Yara tampak seperti baru saja sadar dan melihat ke arah perutnya. "Apa mereka baik-baik saja?""Kalau kamu baik-baik saja, mereka akan baik-baik saja." Nada bicara Siska diwarnai dengan sedikit teguran. "Rara, kamu nggak sendirian sekarang. Kamu nggak boleh selalu menempatkan dirimu dan anak-anakmu dalam bahaya karena urusan orang lain. Mengerti?"Yara membuang muka dengan sedih. "Tapi dia bukan orang lain, dia ibuku.""Rara!" Siska sungguh merasa sesak, tidak bisa berkata-kata.Dia menunggu beberapa saat sebelum bisa berbicara lagi. "Tenanglah, Bibi Zaina baik-baik saja. Masa kritisnya sudah lewat.""Syukurlah, aku lega." Yara berusaha untuk tersenyum."Istirahatlah dengan baik kalau begitu. Kamu mau makan apa? Aku belikan." Siska takut dia tidak kuasa membendung kebenarannya jika tinggal lebih lama lagi."Terserah kamu. Aku nggak nafsu makan." Yara masih terlihat sangat pucat.Dia mengangkat ponsel di atas tempat tidurnya dan melihat waktunya dan tiba-tiba terkejut. "Berapa hari aku
#Suara di ponsel seketika hening.Bahkan dari jarak sejauh ini, Yara dapat merasakan tekanan yang begitu menyesakkan.Dia menunggu beberapa saat, dan ketika Yudha tidak mengatakan apa-apa atau menutup telepon, dengan ragu-ragu dia memanggil, "Yudha? Kamu masih di sana?"Suara dari sana masih hening senyap.Saat Yara hendak menutup telepon, baru terdengar suara."Ya."Tidak ada suara lagi.Yara menggenggam ponselnya, sedikit cemas. "Yudha, maafkan aku. Aku benar-benar nggak bisa ke sana waktu itu. Aku sekarang ...."Dia berpikir sejenak dan harus berbohong lagi. "Aku sedang keluar kota sekarang. Setelah aku kembali, aku akan menghubungi lagi untuk mengajukan perceraian, ya?"Setelah beberapa saat, pria di sana berkata dengan nada dingin, "Pernikahan kami akan dilaksanakan sesuai rencana.""Selamat." Yara tercekat sejenak."Ibu Melly yang ...." Ponsel Yara tiba-tiba diambil dan dia tidak mendengar kata-kata selanjutnya.Dia mendongak kaget, ternyata itu Felix."Telepon dari Yudha?"Yara
Jadi, Yara mengirim pesan lagi sebelum tidur."Bibi, tolong hubungi aku kalau ada waktu, aku ...." Dia ragu-ragu sejenak. "Aku sangat mengkhawatirkan kamu."Yara tahu Zaina akan segera mencari cara untuk menghubunginya jika dia berkata seperti itu.Dia tidak tahu mengapa, dia benar-benar sangat khawatir.Di malam hari, Yara bermimpi tentang Zaina lagi.Dia bermimpi Zaina sudah hampir menghembuskan napas terakhirnya. Dia berlutut di dekat tempat tidur rumah sakit, memegang tangan Zaina.Zaina meminta maaf dan berharap dia bisa bahagia. Dia juga berkata ... jika ada kehidupan setelah kematian, mereka pasti akan menjadi ibu dan anak.Keesokan harinya ketika Rara bangun, bantalnya sangat basah.Siska sangat cemas. "Rara, kamu mimpi apa? Air matamu habis begini."Yara terdiam beberapa saat, lalu segera mengambil ponselnya. Sayangnya, pesan yang dia kirimkan kepada Zaina masih belum dibalas.Dia tidak bisa tinggal diam lebih lama lagi."Siska, pasti terjadi sesuatu pada ibuku." Yara berusaha
"Aku saja." Siska menghentikan Felix. "Aku lebih tahu situasinya daripada kamu. Kalau aku yang menemuinya ... mungkin harapannya bisa agak lebih besar.""Oke, kalau begitu, ayo pergi sekarang!" Felix juga berpikir ini keputusan terbaik. Dia memberikan nomor telepon Santo kepada Siska. "Coba buat janji dulu. Kalau nggak bisa, kita cari cara lain."Siska segera menelepon Santo."Halo, Paman Santo. Aku Siska, teman Rara. Aku ingin ketemu Paman, kalau sempat, besok ada waktu?""Kamu temannya Yara?"Suara Santo terdengar sangat lelah.Siska mulai berdebar. Mungkinkah Santo akan langsung menolak saat mendengar nama Rara disebut?Dia buru-buru menambahkan, "Iya, Paman, aku tahu kamu ada salah paham dengan Rara. Tapi aku benar-benar ada urusan mendesak dan harus ketemu denganmu sekarang.""Di mana Yara?""Tenang saja, aku datang sendirian." Siska tak menyangka harapannya sangat kecil. Santo rupanya benar-benar membenci Rara.Dia pikir Santo bahkan tidak ingin menemuinya sama sekali."Oke, data
Dia bersalah soal ini."Paman." Siska menunjuk ponsel di atas meja. "Ini ponselnya Bibi Zaina?"Santo mengangguk."Ada pesan masuk beberapa hari ini? Atau ada yang telepon terus?"Santo mengerutkan kening. "Nggak.""Nggak mungkin. Rara berusaha menghubungi Bibi Zaina terus sejak dia bangun," kata Siska lirih. "Dia belum tahu tentang Bibi Zaina."Santo tiba-tiba teringat sesuatu. Dua ponsel di depannya semua milik Zaina, hanya saja salah satunya kehabisan baterai.Dia berdiri, mencari charger dan mengisi daya ponsel yang mati itu.Keduanya menunggu dengan tenang dan tak lama kemudian, ponsel itu bisa dinyalakan.Santo menyalakan ponselnya, dan benar saja, dia melihat pesan dari Yara serta beberapa panggilan tak terjawab.Dia mengerutkan keningnya kebingungan. Jadi, Rara selama ini selalu mengkhawatirkan Zaina? Kenapa sangat berbeda dari yang dikatakan Melly?"Paman, keadaan Rara sangat genting. Kalau dia sampai dia tahu tentang Bibi Zaina ...." Siska nyaris tak bisa melanjutkan kata-kat
Siska dan Felix saling berpandangan."Jangan khawatir, aku nggak akan membangunkannya." Nada bicara Santo bahkan terdengar seperti memohon.Siska pun tersadar bahwa Santo yang ada di hadapannya saat ini persis seperti seorang ayah tua yang baru saja kehilangan kekasih hidupnya, dan yang sedang sakit di dalam adalah putrinya.Sekalipun Santo tidak tahu yang sebenarnya, Siska tidak punya hak untuk melarang mereka bertemu."Oke, Paman, kamu masuk saja. Kami menunggu di luar, panggil saja kami kalau butuh sesuatu."Santo mengangguk dan membuka pintu.Saat mendekat, dia melihat sudut-sudut mata anak itu memang agak basah. Bahkan ada sedikit noda air mata di bantal.Dengan hati yang berdebar-debar tanpa sebab, Santo mengeluarkan sapu tangan persegi panjang miliknya dan menyeka mata Yara dengan lembut.Di luar kamar, Siska dan Felix menyaksikan semua ini. Mata mereka sama-sama memerah.Keduanya kembali ke kursi dan duduk."Hubungan darah memang ajaib. Paman Santo dan Bibi Zaina sejak dulu say
"Ya." Yara menundukkan kepalanya lagi, matanya kembali memerah.Dia baru saja bermimpi ..."Mimpi apa?" Dia tidak menyangka Santo akan bertanya.Yara mengangkat kepalanya dan menatapnya heran. Setiap kali mereka bertemu sebelumnya, Santo pasti selalu marah-marah. Dia mengira mereka akan selalu seperti itu.Alih-alih menjawab pertanyaan Santo, dia justru bertanya dengan hati-hati, "Paman, bagaimana kabar Bibi?"Dia mengamati ekspresi Santo dengan seksama.Santo tiba-tiba tertawa pelan. "Kamu tadi memimpikan bibimu, ya?"Yara menggigit bibir bawahnya keras-keras, tidak berani mengingat mimpi itu."Dasar anak bodoh, mimpi itu biasanya kebalikan." Santo mengalihkan pandangannya dan menggeleng. "Bibimu baik-baik saja.""Benarkah?" Yara sangat gembira.Santo mengangguk pelan. "Dia sudah membaca semua pesan dan telepon darimu, tapi dia masih lemah. Karena terlalu khawatir, jadi dia memintaku datang kemari dan memberitahumu secara langsung.""Benarkah?" Yara merasa sulit memercayainya."Tentu
"Paman!" Hati Yara terasa sesak.Namun, dia hanyalah seorang ibu tunggal yang akan bercerai. Mengungkap hubungannya dengan Santo tidak akan berdampak baik bagi bisnis keluarga Lubis.Sebaliknya, Melanie, sebagai calon istri kepala keluarga Lastana, lebih bermanfaat bagi keluarga Lubis dan Santo.Yara mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tersenyum. "Semuanya sudah berlalu. Kita semua akan baik-baik saja mulai sekarang.""Ya, semuanya baik-baik saja." Santo menghela napas lega.Dalam hatinya, dia tahu bahwa sikapnya ini sangat egois. Namun, sebagai orang tua, mana mungkin dia menghindar dari keegoisan? Dia tidak punya pilihan lain.Setelah Santo pergi, Siska dan Felix bergegas masuk untuk memeriksa keadaan Yara."Bagaimana? Sudah dibalas?" tanya Siska ragu-ragu."Iya." Yara tersenyum. "Aku lega Bibi Zaina baik-baik saja."Keduanya saling berpandangan dan menghela napas lega di saat yang bersamaan."Aku capek, mau tidur sebentar." Yara menoleh ke arah Felix. "Kak Felix, aku ingin makan a