"Ibu ... Ibu!"Yara tahu dia sedang bermimpi, jadi dia bisa memanggil Zaina dengan sebebas-bebasnya.Dalam mimpi itu, Zaina di ranjang rumah sakit terlihat lemah. Dia memegang Yara dengan satu tangan dan melambaikan tangan di belakang Yara dengan tangan lainnya."Ayo ke sini. Kenapa malu-malu sama anak sendiri?"Yara menoleh dan melihat Santo menyentuh hidungnya dengan canggung. Dia melangkah mendekat dan menggenggam tangan Zaina yang lain."Senang sekali, akhirnya keluarga kita bisa bersatu kembali." Mata Zaina yang penuh cinta menatap Yara sejenak, kemudian beralih kepada Santo, lalu kembali lagi beberapa kali.Akhirnya, tatapannya berhenti di wajah Santo. "Sayang, kamu harus menebusnya kepada Yara setelah aku pergi. Kita nggak pernah melakukan tugas sebagai orang tua selama bertahun-tahun. Ini penyesalan terbesarku.""Istriku, jangan bicara yang macam-cama." Santo berjongkok dan melindungi Yara di depannya. Dia lalu memeluk Zaina erat-erat. "Kamu harus panjang umur dan hidup bahagia
"Kalau nggak ada yang penting, aku tutup saja teleponnya," kata Felix dingin. "Melanie, kamu merasa bisa bercanda denganku?""Oke, oke, aku juga malas lama-lama denganmu." Melanie berkata tanpa daya, "Zaina sudah mati.""Apa?" Felix sangat terkejut.Melanie mengerutkan keningnya. "Memangnya kenapa? Apa kamu kenal dia?"Felix menggertakkan gigi penuh kebencian. "Melanie, meskipun dia bukan ibu kandungmu, dia sudah membesarkanmu selama lebih dari 20 tahun, kenapa kamu nggak punya hati nurani?""Jadi kamu sudah tahu?" Nada bicara Melanie masih ringan. "Nggak usah sok-sokan jadi orang baik di sini. Yudha juga adikmu sendiri, bagaimana kamu memperlakukannya saat itu?""Kamu!" Felix sangat marah."Jangan beri tahu Yara untuk saat ini. Rahasiakan selama mungkin." Melanie akhirnya menyatakan tujuannya.Jika Yara tahu sekarang bahwa Zaina sudah meninggal, Yara pasti akan mengungkapkan yang sebenarnya kepada Yudha.Tidak sekarang. Setidaknya sampai dia dan Yudha menyelesaikan pernikahan mereka.
Wajah Siska dan Felix seketika memucat.Tak berani bernapas, keduanya menatap Teresa dengan mata tak berkedip, menunggunya melanjutkan."Anak-anak Rara ...." Teresa mendesah panjang. "Sangat sulit untuk bisa dipertahankan."Felix langsung mengepalkan tinjunya.Siska bahkan merasa seolah-olah ada yang memukul kepalanya. Seketika itu juga dia tidak bisa berdiri.Dia melangkah maju dan menarik lengan Teresa, bahkan ingin berlutut di hadapan Teresa. "Dok, mereka sangat penting bagi Yara, tolong carikan jalan keluarnya."Felix mengangguk di sampingnya. "Ya, apa pun yang kamu minta, atau dokter spesialis apa pun dari dalam atau di luar negeri, tolong pastikan bayi-bayinya bisa selamat."Teresa mendesah. Sebagai dokter yang merawat Yara, mana mungkin dia tidak tahu bagaimana perasaan Yara terhadap bayi-bayinya?Jika dia bisa menyelamatkan mereka, dia akan berusaha sebaik mungkin, tetapi sekarang ....Dia tampak sedih dan berkata, "Tentu saja aku akan mencoba semaksimal mungkin untuk menyelama
Yudha sangat geram.Setelah meninggalkan kantor catatan sipil, dia pergi ke rumah duka. Upacara pemakaman Zaina dilakukan hari ini.Sesampainya di sana, upacara sudah setengah jalan dan dia maju untuk mengantarkan bunga.Melanie hampir pingsan karena menangis dan Santo di sebelahnya bahkan lebih parah lagi. Kepala keluarga Lubis ini kehilangan warna hitam di rambutnya sampai separuh kepala dalam waktu beberapa hari saja.Melanie memperhatikan Santo yang sesekali melihat ke luar. "Ayah sedang menunggu tamu penting?"Santo menggelengkan kepala dan menghela napas. "Kenapa Yara nggak ke sini?"Dia memikirkan betapa Zaina sangat peduli Yara sebelum dia pergi. Dia merasa bahwa Zaina pasti sangat ingin Yara datang menghadiri upacara pemakamannya."Mungkin ada sesuatu." Melanie tentu saja tahu Yara masih tak sadarkan diri di rumah sakit.Dia sengaja berbohong. "Ayah, jangan khawatir, aku sudah beri tahu Rara. Dia pasti datang kalau sempat."Santo mengangguk.Melanie sedikit tidak senang ketika
"Apa katamu?"Meski sudah bisa menebak. Yudha masih tertegun sejenak saat mendengar Melanie berkata seperti itu.Melanie mendengus. "Kak Felix belum bilang?"Yudha menatapnya dengan tatapan mata yang dalam.Melanie melanjutkan, "Waktu Kak Felix membawa Rara mendonorkan darah untuk ibuku, dia bilang sendiri padaku."Yudha mengepalkan tangannya dan wajahnya menjadi semakin kelam."Yudha, bagaimana kalau kita mengadakan pernikahannya dulu?" kata Melanie pelan. "Aku nggak ingin ibuku khawatir di sana.""Oke!" Yudha berbalik pergi. "Tujuh hari lagi, pernikahannya akan dilangsungkan sesuai rencana!"Melanie menyaksikan Yudha pergi. Sebuah senyuman muncul di sudut mulutnya. Namun, ketika dia teringat wajah Yudha yang marah tadi, tatapannya berubah dingin lagi."Sialan, Yudha benar-benar jatuh hati dengan si murahan itu!"Dia berjalan pelan, kembali ke dalam ruangan. Melihat wajah tidak senang Santo, dia semakin jengkel dan akhirnya mengabaikan Santo begitu saja.Setelah upacara pemakaman sele
Yara tampak seperti baru saja sadar dan melihat ke arah perutnya. "Apa mereka baik-baik saja?""Kalau kamu baik-baik saja, mereka akan baik-baik saja." Nada bicara Siska diwarnai dengan sedikit teguran. "Rara, kamu nggak sendirian sekarang. Kamu nggak boleh selalu menempatkan dirimu dan anak-anakmu dalam bahaya karena urusan orang lain. Mengerti?"Yara membuang muka dengan sedih. "Tapi dia bukan orang lain, dia ibuku.""Rara!" Siska sungguh merasa sesak, tidak bisa berkata-kata.Dia menunggu beberapa saat sebelum bisa berbicara lagi. "Tenanglah, Bibi Zaina baik-baik saja. Masa kritisnya sudah lewat.""Syukurlah, aku lega." Yara berusaha untuk tersenyum."Istirahatlah dengan baik kalau begitu. Kamu mau makan apa? Aku belikan." Siska takut dia tidak kuasa membendung kebenarannya jika tinggal lebih lama lagi."Terserah kamu. Aku nggak nafsu makan." Yara masih terlihat sangat pucat.Dia mengangkat ponsel di atas tempat tidurnya dan melihat waktunya dan tiba-tiba terkejut. "Berapa hari aku
#Suara di ponsel seketika hening.Bahkan dari jarak sejauh ini, Yara dapat merasakan tekanan yang begitu menyesakkan.Dia menunggu beberapa saat, dan ketika Yudha tidak mengatakan apa-apa atau menutup telepon, dengan ragu-ragu dia memanggil, "Yudha? Kamu masih di sana?"Suara dari sana masih hening senyap.Saat Yara hendak menutup telepon, baru terdengar suara."Ya."Tidak ada suara lagi.Yara menggenggam ponselnya, sedikit cemas. "Yudha, maafkan aku. Aku benar-benar nggak bisa ke sana waktu itu. Aku sekarang ...."Dia berpikir sejenak dan harus berbohong lagi. "Aku sedang keluar kota sekarang. Setelah aku kembali, aku akan menghubungi lagi untuk mengajukan perceraian, ya?"Setelah beberapa saat, pria di sana berkata dengan nada dingin, "Pernikahan kami akan dilaksanakan sesuai rencana.""Selamat." Yara tercekat sejenak."Ibu Melly yang ...." Ponsel Yara tiba-tiba diambil dan dia tidak mendengar kata-kata selanjutnya.Dia mendongak kaget, ternyata itu Felix."Telepon dari Yudha?"Yara
Jadi, Yara mengirim pesan lagi sebelum tidur."Bibi, tolong hubungi aku kalau ada waktu, aku ...." Dia ragu-ragu sejenak. "Aku sangat mengkhawatirkan kamu."Yara tahu Zaina akan segera mencari cara untuk menghubunginya jika dia berkata seperti itu.Dia tidak tahu mengapa, dia benar-benar sangat khawatir.Di malam hari, Yara bermimpi tentang Zaina lagi.Dia bermimpi Zaina sudah hampir menghembuskan napas terakhirnya. Dia berlutut di dekat tempat tidur rumah sakit, memegang tangan Zaina.Zaina meminta maaf dan berharap dia bisa bahagia. Dia juga berkata ... jika ada kehidupan setelah kematian, mereka pasti akan menjadi ibu dan anak.Keesokan harinya ketika Rara bangun, bantalnya sangat basah.Siska sangat cemas. "Rara, kamu mimpi apa? Air matamu habis begini."Yara terdiam beberapa saat, lalu segera mengambil ponselnya. Sayangnya, pesan yang dia kirimkan kepada Zaina masih belum dibalas.Dia tidak bisa tinggal diam lebih lama lagi."Siska, pasti terjadi sesuatu pada ibuku." Yara berusaha
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid