"Lalu kenapa?" Wanita tua itu beralasan dengan percaya diri, "Kalau adikmu sukses, bukannya kamu juga ikut kebagian untung?""Kebagian untung?" Mustika terkekeh. "Lalu selama tahun-tahun aku nggak di sini, berapa banyak keuntungan yang sudah kamu ambil, sebagai ibunya?"Wanita tua itu tercekat. "Apa kamu buta? Nggak bisakah kamu lihat betapa indahnya hidup kami? Setelah kami dapat ganti rugi tanah nanti, Fabian akan membelikan rumah besar untukku.""Iya juga. Kamu harus ikut kalau sudah ada rumah besar. Kalau nggak, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membayar pembantu?"Begitu Mustika selesai berucap, wanita tua itu menamparnya. "Beraninya kamu bicara seperti itu!"Mustika menutup wajahnya dan memandang ibunya tak percaya.Inilah ibu yang melahirkan dan membesarkannya, tetapi ibu ini jugalah yang menginjak-injak dirinya sejak dia masih kecil, hanya karena dia perempuan.Bertahun-tahun, dia sangat ingin mengakhiri hidupnya. Baru setelah memiliki Siska, dia mendapat keyakina
Yara merasakan gelombang panas di tubuhnya semakin tinggi.Seluruh tubuhnya terasa kering dan membara sampai dia hampir kehilangan akal sehatnya.Dia tidak boleh sampai dinodai Fabian. Dia sudah memiliki anak-anak dan dia harus melindungi mereka.Fabian masih mengumpat sesuatu, tetapi dia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.Dia merasa Fabian sepertinya merobek pakaiannya. Dan dari sudut matanya yang berbayang-bayang, dia melihat sebuah vas di atas meja di sampingnya.Dengan segala daya upaya, dia berjuang untuk meraih vas bunga itu.Fabian terkejut dan langsung menutupi wajahnya dengan lengannya. "Wanita murahan, aku belum selesai denganmu."Terdengar bunyi "prang", tetapi Fabian tidak merasakan sakit apa pun. Dia menurunkan lengannya dan melihat Yara memecahkan vas di kepalanya sendiri.Melihat wajah Yara yang berlumuran darah, Fabian terhuyung turun dari tempat tidur dengan ketakutan dan menatap wanita di tempat tidur itu dengan tidak percaya. "Kamu gila ya?"Yara merasa mulai meng
"Rara, bagaimana keadaanmu?"Yara merasa sangat berterima kasih. "Kak, aku dan ..."Dia melirik perutnya dan berkata, "Kami berutang budi padamu lagi.""Jangan bilang begitu." Felix menghela napas berat. "Rara, kali ini terlalu berbahaya, kamu harus kembali ke Selayu bersamaku.""Kak, aku nggak ingin kembali." Yara telah membulatkan tekad ketika dia pergi. Dia tidak ingin kembali begitu saja."Baiklah kalau kamu mau tinggal di Wulindra, aku akan tinggal bersamamu di sini." Sikap Felix sangat tegas. "Aku carikan rumah nanti.""Kak ...." Yara merasa tidak enak. Dia tidak ingin berutang terlalu banyak pada Felix.Pada saat itu, terdengar suara berisik dari luar.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka lagi, dan yang mengejutkan, ternyata itu adalah Nenek.Wanita tua itu berlutut di depan tempat tidur dan berkata, "Yara, tolong bermurah hatilah dan ampuni Fabian."Yara langsung memalingkan wajahnya. "Keluar, aku nggak ingin melihatmu."Dia bisa menebaknya. Wanita tua itu bersikeras dia haru
"Tertarik?" Yudha terkekeh. "Tertarik dengan orang bodoh seperti dia?"Dia berbalik ke arah Felix. "Sebaiknya, Kak, pikirkan baik-baik apakah kamu sudah terlalu dekat dengan mantan adik iparmu ini.""Jangan berpikir macam-macam." Felix terdiam beberapa saat lalu mengatakan, "Lagi pula, bukankah perceraiannya masih belum ditetapkan?"Dia menatap punggung Yudha dan berkata, "Yudha, belum terlambat kalau kamu ingin berubah pikiran sekarang.""Aku nggak akan berubah pikiran." Yudha meninggalkan rumah sakit dengan langkah lebar.Begitu sampai di luar, dia menelepon Revan."Pak Direktur, saya sudah bertanya dengan pengacaranya, Fabian bisa dihukum minimal lima atau enam tahun," kata Revan dengan suara menahan amarah."Lima atau enam tahun?" Kain kasa di dahi wanita itu berkelebat di depan mata Yudha. Darah yang merembes membuat tangannya menggenggam sangat erat. "Aku ingin dia mati!"Revan tertegun sejenak, lalu segera menjawab, "Baik."Yara tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Apa yang dilak
Dia ingat, pikiran yang paling sering muncul di benaknya saat itu adalah mengapa dia harus hidup kembali. Seharusnya dia mati.Mati bersama Yudha dan Felix."Rara." Felix merasakan kesedihan Yara dan bertanya hati-hati, "Apa terjadi sesuatu saat itu?"Yara menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa."Dia sengaja mengganti topik pembicaraan. "Lalu bagaimana kamu bisa mengenaliku?"Felix menunjuk ke belakang telinganya. "Aku ingat kamu punya tahi lalat kecil di sana."Dia tersenyum malu-malu. "Aku sebenarnya nggak begitu yakin, tapi sekarang aku yakin itu kamu.""Yudha tahu?" tanya Yara lagi.Felix terdiam beberapa saat. "Kamu ingin dia tahu?"Dia berpikir sejenak lalu menambahkan, "Mungkin kalau dia tahu, dia nggak akan menceraikanmu. Kamu ingin aku memberitahu dia?""Jangan!" jawab Yara singkat.Dia sudah muak dengan pernikahan tanpa cinta. Dia tidak ingin Yudha tetap bertahan bersamanya karena rasa terima kasih.Dia menatap Felix memelas. "Kak, jangan ceritakan ini pada Yudha.""Tapi
Mustika berjuang untuk berdiri, "Ibu? Adik? Apa yang sudah kalian berikan padaku selama ini?""Di mana kamu saat aku sekarat di rumah sakit?""Selain meminta uang padaku, apa lagi yang sudah kalian lakukan?""Apa yang kamu makan waktu kamu masih kecil?" Bantah wanita tua itu dengan agak tidak yakin. "Tanpa aku, mau jadi apa kamu?""Haha ...." Mustika tertawa pahit. "Kalau aku punya pilihan, aku berharap kamu nggak pernah melahirkanku.""Sepanjang hidupku, kapan aku berhenti membalas budi?" Dia menatap wanita tua itu dengan mata merah. "Sudah cukup. Aku sudah melunasi semuanya. Tapi kamu bicara seperti itu kepada anak perempuanku hari ini. Aku bukan kamu, dan aku nggak akan pernah menjadi kamu!""Siska adalah anak kesayanganku dan harapan yang membuatku bertahan hidup. Kalau kamu berani berkata seperti itu padanya, meskipun kamu ibuku, aku nggak akan memaafkanmu."Mustika menunjuk ke arah pintu. "Keluar dari sini. Aku nggak peduli Fabian mati di penjara. Dia pantas mendapatkannya. Kamu
Meski Mustika adalah wanita yang lemah dan tidak punya sanak saudara yang bisa diandalkan, dia tidak pernah patah arah dan melindungi Siska dengan segala kelembutan dan kekuatannya.Namun, tak satu pun dari mereka menyangka Tanto akan datang sore harinya.Emosi Siska yang akhirnya tenang kembali melonjak. Dia menarik pria itu keluar dari bangsal tanpa penjelasan apa pun dan menuju ke sudut koridor."Mau apa kamu?" Suaranya bergetar karena amarah yang tertahan.Tanto mengusap hidungnya dan berkata, "Aku dengar kalian di Wulindra bertemu ...""Bukan urusanmu." Siska maju selangkah dan menatap Tanto dengan dingin. "Tanto, sudah kubilang. Aku sudah nggak ada urusan lagi denganmu. Tolong jangan muncul di hadapanku lagi. Pergi!"Tanto mengerutkan keningnya. "Ada apa denganmu? Kamu marah?"Siska tertawa kesal. "Marah? Untuk apa? Ada hubungan apa antara kita? Siapa aku? Apa aku berhak marah?""Siska." Wajah Tanto semakin kelam. "Jangan main-main denganku. Kamu tahu aku nggak punya kesabaran le
Siska dan Tanto sama-sama tercengang.Siska pergi menggandeng Mustika dan tanpa sadar menatap Tanto. Setahunya, Tanto belum pernah dipukul apalagi ditampar.Tanto menutupi wajahnya, jelas sangat terkejut, menatap wanita di depannya dengan tatapan tak percaya.Mustika sangat emosional. "Kalian merasa hebat hanya karena kalian kaya? Kalian pikir bisa seenaknya mempermainkan hati orang lain?"Dia menggenggam erat tangan Siska. "Kau merendahkan dan meremehkan dia, padahal dia adalah anakku yang sangat berharga. Buah hatiku.""Aku nggak merendahkan dia." Tanto melirik Siska dan menundukkan kepala. "Aku ...""Apa kamu nggak dengar yang dikatakan anakku tadi?" Mustika menyela. "Pergi! Jangan muncul di hadapan putriku lagi. Kalau nggak, aku akan menghajarmu lagi."Dia melindungi Siska di belakangnya. "Aku akan melindunginya meskipun harus mempertaruhkan nyawaku."Tanto menghela napas berat dan menatap Siska. "Baiklah. Aku lega kamu baik-baik saja. Aku pergi dulu."Dia membungkuk dalam-dalam ke