Keduanya sepakat untuk pergi ke rumah keluarga besar Lastana bersama-sama untuk menemui Kakek.Sesampainya di sana, Yara menyapa Agnes, tetapi dia melihat wanita itu memberinya tatapan tidak suka lagi.Dia merasa sedikit aneh dan segera naik ke lantai atas.Felix pergi ke kamar Agnes."Kamu terluka?" tanya Agnes cemas. "Apa yang terjadi? Lukanya serius?""Nggak apa-apa." Felix tampak sedikit melamun."Nggak apa-apa apanya?" Agnes berubah kesal. "Menerima serangan yang harusnya diarahkan ke Yara?""Ibu!" Felix mendesah berat. "Kamu tahu semua ini dari siapa? Yudha?""Jangan pikirkan aku tahu dari siapa." Agnes menggertakkan giginya. "Aku bukannya sengaja nggak suka dengan Rara ini. Bukannya dia baru saja berpisah dari Yudha? Sekarang dia lagi ingin menyusahkan ...""Bu!" Felix menyela Agnes. "Penjahat itu mengincar aku. Siapa yang menyusahkan siapa? Aku yang menyusahkan Rara.""Benarkah?" Agnes merasa skeptis."Buat apa aku bohong?" Felix menggeleng lagi. "Ngomong-ngomong, Rara sudah mu
Yara mengobrol sebentar dengan Kakek Susilo sebelum turun ke lantai bawah dan siap-siap pergi."Rara, kemari sebentar." Tak disangka, Agnes memanggilnya masuk ke kamar.Agnes memandangi perut Yara yang sudah sedikit terlihat dan bertanya lembut, "Bagaimana pemeriksaan kandunganmu akhir-akhir ini? Semuanya baik-baik saja?"Yara mengangguk pelan. "Nggak ada masalah.""Empat bulan, 'kan?" Agnes menampakkan wajah khawatir. "Rara, kamu masih terlalu kurus. Kamu harus makan lebih banyak. Felix nggak terlalu ceroboh menjagamu 'kan?""Nggak." Yara buru-buru menggelengkan kepalanya. "Bibi, sebenarnya anak-anak ini ...""Aku tahu semuanya." Agnes menggenggam tangan Yara. "Entah itu Felix atau Yudha, mereka tetap hati dan jiwaku. Nggak ada bedanya."Yara tidak begitu mengerti apa yang Agnes maksudkan. "Bibi Agnes ..."Tak disangka, Agnes menyela lagi, "Rara, jangan panggil aku Bibi mulai sekarang, panggil saja Ibu, biar lebih akrab.""Bibi Agnes, sepertinya ada yang salah paham." Yara segera menj
"Rara ..." Felix tiba-tiba takut. "Tenang saja, aku nggak bermaksud apa-apa, aku ... aku akan bicara dengan ibuku. "Yara mengangguk, bertekad dalam benaknya bahwa dia akan menjaga jarak dengan Felix mulai sekarang.Felix tidak menyangka Yara akan bereaksi sekeras itu, sampai hampir berkata ingin memutus hubungan. Padahal sangat jelas mereka sebelum ini ... Felix sungguh tidak mengerti.Setelah Yara naik ke lantai atas, dia duduk di mobilnya dan mengirim pesan kepada Siska."Kalau aku menikah dengan Rara, apa kamu setuju?"Siska menjawab dengan cepat: "Seratus persen setuju. Kapan pernikahannya? Amplopku sudah siap."Felix tertawa, tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Dia menjawab: "Tapi Rara sepertinya sangat menolak, aku nggak mengerti."Siska menyetujuinya tanpa tunggu lama: "Mengejar cinta seorang wanita itu memang sulit, Kak. Tenang saja, pasti akan kubantu."Felix mengirimkan: "Terima kasih." Dia berpikir sejenak dan menambahkan: "Setelah beres nanti, aku akan mengabulkan ap
"Bu, ada yang harus aku tanyakan." Yudha bukan seseorang yang mudah menyerah.Agnes sebenarnya belum mulai berbaring. Mendengar Yudha mengatakan hal itu, dia tahu dia tidak punya pilihan selain membukakan pintu.Mendesah pelan, dia bangkit dan membuka pintu. Pikirannya menduga-duga seberapa banyak yang didengar Yudha.Pintu terbuka dan Agnes langsung mempersilakan anak bungsunya masuk."Apa yang harus dibicarakan malam-malam begini?" Dia memasang ekspresi tidak sabar."Bu, yang dikandung Yara ..." Yudha agak tersendat, tetapi tidak membuang-buang waktu. "Benar anak Kakak?""Kenapa kamu sampai tanya seperti itu?" Agnes membelalakkan matanya dan tampak marah.Sampai di sini, dia yakin Yudha tidak mendengar pembicaraan mereka secara utuh.Rasa percaya dirinya kembali lagi. "Yudha, aku tahu kamu menyimpan dendam kepada kakakmu dan Rara. Tapi kamu juga harus memikirkan kakakmu dan keluarga Lastana."Yudha mengerutkan kening dan tidak berkata apa-apa. Kenapa? Saat dia bersama Yara dulu, Agne
