Di kamar rumah sakit, saat Siska terbangun, dia mendengar suara percakapan dari ambang pintu.Yara dan Gio kembali.Siska melihat pria dengan pistol yang bersembunyi di balik pintu. Dia tidak bisa bicara sama sekali, karena seluruh tubuhnya diikat dan mulutnya disumpal.Dia sangat panik, tetapi dia tidak bisa membebaskan diri.Pria dengan pistol itu memelototinya dengan tajam. Dia mungkin akan langsung menembak kalau Siska membebaskan diri.Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Gio mendorong kursi roda Yara. Mereka berdua langsung melihat Siska dalam keadaan diikat.Siska menatap Yara dan menggelengkan kepalanya sekuat tenaga.Gio refleks mengambil langkah ke depan kursi roda untuk menghalangi Yara. Dia cepat-cepat berkata dengan suara rendah, "Felix!"Detik berikutnya, sepucuk pistol diarahkan ke kepalanya.Yara gemetar ketakutan, tapi dia mendengar kata-kata Gio.Dengan tangan menggigil, dia mengeluarkan ponselnya dan baru saja akan menelepon ketika dia melihat panggilan masuk dari Yu
"Nggak bisa!" Yudha menolak hampir seperti refleks. Dia melepaskan tangan Agnes. "Bu, sampaikan maafku pada Melly. Aku benar-benar harus pergi."Agnes jatuh terduduk di kursinya tanpa daya.Tanto dan Liana sejak tadi menyaksikan di samping."Haha." Tanto merentangkan tangannya sambil tertawa hambar. "Lihat itu? Terkadang, justru anak paling penurut itulah yang sedang menyiapkan kejutan terbesar di kemudian hari."Dia berbalik dan melambaikan tangannya lagi ke arah semua orang. "Bubar. Semuanya, bubar! Kalian nggak akan menikmati jamuan pernikahan hari ini."Para tamu saling memandang dengan raut tidak percaya. Beberapa ingin menghampiri untuk menghibur Agnes, tetapi mereka akhirnya pergi melihat wajah Agnes yang sangat kelam."Biar aku yang bilang ke Melly." Liana menawarkan diri.Tanto menatapnya dengan tidak senang. "Kamu jangan terlalu dekat-dekat sama dia.""Iya." Liana menoleh ke arah Agnes yang matanya terpejam. Kelihatannya dia tidak ingin pergi meminta maaf kepada Melanie.Tant
Felix baru saja akan menyalakan mobilnya ketika dia melihat Yudha menyusul."Buka pintunya!" Yudha mengetuk jendela mobil dari luar.Felix mengerutkan kening, tapi tetap cepat-cepat membuka pintu. Sambil menyalakan mobilnya, dia bertanya pada Yudha memasuki mobil, "Kamu yakin mau pergi?""Cepat jalan!" Yang Yudha tahu, Yara dalam bahaya dan dia harus pergi.Setelah sirene mobil dinyalakan, mereka dapat melaju tanpa hambatan dan tiba di rumah sakit hanya dalam waktu sepuluh menit.Saat itu, satu lantai di sekitar kamar Yara berada dalam keadaan kacau-balau. Sebagian besar pasien telah dievakuasi dan pihak rumah sakit telah memanggil polisi.Ketika seseorang melihat Felix dan Yudha datang, mereka segera menghampiri dan bertanya, "Kalian polisi? Orang di atas sana membawa senjata. Sangat berbahaya."Felix menunjukkan kartu identitasnya dan segera menuju ke lantai atas, dengan Yudha mengikuti dari belakang.Ekspresi keduanya sangat serius. Keringat merembes dari dahi mereka, dan tatapan ma
Felix segera dibawa ke ruang gawat darurat.Tatapan Yudha menyapu wajah Yara sebelum akhirnya dia mendekat dan berbisik, "Jangan khawatir. Kak Felix ... pasti baik-baik saja."Wajah Yara pucat dan berlumuran darah. Dia bersandar lemah di kursi.Setelah polisi membawa tubuh pria berbaju hitam itu, mereka membangunkan Siska yang sudah lama pingsan.Saat perkelahian baru dimulai, kepala Siska membentur meja dan pingsan.Begitu siuman, dia langsung menghampiri Yara."Siska." Yara membuka matanya dan langsung memeluk Siska. "Kamu nggak apa-apa?"Siska menggeleng. Saat dia melihat polisi membawa Gio pergi, dia segera berkata, "Aku ikut juga untuk membantu penyelidikan.""Siska." Yara menggenggam tangan Siska. "Orang itu ... mengincar aku 'kan?"Dia ingat dengan sangat jelas. Begitu dia memasuki kamar bersama Gio, dialah orang yang ingin dibunuh oleh pria itu.Siska ragu-ragu sejenak, lalu menenangkannya. "Rara, jangan dipikirkan. Polisi pasti akan mencari tahu."Seolah-olah, secara tidak lan
Felix melewati masa kritis sore itu dan terbangun di malam hari.Selama itu, Yara menunggui di samping ranjang rumah sakit. Ketika dia melihat Felix akhirnya terbangun, dia cepat-cepat bertanya penuh perhatian, "Kak? Ada yang sakit?""Nggak apa-apa." Felix tersenyum dan menggeleng. Dia lalu menatap Gio dan Siska di belakang Yara dan berkata, "Maaf membuat kalian khawatir.""Baguslah kalau kamu tahu diri." Lengan Gio telah diperban."Kak Felix, kamu sangat hebat!" Siska mengacungkan jempol. "Paling kuat."Semua orang menghela napas lega.Saat makan malam, Felix menyuruh Yara dan Siska kembali ke kamar. Dia hanya perlu ditemani Gio.Yara memastikan berulang kali apakah Felix baik-baik saja sebelum akhirnya pergi bersama Siska.Setelah mereka berdua pergi, ekspresi Felix dan Gio menjadi lebih serius."Dia kakaknya Danang Susatyo." Gio mulai berkata dengan gigi terkatup. "Dasar gila. Entah dari mana dia tahu. Karena sadar nggak akan mampu membunuhmu ... jadi dia memutuskan untuk mengincar
Namun, dia sangat mengantuk. Dia hanya ingin memejamkan mata sejenak saja, tapi tanpa sadar terlelap entah berapa lama. Saat tersentak bangun lagi, dia terkejut mendapati Yara belum kembali.Siska langsung terduduk, berkeringat dingin."Rara?" Dia keluar ke koridor dan memanggil pelan, tidak mendengar jawaban.Dia tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur. Dia hanya merasa jantungnya seperti mau copot dari dadanya.Dia berjalan cepat ke arah toilet, semakin cepat, dan akhirnya berlari.Sesampainya di depan pintu toilet, dia merasakan embusan angin dingin yang kuat, langsung menghempas kakinya. Untungnya, dia berpegangan pada dinding.Dia pun segera paham bahwa jendela toiletnya pasti terbuka.Siska tidak berani berpikir lebih jauh. Dia masuk ke dalam toilet secepat mungkin sambil berpegangan pada dinding. Benar saja, dia melihat jendela sudah terbuka dan Yara berdiri di dekatnya.Dia panik dan segera bergegas memeluk Yara."Rara, jangan gegabah!" teriak Siska. "Berpikirlah dulu, jangan
"Ada apa? Kamu merasa sesuatu?" Gio menyadari bahwa mata Yara basah. Dia panik dan cepat-cepat memanggil dokter."Nggak apa-apa." Yara meraih pergelangan tangan Gio dan berkata sambil menangis kegirangan, "Mereka menendangku."Gio terdiam sejenak dan akhirnya tersadar bahwa Yara sedang berbicara tentang bayi-bayi di dalam perutnya.Dia dapat merasakan vitalitas yang terpancar dari diri Yara. Pada saat ini, dia pun yakin bahwa Yara telah berhasil."Baru pertama kali?" tanya Gio dengan suara hangat.Yara mengangguk. Ini memang pertama kalinya dia merasakan gerakan dari janinnya dan pertama kali dia benar-benar merasakan keberadaan mereka.Oleh karena itu, apa pun yang terjadi di masa lalu, dia tidak akan sendirian lagi di masa depan. Dia akan hidup dengan baik demi anak-anaknya."Masih menendang?" Gio ikut penasaran. Ini juga pertama kalinya dia berinteraksi dengan wanita hamil.Yara mengangguk dan tersenyum. "Kamu mau merasakannya?""Bolehkah?" Gio tampak sedikit antusias.Yara mengangg
Yudha berpikir keras dan akhirnya menelepon.Yara mengangkatnya sesaat kemudian. "Yudha?""Kamu ada waktu besok pagi?" Yudha berkata perlahan. "Ayo kita pergi ke kantor catatan sipil.""Oke." Yara langsung setuju.Hati Yudha terasa seperti tergelincir ke dalam jurang yang dalam. Dia menutup telepon dan menatap Melanie. "Begini?""Yudha, bolehkah aku pergi denganmu besok?" Melanie mulai menangis lagi. "Yudha, aku tahu kamu nggak suka dipaksa seperti ini. Tapi coba mengerti perasaanku. Aku ditinggal lari calon suamiku di upacara pernikahan. Kamu juga sampai sekarang belum menceraikan istrimu .... Wanita mana pun pasti akan merasa dunianya hancur.""Oke." Yudha teringat lagi betapa Yara sangat mengkhawatirkan Felix. Karena memang sudah pasti, apa lagi yang membuatnya ragu?Sementara itu, Yara sedang berada di kamar Felix saat menerima telepon itu."Aku akan menemanimu besok." Felix juga mendengar isi pembicaraan mereka."Nggak perlu." Yara buru-buru menggeleng. "Kamu istirahat saja dulu.
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid