Zaina tertegun sejenak. Benar. Keluarga Lubis dulu begitu hangat dan harmonis.Mereka adalah pasangan yang penuh kasih dan menantikan putri mereka tumbuh dewasa, merencanakan masa depan putri mereka setiap hari. Sejak kapan segalanya mulai berubah?Atau mungkin, itu semua hanyalah pertunjukan yang disajikan anak itu untuknya dan Santo sejak awal."Santo ... uhuk, uhuk ...." Memikirkan hal ini, Zaina tidak bisa mengendalikan batuknya."Sayang, tenanglah, tenanglah! "Santo panik. "Aku ambilkan air, ya?"Zaina menggelengkan kepalanya sambil terbatuk-batuk. Dia tidak ingin melepaskan tangan Santo, dia takut dia tidak akan bisa menahannya lagi jika tangannya lepas."Nggak apa-apa, aku nggak apa-apa.""Sayang, jangan khawatir. Aku akan menjaga Melly. Aku akan memastikan dia menikah dengan keluarga Lastana dan hidup bahagia."Zaina tidak tahu harus berkata apa. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Dia tahu Santo juga tidak akan bisa menerimanya, sama seperti dirinya."Santo," katanya
"Ibu ... Ibu!"Yara tahu dia sedang bermimpi, jadi dia bisa memanggil Zaina dengan sebebas-bebasnya.Dalam mimpi itu, Zaina di ranjang rumah sakit terlihat lemah. Dia memegang Yara dengan satu tangan dan melambaikan tangan di belakang Yara dengan tangan lainnya."Ayo ke sini. Kenapa malu-malu sama anak sendiri?"Yara menoleh dan melihat Santo menyentuh hidungnya dengan canggung. Dia melangkah mendekat dan menggenggam tangan Zaina yang lain."Senang sekali, akhirnya keluarga kita bisa bersatu kembali." Mata Zaina yang penuh cinta menatap Yara sejenak, kemudian beralih kepada Santo, lalu kembali lagi beberapa kali.Akhirnya, tatapannya berhenti di wajah Santo. "Sayang, kamu harus menebusnya kepada Yara setelah aku pergi. Kita nggak pernah melakukan tugas sebagai orang tua selama bertahun-tahun. Ini penyesalan terbesarku.""Istriku, jangan bicara yang macam-cama." Santo berjongkok dan melindungi Yara di depannya. Dia lalu memeluk Zaina erat-erat. "Kamu harus panjang umur dan hidup bahagia
"Kalau nggak ada yang penting, aku tutup saja teleponnya," kata Felix dingin. "Melanie, kamu merasa bisa bercanda denganku?""Oke, oke, aku juga malas lama-lama denganmu." Melanie berkata tanpa daya, "Zaina sudah mati.""Apa?" Felix sangat terkejut.Melanie mengerutkan keningnya. "Memangnya kenapa? Apa kamu kenal dia?"Felix menggertakkan gigi penuh kebencian. "Melanie, meskipun dia bukan ibu kandungmu, dia sudah membesarkanmu selama lebih dari 20 tahun, kenapa kamu nggak punya hati nurani?""Jadi kamu sudah tahu?" Nada bicara Melanie masih ringan. "Nggak usah sok-sokan jadi orang baik di sini. Yudha juga adikmu sendiri, bagaimana kamu memperlakukannya saat itu?""Kamu!" Felix sangat marah."Jangan beri tahu Yara untuk saat ini. Rahasiakan selama mungkin." Melanie akhirnya menyatakan tujuannya.Jika Yara tahu sekarang bahwa Zaina sudah meninggal, Yara pasti akan mengungkapkan yang sebenarnya kepada Yudha.Tidak sekarang. Setidaknya sampai dia dan Yudha menyelesaikan pernikahan mereka.
