Tiara membuka matanya saat mendengar suara ayam berkokok. Matanya membelalak melihat matahari sudah mulai memperlihatkan sinarnya. Lewat lubang angin kamar terlihat jelas bahwa di luar sudah terang. Tiara hendak bangkit. Namun dia tersadar, tangan kokoh yang memeluknya sejak semalam masih melingkar diperutnya. Hatinya kembali berdesir merasakan hangat hembusan napas wajah tampan yang nyaris tak berjarak disampingnya. Dia masih tak percaya. Pria bule yang selama ini menjadi bosnya, kini sedang terlelap disampingnya. Ditatapnya wajah menawan dengan pahatan yang begitu sempurna. Mata tajam, alis tebal, hidung mancung yang berdiri sempurna diatas bibir tipis yang menggoda. Rambut-rambut halus di sekitar pipi dan dagu pada rahang yang begitu kokoh, membuat aliran darah Tiara selalu berdesir setiap memandangnya. Aroma khas maskulin pada tubuh Neil, senantiasa membangkitkan sebuah hasrat yang begitu menggoda.. "Semalaman dia terus memelukku. Ya, hanya memelukku. Kenapa dia tidak sepert
Setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya mereka telah sampai di kota Jakarta. "Pak Sapto, kita antar Tiara dulu ke kontrakan!" Tiara spontan menoleh pada Neil. "Loh, bukankah kita antar Bapak ke kantor dulu?" "Meetingnya masih lama," sahut Neil seraya melirik pada arloji mahalnya. Tiara kembali menoleh pada jendela. Sejak tadi mereka tak banyak bicara. Neil sibuk dengan laptopnya. Beberapa kali menerima panggilan dari Joe. "Tiara, ambillah ini. Belilah semua kebutuhanmu selama tinggal di apartemen. Sesekali aku akan datang menengokmu." "Apa? Sesekali?" bathin Tiara dengan hati mencelos. Dengan malas, Tiara meraih kartu debit dari tangan suaminya, lalu memasukkan ke dalam dompetnya. "Apakah ... Mbak Erika tahu apartemen itu?" "Mungkin dia tahu. Tapi dia tak pernah datang ke sana." Wajah Tiara berubah pucat. Bagaimana jika Erika tiba-tiba datang ? Apa yang harus dia lakukan? Dia menghela napas panjang. "Beginilah resikonya menjadi istri simpanan." pikirnya . "Jangan te
Tiara tampak kesulitan membawa banyak kantong belanja yang berisi banyak pakaian branded di dalamnya. Dia sudah lelah berkeliling Mall, mendatangi hampir semua toko koleksi pakaian wanita dengan brand ternama. Senyum tak lepas dari bibir wajah cantik itu. Hari ini dia bisa belanja sepuasnya. Hal yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pakaian yang selama ini hanya menjadi impiannya, hari ini dia beli dengan mudahnya. Seakan ingin bersorak, senyumnya terus mengembang di sepanjang jalan. "Kemeja ini bagus banget. Pak Neil pasti akan semakin tampan kalau pakai ini." Tiara berhenti di depan salah satu toko pakaian pria. Sebuah kemeja yang sedang dipajang di dekat pintu masuk toko, menarik perhatiannya. Wanita rambut sebahu dengan tubuh ramping bak model itu tersenyum mengingat ketampanan suaminya. "Mbak ukuran XL nya ada?" tanya Tiara pada salah satu karyawan toko itu sambil memegang kemeja berwarma biru laut. Sebuah kemeja lengan pendek bermotif abstrak. "Ada, kak. Celana panjangn
"Selamat pagi, Pak Neil!' "Pagi, Tiara!" sahut Neil tanpa menoleh hingga menciptakan rasa sesak di dada Tiara. Seperti tak ada yang berubah, pagi ini Tiara telah kembali bekerja. Wanita dengan stelan dress dan outer berwarna hijau mint itu menghampiri bosnya yang sekaligus suaminya. Saat Neil baru saja tiba di ruangannya. "Bapak mau sarapan apa? Mau aku buatkan teh atau kopi?" Kebiasaan Tiara setiap pagi melayani apa yang dibutuhkan Bosnya itu. "Tidak usah. Saya sudah sarapan. Tolong beritahu jadwal saya hari ini!" sahut Neil dan lagi-lagi tanpa menoleh. Pria bule dengan hidung tegak menjulang itu sedang fokus menyalakan laptopnya. "Jadwal Bapak akan segera saya Email." Hati Tiara seakan diremas. Biasanya Neil selalu mau dibuatkan minuman atau disiapkan sarapan oleh Tiara. Karena Erika tak pernah melayaninya setiap pagi. Tapi entah kenapa pagi ini Neil seakan menghindar darinya. Neil juga tidak lagi ber-aku saat bicara padanya. Apa mungkin karena saat ini mereka sedang berada d
"Dokter, tolong istri saya!" Neil berteriak bagai orang kesetanan saat turun dari mobil tepat di depan unit gawat darurat. Beberapa petugas yang mendengar segera menghampiri dengan membawa sebuah brankar. Neil merebahkan Tiara, lalu setengah berlari mengikuti brankar memasuki ruang pemeriksaan. "Maaf, Pak. Silakan tunggu di depan. Dokter akan memeriksa pasien. Sebaiknya Bapak mengisi data pasien dulu di bagian administrasi!" Neil hanya bisa pasrah mendengar ucapan salah satu perawat. Setelah mengisi data, Neil kembali duduk di ruang tunggu dengan gelisah. "Suster, bagaimana keadaan istri saya?" tanya Neil saat seorang perawat yang baru saja keluar dari tempat Tiara diperiksa. "Pasien baik-baik saja, Pak. Tidak ada yang serius. Nanti dokter akan menjelaskan kondisi pasien setelah selesai diobservasi." "Syukurlah. Terimakasih, Suster!" Tiba-tiba ponsel Neil bergetar. Nama Joe terlihat jelas pada layar. "Tuan, lima belas menit lagi Tuan Anderson akan tiba di kantor. Beliau
"T-tiara tadi minta ... diturunkan di tepi jalan, T-tuan!" jawab Joe gemetar. "Apaaa?? Keterlaluan kamu!" Suara Neil menggelegar membuat Joe dan karyawan di sekitar mereka terlonjak. Wajah Neil menggelap. Terlihat jelas kepanikan pada dirinya. "Aku tidak akan memaafkan kamu jika terjadi apa-apa pada Tiara!" Neil menggeram seraya menarik kasar kerah kemeja Joe. Wajah Joe memucat. Dia baru menyadari telah melakukan kesalahan besar. Namun pria bermata sipit itu tak habis pikir dengan sikap Neil yang menurutnya sangat berlebihan. Neil meraih kunci mobil pribadinya di laci meja kerja, kemudian setengah berlari menuju lift untuk turun. Melihat hal itu, Joe segera menghubungi seseorang. "Hallo, Pak. Tolong siapkan mobil Tuan Neil di lobby. Cepat ya, Pak! Saat ini Tuan Neil sudah berada di Lift!' Joe bimbang. Dia meraih ponsel dan tas Tiara di ruangannya. Kemudian bergegas menyusul Neil. Namun saat tiba di lobby Neil sudah tidak ada. Joe segera mengirim pesan pada atasannya itu, loka
Mata Tiara mengerjap saat baru terjaga. Rasa hangat ditengkuknya membuatnya ingin menoleh. Namun ada sepasang tangan kokoh yang, melingkar erat diperutnya. Hembusan napas teratur dari suaminya semakin terasa hangat di balik telinga. Saat ini Neil sedang memeluknya erat dari belakang. Tanpa disadari air mata haru keluar begitu saja. Air mata dengan senyuman tipis mewakili perasaannya saat ini. Rasa bahagia yang begitu membuncah tak dapat dia lukiskan. "Hummm ...!" Neil menggeliat. Pelukannya semakin erat. Tiara tersenyum mengingat apa yang baru saja terjadi padanya dan bos tampannya itu . Neil seakan candu padanya hingga mereka melakukan permainan panas itu berkali-kali. Rasa bahagianya berlipat-lipat setiap Neil menyebut namanya di saat penyatuan mereka. Perlahan Tiara membalikkan tubuhnya. Saat ini dirinya nyaris tak berjarak dengan wajah tampan yang sedang terpejam di hadapannya. Dengan leluasa Tiara menatap lekat wajah yang terpahat begitu mempesona. Hidung mancung yang berdi
Tiara menolak ketika Neil hendak memberikan sebuah mobil padanya, agar Tiara tidak kesulitan saat pulang dan pergi ke kantor. Wanita cantik itu tak ingin karyawan kantor berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Mereka tau kalau Tiara berasal dari keluarga sederhana dan tak mungkin bisa membeli sebuah mobil mewah. Tiara baru saja turun dari taksi di depan lobby. Rasa mual dan pusing di setiap pagi yang dia rasakan belakangan ini sudah mulai berkurang. Menurut dokter kandungan yang dia datangi minggu lalu, rasa mual itu perlahan akan hilang. Selama seminggu ini Neil juga tidak mendatanginya ke apartemen. Rasa rindu yang begitu menyiksa, terus dia tahan. Walaupun saat bekerja dirinya berada satu gedung bahkan satu ruangan dengan suaminya, namun rasa rindu itu tidak akan pernah terobati. Karena selama dikantor hubungan mereka hanya sebatas atasan dan sekretaris. "Selamat pagi Tuan Neil!" Tiara spontan menoleh ke belakang ketika mendengar salah seorang security menyapa dengan menyebut nam