Kenapa tidak biarkan dia mati?Dia benar-benar lelah, berbaring dan melihat ke luar jendela.Tanpa disadarinya, cuaca telah sedikit berubah menuju musim penghujan.Karena Kota Selayu dekat pesisir, suhu di musim hujan tetap masih panas. Hanya anginnya saja yang jadi lumayan kencang. Suara siulan angin lamat-lamat terdengar saat suasana benar-benar sunyi."Apa kamu nggak capek mengulang lagi tipuan yang sama?"Yudha akhirnya angkat bicara. Tersirat kemarahan yang terpendam dalam nada suaranya.Tipuan yang sama?Yara tidak begitu mengerti dan menoleh ke arahnya. "Apa maksudmu?""Yara, kenapa kamu selalu menganggap seolah semua orang itu bodoh?"Dua tahun lalu, saat mereka putus, Yara juga menyayat pergelangan tangannya.Itulah pertama kali Yudha melihat darah yang begitu banyak. Sejak itu juga, dia jadi benci melihat darah.Seandainya dia tidak mendengar perkataan Silvia dan mengetahui bahwa Yara sengaja menambahkan darah palsu untuk menakutinya, dia sudah akan setuju mereka tidak jadi p
"Hentikan pikiran macam-macammu itu."Yudha melirik ke arah pintu kamar perawatan dan memutuskan untuk pergi."Aku datang ke sini cuma untuk memutus harapan Yara, agar dia menyerah sepenuhnya.""Benarkah?" Tangis Melanie begitu hebat. Dia menatap Yudha dengan mata memelas.Yudha mengangguk dan melepaskan Melanie dari pelukannya. "Ya sudah, aku pulang dulu.""Oke." Melanie menyaksikan Yudha pergi dan kembali ke kamar perawatan.Dengan suara pintu terbuka, Yara segera membuka matanya.Melihat orang yang masuk adalah Melanie, cahaya terakhir di matanya meredup.Dia berbalik dan melihat ke luar jendela, tidak ingin memedulikan Melanie."Rara, kenapa kamu bodoh sekali?" Melanie duduk di tempat tidur.Yara tidak berkata apa-apa."Kamu sudah seperti ini, kenapa nggak nyerah saja buat pamerannya?"Melanie bicara lagi."Kenapa?" Yara berbalik dan memelototinya. "Draf desainnya sudah aku kumpulkan, kenapa aku harus menyerah?"Melanie mendecakkan lidahnya dua kali. "Aku cuma kasihan yang lain. Ma
Dia hilang kabar selama dua hari. Sudah pasti mereka panik.Yara mula-mula membalas pesan Safira dan Siska, baru menelepon Anita."Rara, aku dengar kamu menyayat pergelangan tanganmu?" Dari nada bicaranya, Anita benar-benar tidak percaya.Yara yang dia kenal tidak seperti itu.Yara tertawa pahit. "Kak Anita, kalau kubilang aku hampir dibunuh, kamu percaya?""Yara, kamu nggak boleh bercanda yang aneh-aneh. Apa yang terjadi?"Jelas sekali Anita sangat khawatir. "Kamu di mana? Aku pergi ke sana sekarang."Satu jam kemudian, mereka bertemu di kedai kopi. Yara menceritakan seluruh kejadiannya secara detail kepada Anita.Anita terdiam lama sebelum mengucapkan dua kata, "Luar biasa.""Melanie sudah gila!" Dia tidak dapat menahan umpatan yang mendongkol dalam hatinya, lalu menatap pergelangan tangan Yara dengan hati pedih. "Rara, aku kenal dokter bedah saraf. Kubantu buatkan janji dengannya untukmu."Yara sangat terharu. "Kak Anita, terima kasih banyak.""Jangan sungkan-sungkan." Anita menyala
Melanie memandang Zaina tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Zaina ragu sejenak sebelum berkata, "Melly, menurutmu, mungkinkah Rara bukan anak pamanmu?"Benar saja, Zaina memang curiga."Mana mungkin?" Wajah Melanie kelihatan tercengang. "Bu, jangan mengada-ada. Paman dan Bibi Silvia memang orang-orang yang nggak bisa diandalkan. Ditambah Rara selalu membuat masalah. Nggak heran mereka memperlakukannya dengan buruk.""Kamu nggak akan ngerti sampai kamu jadi ibu nanti." Zaina menghela napas pelan. "Separah-parahnya anak melakukan kesalahan, ibunya pasti hanya ingin membantu dia menyelesaikan masalah itu.""Tapi ..." Jeda sejenak, dia menggelengkan kepalanya. "Mungkin aku yang terlalu memikirkannya. Aku dan Silvia melahirkan di hari yang sama, mana mungkin Rara bukan anak Silvia?"Jantung Melanie berdebar kencang dan dia menghela napas lega saat melihat Zaina hanya berhenti sampai di sana.Urusan antara dia dan Yara harus segera diakhiri. Jika tidak, pasti akan menimbulkan masalah baru ya
"Orang sepertiku?"Yara bangkit berdiri."Di matamu, Yudha, aku orang yang menyayat pergelangan tanganku sendiri dan menghancurkan masa depan cerahku hanya demi mempertahankanmu. Jadi aku nggak pantas membicarakan masa depan, benar begitu?""Kamu nggak bisa mempertahankan aku!" Yudha menyilangkan kaki panjangnya. "Satu-satunya yang bisa kamu pertahankan cuma uang 200 miliar itu.""Tanda tangan sekarang!" Dia sudah kehilangan kesabaran. "Nggak ada untungnya kita berlama-lama menarik ulur masalah ini.""Aku nggak ingin uang!"Yara menyeka air matanya dengan kasar.Yudha mencubit alisnya menahan rasa pusing. "Yara, sudah cukup!""Dua tahun lalu," ucap Yara, memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya. "Aku cuma ingin kamu memberitahuku tentang yang kamu katakan di rumah sakit tadi. Ada apa dua tahun lalu?"Yudha benar-benar tercengang kali ini.Dia tidak menyangka Yara bisa menyebutkan dua tahun lalu berulang kali tanpa malu-malu.Apalagi dengan tatapan mata seolah dia tidak tahu apa-apa.
"Ya!"Hampir tidak ada keraguan dalam jawaban Yudha.Yara merasakan sakit yang menusuk di dadanya. Rasanya sangat sakit sampai air mata bergulir deras dari matanya.Dia bertanya kepadanya sambil tersenyum masam, "Secinta itu kamu padanya? Secinta itu sampai nggak bisa membedakan antara benar dan salah? Memutar balik yang benar dengan yang salah?""Dia melakukan semua ini hanya karena takut kehilangan aku."Suara Yudha terdengar sangat tenang, tetapi kata-katanya sangat kejam.Mengira Yara adalah gadis yang licik, dia membenci dan merendahkan Yara. Namun, saat sebutan gadis licik itu dialihkan kepada Melanie, dia dapat mengatakannya dengan sangat enteng.Ternyata, Tuan Muda Lastana yang begitu tinggi dan pandai itu juga punya sisi munafiknya tersendiri.Yara menatapnya. Semua kata tersangkut di tenggorokan, tidak dapat terucap satu pun."Tenang saja. Kalau memang dia yang salah, kami akan menebusnya kepadamu bersama-sama."Satu pisau lagi menusuk jantung Yara tanpa belas kasihan."Yudha
Yara berjalan membawa tubuhnya yang terasa berat, keluar dengan pikiran yang tertutup kabut.Dia harus menuruni gunung dan keluar dari kawasan ini untuk mendapatkan taksi.Mendadak, dia mendengar suara klakson mobil.Saat dia menoleh ke samping, ternyata itu mobil Yudha.Jendela mobil perlahan bergerak turun, memperlihatkan sisi samping wajah yang memesona."Masuk!"Yara mengerutkan kening. "Nggak perlu."Dia menguatkan langkah kakinya untuk terus berjalan.Tidak ada cinta. Dia tidak membutuhkan belas kasihan Yudha.Tak disangka, mobil itu kembali mengikutinya. Suara Yudha samar-samar terdengar tidak sabar."Masuk!""Aku bilang nggak perlu!"Yara berhenti dan berteriak kepada orang di dalam mobil."Apa kamu akan mencintaiku kalau aku masuk ke dalam mobil? Apa kamu akan membatalkan perceraiannya?""Nggak mungkin! Jadi kamu nggak perlu mengkhawatirkanku. Aku nggak butuh belas kasihanmu!"Kata demi kata meluncur berturut-turut dan tangisnya pecah, membuat Yudha terkejut.Yudha menyaksikan
"Kenapa?"Siska refleks melangkah mundur.Dengan gerakan cepat, Yara meraih lengan Siska dan menariknya ke depan.Dia melihat ke bawah dan memperhatikan leher Siska lebih dekat. "Siska, di lehermu itu ... cupang?""Cupang?"Siska melepaskan diri dari tangan Yara dan melanjutkan apa yang dia lakukan tadi seolah tidak terjadi apa-apa.Yara masih tidak menyerah dan berjalan membuntutinya. "Siska, kamu pergi ke mana tadi malam? Di lehermu itu cupang, 'kan?""Cupang? Nggak mungkin!"Siska menghampiri cermin dan mengusap-usap tanda bekas di lehernya."Cupang apa? Agak gatal, paling bekas digigit nyamuk.""Masa?" tanya Yara ragu. "Siska, kamu punya pacar ya?""Nggak, beneran." Jawaban Siska sangat mantap. "Ibuku kemarin telepon aku perlu dibantu sesuatu, jadi aku pergi ke sana.""Beneran?"Yara masih tidak percaya.Dia meraih tangan Siska dan berkata, "Siska, aku nggak bermaksud yang lain. Walaupun kamu punya pacar dan nggak mau beri tahu aku, tapi janji kamu harus melindungi dirimu sendiri,