Felix mengangkat sendoknya untuk memukul samping kepala Gio. Gio bahkan tidak bisa menghindar sama sekali.Dokter itu sampai menangis karena kesakitan. Sambil mengusap kepalanya, dia berkata, "Aku bermaksud baik. Begini caramu berterima kasih?"Di ruang tamu, Yara perlahan duduk di samping Siska. "Sudah, nanti kamu sumpek. Mereka sudah di ruang makan."Siska memperlihatkan dua mata lebar yang tampak memelas. "Mereka pasti sudah sadar."Yara tidak menjawab. Dengan penampilan Siska tadi, siapa yang tidak bisa melihat?"Nggak apa-apa. Mereka pasti bisa jaga rahasia." Dia menepuk-nepuk punggung Siska dengan lembut. "Masih mual? Nggak bisa makan sama sekali?"Siska menggeleng. "Meskipun harus mati kelaparan, aku nggak mau makan."Dia lalu mendorong Yara. "Jangan khawatir. Cepat makan sana, jangan biarkan anak-anakmu kelaparan.""Oke, aku makan sekarang." Yara berdiri dan menatap Siska sejenak. "Tapi kamu nggak boleh begini terus. Kak Felix beli banyak buah, aku ambilkan ya? Pilih yang kamu
"Rara ..." Felix akhirnya mengumpulkan keberanian untuk membuka mulutnya. "Aku ...""Kak Felix!" Yara menyela hampir tanpa sadar. Dia tidak berani menatap. Kepalanya tetap tertunduk. "Siska benar. Sekarang sudah larut. Kalian pulang dulu saja, istirahat yang cukup."Untuk sesaat, Felix tampak tercengang. Keberanian yang baru saja berhasil dia kumpulkan tiba-tiba terjebak di tengah jalan.Gio pun berusaha membantu perjuangan Felix. "Rara, sebenarnya Felix punya ingin bicara sesuatu denganmu.""Aku tahu." Yara masih menundukkan kepala. Suaranya sedikit tercekat dan dia mengulangi, "Aku tahu. Tapi aku sudah ngantuk, aku ingin istirahat dulu."Dia tidak berani menatap mereka, terutama Felix. Dia takut melihat kekecewaan di kedua mata itu.Dia berbalik hendak pergi.Gio mencoba menghentikannya, tetapi Siska menangkapnya.Siska menggeleng. Urusan seperti ini tidak bisa dipaksakan. Dilihat dari reaksi Yara sekarang, memaksakannya tidak akan berbuah baik."Rara!" Tanpa diduga, Felix bicara lag
Siska menahan diri sekuat mungkin, tetapi akhirnya tetap tidak bisa menahan rasa nyeri di hidungnya saat melihat Felix saat ini.Saat melihat pria itu berbalik pergi, dia berseru, "Hei, ini nggak dibawa?"Dia melemparkan kotak beludru merah itu. "Penerimanya nggak mau."Felix menangkapnya dan tersenyum senormal mungkin. "Terima kasih."Siska mengantar mereka berdua keluar. Saat berada di depan pintu, dia pun menyemangati Felix lagi. "Kak Felix, jangan patah semangat. Suatu saat nanti, kamu bisa memberikan hadiah ini.""Sana temani Rara." Felix menyimpan kotak itu dengan hati-hati dan pergi bersama Gio.Saat memasuki lift, kepalanya langsung tertunduk. Dia terlihat seperti anjing yang ditinggalkan pemiliknya."Kamu kenapa?" Gio menendang sepatunya. "Siska juga tadi bilang, suatu hari nanti kamu pasti berhasil. Aku percaya itu."Felix menghela napas dan bertanya pada Gio dengan serius, "Menurutmu, apa aku dan Yudha sangat berbeda?""Tentu saja." Gio menegaskan, "Dia tipikal CEO yang suka
Setelah Felix dan Gio pergi, Siska pergi mengetuk pintu kamar Yara. Hari belum terlalu malam, jadi Yara belum pergi tidur."Rara, mau keluar dan ngobrol sebentar?" Siska bertanya di dekat pintu. "Mereka sudah pulang."Terdengar suara berderak di pintu dan beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Yara berdiri di ambang pintu dengan ekspresi meminta maaf.Siska tertawa melihat penampilannya dan mendekat ke depan untuk memeluknya. "Kenapa? Kamu hampir menerima hadiah yang luar biasa tadi, kamu seharusnya bahagia!"Yara menunduk, tidak mengatakan apa-apa.Siska menariknya menuju ruang tamu. "Kak Felix sangat peduli padamu. Sebelum pergi tadi, dia berkali-kali khawatir kamu terlalu menyalahkan diri sendiri."Hati Yara terasa semakin berat mendengar hal ini, dan matanya langsung memerah."Jangan menangis, jangan menangis!" Tangan Siska cepat-cepat menyeka air matanya. "Aduh, aku pasti dihajar Kak Felix kalau dia tahu aku membuatmu menangis."Yara mendengus dan berusaha keras untuk mengendalika
Namun, jika dibandingkan, aura Yudha juga hampir sama dengannya.Dia juga seseorang yang ditakuti di dunia bisnis. Dia bisa mengguncang perusahaan bernilai puluhan miliar hanya dengan satu perintah. Para bos yang hebat pun harus tunduk padanya.Dua orang ini menempuh jalan yang berbeda. Satu dimulai dari usia enam tahun, satunya lagi dimulai dari usia lima tahun. Dua jalan itu sama-sama sulitnya, yang akhirnya juga membawa mereka ke tingkat yang sebanding saat ini.Ekspresi Yudha masih dingin dan nada bicaranya lebih dingin lagi. "Bicara apa? Yara? Kamu pikir kamu bisa tetap tenang?""Kali ini bukan Yara," kata Felix segera.Sekilas rasa terkejut tergambar jelas di mata Yudha. Dia menanggalkan sedikit aura agresifnya dan duduk kembali di sofa.Felix duduk di sebelahnya. Melihatnya Yudha ingin bangun lagi, Felix mengulurkan tangan untuk menahannya."Jangan begitu. Aku ingat kamu sangat lengket denganku waktu kecil." Felix menatap Yudha, suaranya terdengar agak sedih.Yudha merilekskan t
Felix menyaksikan Yudha naik ke lantai, menghela napas dan bersiap-siap pergi ke kamarnya untuk beristirahat.Saat itulah, dia agak terkejut melihat Tanto kembali dari luar."Paman!" Felix menyapa dan bangkit untuk menyambutnya. Teringat akan keanehan Siska hari ini, dia merasa harus mengatakan sesuatu.Saat berjalan mendekat, Felix menyadari ada yang aneh. Tanto terlihat lebih kuyu, dengan dua kantung hitam besar di bawah matanya, seolah belum tidur selama beberapa malam."Paman, kamu kenapa?" Dia bertanya dengan penuh perhatian. "Tadi malam nggak tidur?""Ya." Tanto menyeret tubuhnya, seperti sangat kelelahan. "Ngantuk, aku mau tidur dulu. Kamu juga cepat tidur, jangan begadang kemalaman."Setelah menjejak di tangga, dia teringat sesuatu dan berhenti sebentar. "Ngomong-ngomong, kamu naik pangkat jadi letnan kolonel, ya? Selamat.""Terima kasih." Felix tiba-tiba sedikit senang mendengar seseorang mengucapkan selamat padanya. "Paman, kamu ... aku pergi ke rumah Siska tadi. Dia sepertin
"Aku sudah bertemu dengan spesialis kesuburan itu. Aku tahu kamu bohong kepadanya agar dia menyembunyikan kesuburan Melanie." Yara langsung mengatakan intinya dan menatap Liana sangat tajam.Liana duduk lebih tegak dan menyilangkan kedua lengan. "Ternyata kamu sedikit lebih pintar dari yang aku kita?""Yang seperti ini pintar?" Yara merasa wanita ini sangat konyol dan mengganti pertanyaannya lagi. "Jadi, menurutmu Yudha bodoh, karena nggak tahu apa-apa?"Liana menurunkan tangannya, tetapi tidak menjawab pertanyaan Yara.Yara bertanya lagi, "Bagaimana menurutmu kalau suatu saat Yudha tahu perbuatanmu?""Kamu mengancam?" Liana tertawa sinis. "Bukannya kamu sekarang pacaran dengan Felix? Kalau aku membantu Melanie, secara nggak langsung aku membantumu. Atau mungkin ... kamu nggak jadi ingin bercerai?"Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa kakak beradik itu tahu kamu bolak-balik di antara mereka?""Kamu salah, aku bukan ingin kembali bersama Yudha," ucap Yara dengan serius. "Aku
Di luar dugaan, Siska tidak merespons saat mendengar ada sesuatu yang tersembunyi."Lalu, apa pengaruhnya?" Suaranya menyiratkan kesedihan yang paling dalam. "Aku nggak peduli apa yang orang lain lakukan. Yang aku pedulikan cuma dia ...."Dia menatap Yara, merasa sekaan seluruh tubuhnya di ambang kehancuran. "Tapi dia sudah membuatku sangat kecewa.""Siska, aku mengerti perasaanmu." Yara perlahan menarik sudut bibirnya. "Mana mungkin nggak? Aku juga waktu itu merasakan hal yang sama soal Yudha."Dia menatap Siska dengan sangat serius. "Tapi, kalau waktu itu aku tahu Yudha cuma ingin membalas budi, kalau aku tahu seberapa banyak campur tangan Melanie di dalamnya, aku pasti akan memberi tahu Yudha. Daripada membiarkan luka yang awalnya kecil itu tumbuh semakin besar, dan pada akhirnya membunuh hubungan kami.""Walaupun aku masih belum yakin soal perasaan Yudha kepadaku, tapi aku tahu, bahwa aku sangat, sangat mencintainya saat itu." Yara tertawa pahit. "Saat itu, aku nggak akan membiarka