Neil terjaga dari tidurnya. Saat matanya terbuka, dia menemukan Erika masih terlelap di sampingnya . Entah pukul berapa semalam istrinya itu pulang. Neil tidur lebih dulu karena merasa sangat lelah. Tanpa membangunkan Erika, Neil bergegas beranjak dari ranjang dan melangkah menuju ke kamar mandi hendak membersihkan diri. Entah kenapa hari ini dia begitu bersemangat untuk berangkat ke kantor. Erika terjaga saat ranjangnya terasa ada pergerakan. "Sayang, mau ke mana?" tanya Erika tanpa bangkit menghampiri suaminya. "Aku mau mandi. Pekerjaanku banyak menumpuk di kantor," sahut Neil asal seraya membuka kancing piyamanya. "Mau ikut?" Neil melirik nakal pada istrinya. Erika menggeleng malas. Neil masuk ke kamar mandi dengan seringai dibibirnya. Dirinya merasa kecewa karena penolakan berkali-kali dari Erika. Entah kenapa Erika yang dulu sangat agresif, belakangan ini tampak tak pernah bersemangat setiap dirinya ingin meminta kebutuhan biologisnya. Setelah menyelesaikan kegiatan mand
",Tiara! Nagapain kamu di ruang pribadi suamiku?" Wajah Erika menegang. Raut wajah tak suka terpancar jelas dari wajahnya. Tiara menatap istri bosnya dengan wajah pias. Tubuhnya gemetar. Jantungnya berdebar kencang. Wanita cantik itu nampak sangat ketakutan. "Keluar kamu! Bisa-bisanya kamu makan satu meja dengan Suamiku. Kamu sadar nggak sih kamu itu siapa? Kamu cuma bawahan. Ngerti?" Erika menaikan alisnya dengan mata melotot pada wanita yang usianya lebih muda darinya.itu. "Erika! Apa-apaan kamu!" Tanpa sadar Neil yang tidak tega melihat Tiara, spontan berdiri dan membentak Erika. Sementara Tiara perlahan berdiri dan melangkah mundur. "Jangan-jangan kamu memang mau jadi pelakor ya?" Erika melotot pada Tiara seraya berkacak pinggang, tanpa mempedulikan bentakan Neil. Tiara menggelengkan kepalanya dengan wajah ketakutan. "Sudah Erika! Hentikan! Tiara, kembali ke ruanganmu!" Tiara gegas berlari keluar dari ruangan Neil menuju ruangannya yang berada di sebelah. Air mata wanita
Sudah tiga minggu sejak kejadian di Surabaya malam itu. Tiara belum mendapat kepastian mengenai janji bosnya untuk menikahinya. Walau dia sadari hal ini memang tak mudah. Namun dia tetap ingin Neil bertanggung jawab atas perbuatannya. Bagaimanapun juga, Tiara telah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya yang selama ini dia jaga baik-baik. Ingin rasanya Tiara menanyakan hal ini pada atasannya itu. Ingin rasanya menagih janji pada Neil yang katanya ingin menjadikannya sebagai Istri simpanan. Namun kesibukan mereka akan pekerjaan seakan tidak ada waktu dan kesempatan untuk bicara berdua. Siang itu Tiara memutuskan untuk berbicara pada Neil empat mata. Dengan dada berdebar wanita berpenampilan elegan dan selalu tampil modis itu mengetuk pintu ruangan Neil. "Masuk!" Suara sahutan dari dalam membuat Tiara semakin berdebar.."Siang, Pak!' "Masuk, Tiara. Duduklah!" Tiara melangkah masuk dan duduk tepat di hadapan Neil. "Ada apa?" Neil bertanya dengan mata masih tertuju p
Tiara terheran melihat Neil menutup laptop, lalu meraih jas yang berada di sandaran kursi dan memakainya. Kemudian pria bule itu melangkah mendekat. "Ayo berangkat. Dimana kampungmu?" "Garut, Pak," sahut Tiara yang masih bingung dengan sikap bosnya. "Ayo! Tunggu apalagi, Tiara?" Wanita itu sontak melangkah mengkuti Neil yang telah berjalan lebih dulu melewatinya. Tiara bingung. Apa Neil akan mengantarnya pulang? Apa kata orang tuanya nanti? Lalu bagaimana dengan Bu Erika? Wanita cantik itu terus berpikir sambil melngkah. Tiara menyempatkan berlari meraih tasnya di ruangannya, tanpa mempedulikan Joe yang menatap bingung melihat Tiara buru-buru tanpa menghiraukan panggilannya. Tiara lalu kembali melangkah di belakang Neil hingga masuk ke dalam lift. Neil menekan tombol menuju lobby. Saat ini mereka hanya berdua saja di dalam lift khusus Direksi. "B-bapak mau ke mana?" Tiara akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Ya antar kamulah!' sahut Neil tanpa menoleh. Sementara tangan
Jantung Tiara berdegup cepat. Keringat dingin semakin deras mengalir di wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ketakutan dan kecemasan merajai hatinya saat ini. Mungkinkah apa yang dia khawatirkan akan terjadii? "Ada apa? Kenapa makin pucat gitu mukalu?" Rohmat terlihat panik melihat kondisi Tiara. "Kita ke rumah sakit aja, Pak!" "Ja-jangan! Nggak usah!" sanggah Tiara cepat. Dia tak ingin masalahnya semakin rumit jika Rohmat sampai tahu keadaannya. "Nggak bisa, kalau lu pulang keadaan sakit begini, apa kata orang tualu nanti. Lu itu tanggung jawab gue." "Pokoknya gue nggak mau. Titik. Paling juga masuk angin. Lagian udah enakan, kok. Gue mau merem aja." Tiara terpaksa berpura-pura kuat di depan Rohmat. Dengan menahan mual, wanita itu memejamkan mata seraya bersandar pada sandaran jok mobil. "Dasar susah diatur!" gumam Rohmat sambil geleng-geleng kepala menghadapi Tiara yang dia anggap keras kepala. Perjalanan pun mulai diteruskan. Sepanjang jalan Tiara tertidur. Rohmat menjaganya agar ke
Sejak semalam Tiara masih terus memikirkan permintaan Bapaknya. Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus memenuhi permintaan bapaknya itu? Pagi ini Tiara izin pada ibunya untuk ke apotik di kecamatan. Diam-diam dia hendak membeli test kehamilan. Dia harus memastikan bahwa dia benar hamil atau tidak. Jika dihitung, datang bulannya sudah terlambat lebih dari satu minggu. "Bu, Aku mau ke apotik beli obat sakit kepala. Obat-obatan Bapak biar sekalian aku beli." "Suruh saja adikmu yang ke apotik. Indra, sana belikan obat untuk kakakmu!" Ibu memanggil Indra-adik Tiara yang masih sekolah di sekolah menengah pertama. "Tidak usah, Bu. Biar Tiara saja!" sanggah Tiara. "Ya sudah. Obat bapakmu masih banyak. Ibu sudah membelinya setelah mendapat kiriman uang darimu tempo hari. Tiara pamit pada ibunya sebelum Rohmat datang. Dia tak mau sampai Rohmat menemaninya ke apotik nanti. ‐-------‐ "Neil, kamu mau ke mana?" Erika yang baru saja terjaga heran melihat Neil memasukkan beberapa pakai
Tiara kembali merasakan mual yang sangat hebat. Saat ini dia baru saja masuk ke dalam sebuah apotik. "Mbak, ada tes kehamilan?" "Ada Teh. Mau yang merek apa?" sahut wanita berhijab petugas apotik seraya mengeluarkan tiga macam tes kehamilan dengan merek yang berbeda. "Yang paling bagus dan akurat aja, mbak." jawab Tiara seraya menahan perutnya yang terus bergejolak, hendak memuntahkan semua isinya. "Mbak maaf boleh numpang ke toilet?"tanya Tiara sambil membekap mulutnya. "Ada di klinik sebelah, Mbak." Tiara langsung berlari ke arah klinik. Dia terus berlari sesuai arah panah yang menunjukkan tempat toilet berada. Sampai di toilet, Tiara langsung memuntahkan semua isi perutnya. Keringat dingin mengalir di wajahnya. penglihatannya mulai berkunang-kunang. Setelah dirasa perutnya sudah lebih baik, perlahan Tiara berusaha keluar dari toilet.Namun kali ini dia merasa kepalanya terus berputar, hingga dia pun terhuyung. "Eh ... teteh hati-hati ....!" Seorang petugas kebersihan menco
Diam-diam Tiara merasakan hatinya menghangat saat membaca pesan dari bosnya itu. Seketika wanita dengan rambut sebahu itu langsung mengirim lokasi dimana dia berada kini. Tanpa disadarinya, seulas senyum telah lolos dari bibir tipisnya. "Pak Neil, Aku dan anakmu menunggumu di sini ...," gumamnya sangat pelan seraya mengusap lembut perutnya. Tiara tiba-tiba merasakan ada energi yang menyelusup ke dalam tubuhnya. Dia tak lagi merasakan takut untuk bicara dengan Rohmat saat ini. Dia merasa yakin untuk menghadapi Rohmat sekarang juga. "Bang ...,!" Rohmat menoleh pada Tiara yang saat ini memakai celana jeans dan blouse berlengan balon. Tampak sangat pas di tubuhnya yang proposional serta wajah cantiknya. Lagi-lagi pria gondrong itu menghempas napas kasar, karena menahan hasrat yang selalu timbul setiap menatap gadis di hadapannya itu. "Duduk ...!" pintanya seraya menepuk kursi yang berada di sebelahnya.Tiara menurut. Perlahan dia duduk di samping pria yang dua tahun ini tinggal di s