Yara mengobrol sebentar dengan Kakek Susilo sebelum turun ke lantai bawah dan siap-siap pergi."Rara, kemari sebentar." Tak disangka, Agnes memanggilnya masuk ke kamar.Agnes memandangi perut Yara yang sudah sedikit terlihat dan bertanya lembut, "Bagaimana pemeriksaan kandunganmu akhir-akhir ini? Semuanya baik-baik saja?"Yara mengangguk pelan. "Nggak ada masalah.""Empat bulan, 'kan?" Agnes menampakkan wajah khawatir. "Rara, kamu masih terlalu kurus. Kamu harus makan lebih banyak. Felix nggak terlalu ceroboh menjagamu 'kan?""Nggak." Yara buru-buru menggelengkan kepalanya. "Bibi, sebenarnya anak-anak ini ...""Aku tahu semuanya." Agnes menggenggam tangan Yara. "Entah itu Felix atau Yudha, mereka tetap hati dan jiwaku. Nggak ada bedanya."Yara tidak begitu mengerti apa yang Agnes maksudkan. "Bibi Agnes ..."Tak disangka, Agnes menyela lagi, "Rara, jangan panggil aku Bibi mulai sekarang, panggil saja Ibu, biar lebih akrab.""Bibi Agnes, sepertinya ada yang salah paham." Yara segera menj
"Rara ..." Felix tiba-tiba takut. "Tenang saja, aku nggak bermaksud apa-apa, aku ... aku akan bicara dengan ibuku. "Yara mengangguk, bertekad dalam benaknya bahwa dia akan menjaga jarak dengan Felix mulai sekarang.Felix tidak menyangka Yara akan bereaksi sekeras itu, sampai hampir berkata ingin memutus hubungan. Padahal sangat jelas mereka sebelum ini ... Felix sungguh tidak mengerti.Setelah Yara naik ke lantai atas, dia duduk di mobilnya dan mengirim pesan kepada Siska."Kalau aku menikah dengan Rara, apa kamu setuju?"Siska menjawab dengan cepat: "Seratus persen setuju. Kapan pernikahannya? Amplopku sudah siap."Felix tertawa, tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Dia menjawab: "Tapi Rara sepertinya sangat menolak, aku nggak mengerti."Siska menyetujuinya tanpa tunggu lama: "Mengejar cinta seorang wanita itu memang sulit, Kak. Tenang saja, pasti akan kubantu."Felix mengirimkan: "Terima kasih." Dia berpikir sejenak dan menambahkan: "Setelah beres nanti, aku akan mengabulkan ap
"Bu, ada yang harus aku tanyakan." Yudha bukan seseorang yang mudah menyerah.Agnes sebenarnya belum mulai berbaring. Mendengar Yudha mengatakan hal itu, dia tahu dia tidak punya pilihan selain membukakan pintu.Mendesah pelan, dia bangkit dan membuka pintu. Pikirannya menduga-duga seberapa banyak yang didengar Yudha.Pintu terbuka dan Agnes langsung mempersilakan anak bungsunya masuk."Apa yang harus dibicarakan malam-malam begini?" Dia memasang ekspresi tidak sabar."Bu, yang dikandung Yara ..." Yudha agak tersendat, tetapi tidak membuang-buang waktu. "Benar anak Kakak?""Kenapa kamu sampai tanya seperti itu?" Agnes membelalakkan matanya dan tampak marah.Sampai di sini, dia yakin Yudha tidak mendengar pembicaraan mereka secara utuh.Rasa percaya dirinya kembali lagi. "Yudha, aku tahu kamu menyimpan dendam kepada kakakmu dan Rara. Tapi kamu juga harus memikirkan kakakmu dan keluarga Lastana."Yudha mengerutkan kening dan tidak berkata apa-apa. Kenapa? Saat dia bersama Yara dulu, Agne
"Karena aku bukan Melanie.""Apa salahnya jadi Melanie?" Kebencian Siska telah membuncah. "Sudah mencuri orang tua orang, mencuri suami orang. Betapa bahagia hidupnya."Yara tertawa. Mungkin dia pernah berpikir seperti itu. Namun, dia tahu bahwa meskipun dia mengulanginya lagi, dia tetap tidak bisa menjadi Melanie.Oleh karena itu, dia tidak akan menikah dengan Felix."Siska, aku sudah salah jalan sekali. Aku nggak mau salah jalan untuk yang kedua kali." Yara teringat kembali akan pernikahannya dengan Yudha. "Pernikahan itu memang kuburan cinta. Kalau bukan dua orang yang sangat saling mencintai, atau kalau cuma salah satu sangat mencintai, nggak akan ada yang selamat.""Seperti kamu dan Yudha sekarang?"Yara mengangguk.Siska berpikir sejenak. "Jadi, kamu khawatir Kak Felix nggak cukup mencintaimu?""Bukan, bukan nggak cukup. Kak Felix memperlakukan aku lebih seperti kakak kepada adiknya. Semua itu didasari atas membalas budi. Nggak ada hubungannya dengan cinta lawan jenis." Yara meng
