Upacara pemakaman Tuan William Walker, pendiri sekaligus CEO Weston Corp, telah berakhir hampir satu jam yang lalu. Perwakilan tiap divisi yang diundang menghadiri upacara pemakaman, secara rombongan mulai berdatangan di kantor pusat Weston Corp, begitu pula dengan Paula Meyer,
Wanita itu masuk di ruangannya dengan mata sembab. Kepergian mendadak presdir dari Weston Corp itu memang menyisakan kesedihan yang mendalam bagi seluruh karyawan di Weston Corp “Aku tak menyangka tuan William sudah pergi. Padahal kemarin lusa aku masih sempat ngobrol dengannya,”ujarnya dengan mata berkaca-kaca. “Dia orang yang sangat baik.”Paula duduk di kursi Emily, bawahannya yang sedari tadi berdiri memperhatikan. ‘’Nyonya Averie sangat terpukul,”ucap Paula parau. Paula tengah membicarakan istri kedua tuan William. Cali dan Abigail, yang duduk di kursinya masing-masing hanya menatap sendu. Tuan William memang orang yang baik, sebagai pemimpin, dia juga dikenal dengan sifatnya yang ramah dan bijaksana. Paula termasuk salah satu pegawai lama yang mengenal tuan William dengan sangat baik. Wanita itu bekerja dengan Tuan William sudah lebih dari 30 tahun. Paula bekerja sejak lulus dari University of California Berkeley hingga saat ini, tidak pernah berfikiran untuk pindah tempat kerja hingga dipercaya menjadi kepala divisi umum. “Apakah semua anak Tuan William hadir di pemakaman?”tanya Cali. “Kudengar putranya ada yang tinggal di Inggris?” “Jonathan?”Paula menatap Cali sesaat. “Kulihat dia ada di samping ibunya.”Paula memandang jendela kaca besar di belakang Cali. “Aku tak bisa membayangkan perusahaan sebesar ini akan beralih pimpinan. Siapa yang bisa menghandle sebaik tuan William?”gumam Paula lagi, lebih kearah berbicara dengan dirinya sendiri. “Saya rasa putra putrinya pasti akan ada yang menggantikan dengan baik, bukankah begitu mrs Paula?”tanya Abigail. “James tidak mungkin, dia seorang dokter bedah,”jawab Paula. “Setauku hanya James yang mempunyai sifat seperti ayahnya, putrinya Pamela, dia hanya bisa menghabiskan uang ayahnya,”keluh Paula. “Putra bungsunya, Joseph tidak jauh sifatnya dengan Pamela.” “Bukankah masih ada anak dari Nyonya Averie?”tanya Cali hati-hati. Paula memandang ketiga wanita muda di depannya bergantian. “Maksudmu Jonathan dan Kai?”Paula menunduk, memikirkan sesuatu beberapa saat. “Tuan Wiliiam pernah bercerita jika Jonathan tidak pernah pulang, dia sibuk dengan perusahaan rintisannya sendiri. Nathan tidak pernah mau tinggal lama di rumahnya, dia lebih memilih tinggal dengan kakak ibunya yang ada di Manchester Inggris. Tuan William pernah dengan sedih bilang jika waktu Jonathan kecil, ia sering mendapat perlakuan tidak baik dari Pamela dan Joseph, hanya saja Jonathan tidak pernah cerita, pada akhirnya, tuan William tahu dari Kai.” “Kai juga tidak mungkin menjadi pengganti tuan Willian kan mrs?dia masih kuliah kalau tidak salah,”ujar Cali memastikan. “Iya benar,”Paula mengiyakan. “Dia masih sangat muda dan tidak memiliki pengalaman memimpin perusahaan.”Paula tersenyum. “Sudahlah, kenapa kita mesti kuatir, “Paula berdiri. “Kurasa akan ada berita secepatnya dari keluarga tuan William. Aku yakin, tuan William telah membuat surat wasiat tentang siapa penerus perusahaannya saat ia sudah tiada.” Paula tersenyum dan berjalan menuju ruangannya. Emily kembali berkutat dengan pekerjaannya yang sempat tertunda siang tadi karena berita duka kematian mendadak sang presdir. Emily sendiri mengagumi sosok Tuan William, ia sempat beberapa kali bertemu dengan pria tua itu. Tuan William tidak pernah membeda-bedakan status karyawannya. Yang sudah lama bekerja maupun baru bergabung dengan perusahaan seperti dirinya, tetap diperlakukan sama. Tuan William sering menanyakan kabar saat bertemu, pria itu menjulukinya gadis sendu karena memang wajah khas Emily yang pendiam dan jarang memperlihatkan senyum. Meski sudah satu tahun