Keluar dari ruang pribadi, Yara tiba-tiba bertemu Fabian."Paman, kenapa kamu ada di sini?"Fabian buru-buru menarik wanita itu ke samping sambil menunjuk ke arah ruang pribadi tadi. "Pak Revan ada di sana?"Yara mengangguk."Dia mengajakmu makan malam begitu tiba ke Wulindra?" Fabian berpikir sebentar. "Cuma kalian berdua?""Ya, aku ingin berterima kasih padanya." Yara tidak menyembunyikan apa pun.Ekspresi Fabian berubah. Hanya ada dua orang, tetapi mereka memesan ruang pribadi yang begitu besar. Apa lagi itu adalah ruang pribadi yang dilengkapi dengan kamar tidur. Jelas sekali apa yang mereka lakukan.Dia langsung membenarkan dugaannya bahwa Yara pasti adalah kekasih gelap Revan.Pria itu tersenyum tipis. "Kamu sudah bicarakan soal uang ganti rugi dengan Pak Revan? Kamu punya hubungan dekat dengan Pak Revan. Kalau kamu yang bilang, pasti dia langsung setuju.""Aku nggak bilang apa-apa." Yara berkata terus terang. "Paman, menurutku harganya terlalu tinggi. Aku nggak bisa bantu.""Ter
Revan memotongnya. "Kalau nggak ingin mendapat masalah, pergi saja!"Dia mendengus jijik. Dia paling meremehkan pria seperti dua yang bahkan tega mengkhianati kerabat sendiri.Fabian sangat ketakutan sampai banjir keringat dingin. Dia tidak menyangka Revan benar-benar berbeda dari Juno. Dia benar-benar tak berdaya menghadapi orang-orang kelas ini.Dia menyeka keringat di dahinya. Kemudian dia memikirkan hubungan antara Yara dan Pak Yudha dan langsung mendapatkan kepercayaan diri lagi."Apa hebatnya? Main-main dengan wanita janda saja, sudah menganggap diri sebagai orang terhebat?" Fabian mendengus keras.Dia masih sedikit khawatir tentang kata-kata Revan tadi, jadi dia bersiap pergi menemui tim pengembang.Alhasil, setelah menelepon, dia justru mendapat kabar bahwa dirinya dipecat."Pak Ketua, dengarkan penjelasanku ..." Jika Fabian dipecat, dia akan kehilangan muka di Wulindra. Seperti apa kehidupannya nanti?"Fabian," kata ketua tim tanpa daya. "Aku nggak bisa apa-apa untuk membantum
Yara dan Siska berencana tinggal di Wulindra untuk sementara waktu, sehingga mereka sudah mengosongkan rumah di Selayu.Ingin pulang tiba-tiba sudah pasti tidak mungkin.Namun, Yara juga tahu mereka tidak bisa selamanya tinggal di keluarga Wardhana dan harus segera mencari rumah di Wulindra.Dia tersenyum dan bertanya kepada Mustika, "Bibi, kamu ingin pulang ke Selayu? Nggak mau tinggal di Wulindra?""Nggak." Mustika menggeleng dan memandangi sungai jernih di hadapannya. "Rara, kamu percaya nggak, seseorang nggak akan bisa memutus keterikatan pada tanah kelahirannya sepanjang hidupnya. Bahkan meski nggak banyak kenangan indah di sana."Suaranya sangat lembut dan halus, membuat hati terasa nyaman. "Saat dalam masa-masa tersulit, mimpiku dipenuhi dengan pemandangan kampung halamanku ini.""Kalau saja nggak ada Siska." Mustika tersenyum tipis. "Aku mungkin berniat mencari tempat di sini saja dan mati perlahan sendirian.""Bibi!" Kata-kata itu membuat Yara merasa sesak. "Aku dan Siska akan
"Lalu kenapa?" Wanita tua itu beralasan dengan percaya diri, "Kalau adikmu sukses, bukannya kamu juga ikut kebagian untung?""Kebagian untung?" Mustika terkekeh. "Lalu selama tahun-tahun aku nggak di sini, berapa banyak keuntungan yang sudah kamu ambil, sebagai ibunya?"Wanita tua itu tercekat. "Apa kamu buta? Nggak bisakah kamu lihat betapa indahnya hidup kami? Setelah kami dapat ganti rugi tanah nanti, Fabian akan membelikan rumah besar untukku.""Iya juga. Kamu harus ikut kalau sudah ada rumah besar. Kalau nggak, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membayar pembantu?"Begitu Mustika selesai berucap, wanita tua itu menamparnya. "Beraninya kamu bicara seperti itu!"Mustika menutup wajahnya dan memandang ibunya tak percaya.Inilah ibu yang melahirkan dan membesarkannya, tetapi ibu ini jugalah yang menginjak-injak dirinya sejak dia masih kecil, hanya karena dia perempuan.Bertahun-tahun, dia sangat ingin mengakhiri hidupnya. Baru setelah memiliki Siska, dia mendapat keyakina
Yara merasakan gelombang panas di tubuhnya semakin tinggi.Seluruh tubuhnya terasa kering dan membara sampai dia hampir kehilangan akal sehatnya.Dia tidak boleh sampai dinodai Fabian. Dia sudah memiliki anak-anak dan dia harus melindungi mereka.Fabian masih mengumpat sesuatu, tetapi dia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.Dia merasa Fabian sepertinya merobek pakaiannya. Dan dari sudut matanya yang berbayang-bayang, dia melihat sebuah vas di atas meja di sampingnya.Dengan segala daya upaya, dia berjuang untuk meraih vas bunga itu.Fabian terkejut dan langsung menutupi wajahnya dengan lengannya. "Wanita murahan, aku belum selesai denganmu."Terdengar bunyi "prang", tetapi Fabian tidak merasakan sakit apa pun. Dia menurunkan lengannya dan melihat Yara memecahkan vas di kepalanya sendiri.Melihat wajah Yara yang berlumuran darah, Fabian terhuyung turun dari tempat tidur dengan ketakutan dan menatap wanita di tempat tidur itu dengan tidak percaya. "Kamu gila ya?"Yara merasa mulai meng
"Rara, bagaimana keadaanmu?"Yara merasa sangat berterima kasih. "Kak, aku dan ..."Dia melirik perutnya dan berkata, "Kami berutang budi padamu lagi.""Jangan bilang begitu." Felix menghela napas berat. "Rara, kali ini terlalu berbahaya, kamu harus kembali ke Selayu bersamaku.""Kak, aku nggak ingin kembali." Yara telah membulatkan tekad ketika dia pergi. Dia tidak ingin kembali begitu saja."Baiklah kalau kamu mau tinggal di Wulindra, aku akan tinggal bersamamu di sini." Sikap Felix sangat tegas. "Aku carikan rumah nanti.""Kak ...." Yara merasa tidak enak. Dia tidak ingin berutang terlalu banyak pada Felix.Pada saat itu, terdengar suara berisik dari luar.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka lagi, dan yang mengejutkan, ternyata itu adalah Nenek.Wanita tua itu berlutut di depan tempat tidur dan berkata, "Yara, tolong bermurah hatilah dan ampuni Fabian."Yara langsung memalingkan wajahnya. "Keluar, aku nggak ingin melihatmu."Dia bisa menebaknya. Wanita tua itu bersikeras dia haru
"Tertarik?" Yudha terkekeh. "Tertarik dengan orang bodoh seperti dia?"Dia berbalik ke arah Felix. "Sebaiknya, Kak, pikirkan baik-baik apakah kamu sudah terlalu dekat dengan mantan adik iparmu ini.""Jangan berpikir macam-macam." Felix terdiam beberapa saat lalu mengatakan, "Lagi pula, bukankah perceraiannya masih belum ditetapkan?"Dia menatap punggung Yudha dan berkata, "Yudha, belum terlambat kalau kamu ingin berubah pikiran sekarang.""Aku nggak akan berubah pikiran." Yudha meninggalkan rumah sakit dengan langkah lebar.Begitu sampai di luar, dia menelepon Revan."Pak Direktur, saya sudah bertanya dengan pengacaranya, Fabian bisa dihukum minimal lima atau enam tahun," kata Revan dengan suara menahan amarah."Lima atau enam tahun?" Kain kasa di dahi wanita itu berkelebat di depan mata Yudha. Darah yang merembes membuat tangannya menggenggam sangat erat. "Aku ingin dia mati!"Revan tertegun sejenak, lalu segera menjawab, "Baik."Yara tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Apa yang dilak
Dia ingat, pikiran yang paling sering muncul di benaknya saat itu adalah mengapa dia harus hidup kembali. Seharusnya dia mati.Mati bersama Yudha dan Felix."Rara." Felix merasakan kesedihan Yara dan bertanya hati-hati, "Apa terjadi sesuatu saat itu?"Yara menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa."Dia sengaja mengganti topik pembicaraan. "Lalu bagaimana kamu bisa mengenaliku?"Felix menunjuk ke belakang telinganya. "Aku ingat kamu punya tahi lalat kecil di sana."Dia tersenyum malu-malu. "Aku sebenarnya nggak begitu yakin, tapi sekarang aku yakin itu kamu.""Yudha tahu?" tanya Yara lagi.Felix terdiam beberapa saat. "Kamu ingin dia tahu?"Dia berpikir sejenak lalu menambahkan, "Mungkin kalau dia tahu, dia nggak akan menceraikanmu. Kamu ingin aku memberitahu dia?""Jangan!" jawab Yara singkat.Dia sudah muak dengan pernikahan tanpa cinta. Dia tidak ingin Yudha tetap bertahan bersamanya karena rasa terima kasih.Dia menatap Felix memelas. "Kak, jangan ceritakan ini pada Yudha.""Tapi