Satu jam lagi acara pernikahan akan dimulai. Oliver dan keluarganya telah menyewa sebuah ruangan mewah di sebuah hotel bintang lima. Undangan terbatas di kalangan tertentu. Hanya rekan bisnis dan teman terdekat.
Sementara di apartemen Jonathan, di salah satu kamar telah tertata rapi gaun-gaun malam koleksi terbaik musim ini. Jonathan telah mempersiapkan semuanya. Ia telah menyewa tim Make up artist terbaik yang diketahuinya dari salah satu rekan bisnis pemilik perusahaan kosmetik. Emily membeku di tempatnya berdiri saat beberapa orang berpakaian seragam mulai berdatangan di apartemen Jonathan. Mereka dengan sigap memperkenalkan diri dan memberitahu Emily untuk bersiap di kamar yang telah disediakan. “Tidakkah menurutmu ini sangat berlebihan?”gerutunya ke arah Jonathan sebelum menghilang dari balik pintu kamar. Jonathan tak berkomentar. Ia sendiri sibuk mempersiapkan diri di kamarnya. Jonathan mengenakan tuxedo hitam yang melekat erat di tubuhnya. Tuxedo shaw lapel yang dipadukan kemeja hitam bahan mengkilap. Memperlihatkan postur tubuh tegapnya. Sebenarnya ia tidak suka berpenampilan berlebihan, tapi khusus malam ini ia akan menunjukkan penampilan yang terbaik demi Emily. Jonathan tahu pasangan Oliver meremehkan Emily waktu mereka bertemu di rumah sakit. Jonathan menunggu dengan sabar saat tim make up mendandani Emily di salah satu kamar apartemennya. Ia menyibukkan diri dengan ponselnya, mencari berita tentang Oliver. Siapa sebenarnya mantan suami Emily itu? Setengah jam kemudian pintu kamar terbuka. Beberapa orang keluar dari kamar dan berpamitan pergi. Detik berikutnya Emily keluar. Jonathan berdiri membeku. Ia terpesona saat Emily melangkahkan kaki berjalan mendekatinya. Wanita itu sungguh luar biasa cantik malam ini. Emily mengenakan gaun panjang satin berwarna merah gelap tanpa lengan. Bagian dadanya sedikit terbuka menampilkan kulit bersih yang menggoda. Wajah Emily dipoles make up natural yang menonjolkan mata coklat sendunya. Rambutnya digulung ke belakang dengan kesan manis. Beberapa hiasan rambut sederhana menghias dengan cantik. Jonathan susah payah menelan ludah. Ia kehabisan kata untuk memuji. “Ayo kita pergi sekarang,”hanya ucapan itu yang keluar dari mulutnya. Emily mengikuti langkah Jonathan dan bertanya-tanya dalam hati apakah ada yang salah dengan penampilannya. Keduanya tiba di tempat acara lima belas menit kemudian. Emily sedikit heran dengan sikap Jonathan yang tidak seperti biasa. Jonathan lebih banyak diam dan sesekali mencuri pandang ke arah Emily. Tapi Emily memilih untuk tidak bertanya. Puluhan pasang mata menatap keduanya saat Jonathan dan Emily memasuki ruangan hotel tempat berlangsungnya acara. Beberapa saling berbisik penuh keingintahuan tentang pasangan tersebut. Tak sedikit yang menatap terpesona. Emily gugup. Ia tak pernah seumur hidupnya menghadiri pesta semewah ini. Ia melingkarkan tangan ke lengan kokoh Jonathan sementara pria itu mendekap erat tangan Emily. “Tenang Emily,”Jonathan mengeluarkan kata pertama semenjak terdiam beberapa saat tadi. “Aku ada disampingmu.” Kata kata Jonathan begitu ajaib. Kepercayaan diri Emily mulai muncul. Jantungnya sudah tidak lagi berdegup kencang. Di sisi lain, Jonathan tiba-tiba saja berubah sedikit posesif, ia tak sedikitpun membiarkan Emily berada jauh darinya. “Kurasa gaunmu sedikit terbuka, Em,”ucap Jonathan berbisik. “Benarkah?”Emily menunduk, menatap gaunnya. Kurasa ia memilih yang paling sopan di antara gaun lainnya. “Ayo, kita cari tempat duduk,”ajak Jonathan tak menghiraukan kebingungan Emily. Tempat duduk terbagi menjadi 2 sisi, di depan tampak Oliver berdiri gagah dengan tuxedo putih, menunggu sang mempelai wanita mengikat janji pernikahan. Sekilas ia melihat ke arah Emily dan Jonathan saat terdengar musik mengalun. Semua hadirin berdiri menunggu sang pengantin wanita memasuki ruangan. Caroline tampak cantik mengenakan baju pengantin dengan gaya Victoria. Bagian roknya memanjang . Ia berjalan didampingi seorang pria paruh baya yang dengan bahagia menggandeng lengan wanita itu. Di belakang berjalan beberapa bridesmaid. Emily sedikit iri. Dulu dirinya tidak memakai gaun pengantin seindah itu. Gaun pengantinnya adalah gaun sewa sederhana. Caroline tersenyum bahagia saat tangannya diraih Oliver, bersama menghadap pemuka agama yang akan memulai upacara pernikahan. Para undangan dipersilahkan duduk saat kedua mempelai saling mengucapkan janji pernikahan. Emily menunduk menahan air mata. Jonathan meraih tangan Emily, mengusapnya lembut. “Come on, Em. Kamu bisa melalui ini.” Emily menengadahkan kepala menatap Jonathan, matanya berkaca-kaca. “Ya, aku pasti bisa,”jawabnya tersenyum. Jonathan tersenyum. Keduanya kembali memperhatikan upacara pernikahan yang hampir selesai. Tepuk tangan bergemuruh saat pengantin baru dipersilahkan untuk saling mencium. Kemesraan tampak di wajah keduanya. Jonathan merengkuh tubuh Emily dan mendekapnya erat. Tiba-tiba ia menunduk dan mengecup kening Emily. Emily terkesiap. Menatap Jonathan mencari maksud lelaki itu di matanya. Tapi Emily tak menemukan jawaban. Tatapan Jonathan menyiratkan banyak hal. Sebagian besar adalah dukungan. Usai upacara, acara berlanjut dengan makan malam. Ruangan hotel yang luas dan mewah disulap menjadi area makan yang spektakuler. Rangkaian bunga menghiasi hampir di seluruh sudut tempat. Jonathan dan Emily hendak berjalan menuju sebuah meja makan saat seorang wanita paruh baya mendekati keduanya. Nyonya Edith, ibu Oliver. “Oh Emily, aku tak menyangka Oliver juga mengundangmu,”sapanya dengan senyum. “Halo, Nyonya Edith, lama tidak bertemu. Apa kabar?”Emily tersenyum tipis. Dulu ia tidak diperbolehkan memanggil wanita itu dengan sebutan “ibu”. Nyonya Edith tak pernah menginginkan pernikahan beda status dari anak-anaknya. “Aku selalu baik, my dear.”Ia menatap Jonathan. Menilai sekilas. Bukan pria sembarangan. Setidaknya itu penilaian awal melihat dari penampilan Jonathan. “Kau belum memperkenalkan kami,”ujarnya melihat ke arah Jonathan. “Halo, Nyonya.”Jonathan mengulurkan tangan. “Namaku Jonathan.” Nyonya Edith membalas jabat tangan Jonathan, ingin menanyakan sesuatu ketika dari arah belakang tubuhnya terdengar suara merdu Caroline. “Hai Emily..Jonathan, terima kasih sudah datang.”Caroline datang bersama Oliver. Pria itu menatap sesaat ke arah Emily tapi segera sadar untuk mengalihkan pandangan saat Nyonya Edith menyentuh lengannya. “Kalian mengundang Emily rupanya.” “Iya mom, aku ingin mereka hadir di pernikahanku,”jawab Caroline riang. Wanita itu memandang Emily dengan tatapan iri, tak menyangka dengan penampilan Emily yang mempesona. “Tak apa, aku juga senang Emily datang,”ucap nyonya Edith dengan senyum sinis. “Ini pernikahan kedua dari putra sulungku. Aku berharap dengan pernikahan ini, aku segera dikarunia seorang cucu, bukan begitu Oliver?” Suasana beku sesaat. Emily dan Oliver tidak menyangka Nyonya Edith akan membuka luka lama. Oliver menatap tajam ibunya. “Ibu, tidak seharusnya…” “Tapi aku tidak salah kan?”sela Nyonya Edith. “Benar kan, Emily?Setiap orang tua pasti menginginkan keturunan dari anak-anaknya.” “Kau tidak salah, Nyonya Edith,”Emily tersenyum pahit. Caroline tampak senang dengan situasi yang mulai memanas. Jonathan