak punya perasaan! Mikir dong, Pak!" teriak Selvi lantang. Ia memarahi orang-orang itu dengan garang. "Maaf, Dik. Kami cuma melaksan
[Kembali ke masa kini] Bu Berta mendengarkan ceritaku sambil berurai air mata. Ini kali pertama aku melihat dia menangis. Ibu kuat itu bersedih untukku. "Sini, Nak. Bu Ber mau berikan pelukan beruang untukmu," ucapnya dengan suara sendu. Aku mendengar keprihatinannya. Dengan penuh haru aku menghamburkan diri ke pelukan Bu Berta, wanita yang selama tiga tahun ini menjadi penolongku, seseorang yang telah ku anggap ibuku sendiri. Saat aku tak punya tempat berteduh, ia menjadi payung untukku. "Velo, bagaimana bisa kamu menyimpan semuanya sendirian selama ini, Nak?" sesalnya sembari terus mengusap kepalaku. "Maaf ya, Bu. Saya baru bisa cerita sekarang. Saya tidak ingin menjadi beban, dan sejujurnya saya malu dengan kisah hidup saya," sahutku penuh penyesalan. Bu Berta melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang lenganku. "Kenapa malu, Sayang? Kamu tidak melakukan kejahatan yang melanggar hukum." "Bukan itu, Bu. Selama ini saya hanyalah seorang perempuan naif yang dibutakan oleh c
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni