"Hentikan pikiran macam-macammu itu."Yudha melirik ke arah pintu kamar perawatan dan memutuskan untuk pergi."Aku datang ke sini cuma untuk memutus harapan Yara, agar dia menyerah sepenuhnya.""Benarkah?" Tangis Melanie begitu hebat. Dia menatap Yudha dengan mata memelas.Yudha mengangguk dan melepaskan Melanie dari pelukannya. "Ya sudah, aku pulang dulu.""Oke." Melanie menyaksikan Yudha pergi dan kembali ke kamar perawatan.Dengan suara pintu terbuka, Yara segera membuka matanya.Melihat orang yang masuk adalah Melanie, cahaya terakhir di matanya meredup.Dia berbalik dan melihat ke luar jendela, tidak ingin memedulikan Melanie."Rara, kenapa kamu bodoh sekali?" Melanie duduk di tempat tidur.Yara tidak berkata apa-apa."Kamu sudah seperti ini, kenapa nggak nyerah saja buat pamerannya?"Melanie bicara lagi."Kenapa?" Yara berbalik dan memelototinya. "Draf desainnya sudah aku kumpulkan, kenapa aku harus menyerah?"Melanie mendecakkan lidahnya dua kali. "Aku cuma kasihan yang lain. Ma
Dia hilang kabar selama dua hari. Sudah pasti mereka panik.Yara mula-mula membalas pesan Safira dan Siska, baru menelepon Anita."Rara, aku dengar kamu menyayat pergelangan tanganmu?" Dari nada bicaranya, Anita benar-benar tidak percaya.Yara yang dia kenal tidak seperti itu.Yara tertawa pahit. "Kak Anita, kalau kubilang aku hampir dibunuh, kamu percaya?""Yara, kamu nggak boleh bercanda yang aneh-aneh. Apa yang terjadi?"Jelas sekali Anita sangat khawatir. "Kamu di mana? Aku pergi ke sana sekarang."Satu jam kemudian, mereka bertemu di kedai kopi. Yara menceritakan seluruh kejadiannya secara detail kepada Anita.Anita terdiam lama sebelum mengucapkan dua kata, "Luar biasa.""Melanie sudah gila!" Dia tidak dapat menahan umpatan yang mendongkol dalam hatinya, lalu menatap pergelangan tangan Yara dengan hati pedih. "Rara, aku kenal dokter bedah saraf. Kubantu buatkan janji dengannya untukmu."Yara sangat terharu. "Kak Anita, terima kasih banyak.""Jangan sungkan-sungkan." Anita menyala
Melanie memandang Zaina tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Zaina ragu sejenak sebelum berkata, "Melly, menurutmu, mungkinkah Rara bukan anak pamanmu?"Benar saja, Zaina memang curiga."Mana mungkin?" Wajah Melanie kelihatan tercengang. "Bu, jangan mengada-ada. Paman dan Bibi Silvia memang orang-orang yang nggak bisa diandalkan. Ditambah Rara selalu membuat masalah. Nggak heran mereka memperlakukannya dengan buruk.""Kamu nggak akan ngerti sampai kamu jadi ibu nanti." Zaina menghela napas pelan. "Separah-parahnya anak melakukan kesalahan, ibunya pasti hanya ingin membantu dia menyelesaikan masalah itu.""Tapi ..." Jeda sejenak, dia menggelengkan kepalanya. "Mungkin aku yang terlalu memikirkannya. Aku dan Silvia melahirkan di hari yang sama, mana mungkin Rara bukan anak Silvia?"Jantung Melanie berdebar kencang dan dia menghela napas lega saat melihat Zaina hanya berhenti sampai di sana.Urusan antara dia dan Yara harus segera diakhiri. Jika tidak, pasti akan menimbulkan masalah baru ya
"Orang sepertiku?"Yara bangkit berdiri."Di matamu, Yudha, aku orang yang menyayat pergelangan tanganku sendiri dan menghancurkan masa depan cerahku hanya demi mempertahankanmu. Jadi aku nggak pantas membicarakan masa depan, benar begitu?""Kamu nggak bisa mempertahankan aku!" Yudha menyilangkan kaki panjangnya. "Satu-satunya yang bisa kamu pertahankan cuma uang 200 miliar itu.""Tanda tangan sekarang!" Dia sudah kehilangan kesabaran. "Nggak ada untungnya kita berlama-lama menarik ulur masalah ini.""Aku nggak ingin uang!"Yara menyeka air matanya dengan kasar.Yudha mencubit alisnya menahan rasa pusing. "Yara, sudah cukup!""Dua tahun lalu," ucap Yara, memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya. "Aku cuma ingin kamu memberitahuku tentang yang kamu katakan di rumah sakit tadi. Ada apa dua tahun lalu?"Yudha benar-benar tercengang kali ini.Dia tidak menyangka Yara bisa menyebutkan dua tahun lalu berulang kali tanpa malu-malu.Apalagi dengan tatapan mata seolah dia tidak tahu apa-apa.
