Ini pertama kalinya dia ditodong pistol. Siska agak merasa seperti sedang dalam mimpi.Dia tanpa sadar mundur selangkah, terperangah menatap pistol itu, bertanya-tanya apakah pistol itu pistol asli.Pria itu berpakaian serba hitam. Topi dan maskernya juga hitam, memperlihatkan sepasang mata sipit. Dia pertama-tama melirik ke ranjang rumah sakit, lalu bertanya dengan kejam, "Di mana pasien kamar ini?"Siska kaget. Orang ini datang mencari Yara?Dia berkata gemetaran, "P-pasien apa?""Jangan pura-pura bodoh. Yara Lubis, Rara, di mana dia?" Pria itu marah meledak-ledak."K-kamu siapa?" Siska menelan ludah, telapak tangannya basah ketakutan."Jangan buang-buang waktu! Di mana Yara?" Pria itu maju beberapa langkah dan menodongkan pistolnya ke kepala Siska. "Kalau kamu nggak mau jawab, aku tembak sekarang."Ketakutan yang luar biasa membuat pikiran Siska kosong, tetapi dia yakin pria itu ingin membunuh Rara. Dia tidak boleh membiarkan pria itu mendapatkan Rara."Katakan! Atau kamu lebih mili
"Melly, ini hadiah kecil dari kami. Selamat menempuh hidup baru!"Melanie tersenyum. Setelah hari ini, dia akan menjadi istri dari kepala keluarga Lastana. Semua orang di luar yang meragukan dan meremehkannya cuma bisa jadi anjing yang menggonggong untuknya!Sedangkan Yudha saat ini sendirian di ruang tunggu mempelai pria.Dia menyuruh semua orang keluar dan melihat ponsel di atas meja dari waktu ke waktu, seolah sedang memikirkan sesuatu.Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu di luar."Yudha, ini Kakak!" Ternyata Felix yang datang.Yudha terdiam sebentar sebelum bangkit dan membukakan pintu."Sudah siap?" Felix bertanya dengan penuh perhatian begitu dia masuk."Ya." Yudha duduk kembali di sofa. Kakinya yang panjang terentang dengan santai.Felix mengangguk dan ragu-ragu sejenak sebelum duduk di sebelah Yudha. "Selamat."Yudha tidak mengatakan apa-apa."Soal aku dan Rara, aku benar-benar bersalah." Felix menundukkan kepalanya. "Aku minta maaf. Tapi hubungan kalian memang sudah berak
Di kamar rumah sakit, saat Siska terbangun, dia mendengar suara percakapan dari ambang pintu.Yara dan Gio kembali.Siska melihat pria dengan pistol yang bersembunyi di balik pintu. Dia tidak bisa bicara sama sekali, karena seluruh tubuhnya diikat dan mulutnya disumpal.Dia sangat panik, tetapi dia tidak bisa membebaskan diri.Pria dengan pistol itu memelototinya dengan tajam. Dia mungkin akan langsung menembak kalau Siska membebaskan diri.Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Gio mendorong kursi roda Yara. Mereka berdua langsung melihat Siska dalam keadaan diikat.Siska menatap Yara dan menggelengkan kepalanya sekuat tenaga.Gio refleks mengambil langkah ke depan kursi roda untuk menghalangi Yara. Dia cepat-cepat berkata dengan suara rendah, "Felix!"Detik berikutnya, sepucuk pistol diarahkan ke kepalanya.Yara gemetar ketakutan, tapi dia mendengar kata-kata Gio.Dengan tangan menggigil, dia mengeluarkan ponselnya dan baru saja akan menelepon ketika dia melihat panggilan masuk dari Yu
"Nggak bisa!" Yudha menolak hampir seperti refleks. Dia melepaskan tangan Agnes. "Bu, sampaikan maafku pada Melly. Aku benar-benar harus pergi."Agnes jatuh terduduk di kursinya tanpa daya.Tanto dan Liana sejak tadi menyaksikan di samping."Haha." Tanto merentangkan tangannya sambil tertawa hambar. "Lihat itu? Terkadang, justru anak paling penurut itulah yang sedang menyiapkan kejutan terbesar di kemudian hari."Dia berbalik dan melambaikan tangannya lagi ke arah semua orang. "Bubar. Semuanya, bubar! Kalian nggak akan menikmati jamuan pernikahan hari ini."Para tamu saling memandang dengan raut tidak percaya. Beberapa ingin menghampiri untuk menghibur Agnes, tetapi mereka akhirnya pergi melihat wajah Agnes yang sangat kelam."Biar aku yang bilang ke Melly." Liana menawarkan diri.Tanto menatapnya dengan tidak senang. "Kamu jangan terlalu dekat-dekat sama dia.""Iya." Liana menoleh ke arah Agnes yang matanya terpejam. Kelihatannya dia tidak ingin pergi meminta maaf kepada Melanie.Tant
Felix baru saja akan menyalakan mobilnya ketika dia melihat Yudha menyusul."Buka pintunya!" Yudha mengetuk jendela mobil dari luar.Felix mengerutkan kening, tapi tetap cepat-cepat membuka pintu. Sambil menyalakan mobilnya, dia bertanya pada Yudha memasuki mobil, "Kamu yakin mau pergi?""Cepat jalan!" Yang Yudha tahu, Yara dalam bahaya dan dia harus pergi.Setelah sirene mobil dinyalakan, mereka dapat melaju tanpa hambatan dan tiba di rumah sakit hanya dalam waktu sepuluh menit.Saat itu, satu lantai di sekitar kamar Yara berada dalam keadaan kacau-balau. Sebagian besar pasien telah dievakuasi dan pihak rumah sakit telah memanggil polisi.Ketika seseorang melihat Felix dan Yudha datang, mereka segera menghampiri dan bertanya, "Kalian polisi? Orang di atas sana membawa senjata. Sangat berbahaya."Felix menunjukkan kartu identitasnya dan segera menuju ke lantai atas, dengan Yudha mengikuti dari belakang.Ekspresi keduanya sangat serius. Keringat merembes dari dahi mereka, dan tatapan ma
Felix segera dibawa ke ruang gawat darurat.Tatapan Yudha menyapu wajah Yara sebelum akhirnya dia mendekat dan berbisik, "Jangan khawatir. Kak Felix ... pasti baik-baik saja."Wajah Yara pucat dan berlumuran darah. Dia bersandar lemah di kursi.Setelah polisi membawa tubuh pria berbaju hitam itu, mereka membangunkan Siska yang sudah lama pingsan.Saat perkelahian baru dimulai, kepala Siska membentur meja dan pingsan.Begitu siuman, dia langsung menghampiri Yara."Siska." Yara membuka matanya dan langsung memeluk Siska. "Kamu nggak apa-apa?"Siska menggeleng. Saat dia melihat polisi membawa Gio pergi, dia segera berkata, "Aku ikut juga untuk membantu penyelidikan.""Siska." Yara menggenggam tangan Siska. "Orang itu ... mengincar aku 'kan?"Dia ingat dengan sangat jelas. Begitu dia memasuki kamar bersama Gio, dialah orang yang ingin dibunuh oleh pria itu.Siska ragu-ragu sejenak, lalu menenangkannya. "Rara, jangan dipikirkan. Polisi pasti akan mencari tahu."Seolah-olah, secara tidak lan
Felix melewati masa kritis sore itu dan terbangun di malam hari.Selama itu, Yara menunggui di samping ranjang rumah sakit. Ketika dia melihat Felix akhirnya terbangun, dia cepat-cepat bertanya penuh perhatian, "Kak? Ada yang sakit?""Nggak apa-apa." Felix tersenyum dan menggeleng. Dia lalu menatap Gio dan Siska di belakang Yara dan berkata, "Maaf membuat kalian khawatir.""Baguslah kalau kamu tahu diri." Lengan Gio telah diperban."Kak Felix, kamu sangat hebat!" Siska mengacungkan jempol. "Paling kuat."Semua orang menghela napas lega.Saat makan malam, Felix menyuruh Yara dan Siska kembali ke kamar. Dia hanya perlu ditemani Gio.Yara memastikan berulang kali apakah Felix baik-baik saja sebelum akhirnya pergi bersama Siska.Setelah mereka berdua pergi, ekspresi Felix dan Gio menjadi lebih serius."Dia kakaknya Danang Susatyo." Gio mulai berkata dengan gigi terkatup. "Dasar gila. Entah dari mana dia tahu. Karena sadar nggak akan mampu membunuhmu ... jadi dia memutuskan untuk mengincar
Namun, dia sangat mengantuk. Dia hanya ingin memejamkan mata sejenak saja, tapi tanpa sadar terlelap entah berapa lama. Saat tersentak bangun lagi, dia terkejut mendapati Yara belum kembali.Siska langsung terduduk, berkeringat dingin."Rara?" Dia keluar ke koridor dan memanggil pelan, tidak mendengar jawaban.Dia tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur. Dia hanya merasa jantungnya seperti mau copot dari dadanya.Dia berjalan cepat ke arah toilet, semakin cepat, dan akhirnya berlari.Sesampainya di depan pintu toilet, dia merasakan embusan angin dingin yang kuat, langsung menghempas kakinya. Untungnya, dia berpegangan pada dinding.Dia pun segera paham bahwa jendela toiletnya pasti terbuka.Siska tidak berani berpikir lebih jauh. Dia masuk ke dalam toilet secepat mungkin sambil berpegangan pada dinding. Benar saja, dia melihat jendela sudah terbuka dan Yara berdiri di dekatnya.Dia panik dan segera bergegas memeluk Yara."Rara, jangan gegabah!" teriak Siska. "Berpikirlah dulu, jangan