"Karena aku bukan Melanie.""Apa salahnya jadi Melanie?" Kebencian Siska telah membuncah. "Sudah mencuri orang tua orang, mencuri suami orang. Betapa bahagia hidupnya."Yara tertawa. Mungkin dia pernah berpikir seperti itu. Namun, dia tahu bahwa meskipun dia mengulanginya lagi, dia tetap tidak bisa menjadi Melanie.Oleh karena itu, dia tidak akan menikah dengan Felix."Siska, aku sudah salah jalan sekali. Aku nggak mau salah jalan untuk yang kedua kali." Yara teringat kembali akan pernikahannya dengan Yudha. "Pernikahan itu memang kuburan cinta. Kalau bukan dua orang yang sangat saling mencintai, atau kalau cuma salah satu sangat mencintai, nggak akan ada yang selamat.""Seperti kamu dan Yudha sekarang?"Yara mengangguk.Siska berpikir sejenak. "Jadi, kamu khawatir Kak Felix nggak cukup mencintaimu?""Bukan, bukan nggak cukup. Kak Felix memperlakukan aku lebih seperti kakak kepada adiknya. Semua itu didasari atas membalas budi. Nggak ada hubungannya dengan cinta lawan jenis." Yara meng
Saat Felix mengingatnya, kenangan saat dia berumur enam tahun hingga kembali lagi dari luar negeri kemarin seolah tersamarkan. Sebaliknya, semua yang terjadi setelah bertemu kembali dengan Yara terasa sangat jelas, seperti baru kemarin.Jadi, untuk membalas budi? Ataukah dia benar-benar jatuh cinta? Dia sendiri tidak tahu pasti.Satu-satunya hal yang dia tahu adalah dia ingin melindunginya dan membuatnya bahagia.Gio memang layak disebut sebagai ahli psikologi. Meski Felix tidak mengatakan apa-apa, dia bisa melihat semuanya."Perbedaan terbesar di antara keduanya ..."Felix langsung mengangkat kepalanya yang tertunduk."Apa kamu punya hasrat fisik kepada Rara?" Gio menatapnya. "Apa kamu ingin memegang tangannya, memeluknya, menciumnya ... atau bahkan, benar-benar punya anak sendiri dengannya."Wajah Felix memerah dan sekujur tubuhnya seperti membeku.Gio tertawa lepas dan mengulurkan tangan, menyentuh kepalanya. "Anak baru, jangan terburu-buru. Mulailah dari pegangan tangan. Coba saja
"Sudah gila!" Siska memutar bola matanya."Benar, benar, tadi aku juga memikirkan hal yang sama," jawab Tanto tanpa malu-malu."Apa sih maumu?" Siska sedang tidak ingin melayani omong kosongnya. Perpisahan terakhir mereka yang tidak menyenangkan itu telah membuatnya jijik pada Tanto dan Liana, sepasang anjing itu. Dia benar-benar tidak ingin berurusan dengan mereka berdua lagi."Aku ingin bertemu denganmu.""Aku nggak mau!" Siska menolak dengan tegas."Bertemu saja. Aku janji nggak akan melakukan apa-apa." Suara Tanto lamat-lamat seperti memohon. "Aku sebentar lagi sampai di rumahmu.""Gila ya ..." Siska baru setengah mengucapkan umpatannya dia seperti mendengar suara tangisan yang tertahan.Dia mendengarkan dengan tenang beberapa saat. Sepertinya benar-benar suara tangisan Tanto."Halo?" Dalam ingatan Siska, sepertinya ini pertama kalinya Tanto menangis.Tanto pasti agak emosional. Dia beberapa kali mencoba untuk berbicara, tetapi selalu gagal."Aduh, iya, iya, aku keluar sekarang." S
Siska membuang muka dan tersenyum, "Masih ingat kapan terakhir kali kita bertemu?"Tanto berpikir keras. Terakhir kali, Siska mendorong Liana ke dalam kolam dan dia menampar Siska.Teringat akan hal itu, dia tersentak dan menampar dirinya sendiri.Siska kaget. "Apa-apaan? Apa yang kamu lakukan? Kamu gila kenapa sih?""Tamparan yang kemarin itu, aku balaskan untukmu, atau ..." Tanto menatapnya dengan sedih, "Kamu ingin menamparku sendiri?"Siska tertawa karena jengkel. "Bikin sakit tanganku saja."Wajahnya lalu berangsur serius. "Kubilang, aku nggak pernah mendorong Liana, apa kamu percaya?"Tanto diam saja.Amarah Siska langsung memuncak dan dia menarik kembali tangannya. "Kalau kamu nggak percaya, mau apa kamu datang menemuiku?""Cuaca hari itu sangat dingin dan air di kolam renang juga dingin. Mana mungkin Liana terjun sendiri?"Tanto menjelaskan penuh cemas, "Aku di sini, karena meskipun kamu menjatuhkan dia, aku tetap mencintaimu."Saat ini juga, Siska seperti memahami suatu ungkap