mengalihkan pembicaraan. “Acara pernikahan yang meriah, Nyonya. Kurasa kamu memilih Wedding Organizer yang hebat.” “Oh tentu saja, acara ini harus spektakuler,”Nyonya Edith merasa bangga. “Kapan-kapan aku ingin menyewa jasanya untuk acara pernikahanku nanti.” Semua terdiam. Menatap Jonathan dan Emily bergantian. “Kalian…”Caroline terbelalak. Mulutnya terbuka. Oliver juga tampak tercengang. “Kami akan segera menikah,”ucap Jonathan berbohong. Emily berusaha menahan ekspresi terkejut. Apa yang dilakukan bosnya?Berbohong tentang pernikahan?Bagaimana mungkin? Nyonya Edith tersenyum menghina. “Ini membutuhkan dana yang besar.”ucapnya satir. “Oh ya?Kuharap itu masuk dalam budgetku,”tukas Jonathan. Nyonya Edith memandang Jonathan sesaat. “Maaf, siapa nama anda tadi?” “Jonathan…Jonathan Walker.” Nyonya Edith mengingat-ingat sesuatu. Seseorang dengan nama belakang Walker. Astaga!Matanya terbelalak. “Apakah anda putra William Walker?” Jonathan mengangguk. “Dia ayahku.” Sepanjang perjalanan pulang, Emily menumpahkan kemarahannya pada Jonathan. “Astaga bos.Apa yang telah kau lakukan?Ini benar-benar kacau,”gerutu Emily saat berada di dalam mobil. “Memangnya apa yang telah kulakukan?” Mulut Emily hendak mengucap sesuatu, tapi terhenti. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menghela nafas kesal. “Kau telah berbohong. Tentang sesuatu yang mustahil terjadi.” “Hei,”sela Jonathan tak terima. “Apa yang menurutmu mustahil?” “Tentu saja tentang kita yang akan menikah, kamu mengatakan itu tadi. Apa kamu sudah lupa?" “Tidak, aku tidak lupa,”jawab Jonathan masih fokus berkendara menatap jalanan di depan. Emily mendesah tak berdaya. “Kuharap aku tak pernah bertemu mereka lagi. Ini benar-benar kacau.” Jonathan menepikan mobil di bahu jalan. Ia terdiam sesaat. “Kenapa menurutmu itu hal yang mustahil?”tanya Jonathan kembali. Ia menggeser tubuhnya menghadap Emily. Emily menoleh. Menatap Jonathan lekat. Tatapan Jonathan tampak serius. Tidak seperti biasanya. “Karena mustahil terjadi, Sir. Tidak mungkin ada pernikahan di antara kita.” “Bagaimana kalau aku mengajakmu menikah?”tanya Jonathan bersungguh-sungguh. Emily memandang pria itu sesaat kemudian tertawa sumbang. “Ayolah, jangan bercanda. Kamu pikir mengajak seseorang menikah semudah seperti mengajaknya makan malam?” “Aku bersungguh sungguh, Emily.” “Kau hanya menjaga egomu tadi, supaya keluarga Oliver tidak meremehkan kita, kan?Kamu hanya ingin menunjukkan jika kamu adalah presdir yang menurutmu receh untuk menggelar acara semegah itu.”Emily tampak kesal. “Dan akhirnya terjebak dengan omong kosong pernikahan.” Jonathan tak membantah. Sedikit di hatinya ingin menunjukkan kekuasaan dan kekayaannya. Tapi itu bukan untuk egonya sendiri, tapi untuk menjaga harga diri wanita itu. Ia tak rela Emily terluka. “Tapi bagaimana jika aku memang ingin menikah denganmu, Em?” Emily memejamkan mata. “Pernikahan itu membutuhkan cinta, komitmen dan tanggung jawab. Itu hal yang besar. Aku sudah pernah menjalaninya dan aku gagal.” “Aku bisa memberikan komitmen dan tanggung jawab, tapi aku tak pernah tahu rasanya mencintai seseorang. Beri aku waktu, aku akan belajar bagaimana mencintai.” Emily bersandar sembari memejamkan mata. Apa sebenarnya maksud Jonathan melamarnya di saat seperti ini?Di saat hatinya bukan lagi sebuah hati yang utuh untuk mencintai, hanya sebuah kepingan. “Tidakkah kamu lihat aku sekarang sudah hancur?Mantan suamiku sudah menikah lagi. Mantan mertuaku masih meributkan masalah aku yang tak bisa memberi keturunan,”Emily diam sesaat. Dari sudut matanya mengalir air mata.”Apa yang kau harapkan dari seorang wanita sepertiku?” Jonathan meraih tangan Emily. “Aku tidak mengharapkan apapun darimu. Berikan saja sisa hatimu yang sudah hancur. Aku akan terima itu.” Emily membuka mata, menatap Jonathan. Hatinya memang mendamba sebuah cinta. Hatinya selalu berbunga-bunga jika diberi perhatian lebih oleh Jonathan. Tapi itu saja tidak cukup. “You just too good to be true,”bisik Emily pelan. Ia jujur tentang hal itu. Sosok Jonathan terlampau jauh baginya. Ia takkan mampu menggapai lelaki itu. Jonathan pria yang hampir sempurna di matanya. Dan Emily merasa kerdil berada di samping Jonathan. Ia takkan sanggup patah hati lagi. “Tidak, Em. Aku di sini, aku nyata dan kamu bisa meraihku.” “Entahlah, ini terlalu cepat bagiku.” “Baiklah,”ucap Jonathan menyadari sesuatu. “Ini bukan waktu yang tepat. Kamu butuh waktu berdamai dengan keadaan, Em.”Jonathan meraih tangan Emily yang digenggamnya sedari tadi. Mencium tangan wanita itu dengan lembut. “Aku akan menunggu saat itu.” Hati Emily menghangat. Ia menghapus air mata dengan sebelah tangannya yang bebas. “Terima kasih.”Emily tersenyum samar. Sepanjang jalan yang dilalui menuju apartemen Jonathan, keduanya lebih banyak diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.Thanksgiving merupakan hari bahagia bagi sebuah keluarga untuk bisa merayakan tradisi dan berkumpul bersama. Tapi tidak dengan Jonathan, undangan yang diterimanya dari James siang itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Keluarga besar William Walker akan merayakan Thanksgiving dan mengundang hampir seluruh keluarga dekat. “Aku mohon luangkan waktumu untuk datang, Nathan,”ucap James di seberang telepon. “Kita ini keluarga. Apapun yang terjadi. Apapun masalahmu dengan Pamela dan Jacob, kuharap tidak membuat kita terpisah sebagai keluarga.” Jonathan menghela nafas panjang. Satu hal yang paling dibencinya adalah berada di rumahnya dan mengenang berbagai kenangan buruk masa kecilnya. “Entahlah, James, Aku banyak kerjaan.” “Meskipun di hari libur?” Jonathan memaki dalam hati. Alasan yang buruk sekali. “Kau bisa mengundang temanmu juga, Nath,”bujuk James lagi. “Atau kekasihmu,”James sedikit menyelidik. Jonathan tidak bersuara. Ia tidak ingin berbagi kehidupan pribadi dengan s
Kepala pelayan dengan ramah membawa mereka ke sebuah kamar di lantai dua. “Silahkan masuk tuan Jonathan, kami akan membawa barang bawaan anda segera.” “Terima kasih, Paul.” Paul mengangguk dan membungkuk hormat sebelum berlalu pergi. “Apakah kita akan tinggal dalam satu kamar, Sir?”tanya Emily gugup. Ia mengamati sekeliling. Lampu chandelier bergantung di tengah ruangan. Di samping tempat tidur tampak tirai mewah model overlay warna coklat senada dengan sprei ranjang. “Kita ini sepasang kekasih, Em, tak mungkin mereka memberi kita kamar berbeda.”Jonathan menahan senyum. Suasana hatinya telah berubah. “Dan biasakan memanggilku sayang seperti tadi, oke?”Ia tersenyum puas. “Oh come on, Sir,” “Hei..” “Sayang…” “Itu lebih baik,”seru Jonathan “Tapi dimana aku harus tidur?”Emily memperhatikan, meski kamar tidur itu tampak luas dan berinterior mewah, tapi hanya ada satu ranjang dan sofa kecil . “Tentu saja di ranjang, Sayang, ”goda Jonathan. “Berdua?” “Tenang, tidurku
“Sialan!”Jonathan memaki pelan.”Emily.”Ia memanggil wanita di sebelahnya. Emily terbangun dari tidurnya saat tangan kokoh Jonathan mengguncang tubuhnya pelan. Suasana kamar gelap gulita. Emily ingat jika dirinya tidak pernah mematikan lampu kamar. Ia ingat kata-kata Jonathan jika saat tidurpun ia selalu menyalakan lampu. “Tunggu sebentar.”Emily sadar kepanikan yang mulai menyerang Jonathan. Entah sejak kapan lelaki itu berusaha membangunkannya. Emily mengambil handphone dari atas nakas di samping tempat tidur dan menekan tombol senter. Kamar sedikit terang. Emily menoleh ke arah Jonathan yang terduduk di ranjang sembari menyadarkan kepala di sandaran ranjang. Dengan sedikit terburu, Emily turun dari tempat tidur dan menyalakan saklar lampu. Tampaknya mati lampu. Ia segera bergerak perlahan menuju jendela, menyibakkan gorden untuk memastikan di luar juga mati lampu. Suasana taman gelap gulita. Hanya sedikit penerangan dari cahaya bulan. “Bagaimana keadaanmu?”Emily bergerak ke
Jonathan menyiram tubuhnya sebanyak mungkin berusaha meredam gejolak hasratnya. Menjelang pagi tadi ia terbangun dan menyadari Emily tertidur dengan memeluk lengannya. Sialnya itu membuat hasratnya tiba-tiba bangkit dan ia memaki berkali-kali berusaha menahan gairah. Ini pertama kalinya bagi Jonathan harus berjuang menekan hasratnya sendiri. Baginya sangat mudah mendapat wanita untuk penyaluran nafsu seks. Mereka juga dengan sukarela tanpa imbalan apapun melayaninya. Tapi dengan Emily tidak akan semudah itu. “Hidupku sudah seperti pastor,”keluhnya membatin. Sudah hampir enam bulan ia tidak berhubungan seks dengan wanita manapun. Bayangan Emily membuatnya tak berminat mencari wanita lain. Gila!Runtuknya lagi dalam hati. Perasaan apa ini? Jonathan keluar dari kamar mandi dan segera menyadari Emily tak ada di ruangan. Kemana wanita itu? Pintu kamar tertutup rapat tapi jendela menuju balkon terbuka lebar hingga membuat tirai kamar beberapa kali bergerak tertiup angin. Jonathan bergeg
Tak ada lagi yang bisa dilakukan Jonathan. Sepanjang pagi hingga menjelang siang ia tak sekalipun keluar kamar. Untuk makan siang pun, Jonathan meminta Paul membawakan makanan untuknya dan Emily. Sebuah ketukan terdengar saat waktu makan siang berakhir. Jonathan membuka pintu dan menemukan wajah khawatir Nyonya Averie, sang ibu “Sayang.”Averie memeluk putranya. “Aku khawatir sekali, kudengar tadi di bawah kekasihmu hampir tenggelam.” “Ya ma.”Jonathan mengurai pelukan .”Apakah kau baru datang?” “Iya, maaf kemarin aku ada acara di tempat lain jadi tak bisa kesini.”Avery melangkah masuk dan mendapati Emily yang tengah duduk berbaring di ranjang. “Apakah ini kekasihmu?Apakah dia Emily?”Wajah Averie masih cantik di usianya yang 60 tahun lebih. Pakaian yang dikenakannya sederhana tapi terkesan anggun dan mahal. Dia membuka kedua tangan lebar memeluk Emily. “Oh sayang, apakah kamu baik-baik saja?”Dia memeluk erat Emily. “Aku sudah membaik Nyonya Averie,”Emily balas memeluk. "Apa k
Jonathan memutuskan untuk mempercepat acara menginap. Malam itu ia mengajak Emily pulang. “Aku akan mengantarmu pulang,”ujar Jonathan singkat saat mereka berdua telah berada di dalam mobil. “Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja.”Emily berpaling ke arah Jonathan di sampingnya. “Bukankah acara malam ini penting untuk keluarga besarmu?” “Yang terpenting keselamatanmu, Em. Aku tak tahu lagi cara menemukan pelakunya. Apa kau tidak ingat apapun saat kejadian itu?” Emily mencoba mengingat sesuatu. “Maaf, saat itu aku panik, aku tidak ingat apapun.” “Tak apa, kita pulang sekarang.” Keduanya berkendara pulang. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhir tahun di Weston Corp. Kesibukan dimulai di awal bulan Desember. Mulai dari audit internal hingga persiapan libur Natal dan tahun baru. Padatnya jadwal meeting Jonathan dengan seluruh divisi membuatnya jarang bertemu Emily. Hanya menyempatkan mengirim pesan pesan singkat. “Kamu lembur lagi malam ini?”Jonathan mengi
Emily tiba di Manchester International Airport sore hari. Jonathan harus menyelesaikan urusan pekerjaan meski di hari libur. Pria itu akan menyusul segera, hanya itu yang bisa diucapkannya tanpa janji pasti kapan. Emily telah berada di terminal kedatangan setelah melalui pemeriksaan imigrasi. Dari kejauhan tampak Averie melambaikan tangan memanggilnya. Emily menyeret koper berjalan menghampiri. “Sayang, apa kabar?”sapa Averie ramah. Ia memeluk Emily erat, meminta sopir pribadinya membawakan koper milik Emily. “Baik, ma.”Emily mencium kedua pipi wanita paruh baya itu. “Kamu pasti sangat lelah, ayo kita pergi.” Sepanjang perjalanan, Averia bercerita dengan riang tentang kampung halamannya. Hingga setengah jam kemudian keduanya tiba di Queens Road, Oldham, kediaman Averie. Rumah yang cukup besar dengan nuansa klasik khas British. Dindingnya dihiasi bata expose. Tampak hangat meski cuaca di Manchester hampir sedingin es. Emily merapatkan mantelnya saat telah berada di luar mo
"Aku sangat merindukanmu, Em.”Jonathan memeluk Emily erat. Emily ingin mengatakan hal yang sama. Hampir sebulan mereka tidak bertemu karena kesibukan kantor yang luar biasa. Hanya sempat berkirim pesan. Jonathan melepas pelukan. Nafasnya sedikit tersengal dan matanya berkabut. Dengan gerakan cepat ia mencium bibir Emily, sedikit bernafsu dan buru-buru. Emily tidak menolak. Ia juga ingin menyentuh pria itu sebanyak mungkin. Jonathan mengisap bibirnya, menggigit nya pelan sebelum lidahnya menjelajah, membelit lidah Emily. Emily terhanyut, dadanya berdebar liar. Jonathan melepas mantelnya. Ia mendorong Emily hingga tubuh wanita itu menempel di dinding. Jonathan tak melepas pagutan bibirnya hingga Emily mendorongnya lembut. “Aku tak bisa bernafas.”Emily tersengal. Wajahnya merona merah. Jonathan tersenyum. Ia menatap Emily lekat. Meraih wajah wanita itu dan mencium dengan lembut setiap jengkal wajah Emily. Dada Emily berdesir. Apalagi saat Jonathan mencium lembut bibirnya.
Jonathan berdiri di depan puing-puing bangunan resort bekas kebakaran. Ia terdiam lama. Emily ingin mendekat dan memberi semangat untuk Jonathan tapi ia enggan untuk mengganggu Jonathan yang tengah merenung. Lelaki itu tangguh. Hanya masalah seperti itu takkan menggoyahkan jiwanya. Emily yakin itu. Jonathan berbalik menghadapnya. Dengan senyum. "Aku sudah mengasuransikan properti ini. Tapi untuk membangunnya kembali butuh waktu lama. " Ia berbicara tidak hanya pada Emily, tapi juga ditujukan pada Lucas. "Dengan berat hati, aku harus menghentikan operasional resort. Aku akan bertanggungjawab memberikan hak kalian sesuai kesepakatan. " Sekarang ia benar-benar berdiri di depan Lucas. Lucas menghormati keputusan Jonathan. Setelah keduanya memberikan briefing singkat pada seluruh karyawan dan memberikan kesempatan untuk berpamitan, Jonathan dan Emily berkendara pulang. "Setelah urusan pembayaran gaji selesai, aku ingin kita pergi ke Manchester atau Wales, " ucap Jonathan saat kedu
Emily dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap. Saluran pernapasan nya mengalami iritasi dan peradangan. Dalam kesempatan terakhir, Emily sempat hampir merasa dirinya telah mati. Kilasan kilasan peristiwa asing masuk ke dalam ingatannya dan Emily yakin mungkin inilah saat waktu nya telah berakhir di dunia. Tapi Tuhan masih menginginkan ia hidup. "Emily, kau sudah sadar? " Aldera yang pertama kali menyapanya. Emily mengerjapkan mata, suasana kamar yang serba putih dan bau khas rumah sakit membuatnya pening. "Ibu, apa yang terjadi? " "Kau pingsan saat resort kebakaran. " Emily terkesiap. "Kebakaran? " tanyanya panik. "Bagaimana orang-orang di dalam resort? " "Tak ada korban jiwa, Sayang. " Emily bersyukur dalam hati. "Kai yang membawa mu keluar dari ruangan. " "Kai?"Tiba-tiba ia teringat akan Kai. Juga sesuatu yang terjadi di masa lalu. Jonathan yang meminta maaf atas perbuatan adiknya yang berusaha menceburkan nya ke dalam kolam dan yang berusaha
Kebakaran cepat menyebar dari arah gudang persediaan. Suasana yang sebelumnya sunyi berubah menjadi riuh oleh suara alarm kebakaran dan lalu lalang orang yang panik menuju pintu keluar. Lucas menerima telepon dari keamanan resort tentang beberapa orang yang mencurigakan. "Dua orang cari pelakunya, yang lain segera amankan pengunjung, " perintah Lucas sembari mengeluarkan senjata api dari laci meja kamar tidurnya. Ia bergerak keluar kamar. Sebelumnya ia telah mengkoordinasi staff yang masih bekerja di sif malam untuk melakukan protokol kebakaran. Di luar kamar terlihat Simon dan Kai yang kebingungan mencari sesuatu. "Kau melihat Emily? " tanya Kai panik. Lucas menggeleng. "Kukira dia di kamarnya. " "Tidak ada, aku sudah mencarinya ke sana, " ucap Kai sembari melakukan panggilan telepon. "Aku juga tidak bisa menghubungi Mateo. " "Kau sudah mencarinya di gudang?" tanya Lucas "Gudang sudah terbakar habis, pemadam kebakaran sudah dalam perjalanan ke sini. " "Aku akan m
"Ada apa?" tanya Emily tak sabar. Oliver memandang Emily sesaat. Wanita itu semakin terlihat cantik saat kali terakhir ia melihatnya. "Aku ingin minta maaf. " Oliver berterus terang. "Aku memaafkanmu, Oliver. Aku sudah bilang kan aku sudah berdamai dengan masa lalu. " Oliver mengetuk telunjuknya di meja. Tampak berfikir sebelum mengatakan sesuatu. "Sebenarnya aku mandul. " Emily terperanjat, tapi berusaha untuk memasang raut wajah datar. "Setelah pernikahanku dengan Caroline, aku diam-diam memeriksakan kesehatan ku termasuk masalah kesuburan." Emily masih mencerna ucapan Oliver. Ia dan Jonathan belum berkesempatan memeriksakan diri ke dokter. Harusnya Emily bahagia mendengar kabar itu, setidaknya selama pernikahan dengan Oliver bukan dirinya yang mandul. Tapi demi melihat wajah muram Oliver, tiba-tiba ia merasa ikut sedih. "Aku tak tahu harus bilang apa. " Oliver tersenyum pahit. "Kau pasti juga mendengar kabar tentang kehamilan Caroline, kan? " Emily tidak me
Jonathan terlibat perkelahian dengan sesama narapidana. Dua orang narapidana berniat melecehkan Jonathan karena dianggap pria "yang terlalu cantik". Tanpa mereka tahu jika Jonathan memiliki kemampuan bela diri di level tinggi. Namun, sebuah pisau tajam tak ayal menggores wajah Jonathan dari telinga hingga ke pipi. Setelah perawatan ala kadarnya, ketiga narapidana yang terlibat dalam perkelahian dimasukkan ke dalam sel isolasi. Jonathan dikurung di sel isolasi. Sel yang hanya berukuran 2 x 3 meter tanpa jendela. Saat telah berada di dalam, phobia Jonathan kambuh. Ia terduduk di lantai sel karena kesulitan bernafas. Beberapa saat yang menegangkan tiba-tiba ia teringat Emily. Dengan sisa kesadaran Jonathan mencoba mengingat apa yang dilakukan Emily dulu saat berada di lift. Tenang, ambil nafas panjang, hembuskan. Ia memejamkan mata, membayangkan wajah istrinya. Jonathan melakukan beberapa kali hingga 5 menit berlalu dan kepanikannya mulai mereda. Sialan. Ia harus mulai terbiasa dengan
Berita tentang penahanan Jonathan menjadi topik hangat di kalangan pebisnis. Dan Oliver baru menyadari jika resort Oak Beach ternyata milik Jonathan. Unity corp memiliki beberapa jenis bidang usaha di antara nya produksi kebutuhan hotel ameneties. Ia menelepon bagian pemasaran. Memastikan perusahaannya bisa memberikan penawaran produk hotel ameneties menguntungkan bagi resort Oak Beach. Ia memiliki ide untuk bisa mendekati Emily lagi. "Berikan harga terendah khusus untuk resort Oak Beach, aku ingin kerjasama dengan resort itu. " Tak menunggu lama, 2 hari berikutnya Lucas sendiri yang menghubungi pihak pemasaran Unity corp. "Aku ingin contoh produk, jika mutu produk Unity corp bisa bersaing dengan barang sejenis yang telah kami pakai, kami akan gunakan produk kalian. " Seminggu kemudian kesepakatan kerjasama dilakukan. Tanpa sepengetahuan Emily karena memang untuk operasional penginapan, semua dibawah perintah Lucas, Emily hanya sekedar mengawasi administrasi harian. Oliver
Semua berjalan di luar rencana. Begitu tiba-tiba. Persidangan Anna tidak bisa diteruskan karena pelapor terjerat kasus hukum hingga akhirnya Anna bisa dibebaskan dengan jaminan dan menjalani hukuman sosial selama setahun penuh. Ia mendapat keringanan hukuman karena ini adalah pelanggaran hukum yang pertama kali dilakukannya. James menemui Jonathan untuk mengabarkan jika ia dengan terpaksa harus mengalihkan jabatan Jonathan kepada Jacob. "Weston harus tetap berjalan seperti biasa, Nathan. Aku tak mungkin mengambil alih tugasmu, jadi aku terpaksa memberikannya pada Jocob, " kata James waktu datang mengunjungi Jonathan di penjara 2 hari setelah penahanan pria itu. "Aku mengerti, James. Lakukan yang terbaik untuk Weston. " Jonathan rela melepas kepemimpinannya demi kelangsungan Weston. Sempat terdengar kabar saham Weston turun setelah berita penahanannya. Jonathan tidak mau hal itu berlangsung lama. Ia harus bertindak. Satu-satunya jalan adalah melepas jabatannya sebagai CEO We
Emily panik saat mendengar kabar tentang suaminya yang saat ini berada di kantor polisi. Hampir pukul 10 malam, ketika ia buru-buru menuju kantor polisi dengan menggunakan taksi. Simon dan pengawalnya telah menyelesaikan waktu tugas dan Emily tak ingin merepotkan mereka. Emily menelepon pengacara perusahaan saat dalam perjalanan menuju kantor polisi. Ia tiba beberapa menit sebelum pengacaranya. "Nyonya, tunggu sebentar, saya akan berkoordinasi dengan petugas kepolisian, " jelas Adam tampak serius. Emily masih terlihat panik. "Anda harus menolongnya," pinta Emily memelas. "Saya akan lakukan yang terbaik, Nyonya. " Adam berbicara di depan loket informasi umum sementara Emily menunggu di kursi tunggu kepolisian. Sejurus kemudian Adam menghilang di balik pintu sebuah ruangan. Emily menanti dengan cemas. Apa yang terjadi? Dirinya hanya mendapat telepon tanpa penjelasan detail dari pihak kepolisian. Hingga sejam kemudian, Adam terlihat keluar dari ruangan tanpa Jonathan. "
Averie datang berkunjung di apartemen Jonathan Minggu sore ini. Sebelumnya Jonathan menceritakan kondisi Emily saat Averie bersikeras menemui menantunya karena sewaktu Emily mengalami kecelakaan ia tidak bisa datang menemani. "Ini mama, Em. " Jonathan membawa Averie masuk dan memperkenalkannya pada Emily. Emily tertegun sesaat. Saat Averie memeluknya dengan kesedihan, ia balas memeluk meski wanita didepannya terasa asing bagi Emily. "Maafkan saya, Nyonya... " "Mama, Emily. " Averie melepas pelukan, memandang Emily. "Kau biasa memanggilku mama. " Emily mengangguk dengan senyum. "Mama."Ia membayangkan dulu dengan Nyonya Edith, ia terbiasa memanggil dengan sebutan nyonya karena mantan mertuanya tak mau dipanggil dengan panggilan mama. " Maaf, aku belum bisa mengingat semuanya." "Tak apa, Sayang. Aku sangat bersyukur kau bisa selamat dari kecelakaan itu," ucap Averie tulus. "Jangan memaksakan diri untuk mengingat, biarkan semua berjalan seperti biasa." Emily mengangguk. I