Wajah Siska dan Felix seketika memucat.Tak berani bernapas, keduanya menatap Teresa dengan mata tak berkedip, menunggunya melanjutkan."Anak-anak Rara ...." Teresa mendesah panjang. "Sangat sulit untuk bisa dipertahankan."Felix langsung mengepalkan tinjunya.Siska bahkan merasa seolah-olah ada yang memukul kepalanya. Seketika itu juga dia tidak bisa berdiri.Dia melangkah maju dan menarik lengan Teresa, bahkan ingin berlutut di hadapan Teresa. "Dok, mereka sangat penting bagi Yara, tolong carikan jalan keluarnya."Felix mengangguk di sampingnya. "Ya, apa pun yang kamu minta, atau dokter spesialis apa pun dari dalam atau di luar negeri, tolong pastikan bayi-bayinya bisa selamat."Teresa mendesah. Sebagai dokter yang merawat Yara, mana mungkin dia tidak tahu bagaimana perasaan Yara terhadap bayi-bayinya?Jika dia bisa menyelamatkan mereka, dia akan berusaha sebaik mungkin, tetapi sekarang ....Dia tampak sedih dan berkata, "Tentu saja aku akan mencoba semaksimal mungkin untuk menyelama
Yudha sangat geram.Setelah meninggalkan kantor catatan sipil, dia pergi ke rumah duka. Upacara pemakaman Zaina dilakukan hari ini.Sesampainya di sana, upacara sudah setengah jalan dan dia maju untuk mengantarkan bunga.Melanie hampir pingsan karena menangis dan Santo di sebelahnya bahkan lebih parah lagi. Kepala keluarga Lubis ini kehilangan warna hitam di rambutnya sampai separuh kepala dalam waktu beberapa hari saja.Melanie memperhatikan Santo yang sesekali melihat ke luar. "Ayah sedang menunggu tamu penting?"Santo menggelengkan kepala dan menghela napas. "Kenapa Yara nggak ke sini?"Dia memikirkan betapa Zaina sangat peduli Yara sebelum dia pergi. Dia merasa bahwa Zaina pasti sangat ingin Yara datang menghadiri upacara pemakamannya."Mungkin ada sesuatu." Melanie tentu saja tahu Yara masih tak sadarkan diri di rumah sakit.Dia sengaja berbohong. "Ayah, jangan khawatir, aku sudah beri tahu Rara. Dia pasti datang kalau sempat."Santo mengangguk.Melanie sedikit tidak senang ketika
"Apa katamu?"Meski sudah bisa menebak. Yudha masih tertegun sejenak saat mendengar Melanie berkata seperti itu.Melanie mendengus. "Kak Felix belum bilang?"Yudha menatapnya dengan tatapan mata yang dalam.Melanie melanjutkan, "Waktu Kak Felix membawa Rara mendonorkan darah untuk ibuku, dia bilang sendiri padaku."Yudha mengepalkan tangannya dan wajahnya menjadi semakin kelam."Yudha, bagaimana kalau kita mengadakan pernikahannya dulu?" kata Melanie pelan. "Aku nggak ingin ibuku khawatir di sana.""Oke!" Yudha berbalik pergi. "Tujuh hari lagi, pernikahannya akan dilangsungkan sesuai rencana!"Melanie menyaksikan Yudha pergi. Sebuah senyuman muncul di sudut mulutnya. Namun, ketika dia teringat wajah Yudha yang marah tadi, tatapannya berubah dingin lagi."Sialan, Yudha benar-benar jatuh hati dengan si murahan itu!"Dia berjalan pelan, kembali ke dalam ruangan. Melihat wajah tidak senang Santo, dia semakin jengkel dan akhirnya mengabaikan Santo begitu saja.Setelah upacara pemakaman sele
Yara tampak seperti baru saja sadar dan melihat ke arah perutnya. "Apa mereka baik-baik saja?""Kalau kamu baik-baik saja, mereka akan baik-baik saja." Nada bicara Siska diwarnai dengan sedikit teguran. "Rara, kamu nggak sendirian sekarang. Kamu nggak boleh selalu menempatkan dirimu dan anak-anakmu dalam bahaya karena urusan orang lain. Mengerti?"Yara membuang muka dengan sedih. "Tapi dia bukan orang lain, dia ibuku.""Rara!" Siska sungguh merasa sesak, tidak bisa berkata-kata.Dia menunggu beberapa saat sebelum bisa berbicara lagi. "Tenanglah, Bibi Zaina baik-baik saja. Masa kritisnya sudah lewat.""Syukurlah, aku lega." Yara berusaha untuk tersenyum."Istirahatlah dengan baik kalau begitu. Kamu mau makan apa? Aku belikan." Siska takut dia tidak kuasa membendung kebenarannya jika tinggal lebih lama lagi."Terserah kamu. Aku nggak nafsu makan." Yara masih terlihat sangat pucat.Dia mengangkat ponsel di atas tempat tidurnya dan melihat waktunya dan tiba-tiba terkejut. "Berapa hari aku
#Suara di ponsel seketika hening.Bahkan dari jarak sejauh ini, Yara dapat merasakan tekanan yang begitu menyesakkan.Dia menunggu beberapa saat, dan ketika Yudha tidak mengatakan apa-apa atau menutup telepon, dengan ragu-ragu dia memanggil, "Yudha? Kamu masih di sana?"Suara dari sana masih hening senyap.Saat Yara hendak menutup telepon, baru terdengar suara."Ya."Tidak ada suara lagi.Yara menggenggam ponselnya, sedikit cemas. "Yudha, maafkan aku. Aku benar-benar nggak bisa ke sana waktu itu. Aku sekarang ...."Dia berpikir sejenak dan harus berbohong lagi. "Aku sedang keluar kota sekarang. Setelah aku kembali, aku akan menghubungi lagi untuk mengajukan perceraian, ya?"Setelah beberapa saat, pria di sana berkata dengan nada dingin, "Pernikahan kami akan dilaksanakan sesuai rencana.""Selamat." Yara tercekat sejenak."Ibu Melly yang ...." Ponsel Yara tiba-tiba diambil dan dia tidak mendengar kata-kata selanjutnya.Dia mendongak kaget, ternyata itu Felix."Telepon dari Yudha?"Yara