Kakak pembaca, satu bab lagi Tamat, mohon BERI KOMENTARNYA ,dong please ...! Nanti akan ada cerita baru tentang Kisah Cinta Neil yang menggemaskan. Nantikan judulnya di ekstra part cerita ini. Oke, nantikan besok bab terakhir berjudul : Sentuhan Halal.
Farhan berdiri di pintu ruang ganti yang berada di belakang ballroom sejak tadi. Dia menatap istrinya yang sedang membuka suntiang dibantu oleh seorang penata rias pengantin. Farhan sudah berganti pakaian sejak tadi. Dia berdecak kesal karena telah menunggu Nadira yang tak kunjung selelsai. "Aku tunggu di luar," ujarnya seraya melangkah kembali ke ballroom. Farhan duduk di salah satu kursi tamu yang masih tersisa seraya membuka ponselnya. Mulai membalas satu persatu ucapan selamat dari kerabat yang berhalangan hadir. "Uda sendiri? Mana Uni Dira?" "Loh, Risa ngapain kamu di sini? Kenapa nggak pulang ikut dengan yang lainnya?" Farhan terheran melihat Risa masih berada di ballroom di antara petugas hotel yang sedang membereskan ruangan. Risa tak menjawab, tapi malah menatap Farhan dengan lekat. Farhan mengernyitkan dahinya. Selama ini memang sikap Risa agak berbeda. Risa memang terkesan lebih berani dan akrab dengan Farhan. Namun sejauh ini Farhan memaklumi dan menganggap Risa seba
"Ambillah ini. Lalu lupakan kejadian semalam!" Dengan gusar Neil meletakkan sejumlah uang di dalam amplop ,di atas ranjang hotel. Kemudian kembali mengenakan pakaiannya yang tercecer di lantai kamar. Sungguh dia tak habis pikir dengan apa yang baru saja dia lakukan. Dalam hati pria bertubuh ateltis dengan tinggi diatas rata-rata itu terus mengumpat. "Nggak bisa gitu dong, Pak! Bapak sudah merenggut kesucian saya. Maaf-maaf aja, nih, kalau segini mah, kurang!" tolak Tiara yang sedang berusaha menutup rapat tubuh polosnya dengan selimut, seraya menepis amplop coklat yang cukup tebal dari tangan pria berwajah bule itu. Neil melotot pada wanita yang sudah tiga tahun menjadi sekretarisnya itu. "Loh, saya kan nggak sengaja. Lagian kamu juga menikmatinya tadi. Hayoo, ngaku aja kamu!" Wanita berambut sebahu itu menggeleng, membuat rambutnya bergerak hingga nampak kembali leher jenjangnya yang putih dan mulus. Neil menahan salivanya melihat itu. "Tiara, kamu jangan mancing-mancing s
"Apaa? Ke penghulu?" Tiara mengangguk cepat. "Bapak sudah janji, loh!" "Ya ampun, Tiaraaa. Kamu pikir mencari penghulu itu seperti kamu cari tukang gorengan yang ada di mana-mana?" "Tapi bapak kan sudah janji mau nikahi saya!" "Ssstt ... tolong pelankan suaramu, Tiara!" sanggah Neil seraya memandang sekelilingnya. "Sebaiknya kita segera ke bandara. Taksi sudah menunggu kita!" Neil melangkah keluar melalui pintu kaca diikuti Tiara di belakangnya. Supir taksi membukakan pintu untuk mereka. Taksi mulai melaju menuju bandara Juanda. Selama perjalanan menuju bandara, Neil melihat wajah Tiara murung. Tidak seperti biasanya sekretarisnya itu diam membisu. Sesekali Neil melirik wajah putih dengan pipi yang menggemaskan itu. Namun Tiara terus memandang ke luar jendela. "Sial, kenapa dia diam saja?" Entah kenapa Neil merasa sangat canggung berada di dekat Tiara saat ini. Apalagi sejak tadi gadis itu hanya diam membisu. "Ehm ... apa jadwalku besok pagi, Tiara?" Neil mencoba memecah kes
"Buruan pulang, gue laper!" "Hei, Rohmat! Si Tiara napa lu tarik-tarik begitu? Kasianan kaan." Seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan menegur pria yang dipanggil Rohmat. "Nggak usah ikut campur! Ini urusan gue!" sahut Rohmat tenang tanpa menoleh."Ganteng-ganteng, tapi kasar sama perempuan!" Wanita itu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kasar Rohmat pada Tiara. "Aduh, Baaang! Sakit tau. Pelan-pelan, kek!' Tiara berjalan terseok-seok mengikuti langkah Rohmat, sambil satu tangannya menarik koper. "Diamlu! Kayak lagi gue apain aja pake teriak-teriak gitu!' gumam pria yang dipanggil Bang Rohmat oleh Tiara. Mereka sampai di depan rumah kontrakan yang berderet dengan bentuk dan besar yang sama. Rohmat membuka pintu salah satu rumah. "Sana lu masuk, terus bikinin gue makan. Awas, kaga pake lama!" "Iya, bawel! Dasar cowok nggak sabaran! Ribet!" umpat Tiara. Netranya memandang kesal pada pria bermata teduh itu. Sementara Rohmat tak peduli dengan ocehan Tiara. Pria berambu
Neil terjaga dari tidurnya. Saat matanya terbuka, dia menemukan Erika masih terlelap di sampingnya . Entah pukul berapa semalam istrinya itu pulang. Neil tidur lebih dulu karena merasa sangat lelah. Tanpa membangunkan Erika, Neil bergegas beranjak dari ranjang dan melangkah menuju ke kamar mandi hendak membersihkan diri. Entah kenapa hari ini dia begitu bersemangat untuk berangkat ke kantor. Erika terjaga saat ranjangnya terasa ada pergerakan. "Sayang, mau ke mana?" tanya Erika tanpa bangkit menghampiri suaminya. "Aku mau mandi. Pekerjaanku banyak menumpuk di kantor," sahut Neil asal seraya membuka kancing piyamanya. "Mau ikut?" Neil melirik nakal pada istrinya. Erika menggeleng malas. Neil masuk ke kamar mandi dengan seringai dibibirnya. Dirinya merasa kecewa karena penolakan berkali-kali dari Erika. Entah kenapa Erika yang dulu sangat agresif, belakangan ini tampak tak pernah bersemangat setiap dirinya ingin meminta kebutuhan biologisnya. Setelah menyelesaikan kegiatan mand
",Tiara! Nagapain kamu di ruang pribadi suamiku?" Wajah Erika menegang. Raut wajah tak suka terpancar jelas dari wajahnya. Tiara menatap istri bosnya dengan wajah pias. Tubuhnya gemetar. Jantungnya berdebar kencang. Wanita cantik itu nampak sangat ketakutan. "Keluar kamu! Bisa-bisanya kamu makan satu meja dengan Suamiku. Kamu sadar nggak sih kamu itu siapa? Kamu cuma bawahan. Ngerti?" Erika menaikan alisnya dengan mata melotot pada wanita yang usianya lebih muda darinya.itu. "Erika! Apa-apaan kamu!" Tanpa sadar Neil yang tidak tega melihat Tiara, spontan berdiri dan membentak Erika. Sementara Tiara perlahan berdiri dan melangkah mundur. "Jangan-jangan kamu memang mau jadi pelakor ya?" Erika melotot pada Tiara seraya berkacak pinggang, tanpa mempedulikan bentakan Neil. Tiara menggelengkan kepalanya dengan wajah ketakutan. "Sudah Erika! Hentikan! Tiara, kembali ke ruanganmu!" Tiara gegas berlari keluar dari ruangan Neil menuju ruangannya yang berada di sebelah. Air mata wanita
Sudah tiga minggu sejak kejadian di Surabaya malam itu. Tiara belum mendapat kepastian mengenai janji bosnya untuk menikahinya. Walau dia sadari hal ini memang tak mudah. Namun dia tetap ingin Neil bertanggung jawab atas perbuatannya. Bagaimanapun juga, Tiara telah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya yang selama ini dia jaga baik-baik. Ingin rasanya Tiara menanyakan hal ini pada atasannya itu. Ingin rasanya menagih janji pada Neil yang katanya ingin menjadikannya sebagai Istri simpanan. Namun kesibukan mereka akan pekerjaan seakan tidak ada waktu dan kesempatan untuk bicara berdua. Siang itu Tiara memutuskan untuk berbicara pada Neil empat mata. Dengan dada berdebar wanita berpenampilan elegan dan selalu tampil modis itu mengetuk pintu ruangan Neil. "Masuk!" Suara sahutan dari dalam membuat Tiara semakin berdebar.."Siang, Pak!' "Masuk, Tiara. Duduklah!" Tiara melangkah masuk dan duduk tepat di hadapan Neil. "Ada apa?" Neil bertanya dengan mata masih tertuju p
Tiara terheran melihat Neil menutup laptop, lalu meraih jas yang berada di sandaran kursi dan memakainya. Kemudian pria bule itu melangkah mendekat. "Ayo berangkat. Dimana kampungmu?" "Garut, Pak," sahut Tiara yang masih bingung dengan sikap bosnya. "Ayo! Tunggu apalagi, Tiara?" Wanita itu sontak melangkah mengkuti Neil yang telah berjalan lebih dulu melewatinya. Tiara bingung. Apa Neil akan mengantarnya pulang? Apa kata orang tuanya nanti? Lalu bagaimana dengan Bu Erika? Wanita cantik itu terus berpikir sambil melngkah. Tiara menyempatkan berlari meraih tasnya di ruangannya, tanpa mempedulikan Joe yang menatap bingung melihat Tiara buru-buru tanpa menghiraukan panggilannya. Tiara lalu kembali melangkah di belakang Neil hingga masuk ke dalam lift. Neil menekan tombol menuju lobby. Saat ini mereka hanya berdua saja di dalam lift khusus Direksi. "B-bapak mau ke mana?" Tiara akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Ya antar kamulah!' sahut Neil tanpa menoleh. Sementara tangan