Saat Felix mengingatnya, kenangan saat dia berumur enam tahun hingga kembali lagi dari luar negeri kemarin seolah tersamarkan. Sebaliknya, semua yang terjadi setelah bertemu kembali dengan Yara terasa sangat jelas, seperti baru kemarin.Jadi, untuk membalas budi? Ataukah dia benar-benar jatuh cinta? Dia sendiri tidak tahu pasti.Satu-satunya hal yang dia tahu adalah dia ingin melindunginya dan membuatnya bahagia.Gio memang layak disebut sebagai ahli psikologi. Meski Felix tidak mengatakan apa-apa, dia bisa melihat semuanya."Perbedaan terbesar di antara keduanya ..."Felix langsung mengangkat kepalanya yang tertunduk."Apa kamu punya hasrat fisik kepada Rara?" Gio menatapnya. "Apa kamu ingin memegang tangannya, memeluknya, menciumnya ... atau bahkan, benar-benar punya anak sendiri dengannya."Wajah Felix memerah dan sekujur tubuhnya seperti membeku.Gio tertawa lepas dan mengulurkan tangan, menyentuh kepalanya. "Anak baru, jangan terburu-buru. Mulailah dari pegangan tangan. Coba saja
"Sudah gila!" Siska memutar bola matanya."Benar, benar, tadi aku juga memikirkan hal yang sama," jawab Tanto tanpa malu-malu."Apa sih maumu?" Siska sedang tidak ingin melayani omong kosongnya. Perpisahan terakhir mereka yang tidak menyenangkan itu telah membuatnya jijik pada Tanto dan Liana, sepasang anjing itu. Dia benar-benar tidak ingin berurusan dengan mereka berdua lagi."Aku ingin bertemu denganmu.""Aku nggak mau!" Siska menolak dengan tegas."Bertemu saja. Aku janji nggak akan melakukan apa-apa." Suara Tanto lamat-lamat seperti memohon. "Aku sebentar lagi sampai di rumahmu.""Gila ya ..." Siska baru setengah mengucapkan umpatannya dia seperti mendengar suara tangisan yang tertahan.Dia mendengarkan dengan tenang beberapa saat. Sepertinya benar-benar suara tangisan Tanto."Halo?" Dalam ingatan Siska, sepertinya ini pertama kalinya Tanto menangis.Tanto pasti agak emosional. Dia beberapa kali mencoba untuk berbicara, tetapi selalu gagal."Aduh, iya, iya, aku keluar sekarang." S
Siska membuang muka dan tersenyum, "Masih ingat kapan terakhir kali kita bertemu?"Tanto berpikir keras. Terakhir kali, Siska mendorong Liana ke dalam kolam dan dia menampar Siska.Teringat akan hal itu, dia tersentak dan menampar dirinya sendiri.Siska kaget. "Apa-apaan? Apa yang kamu lakukan? Kamu gila kenapa sih?""Tamparan yang kemarin itu, aku balaskan untukmu, atau ..." Tanto menatapnya dengan sedih, "Kamu ingin menamparku sendiri?"Siska tertawa karena jengkel. "Bikin sakit tanganku saja."Wajahnya lalu berangsur serius. "Kubilang, aku nggak pernah mendorong Liana, apa kamu percaya?"Tanto diam saja.Amarah Siska langsung memuncak dan dia menarik kembali tangannya. "Kalau kamu nggak percaya, mau apa kamu datang menemuiku?""Cuaca hari itu sangat dingin dan air di kolam renang juga dingin. Mana mungkin Liana terjun sendiri?"Tanto menjelaskan penuh cemas, "Aku di sini, karena meskipun kamu menjatuhkan dia, aku tetap mencintaimu."Saat ini juga, Siska seperti memahami suatu ungkap
"Kantor pusat TaLa di Meria?"Yara mengangguk."Tapi kamu nggak tahu jalan-jalan di sana. Kamu sedang hamil. Kamu yakin bisa bertahan sendirian?" Siska tidak bisa ikut. Dia harus tetap di sini merawat ibunya."Nggak apa-apa, aku akan bekerja. Dari perusahaan pasti ada perjanjian." Yara membulatkan tekad. "Jangan beri tahu Kak Felix dulu. Aku sudah menolak tawaran TaLa waktu itu. Aku mungkin sudah kehilangan kesempatan."Siska tidak bisa menghilangkan rasa tidak tenang dalam hatinya."Percayalah, nggak apa-apa." Yara memeluknya dengan lembut.Pada saat itu, bel pintu berbunyi. Itu pasti Felix.Yara bangkit membukakan pintu, sekali lagi berpesan agar Siska menjaga rahasianya.Pintu terbuka dan Felix masuk membawa beberapa barang. Saat melihat Yara, dia teringat perkataan Gio semalam dan seketika tersipu malu."Selamat pagi, Kak Felix." Yara menyapanya dan ingin membantunya membawakan barang-barang itu."Nggak usah, aku bisa sendiri." Felix menunduk, bahkan tidak berani menatap Yara."Di
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid