"Ada apa? Kamu merasa sesuatu?" Gio menyadari bahwa mata Yara basah. Dia panik dan cepat-cepat memanggil dokter."Nggak apa-apa." Yara meraih pergelangan tangan Gio dan berkata sambil menangis kegirangan, "Mereka menendangku."Gio terdiam sejenak dan akhirnya tersadar bahwa Yara sedang berbicara tentang bayi-bayi di dalam perutnya.Dia dapat merasakan vitalitas yang terpancar dari diri Yara. Pada saat ini, dia pun yakin bahwa Yara telah berhasil."Baru pertama kali?" tanya Gio dengan suara hangat.Yara mengangguk. Ini memang pertama kalinya dia merasakan gerakan dari janinnya dan pertama kali dia benar-benar merasakan keberadaan mereka.Oleh karena itu, apa pun yang terjadi di masa lalu, dia tidak akan sendirian lagi di masa depan. Dia akan hidup dengan baik demi anak-anaknya."Masih menendang?" Gio ikut penasaran. Ini juga pertama kalinya dia berinteraksi dengan wanita hamil.Yara mengangguk dan tersenyum. "Kamu mau merasakannya?""Bolehkah?" Gio tampak sedikit antusias.Yara mengangg
Yudha berpikir keras dan akhirnya menelepon.Yara mengangkatnya sesaat kemudian. "Yudha?""Kamu ada waktu besok pagi?" Yudha berkata perlahan. "Ayo kita pergi ke kantor catatan sipil.""Oke." Yara langsung setuju.Hati Yudha terasa seperti tergelincir ke dalam jurang yang dalam. Dia menutup telepon dan menatap Melanie. "Begini?""Yudha, bolehkah aku pergi denganmu besok?" Melanie mulai menangis lagi. "Yudha, aku tahu kamu nggak suka dipaksa seperti ini. Tapi coba mengerti perasaanku. Aku ditinggal lari calon suamiku di upacara pernikahan. Kamu juga sampai sekarang belum menceraikan istrimu .... Wanita mana pun pasti akan merasa dunianya hancur.""Oke." Yudha teringat lagi betapa Yara sangat mengkhawatirkan Felix. Karena memang sudah pasti, apa lagi yang membuatnya ragu?Sementara itu, Yara sedang berada di kamar Felix saat menerima telepon itu."Aku akan menemanimu besok." Felix juga mendengar isi pembicaraan mereka."Nggak perlu." Yara buru-buru menggeleng. "Kamu istirahat saja dulu.
Yudha tanpa sadar menoleh kepada Yara."Saya minta maaf untuk yang waktu itu. Saya memang ada halangan dan nggak bisa datang." Yara meminta maaf dengan tulus. "Maaf sudah merepotkan."Pegawai itu kemudian menatap Yudha.Sekelebat rasa sakit hati muncul di mata Yudha. Dia cepat-cepat menundukkan kepalanya dan tidak berkata apa-apa.Pegawai itu agak terkejut. Dia dapat merasakan dengan jelas, emosi mereka sangat berbeda dari sebelumnya.Dia melakukan konfirmasi satu kali lagi. Barulah dia mengizinkan mereka untuk tanda tangan, lalu membubuhkan stempel pada surat-surat tersebut. Dia menjelaskan lagi agar mereka datang mengambil surat-surat cerainya 30 hari lagi.Keduanya bangkit dan pergi bersama, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Setelah keluar dari kantor catatan sipil, Yara berlari menghampiri Felix. "Sudah selesai, ayo pulang. Kak Felix kedinginan?"Dia mengangkat wajahnya dan menatap Felix sambil tersenyum.Yudha terpatung di ambang pintu, seolah darah di sekujur tubuhnya membeku.
Keduanya sepakat untuk pergi ke rumah keluarga besar Lastana bersama-sama untuk menemui Kakek.Sesampainya di sana, Yara menyapa Agnes, tetapi dia melihat wanita itu memberinya tatapan tidak suka lagi.Dia merasa sedikit aneh dan segera naik ke lantai atas.Felix pergi ke kamar Agnes."Kamu terluka?" tanya Agnes cemas. "Apa yang terjadi? Lukanya serius?""Nggak apa-apa." Felix tampak sedikit melamun."Nggak apa-apa apanya?" Agnes berubah kesal. "Menerima serangan yang harusnya diarahkan ke Yara?""Ibu!" Felix mendesah berat. "Kamu tahu semua ini dari siapa? Yudha?""Jangan pikirkan aku tahu dari siapa." Agnes menggertakkan giginya. "Aku bukannya sengaja nggak suka dengan Rara ini. Bukannya dia baru saja berpisah dari Yudha? Sekarang dia lagi ingin menyusahkan ...""Bu!" Felix menyela Agnes. "Penjahat itu mengincar aku. Siapa yang menyusahkan siapa? Aku yang menyusahkan Rara.""Benarkah?" Agnes merasa skeptis."Buat apa aku bohong?" Felix menggeleng lagi. "Ngomong-ngomong, Rara sudah mu
Yara mengobrol sebentar dengan Kakek Susilo sebelum turun ke lantai bawah dan siap-siap pergi."Rara, kemari sebentar." Tak disangka, Agnes memanggilnya masuk ke kamar.Agnes memandangi perut Yara yang sudah sedikit terlihat dan bertanya lembut, "Bagaimana pemeriksaan kandunganmu akhir-akhir ini? Semuanya baik-baik saja?"Yara mengangguk pelan. "Nggak ada masalah.""Empat bulan, 'kan?" Agnes menampakkan wajah khawatir. "Rara, kamu masih terlalu kurus. Kamu harus makan lebih banyak. Felix nggak terlalu ceroboh menjagamu 'kan?""Nggak." Yara buru-buru menggelengkan kepalanya. "Bibi, sebenarnya anak-anak ini ...""Aku tahu semuanya." Agnes menggenggam tangan Yara. "Entah itu Felix atau Yudha, mereka tetap hati dan jiwaku. Nggak ada bedanya."Yara tidak begitu mengerti apa yang Agnes maksudkan. "Bibi Agnes ..."Tak disangka, Agnes menyela lagi, "Rara, jangan panggil aku Bibi mulai sekarang, panggil saja Ibu, biar lebih akrab.""Bibi Agnes, sepertinya ada yang salah paham." Yara segera menj
"Rara ..." Felix tiba-tiba takut. "Tenang saja, aku nggak bermaksud apa-apa, aku ... aku akan bicara dengan ibuku. "Yara mengangguk, bertekad dalam benaknya bahwa dia akan menjaga jarak dengan Felix mulai sekarang.Felix tidak menyangka Yara akan bereaksi sekeras itu, sampai hampir berkata ingin memutus hubungan. Padahal sangat jelas mereka sebelum ini ... Felix sungguh tidak mengerti.Setelah Yara naik ke lantai atas, dia duduk di mobilnya dan mengirim pesan kepada Siska."Kalau aku menikah dengan Rara, apa kamu setuju?"Siska menjawab dengan cepat: "Seratus persen setuju. Kapan pernikahannya? Amplopku sudah siap."Felix tertawa, tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Dia menjawab: "Tapi Rara sepertinya sangat menolak, aku nggak mengerti."Siska menyetujuinya tanpa tunggu lama: "Mengejar cinta seorang wanita itu memang sulit, Kak. Tenang saja, pasti akan kubantu."Felix mengirimkan: "Terima kasih." Dia berpikir sejenak dan menambahkan: "Setelah beres nanti, aku akan mengabulkan ap
"Bu, ada yang harus aku tanyakan." Yudha bukan seseorang yang mudah menyerah.Agnes sebenarnya belum mulai berbaring. Mendengar Yudha mengatakan hal itu, dia tahu dia tidak punya pilihan selain membukakan pintu.Mendesah pelan, dia bangkit dan membuka pintu. Pikirannya menduga-duga seberapa banyak yang didengar Yudha.Pintu terbuka dan Agnes langsung mempersilakan anak bungsunya masuk."Apa yang harus dibicarakan malam-malam begini?" Dia memasang ekspresi tidak sabar."Bu, yang dikandung Yara ..." Yudha agak tersendat, tetapi tidak membuang-buang waktu. "Benar anak Kakak?""Kenapa kamu sampai tanya seperti itu?" Agnes membelalakkan matanya dan tampak marah.Sampai di sini, dia yakin Yudha tidak mendengar pembicaraan mereka secara utuh.Rasa percaya dirinya kembali lagi. "Yudha, aku tahu kamu menyimpan dendam kepada kakakmu dan Rara. Tapi kamu juga harus memikirkan kakakmu dan keluarga Lastana."Yudha mengerutkan kening dan tidak berkata apa-apa. Kenapa? Saat dia bersama Yara dulu, Agne
"Karena aku bukan Melanie.""Apa salahnya jadi Melanie?" Kebencian Siska telah membuncah. "Sudah mencuri orang tua orang, mencuri suami orang. Betapa bahagia hidupnya."Yara tertawa. Mungkin dia pernah berpikir seperti itu. Namun, dia tahu bahwa meskipun dia mengulanginya lagi, dia tetap tidak bisa menjadi Melanie.Oleh karena itu, dia tidak akan menikah dengan Felix."Siska, aku sudah salah jalan sekali. Aku nggak mau salah jalan untuk yang kedua kali." Yara teringat kembali akan pernikahannya dengan Yudha. "Pernikahan itu memang kuburan cinta. Kalau bukan dua orang yang sangat saling mencintai, atau kalau cuma salah satu sangat mencintai, nggak akan ada yang selamat.""Seperti kamu dan Yudha sekarang?"Yara mengangguk.Siska berpikir sejenak. "Jadi, kamu khawatir Kak Felix nggak cukup mencintaimu?""Bukan, bukan nggak cukup. Kak Felix memperlakukan aku lebih seperti kakak kepada adiknya. Semua itu didasari atas membalas budi. Nggak ada hubungannya dengan cinta lawan jenis." Yara meng