Jantung Tiara berdegup cepat. Keringat dingin semakin deras mengalir di wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ketakutan dan kecemasan merajai hatinya saat ini. Mungkinkah apa yang dia khawatirkan akan terjadii? "Ada apa? Kenapa makin pucat gitu mukalu?" Rohmat terlihat panik melihat kondisi Tiara. "Kita ke rumah sakit aja, Pak!" "Ja-jangan! Nggak usah!" sanggah Tiara cepat. Dia tak ingin masalahnya semakin rumit jika Rohmat sampai tahu keadaannya. "Nggak bisa, kalau lu pulang keadaan sakit begini, apa kata orang tualu nanti. Lu itu tanggung jawab gue." "Pokoknya gue nggak mau. Titik. Paling juga masuk angin. Lagian udah enakan, kok. Gue mau merem aja." Tiara terpaksa berpura-pura kuat di depan Rohmat. Dengan menahan mual, wanita itu memejamkan mata seraya bersandar pada sandaran jok mobil. "Dasar susah diatur!" gumam Rohmat sambil geleng-geleng kepala menghadapi Tiara yang dia anggap keras kepala. Perjalanan pun mulai diteruskan. Sepanjang jalan Tiara tertidur. Rohmat menjaganya agar ke
Sejak semalam Tiara masih terus memikirkan permintaan Bapaknya. Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus memenuhi permintaan bapaknya itu? Pagi ini Tiara izin pada ibunya untuk ke apotik di kecamatan. Diam-diam dia hendak membeli test kehamilan. Dia harus memastikan bahwa dia benar hamil atau tidak. Jika dihitung, datang bulannya sudah terlambat lebih dari satu minggu. "Bu, Aku mau ke apotik beli obat sakit kepala. Obat-obatan Bapak biar sekalian aku beli." "Suruh saja adikmu yang ke apotik. Indra, sana belikan obat untuk kakakmu!" Ibu memanggil Indra-adik Tiara yang masih sekolah di sekolah menengah pertama. "Tidak usah, Bu. Biar Tiara saja!" sanggah Tiara. "Ya sudah. Obat bapakmu masih banyak. Ibu sudah membelinya setelah mendapat kiriman uang darimu tempo hari. Tiara pamit pada ibunya sebelum Rohmat datang. Dia tak mau sampai Rohmat menemaninya ke apotik nanti. ‐-------‐ "Neil, kamu mau ke mana?" Erika yang baru saja terjaga heran melihat Neil memasukkan beberapa pakai
Tiara kembali merasakan mual yang sangat hebat. Saat ini dia baru saja masuk ke dalam sebuah apotik. "Mbak, ada tes kehamilan?" "Ada Teh. Mau yang merek apa?" sahut wanita berhijab petugas apotik seraya mengeluarkan tiga macam tes kehamilan dengan merek yang berbeda. "Yang paling bagus dan akurat aja, mbak." jawab Tiara seraya menahan perutnya yang terus bergejolak, hendak memuntahkan semua isinya. "Mbak maaf boleh numpang ke toilet?"tanya Tiara sambil membekap mulutnya. "Ada di klinik sebelah, Mbak." Tiara langsung berlari ke arah klinik. Dia terus berlari sesuai arah panah yang menunjukkan tempat toilet berada. Sampai di toilet, Tiara langsung memuntahkan semua isi perutnya. Keringat dingin mengalir di wajahnya. penglihatannya mulai berkunang-kunang. Setelah dirasa perutnya sudah lebih baik, perlahan Tiara berusaha keluar dari toilet.Namun kali ini dia merasa kepalanya terus berputar, hingga dia pun terhuyung. "Eh ... teteh hati-hati ....!" Seorang petugas kebersihan menco
Diam-diam Tiara merasakan hatinya menghangat saat membaca pesan dari bosnya itu. Seketika wanita dengan rambut sebahu itu langsung mengirim lokasi dimana dia berada kini. Tanpa disadarinya, seulas senyum telah lolos dari bibir tipisnya. "Pak Neil, Aku dan anakmu menunggumu di sini ...," gumamnya sangat pelan seraya mengusap lembut perutnya. Tiara tiba-tiba merasakan ada energi yang menyelusup ke dalam tubuhnya. Dia tak lagi merasakan takut untuk bicara dengan Rohmat saat ini. Dia merasa yakin untuk menghadapi Rohmat sekarang juga. "Bang ...,!" Rohmat menoleh pada Tiara yang saat ini memakai celana jeans dan blouse berlengan balon. Tampak sangat pas di tubuhnya yang proposional serta wajah cantiknya. Lagi-lagi pria gondrong itu menghempas napas kasar, karena menahan hasrat yang selalu timbul setiap menatap gadis di hadapannya itu. "Duduk ...!" pintanya seraya menepuk kursi yang berada di sebelahnya.Tiara menurut. Perlahan dia duduk di samping pria yang dua tahun ini tinggal di s
Neil memandang haru pada sosok wanita paruh baya dihadapannya. Wanita yang merupakan ibu kandung Tiara itu dengan telaten membersihkan tubuh pria tua yang tengah terbaring pada ranjang di dalam kamar itu. "Seorang istri yang luar biasa. Andaikan saja aku memiliki istri yang bisa mengurusku hingga tua nanti," harap Neil dalam hati. Tiara menunggu sampai Ibunya selesai membersihkan tubuh bapaknya. "Masuklah, Tiara!" terdengar suara lemah bapak memanggil. Perlahan Tiara masuk diikuti oleh Neil. "Assalamualaikum, Pak!' Tiara tak menduga, Neil mendekat dan meraih jemari Bapak dan menciumnya. "Waalaikumsalam!" Bapak terheran dan memandang Neil penuh tanda tanya. Diam-diam pria paruh baya itu merasa kagum melihat sikap Neil yang sopan. Bahkan Rohmat satu kali pun belum pernah mencium tangannya. "T-tuan S-siapa ?" tanya Bapak dengan suara lemah. "Saya Neil. Saya adalah atasan Tiara di kantor." Pria tua itu melirik anak gadisnya, kemudian kembali memandang tubuh Neil yang tinggi
Tiara membuka matanya saat mendengar suara ayam berkokok. Matanya membelalak melihat matahari sudah mulai memperlihatkan sinarnya. Lewat lubang angin kamar terlihat jelas bahwa di luar sudah terang. Tiara hendak bangkit. Namun dia tersadar, tangan kokoh yang memeluknya sejak semalam masih melingkar diperutnya. Hatinya kembali berdesir merasakan hangat hembusan napas wajah tampan yang nyaris tak berjarak disampingnya. Dia masih tak percaya. Pria bule yang selama ini menjadi bosnya, kini sedang terlelap disampingnya. Ditatapnya wajah menawan dengan pahatan yang begitu sempurna. Mata tajam, alis tebal, hidung mancung yang berdiri sempurna diatas bibir tipis yang menggoda. Rambut-rambut halus di sekitar pipi dan dagu pada rahang yang begitu kokoh, membuat aliran darah Tiara selalu berdesir setiap memandangnya. Aroma khas maskulin pada tubuh Neil, senantiasa membangkitkan sebuah hasrat yang begitu menggoda.. "Semalaman dia terus memelukku. Ya, hanya memelukku. Kenapa dia tidak sepert
Setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya mereka telah sampai di kota Jakarta. "Pak Sapto, kita antar Tiara dulu ke kontrakan!" Tiara spontan menoleh pada Neil. "Loh, bukankah kita antar Bapak ke kantor dulu?" "Meetingnya masih lama," sahut Neil seraya melirik pada arloji mahalnya. Tiara kembali menoleh pada jendela. Sejak tadi mereka tak banyak bicara. Neil sibuk dengan laptopnya. Beberapa kali menerima panggilan dari Joe. "Tiara, ambillah ini. Belilah semua kebutuhanmu selama tinggal di apartemen. Sesekali aku akan datang menengokmu." "Apa? Sesekali?" bathin Tiara dengan hati mencelos. Dengan malas, Tiara meraih kartu debit dari tangan suaminya, lalu memasukkan ke dalam dompetnya. "Apakah ... Mbak Erika tahu apartemen itu?" "Mungkin dia tahu. Tapi dia tak pernah datang ke sana." Wajah Tiara berubah pucat. Bagaimana jika Erika tiba-tiba datang ? Apa yang harus dia lakukan? Dia menghela napas panjang. "Beginilah resikonya menjadi istri simpanan." pikirnya . "Jangan te
Tiara tampak kesulitan membawa banyak kantong belanja yang berisi banyak pakaian branded di dalamnya. Dia sudah lelah berkeliling Mall, mendatangi hampir semua toko koleksi pakaian wanita dengan brand ternama. Senyum tak lepas dari bibir wajah cantik itu. Hari ini dia bisa belanja sepuasnya. Hal yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pakaian yang selama ini hanya menjadi impiannya, hari ini dia beli dengan mudahnya. Seakan ingin bersorak, senyumnya terus mengembang di sepanjang jalan. "Kemeja ini bagus banget. Pak Neil pasti akan semakin tampan kalau pakai ini." Tiara berhenti di depan salah satu toko pakaian pria. Sebuah kemeja yang sedang dipajang di dekat pintu masuk toko, menarik perhatiannya. Wanita rambut sebahu dengan tubuh ramping bak model itu tersenyum mengingat ketampanan suaminya. "Mbak ukuran XL nya ada?" tanya Tiara pada salah satu karyawan toko itu sambil memegang kemeja berwarma biru laut. Sebuah kemeja lengan pendek bermotif abstrak. "Ada, kak. Celana panjangn