Gimana? penasaran nggak? Komentar ya kak ...
"Apaa? Ke penghulu?" Tiara mengangguk cepat. "Bapak sudah janji, loh!" "Ya ampun, Tiaraaa. Kamu pikir mencari penghulu itu seperti kamu cari tukang gorengan yang ada di mana-mana?" "Tapi bapak kan sudah janji mau nikahi saya!" "Ssstt ... tolong pelankan suaramu, Tiara!" sanggah Neil seraya memandang sekelilingnya. "Sebaiknya kita segera ke bandara. Taksi sudah menunggu kita!" Neil melangkah keluar melalui pintu kaca diikuti Tiara di belakangnya. Supir taksi membukakan pintu untuk mereka. Taksi mulai melaju menuju bandara Juanda. Selama perjalanan menuju bandara, Neil melihat wajah Tiara murung. Tidak seperti biasanya sekretarisnya itu diam membisu. Sesekali Neil melirik wajah putih dengan pipi yang menggemaskan itu. Namun Tiara terus memandang ke luar jendela. "Sial, kenapa dia diam saja?" Entah kenapa Neil merasa sangat canggung berada di dekat Tiara saat ini. Apalagi sejak tadi gadis itu hanya diam membisu. "Ehm ... apa jadwalku besok pagi, Tiara?" Neil mencoba memecah kes
"Buruan pulang, gue laper!" "Hei, Rohmat! Si Tiara napa lu tarik-tarik begitu? Kasianan kaan." Seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan menegur pria yang dipanggil Rohmat. "Nggak usah ikut campur! Ini urusan gue!" sahut Rohmat tenang tanpa menoleh."Ganteng-ganteng, tapi kasar sama perempuan!" Wanita itu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kasar Rohmat pada Tiara. "Aduh, Baaang! Sakit tau. Pelan-pelan, kek!' Tiara berjalan terseok-seok mengikuti langkah Rohmat, sambil satu tangannya menarik koper. "Diamlu! Kayak lagi gue apain aja pake teriak-teriak gitu!' gumam pria yang dipanggil Bang Rohmat oleh Tiara. Mereka sampai di depan rumah kontrakan yang berderet dengan bentuk dan besar yang sama. Rohmat membuka pintu salah satu rumah. "Sana lu masuk, terus bikinin gue makan. Awas, kaga pake lama!" "Iya, bawel! Dasar cowok nggak sabaran! Ribet!" umpat Tiara. Netranya memandang kesal pada pria bermata teduh itu. Sementara Rohmat tak peduli dengan ocehan Tiara. Pria berambu
Neil terjaga dari tidurnya. Saat matanya terbuka, dia menemukan Erika masih terlelap di sampingnya . Entah pukul berapa semalam istrinya itu pulang. Neil tidur lebih dulu karena merasa sangat lelah. Tanpa membangunkan Erika, Neil bergegas beranjak dari ranjang dan melangkah menuju ke kamar mandi hendak membersihkan diri. Entah kenapa hari ini dia begitu bersemangat untuk berangkat ke kantor. Erika terjaga saat ranjangnya terasa ada pergerakan. "Sayang, mau ke mana?" tanya Erika tanpa bangkit menghampiri suaminya. "Aku mau mandi. Pekerjaanku banyak menumpuk di kantor," sahut Neil asal seraya membuka kancing piyamanya. "Mau ikut?" Neil melirik nakal pada istrinya. Erika menggeleng malas. Neil masuk ke kamar mandi dengan seringai dibibirnya. Dirinya merasa kecewa karena penolakan berkali-kali dari Erika. Entah kenapa Erika yang dulu sangat agresif, belakangan ini tampak tak pernah bersemangat setiap dirinya ingin meminta kebutuhan biologisnya. Setelah menyelesaikan kegiatan mand
",Tiara! Nagapain kamu di ruang pribadi suamiku?" Wajah Erika menegang. Raut wajah tak suka terpancar jelas dari wajahnya. Tiara menatap istri bosnya dengan wajah pias. Tubuhnya gemetar. Jantungnya berdebar kencang. Wanita cantik itu nampak sangat ketakutan. "Keluar kamu! Bisa-bisanya kamu makan satu meja dengan Suamiku. Kamu sadar nggak sih kamu itu siapa? Kamu cuma bawahan. Ngerti?" Erika menaikan alisnya dengan mata melotot pada wanita yang usianya lebih muda darinya.itu. "Erika! Apa-apaan kamu!" Tanpa sadar Neil yang tidak tega melihat Tiara, spontan berdiri dan membentak Erika. Sementara Tiara perlahan berdiri dan melangkah mundur. "Jangan-jangan kamu memang mau jadi pelakor ya?" Erika melotot pada Tiara seraya berkacak pinggang, tanpa mempedulikan bentakan Neil. Tiara menggelengkan kepalanya dengan wajah ketakutan. "Sudah Erika! Hentikan! Tiara, kembali ke ruanganmu!" Tiara gegas berlari keluar dari ruangan Neil menuju ruangannya yang berada di sebelah. Air mata wanita
Sudah tiga minggu sejak kejadian di Surabaya malam itu. Tiara belum mendapat kepastian mengenai janji bosnya untuk menikahinya. Walau dia sadari hal ini memang tak mudah. Namun dia tetap ingin Neil bertanggung jawab atas perbuatannya. Bagaimanapun juga, Tiara telah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya yang selama ini dia jaga baik-baik. Ingin rasanya Tiara menanyakan hal ini pada atasannya itu. Ingin rasanya menagih janji pada Neil yang katanya ingin menjadikannya sebagai Istri simpanan. Namun kesibukan mereka akan pekerjaan seakan tidak ada waktu dan kesempatan untuk bicara berdua. Siang itu Tiara memutuskan untuk berbicara pada Neil empat mata. Dengan dada berdebar wanita berpenampilan elegan dan selalu tampil modis itu mengetuk pintu ruangan Neil. "Masuk!" Suara sahutan dari dalam membuat Tiara semakin berdebar.."Siang, Pak!' "Masuk, Tiara. Duduklah!" Tiara melangkah masuk dan duduk tepat di hadapan Neil. "Ada apa?" Neil bertanya dengan mata masih tertuju p
Tiara terheran melihat Neil menutup laptop, lalu meraih jas yang berada di sandaran kursi dan memakainya. Kemudian pria bule itu melangkah mendekat. "Ayo berangkat. Dimana kampungmu?" "Garut, Pak," sahut Tiara yang masih bingung dengan sikap bosnya. "Ayo! Tunggu apalagi, Tiara?" Wanita itu sontak melangkah mengkuti Neil yang telah berjalan lebih dulu melewatinya. Tiara bingung. Apa Neil akan mengantarnya pulang? Apa kata orang tuanya nanti? Lalu bagaimana dengan Bu Erika? Wanita cantik itu terus berpikir sambil melngkah. Tiara menyempatkan berlari meraih tasnya di ruangannya, tanpa mempedulikan Joe yang menatap bingung melihat Tiara buru-buru tanpa menghiraukan panggilannya. Tiara lalu kembali melangkah di belakang Neil hingga masuk ke dalam lift. Neil menekan tombol menuju lobby. Saat ini mereka hanya berdua saja di dalam lift khusus Direksi. "B-bapak mau ke mana?" Tiara akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Ya antar kamulah!' sahut Neil tanpa menoleh. Sementara tangan
Jantung Tiara berdegup cepat. Keringat dingin semakin deras mengalir di wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ketakutan dan kecemasan merajai hatinya saat ini. Mungkinkah apa yang dia khawatirkan akan terjadii? "Ada apa? Kenapa makin pucat gitu mukalu?" Rohmat terlihat panik melihat kondisi Tiara. "Kita ke rumah sakit aja, Pak!" "Ja-jangan! Nggak usah!" sanggah Tiara cepat. Dia tak ingin masalahnya semakin rumit jika Rohmat sampai tahu keadaannya. "Nggak bisa, kalau lu pulang keadaan sakit begini, apa kata orang tualu nanti. Lu itu tanggung jawab gue." "Pokoknya gue nggak mau. Titik. Paling juga masuk angin. Lagian udah enakan, kok. Gue mau merem aja." Tiara terpaksa berpura-pura kuat di depan Rohmat. Dengan menahan mual, wanita itu memejamkan mata seraya bersandar pada sandaran jok mobil. "Dasar susah diatur!" gumam Rohmat sambil geleng-geleng kepala menghadapi Tiara yang dia anggap keras kepala. Perjalanan pun mulai diteruskan. Sepanjang jalan Tiara tertidur. Rohmat menjaganya agar ke
Sejak semalam Tiara masih terus memikirkan permintaan Bapaknya. Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus memenuhi permintaan bapaknya itu? Pagi ini Tiara izin pada ibunya untuk ke apotik di kecamatan. Diam-diam dia hendak membeli test kehamilan. Dia harus memastikan bahwa dia benar hamil atau tidak. Jika dihitung, datang bulannya sudah terlambat lebih dari satu minggu. "Bu, Aku mau ke apotik beli obat sakit kepala. Obat-obatan Bapak biar sekalian aku beli." "Suruh saja adikmu yang ke apotik. Indra, sana belikan obat untuk kakakmu!" Ibu memanggil Indra-adik Tiara yang masih sekolah di sekolah menengah pertama. "Tidak usah, Bu. Biar Tiara saja!" sanggah Tiara. "Ya sudah. Obat bapakmu masih banyak. Ibu sudah membelinya setelah mendapat kiriman uang darimu tempo hari. Tiara pamit pada ibunya sebelum Rohmat datang. Dia tak mau sampai Rohmat menemaninya ke apotik nanti. ‐-------‐ "Neil, kamu mau ke mana?" Erika yang baru saja terjaga heran melihat Neil memasukkan beberapa pakai
"CCTV! Ya, aku belum melihat CCTV itu sampai tuntas," pikir Neil sambil menatap iba pada Tiara. Ada rasa penyesalan yang begitu dalam yang dirasakan Neil saat ini. Tiara banyak berubah. Mantan sekretarisnya yang dulu begitu cekatan, energik dan ceria, kini menjadi lebih pendiam. Bahkan Tiara sangat menderita. "Ini semua karena aku. Aku yang menyebabkan dia seperti ini," sesal Neil dalam hati dengan rasa sesak yang begitu menghimpit. Perlahan ia mendekati Tiara. Namun istrinya itu melangkah mundur. "Tia ... kenapa?" Tiara menggeleng. "Jangan, Pak. Aku nggak pantas lagi jadi istri Bapak." Suara Tiara serak, tubuhnya terduduk di ranjang sambil memeluk kedua kakinya. "Tolong jangan bicara seperti itu!" Dada Neil bergemuruh. Sesaat ia menatap istrinya yang tertunduk dengan pandangan kosong. Setelah menghela napas panjang, ia kembali berbicara. "Ya sudah, kamu istirahat dulu. Setelah aku mandi, kita makan." Dengan langkah berat Neil meninggalkan Tiara dan masuk ke kamar mandi. I
"Siapkan uang untuk saya sebanyak satu milyar dari uang pribadi Neil!" Suara Erika cukup keras memberikan perintah pada Joe. "M-maksud Bu Erika? M-maaf, Bu, s-saya tidak berani mengeluarkan uang tanpa izin pimpinan." Joe menjawab dengan takut-takut. Ia sangat paham dengan karakter Erika yang tidak mau dibantah. "Hei! Kamu pikir saya siapa? Kamu nggak menghargai saya? Uang Neil itu juga uang saya! Ngerti, kamu?" Nada bicara Erika mulai meninggi. Wanita itu juga menggebrak meja Joe secara spontan hingga mengeluarkan suara yang sangat keras. Joe makin gugup dan gemetar. Erika melotot dengan tatapan penuh amarah padanya. "Siapkan uang itu sekarang juga! Cepaat!" Erika yang sudah panik karena kedatangan para penagih hutang ke rumahnya, membuat emosinya tidak dapat terkontrol. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan uang itu hari ini juga. Erika makin gelisah, hingga ia tidak menyadari bahwa seseorang sejak tadi berdiri di depan pintu ruangan itu, memandangnya dengan geram. "Untu
"Tiara ... Aku mau ...." Wajah Neil kian mendekat pada Tiara hingga wanita itu menjadi gugup. "Jangan aneh-aneh deh, Pak!" gumam Tiara dengan wajah bersemu kemerahan. Saat ini Neil menatapnya penuh damba. "Habisnya kamu cantik banget. Wangi!"bisik Neil. Satu tangannya mulai menyentuh tengkuk Tiara. Keduanya saling menatap penuh cinta. Kalau saja Tiara tidak sedang sakit, entah apa yang akan terjadi. Saat ini Neil berusaha menahan diri untuk tidak menuruti keinginan hatinya. "Aku mandi dulu. Istirahatlah!" Akhirnya Neil meninggalkan sebuah kecupan hangat di kening Tiara, sebelum ia masuk ke kamar mandi. Tiara mengangguk. Ia tersenyum lega dan langsung merebahkan tubuhnya setelah menyiapkan pakaian untuk Neil. Keluar dari kamar mandi, Neil menemukan Tiara sudah terlelap. Setelah berpakaian, ia menyelimuti tubuh Tiara dan kembali mencium wajah cantik itu dengan sangat pelan. Ia tidak mau sampai Tiara terganggu. Malam itu, Neil memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Banyak ha
"Tiara ... Tiara ...!" "Astaga, Pak! Itu ada orang-orang kantor!" Wajah Tiara memucat. "Bagaimana ini, Pak?" Tiara panik. "Buka saja kacanya." Neil menjawab tenang. Perlahan Tiara memutar tubuhnya menghadap kaca. Nampak tiga orang wanita berpakaian ala kantoran yang tak sabar ingin melihat ada apa di balik kaca mobil itu. Tiara mulai menekan tombol pada sisi pintu. Kaca pun perlahan turun. "Tuh, kan! Gue bilang juga apa. Itu beneran Tiara. Woi, Tiara, lo ngapain mesum sama om-om di dalam mobil?" Seorang wanita dengan tidak sabarnya melongokan sedikit kepalanya. Mereka memang tidak melihat jelas siapa yang ada bersama Tiara tadi. Sedangkan yang lainnya ikut berusaha mengintip dari kaca lainnya yang ternyata cukup gelap. "Mana tuh Om-Om? Kok, nggak ada?" "Siapa yang Om-Om?" Seketika para wanita itu menoleh ke belakang ketika mendengar suara bariton yang begitu mendominan. "Hah, Bos Neil?" sontak wajah,-wajah penuh rasa penasaran tadi berubah pucat. Mereka menyadari pakaian y
"Tiara ... Tiara ..!" Bagai orang kesetanan Neil berlari dengan wajah panik menuju area parkir. Ia tak manghiraukan panggilan Vivi dan security yang ia lewati. "Hei, mau apa kalian?" Neil berteriak dari kejauhan melihat tiga orang pria bertubuh besar berada di sekitar mobilnya. Pria bule bertubuh tinggi itu mempercepat larinya. Namun, tiga pria tak dikenal itu telah melesat pergi. "Tiara ... Tiara ..., ini aku! Tolong buka pintunya!" Tiara menutup wajah dengan kedua tangannya sambil menangis dan menjerit. Teriakan Neil yang awalnya tidak terdengar, membuatnya bergegas membuka pintu saat wajah suaminya itu muncul di balik kaca. "Pak, ... Pak ... aku takut." "Tiara ... tenanglah. Ada aku ... tenanglah!" Neil bergegas menarik tubuh Tiara dan langsung mendekapnya. Ciuman bertubi-tubi ia layangkan ke puncak kepala Tiara agar istrinya itu tenang. Pras membelai kepala Tiara penuh kasih sayang. Sesekali matanya terpejam seakan sedang menikmati pelukan hangat mereka. "Astaga, Nei
"Istirahatlah sejenak. Tunggu Aku di sini sebentar. Aku akan menemui Nadira di dalam sana!" pinta Neil pada Tiara. Lalu pria bule itu keluar dari dalam mobilnya. Hari ini Tiara sudah boleh pulang oleh dokter. Sejak kemarin Neil tidak pulang ke rumahnya. Ia tidak mau meninggalkan Tiara sedetikpun. Ia tidak mau ceroboh lagi hingga keselamatan Tiara terancam. Pulang dari rumah sakit, Neil langsung menuju NaraShop hendak menemui Nadira. Sebagian besar saham pribadinya ada di sana. Ia akan membicarakan masalahnya pada sahabatnya itu. "Nadira? Bukankah itu nama wanita yang dulu pernah dekat dengan Pak Neil?" Tiara gelisah dalam hati. Ia khawatir Neil akan kembali mengingat cinta lamanya pada wanita itu. Dulu, sebelum menikahi Erika, sedikit banyak Tiara mengetahui tentang kisah cinta bosnya itu. Ia tau sudah sejak lama Neil mencintai Nadira. Apapun akan ia lakukan demi NaraShop, termasuk menanamkan sebagian besar sahamnya demi kemajuan perusahaan itu. Karena itulah Tiara menunggu N
"Mami ..." Neil sontak berdiri. Namun satu tangannya meraih jemari Tiara dan mengenggamnya erat. Wajah istri simpanannya itu nampak cemas dan ketakutan. Ia sangat mengenali Nyonya Helda yang sangat tegas. Nyonya Helda menatap Tiara tajam penuh kebencian. "Perempuan murahan kamu. Berani-beraninya kamu menggoda anakku. Berapa uang yang kamu inginkan? Katakan saja!" Wanita yang dipanggil Mami oleh Neil itu berkata dengan emosi yang meletup-letup dan napas yang memburu. "M-maafkan saya, Nyonya Helda!' parau suara Tiara yang menunduk, tak sanggup menerima tatapan dari wanita paruh baya iru. "Sudah jangan banyak bicara, katakan berapa uang yang kamu inginkan, lalu tinggalkan putraku!" "Mami ..., Apa-apaan ini?" protes Neil. Genggamannya pada jemari Tiara samakin erat. Pertanda dia tak ingin berpisah dari Tiara. Sementara Tiara hanya diam tak menjawab. Wanita itu hanya duduk menunduk menahan gemuruh di dada. "Neil, tinggalkan wanita murahan ini, dan kembalilah pada Erika!' Ucapan te
Neil kembali tiba di rumah sakit. Ia masuk ke ruang UGD untuk menghampiri Tiara. Namun dia tak menemukan istrinya di tempat terakhir dia meninggalkannya tadi.. "Suster, istri saya dipindahkan ke mana?" "Ibu Tiara sudah kami pindahkam ke ruang rawat VIP Pak. Di kamar 105." Setelah mendapat jawaban dari salah satu perawat UGD, Neil langsung menuju ruang VIP dengan setengah berlari. Ia sangat mengkhawatirkan keadaanTiara saat ini. Neil berhenti tepat di depan kamar dengan nomor pintu 105. Perlahan membuka handle pintu agar tak mengeluarkan suara yang akan mengganggu istrinya. Hati pria bule itu mencelos melihat Tiara masih menangis sambil berbaring. Wanita itu pasti sangat sedih. Rasa sedih yang berlipat-lipat dirasakan Tiara saat ini." Tiara ..." Neil meraih kursi dan duduk tepat disamping Tiara. Tangannya membelai lembut kepala istrinya. "Tiara ..., sudah ya. Jangan menangis lagi. Ini semua salahku. Seharusnya aku tak meninggalkanmu." Tiara masih tak mau menoleh padanya. Tatap
Neil baru saja memasuki gerbang rumahnya. Amarahnya semakin meledak-ledak ketika melihat mobil Erika telah berada di depan garasi. Setelah memarkir mobilnya, Neil keluar dan melangkah cepat menuju ke dalam rumah. "Erika ... Erika ...!" Bagai orang kesetanan Neil memanggil-manggil nama istrinya di sekeliling rumah. "Neil, apa-apaan kamu memanggil nama istrimu seperti itu?" Neil terlonjak dan membalikkan badannya ketika mendengar suara yang selama ini sangat dekat dengannya. "Mami ...! Ka-kapan Mami datang?" Wanita cantik berusia sekitar lima puluhan itu nampak jauh lebih muda dari umurnya. Nyonya Helda, ibu kandung Neil itu menghampiri putra tersayangnya. Neil memeluk dan mencium kedua pipi maminya. "Kapan Mami datang? Kenapa nggak ngabarin Aku?" "Duduklah, Neil!" Neil duduk di sebelah Maminya. Walau sebenarnya hatinya sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya terus tertuju pada Tiara. Sementara matanya terus mencari keberadaan Erika. "Ketika Mami sedang di Bali kemarin, Erik