"Ya!"Hampir tidak ada keraguan dalam jawaban Yudha.Yara merasakan sakit yang menusuk di dadanya. Rasanya sangat sakit sampai air mata bergulir deras dari matanya.Dia bertanya kepadanya sambil tersenyum masam, "Secinta itu kamu padanya? Secinta itu sampai nggak bisa membedakan antara benar dan salah? Memutar balik yang benar dengan yang salah?""Dia melakukan semua ini hanya karena takut kehilangan aku."Suara Yudha terdengar sangat tenang, tetapi kata-katanya sangat kejam.Mengira Yara adalah gadis yang licik, dia membenci dan merendahkan Yara. Namun, saat sebutan gadis licik itu dialihkan kepada Melanie, dia dapat mengatakannya dengan sangat enteng.Ternyata, Tuan Muda Lastana yang begitu tinggi dan pandai itu juga punya sisi munafiknya tersendiri.Yara menatapnya. Semua kata tersangkut di tenggorokan, tidak dapat terucap satu pun."Tenang saja. Kalau memang dia yang salah, kami akan menebusnya kepadamu bersama-sama."Satu pisau lagi menusuk jantung Yara tanpa belas kasihan."Yudha
Yara berjalan membawa tubuhnya yang terasa berat, keluar dengan pikiran yang tertutup kabut.Dia harus menuruni gunung dan keluar dari kawasan ini untuk mendapatkan taksi.Mendadak, dia mendengar suara klakson mobil.Saat dia menoleh ke samping, ternyata itu mobil Yudha.Jendela mobil perlahan bergerak turun, memperlihatkan sisi samping wajah yang memesona."Masuk!"Yara mengerutkan kening. "Nggak perlu."Dia menguatkan langkah kakinya untuk terus berjalan.Tidak ada cinta. Dia tidak membutuhkan belas kasihan Yudha.Tak disangka, mobil itu kembali mengikutinya. Suara Yudha samar-samar terdengar tidak sabar."Masuk!""Aku bilang nggak perlu!"Yara berhenti dan berteriak kepada orang di dalam mobil."Apa kamu akan mencintaiku kalau aku masuk ke dalam mobil? Apa kamu akan membatalkan perceraiannya?""Nggak mungkin! Jadi kamu nggak perlu mengkhawatirkanku. Aku nggak butuh belas kasihanmu!"Kata demi kata meluncur berturut-turut dan tangisnya pecah, membuat Yudha terkejut.Yudha menyaksikan
"Kenapa?"Siska refleks melangkah mundur.Dengan gerakan cepat, Yara meraih lengan Siska dan menariknya ke depan.Dia melihat ke bawah dan memperhatikan leher Siska lebih dekat. "Siska, di lehermu itu ... cupang?""Cupang?"Siska melepaskan diri dari tangan Yara dan melanjutkan apa yang dia lakukan tadi seolah tidak terjadi apa-apa.Yara masih tidak menyerah dan berjalan membuntutinya. "Siska, kamu pergi ke mana tadi malam? Di lehermu itu cupang, 'kan?""Cupang? Nggak mungkin!"Siska menghampiri cermin dan mengusap-usap tanda bekas di lehernya."Cupang apa? Agak gatal, paling bekas digigit nyamuk.""Masa?" tanya Yara ragu. "Siska, kamu punya pacar ya?""Nggak, beneran." Jawaban Siska sangat mantap. "Ibuku kemarin telepon aku perlu dibantu sesuatu, jadi aku pergi ke sana.""Beneran?"Yara masih tidak percaya.Dia meraih tangan Siska dan berkata, "Siska, aku nggak bermaksud yang lain. Walaupun kamu punya pacar dan nggak mau beri tahu aku, tapi janji kamu harus melindungi dirimu sendiri,
"Yudha, ada apa kamu telepon aku? Kangen ya?""Pergi ke kantor Lastana. Kutunggu sekarang juga."Melanie ingin bertanya lebih banyak, tetapi Yudha sudah menutup panggilan.Dia berpikir sejenak, segera mengemasi barang-barang dan pergi.Baru kali ini Yudha memanggilnya pergi ke kantor Perusahaan Lastana. Akhirnya, hubungan mereka mungkin akan melangkah lebih jauh.Sesampainya di gedung kantor Perusahaan Lastana, Melanie langsung menuju kantor direktur di lantai paling atas."Yudha?" Dia melangkah senyuman merekah."Duduk!" Sikap Yudha agak dingin.Melanie duduk di sofa dengan penuh kebingungan dan bertanya sambil tersenyum, "Ada apa?"Yudha melempar berkas yang ada di tangannya ke atas meja.Melanie ragu-ragu sejenak. Dia mengambil file itu dan membukanya.Itu berkas rawat inap Yara. Jelas disebutkan bahwa Yara sudah dua kali dirawat di rumah sakit dalam lima tahun terakhir.Pertama kali, dia koma karena kehilangan banyak darah akibat putusnya arteri di pergelangan tangan kanannya.Kali
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid