"Dokter, tolong istri saya!" Neil berteriak bagai orang kesetanan saat turun dari mobil tepat di depan unit gawat darurat. Beberapa petugas yang mendengar segera menghampiri dengan membawa sebuah brankar. Neil merebahkan Tiara, lalu setengah berlari mengikuti brankar memasuki ruang pemeriksaan. "Maaf, Pak. Silakan tunggu di depan. Dokter akan memeriksa pasien. Sebaiknya Bapak mengisi data pasien dulu di bagian administrasi!" Neil hanya bisa pasrah mendengar ucapan salah satu perawat. Setelah mengisi data, Neil kembali duduk di ruang tunggu dengan gelisah. "Suster, bagaimana keadaan istri saya?" tanya Neil saat seorang perawat yang baru saja keluar dari tempat Tiara diperiksa. "Pasien baik-baik saja, Pak. Tidak ada yang serius. Nanti dokter akan menjelaskan kondisi pasien setelah selesai diobservasi." "Syukurlah. Terimakasih, Suster!" Tiba-tiba ponsel Neil bergetar. Nama Joe terlihat jelas pada layar. "Tuan, lima belas menit lagi Tuan Anderson akan tiba di kantor. Beliau
"T-tiara tadi minta ... diturunkan di tepi jalan, T-tuan!" jawab Joe gemetar. "Apaaa?? Keterlaluan kamu!" Suara Neil menggelegar membuat Joe dan karyawan di sekitar mereka terlonjak. Wajah Neil menggelap. Terlihat jelas kepanikan pada dirinya. "Aku tidak akan memaafkan kamu jika terjadi apa-apa pada Tiara!" Neil menggeram seraya menarik kasar kerah kemeja Joe. Wajah Joe memucat. Dia baru menyadari telah melakukan kesalahan besar. Namun pria bermata sipit itu tak habis pikir dengan sikap Neil yang menurutnya sangat berlebihan. Neil meraih kunci mobil pribadinya di laci meja kerja, kemudian setengah berlari menuju lift untuk turun. Melihat hal itu, Joe segera menghubungi seseorang. "Hallo, Pak. Tolong siapkan mobil Tuan Neil di lobby. Cepat ya, Pak! Saat ini Tuan Neil sudah berada di Lift!' Joe bimbang. Dia meraih ponsel dan tas Tiara di ruangannya. Kemudian bergegas menyusul Neil. Namun saat tiba di lobby Neil sudah tidak ada. Joe segera mengirim pesan pada atasannya itu, loka
Mata Tiara mengerjap saat baru terjaga. Rasa hangat ditengkuknya membuatnya ingin menoleh. Namun ada sepasang tangan kokoh yang, melingkar erat diperutnya. Hembusan napas teratur dari suaminya semakin terasa hangat di balik telinga. Saat ini Neil sedang memeluknya erat dari belakang. Tanpa disadari air mata haru keluar begitu saja. Air mata dengan senyuman tipis mewakili perasaannya saat ini. Rasa bahagia yang begitu membuncah tak dapat dia lukiskan. "Hummm ...!" Neil menggeliat. Pelukannya semakin erat. Tiara tersenyum mengingat apa yang baru saja terjadi padanya dan bos tampannya itu . Neil seakan candu padanya hingga mereka melakukan permainan panas itu berkali-kali. Rasa bahagianya berlipat-lipat setiap Neil menyebut namanya di saat penyatuan mereka. Perlahan Tiara membalikkan tubuhnya. Saat ini dirinya nyaris tak berjarak dengan wajah tampan yang sedang terpejam di hadapannya. Dengan leluasa Tiara menatap lekat wajah yang terpahat begitu mempesona. Hidung mancung yang berdi
Tiara menolak ketika Neil hendak memberikan sebuah mobil padanya, agar Tiara tidak kesulitan saat pulang dan pergi ke kantor. Wanita cantik itu tak ingin karyawan kantor berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Mereka tau kalau Tiara berasal dari keluarga sederhana dan tak mungkin bisa membeli sebuah mobil mewah. Tiara baru saja turun dari taksi di depan lobby. Rasa mual dan pusing di setiap pagi yang dia rasakan belakangan ini sudah mulai berkurang. Menurut dokter kandungan yang dia datangi minggu lalu, rasa mual itu perlahan akan hilang. Selama seminggu ini Neil juga tidak mendatanginya ke apartemen. Rasa rindu yang begitu menyiksa, terus dia tahan. Walaupun saat bekerja dirinya berada satu gedung bahkan satu ruangan dengan suaminya, namun rasa rindu itu tidak akan pernah terobati. Karena selama dikantor hubungan mereka hanya sebatas atasan dan sekretaris. "Selamat pagi Tuan Neil!" Tiara spontan menoleh ke belakang ketika mendengar salah seorang security menyapa dengan menyebut nam
"Apa-apaan ini??" Sontak keduanya menoleh saat tiba-tiba saja pintu terbuka dan seorang yang mereka kenal masuk dengan wajah merah padam. "Neil, Kamu ..." Wajah Erika memerah.Matanya melotot. Tatapannya nyalang tertuju pada Tiara dan Neil secara bergantian. Tiara pun tak kalah terkejut. Erika tiba-tiba saja masuk ketika tangan kanannya telah terangkat untuk menyuapi sesendok nasi goreng ke mulut Bosnya. "Sekretaris nggak tau diri! Berani sekali kamu menggoda suamiku!" Dengan emosi yang meluap-luap, Erika menghampiri Tiara yang saat ini berdiri tepat disamping Neil. Tiara spontan mundur saat Erika makin mendekat. Tubuhnya nyaris saja beraandar pada Tubuh tinggi Neil yang juga ikut berdiri . "Perempuan kurang ajar, Kamu!" Erika yang sedang dilanda amarah itu mengangkat satu tangannya hendak menampar wajah cantik Tiara. Spontan Tiara menunduk dan memejamkan matanya. "Stoop Erika!" Tangan kokoh Neil berhasil menangkap tangan Erika yang nyaris mendarat di wajah Tiara. Erika terke
"Lo mau bawa gue kemana, Bang?" Tiara menghentikan langkahnya ketika mereka telah melewati gerbang. "Nggak usah banyak tanya! Lu harus ikut gue sekarang juga!" tegas Rohmat yang geram melihat Tiara tiba-tiba berhenti. "Nggak bisa, Bang. Gue udah menikah. Tolong jangan ganggu gue lagi!' "Halaah! Laamaa ... Buruan ayo!" Rohmat menarik paksa tangan Tiara menuju sebuah mobil yang ternyata sejak tadi berhenti tak jauh dari gerbang kantor. "Lepasin gue, Bang! Gue nggak mau!" Tiara terus berusaha menarik tangannya. Namun tubuhnya yang mungil dibanding badan Rohmat membuatnya tak sanggup melepaskan diri. "Hei! Lepaskan perempuan itu!" Dua orang satpam kantor berteriak seraya berlari menghampiri dua orang yang sedang tarik menarik itu. "Jangan ikut campur lo berdua! Tiara ini calon istri gue. Ini urusan keluarga!" Bentakan Rohmat menghentikan kedua satpam yang hendak menolong Tiara. Kedua satpam itu ragu. Namun mereka sudah diperintahkan untuk membawa Tiara kembali ke kantor. Tiara mul
Sampai di rumahnya Neil masih gelisah. Sesungguhnya dia tak tega meninggalkan Tiara sendirian dalam keadaan sakit. Namun dirinya masih belum bisa menerima seutuhnya tentang kehamilan Tiara. Banyak hal yang menjadi pertimbangannya. Kedua orang tuanya, relasi bisnis dan terutama Erika. Istrinya itu pasti tidak akan pernah terima jika mengetahui tentang status Tiara sebenarnya. "Sudah larut malam. Tapi Erika belum juga pulang. Kemana dia?" Neil terus mencoba menghubungi ponsel Erika. Namun tak ada jawaban. "Kepalaku seakan mau pecah memikirkan dua istriku. Astaga Tiara! Aku sampai lupa memeriksa keadaannya." Neil menyambungkan CCTV di apartemen Tiara dengan ponselnya. Tak ada seorang pun yang tau tentang CCTV itu. Dia terkesiap melihat Tiara tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Tak jauh dari kakinya tampak cairan berwarna merah mengalir di sekitar paha dan kakinya. Bagai orang kesetanan Neil kalangkabut meraih kunci mobil dan berlari keluar menghampiri mobilnya. Tanpa menunggu l
Neil baru saja memasuki gerbang rumahnya. Amarahnya semakin meledak-ledak ketika melihat mobil Erika telah berada di depan garasi. Setelah memarkir mobilnya, Neil keluar dan melangkah cepat menuju ke dalam rumah. "Erika ... Erika ...!" Bagai orang kesetanan Neil memanggil-manggil nama istrinya di sekeliling rumah. "Neil, apa-apaan kamu memanggil nama istrimu seperti itu?" Neil terlonjak dan membalikkan badannya ketika mendengar suara yang selama ini sangat dekat dengannya. "Mami ...! Ka-kapan Mami datang?" Wanita cantik berusia sekitar lima puluhan itu nampak jauh lebih muda dari umurnya. Nyonya Helda, ibu kandung Neil itu menghampiri putra tersayangnya. Neil memeluk dan mencium kedua pipi maminya. "Kapan Mami datang? Kenapa nggak ngabarin Aku?" "Duduklah, Neil!" Neil duduk di sebelah Maminya. Walau sebenarnya hatinya sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya terus tertuju pada Tiara. Sementara matanya terus mencari keberadaan Erika. "Ketika Mami sedang di Bali kemarin, Erik