Ekspresi Shawn tetap datar tanpa ekspresi. Alih-alih menjawab Yvonne, dia malah memilin sejumput rambut wanita itu dengan jari-jari rampingnya dan bertanya, "Menurutmu, nama apa yang bagus untuk putra bungsu kita?"Yvonne menoleh untuk menatap Shawn. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu. Dia juga tidak bisa menebak jalan pikirannya.Shawn melempar senyum dan bertanya lagi, "Kenapa menatapku? Kamu terpesona dengan wajah tampanku?"Yvonne tidak memaksa Shawn untuk meneruskan topik pembicaraan sebelumnya. Lagi pula, Shawn sudah jelas tidak mau membahas masalah ini. Dia bahkan tidak menimpali ucapan Yvonne. "Apanya yang tampan? Kamu jelek banget," sahut Yvonne dengan ekspresi serius.Shawn menarik Yvonne ke dalam dekapannya. Dia menahan dagu wanita itu dan memaksanya melihat matanya sambil berujar, "Katakan sesuai isi hatimu."Yvonne membalas dengan jahil, "Aku bicara jujur sesuai isi hati!"Shawn membungkuk untuk menutup jarak mereka. Katanya, "Coba bilang, bagian manaku yang jelek
Aurora dan Dio yang sedang bermain petak umpet tidak sengaja menabrak Shawn yang masuk dari pintu. Jantung Aurora seketika berdegup gelisah saat melihat ekspresi dingin di wajah Shawn. Dia buru-buru berkata, "Ma ... maaf, aku nggak sengaja."Yvonne bergegas mengusap lengan Shawn untuk menenangkan pria itu. Kemudian, dia mengulum senyum dan berkata, "Aku yang mengundang Aurora datang."Shawn menoleh untuk menatap Yvonne. Dia tidak mengerti alasannya mengundang Aurora ke sini.Yvonne meminta Aurora untuk lanjut bermain dengan Dio. Kemudian, dia menarik Shawn ke dalam kamar dan bertanya, "Kenapa sikapmu dingin begitu?"Shawn duduk di tepi ranjang dan membalas, "Kamu berharap aku menyambutnya dengan ramah?"Yvonne duduk di samping Shawn dan merangkul lengannya, lalu berujar lembut, "Jangan ngambek. Aku tahu kamu nggak suka ada orang luar di rumah. Aku mengundang Aurora setelah beberapa pertimbangan, kok. Saat ini, dia sedang pacaran sama Dylan, mereka mungkin bakal menikah kelak. Dylan itu
Yvonne terus memilah buku-buku di dalam kardus. Tanpa menoleh pada Shawn, dia menjawab, "Beberapa memang sangat penting. Catatanku dulu mungkin berguna buatku sekarang." Yvonne menunjuk beberapa buku yang sudah dipilahnya dan berujar lagi, "Ini buku-buku yang mau kusimpan, apa aku boleh menaruhnya di ruang kerjamu?"Shawn melihat Yvonne menaruh diari itu ke tengah tumpukan buku yang ingin disimpannya. Yvonne tidak menoleh pada Shawn sehingga dia tidak melihat betapa masam ekspresi pria itu sekarang.Yvonne kembali berkata, "Karena kamu nggak bilang apa-apa, aku anggap kamu setuju, ya. Tenang saja, barang-barang yang nggak kubutuhkan akan kubuang, jadi nggak menyita banyak tempat."Shawn meninggalkan ruang kerja tanpa komentar. Sementara itu, Yvonne sudah selesai merapikan buku-bukunya.Di antara tumpukan itu, ada beberapa yang merupakan milik Samantha. Jadi, Yvonne pun memberikannya pada Samantha. Samantha telah memandikan Dio dan sedang mengganti popok cucu bungsunya."Putra bungsumu
"Shawn, kamu marah sama aku?" tanya Yvonne. Dia kebingungan. Mengapa pria itu mendadak marah padanya?Shawn kembali ke ranjang dan bergelung di bawah selimut. Selesai mandi, Yvonne mengernyit saat mendapati Shawn kembali berbaring di ranjang. Apa pria itu salah minum obat? Jangan-jangan otaknya korsleting?"Kamu nggak sarapan?" tanya Yvonne.Shawn menarik selimut hingga menutupi wajah dan mengabaikan ucapan Yvonne. Melihat tingkahnya yang seperti bocah, Yvonne hanya merasa geli."Aku ada janji sama seseorang hari ini, jadi aku duluan ke bawah. Selesai sarapan, aku langsung keluar," ujar Yvonne.Shawn sontak duduk dan menatap lurus ke arah Yvonne sambil bertanya, "Kamu mau ketemu siapa?""Aku ada janji sama dokter bedah plastik, buat konsultasi operasi bekas luka," jawab Yvonne.Shawn menghela napas lega dan berujar, "Pergilah." Usai berkata begitu, dia kembali berbaring. Setelah bergadang semalaman, dia butuh tidur sebentar.Yvonne menghampiri ranjang, lalu menyelimuti Shawn sambil ber
Shawn berkata, "Thiago, kamu sudah sepenuhnya dalam genggamanku. Kamu hanya mimpi bisa lolos dariku dengan berpura-pura gila." Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada mengejek, "Kamu tahu alasanmu kalah dariku? Karena kamu bodoh, kamu tolol!"Mata Thiago memerah dan suara tawanya berubah melengking. Dia tampak jelas sedang menahan amarahnya.Shawn mencondongkan tubuh ke arah Thiago dan terus mengejek, "Lihatlah, kamu bahkan tidak bisa melindungi kekasihmu. Kamu ingin membiarkannya tersiksa dengan mengikutimu? Apa kamu masih bisa dibilang laki-laki? Pengemis di jalanan bahkan lebih baik darimu!""Hehe. Kamu mau gigit juga?" ujar Thiago sambil menyodorkan tali di tangannya pada Shawn. Dia masih mempertahankan akting gilanya.Shawn memicingkan mata dan berkata, "Aku tidak percaya kamu gila."Thiago terbahak dan membalas, "Kamu gila, kamulah yang gila."Dylan berbisik di telinga Shawn, "Kita nggak bisa mengurungnya di sini selamanya. Sebaiknya kita cari tempat lain yang lebih co
Sebelum Yvonne menyahut, dokter itu kembali berujar, "Kalau nggak salah ingat, namamu Yvonne, bukan?"Yvonne memandang dokter itu selama beberapa detik. Namun, dia tidak bisa mengingat di mana dia pernah bertemu si dokter. "Kamu mengenalku?" tanyanya.Tahu Yvonne sama sekali tidak mengingatnya, dokter itu berpura-pura sedih dengan berkata, "Kamu orang yang sibuk, wajar saja melupakan orang kecil seperti aku." Kemudian, dia pun memperkenalkan dirinya, "Aku Aaron."Mendengar nama itu, Yvonne mendadak ingat bahwa pria itu adalah tetangga rumahnya dahulu. Pria itu sudah banyak berubah. "Bukannya keluargamu pindah ke luar negeri?" tanya Yvonne."Aku baru pulang tahun ini, tapi keluargaku masih di luar negeri," jawab Aaron. Kemudian, dia melanjutkan, "Jeff bilang akan mengenalkan seorang pasien dan memintaku merawatnya baik-baik. Nggak kusangka pasien itu ternyata kamu. Gimana kamu bisa mengenal Jeff?"Yvonne juga kaget dengan kebetulan seperti ini. Dia menyahut, "Jeff dan aku rekan kerja di
Neil balik bertanya dengan nada kaget, "Gimana kamu bisa tahu?""Nggak usah banyak tanya, jawab saja aku. Kamu benaran mau ajak Anas ke rumahmu?" desak Yvonne.Neil tidak langsung menjawab Yvonne. Kemungkinan dia juga sadar bahwa rencananya untuk mengundang Anas bukanlah ide bagus. Dia berbuat seperti ini karena Anas menderita amnesia. Wanita itu telah kehilangan memori masa lalu, jadi dia tidak akan membuat perhitungan padanya dan ibunya.Neil berujar, "Aku berani membawanya pulang karena yakin bisa melindunginya. Sekarang, ibuku juga sudah mengaku salah dan berjanji akan memperlakukan Anas dengan baik. Ibuku pasti menebus perbuatannya dulu. Aku berjanji untuk menikahi Anas dan bersama dengannya selamanya ....""Neil, kalau Anas nggak lupa ingatan, apa menurutmu dia masih mau menerimamu? Kamu pikir dia masih mau bertemu ibumu? Kamu keterlaluan. Hanya karena Anas lupa ingatan, kamu mau menganggap semuanya nggak pernah terjadi?" hardik Yvonne.Yvonne tidak bisa memaklumi tindakan Neil.
"Kamu harus lebih hati-hati saat berhubungan dengan orang lain. Kalau ada masalah, kamu bisa meneleponku kapan saja," ucap Yvonne. Dia berjalan ke meja kasir kafe, lalu meminta selembar kertas kepada pelayan dan menulis nomor teleponnya. Setelah itu, Yvonne memberikan kertas itu kepada Anas.Anas melirik Yvonne sekilas, tetapi dia tidak mengambil kertas yang diberikan Yvonne. Anas menimpali, "Bukannya kamu bilang aku boleh ikut Neil pulang? Kenapa aku harus lebih hati-hati? Bukannya kita harus bersikap tulus saat berhubungan dengan orang lain?"Yvonne masih ingin mengatakan sesuatu, tetap Anas sudah naik ke mobil dan pergi. Yvonne berdiri di tempat sambil memandang mobil yang menjauh. Dia merasa Anas marah. Masalahnya, Yvonne tidak tahu apa alasannya. Apa mungkin sifat Anas berubah karena amnesia?Yvonne menggeleng-gelengkan kepalanya, seharusnya dia tidak berpikiran macam-macam. Setelah membayar minuman, Yvonne pulang dengan menaiki taksi. Sesampainya di rumah, Yvonne melihat Samantha