bekerja di Weston Corp, ia jarang bersosialisasi dengan pekerja lainnya. Saat yang lain pergi makan siang, ia memilih duduk diam di pantry dengan bekal sederhananya. Bukan karena pelit, tapi Emily harus banyak berhemat. Kondisi keuangan keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Ayahnya, Robert Patterson mengalami gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah dengan biaya yang tidak sedikit. Sebagai penebusan rasa bersalah telah mengecewakan orang tuanya, ia bertekad akan melakukan apa saja untuk kesembuhan ayahnya.Dua minggu telah berlalu sejak meninggalnya tuan William Walker. Tampuk kepemimpinan masih kosong. Rapat direksi telah digelar seminggu yang lalu akan tetapi hasil rapat yang dihadiri juga oleh pengacara keluarga dan Nyonya Averie serta James tetap dirahasiakan. Pagi ini tepat pukul 09.00 waktu setempat. Weston Corp menjadi heboh. Sang CEO baru telah datang. “Mr Jonathan?”Roger, staff purchasing menerima telepon dari salah satu temannya di front office lantai 1. “Dia sudah datang?” “Apakah yang tadi bertemu denganku di lift?”Si cantik Elora menutup mulutnya terkejut. “Kukira tadi aku bertemu model baru untuk iklan kita. Sumpah!Dia sangat tampan!” Jika Elora berani bersumpah dengan apa yang telah dilihatnya, berarti kenyataannya adalah melebihi yang dibayangkan. Sangat tampan bisa jadi luar biasa tampan. “Ooh, kenapa aku tidak datang terlambat saja tadi,”seru Emelia. “Seberapa tampan mr Jonathan?Bagaimana dengan Axel?”tanya Ainsley menyebut salah satu model terbaru yang membi
Tersisa lima belas menit lagi bagi Emily untuk menyelesaikan penataan ruang rapat untuk tim pemasaran. Emily memastikan lagi semua meja telah terisi dengan beberapa alat tulis dan botol air mineral. Memeriksa panel kontrol proyektor untuk menyesuaikan dengan layar. Emily juga menambah pengharum ruangan sesuai permintaan Caleb. Dari arah belakang terdengar suara pintu terbuka. “Kurang lima belas menit lagi Cal. Biarkan aku bekerja dengan tenang,”ujar Emity tanpa menoleh. Siapa lagi manusia usil di perusahaan ini yang ketagihan untuk mengganggunya. Tak ada jawaban. Tumben. Emily menoleh. Dan demi Tuhan!Ada jelmaan dewa Apollo, melewatinya dengan tubuh berbalut jas dan kemeja berkerah. Rambutnya cokelat emas, matanya sempat menatap Emily beberapa detik sebelum mengarahkan pandangan ke meja paling ujung ruangan. Seumur hidupnya, Emily tidak pernah menemukan mata abu abu seindah itu. Dengan gugup, Emily berusaha mengembalikan kesadaran, ia mengamati kertas yang diberikan Caleb padanya.
Setelah kejadian terjebak lift sabtu malam, tampaknya semua baik-baik saja. Emily memperhatikan semua petugas keamanan tetap bertugas seperti biasa. Tak ada berita menghebohkan seperti pemecatan atau apapun. Semua tenang terkendali seakan tidak pernah ada insiden lift macet. Hingga dua pekan berlalu, saat di Jumat sore menjelang usai jam kantor, sebuah telepon dari sekretaris CEO meminta Emily untuk menghadap sang bos. “Aku?apakah beliau tidak memberitahumu tentang apa?”tanya Emily kuatir. Dua minggu ini ia melakukan pekerjaannya dengan baik, tak ada complain dari divisi lain. “Tidak ada nona Emily, tuan Jonathan hanya memintamu untuk datang ke ruangannya sekarang,”Ernetta, sekretaris CEO menjawab singkat. “Baiklah, aku segera kesana.” Emily melangkah bergegas ke lantai 12, letak ruangan CEO berada. Dia hanya dua kali berkesempatan mengunjungi lantai 12 yang memang dkhususkan hanya untuk kantor CEO dan sekretarisnya. Ruangan itu begitu megah dan mewah. Di meja sekretaris, Ernetta
Sudah hampir sebulan ini, Jonathan sering meminta bantuan Emily untuk menemaninya menghabiskan waktu luang di akhir pekan. Entah sudah berapa puluh alasan yang diberikan Jonathan hingga Emily tak bisa menolaknya. Hanya untuk sekedar jalan di taman kota, menemaninya berbelanja pakaian atau menikmati sunset di Pantai. Sebuah pesan pendek masuk di layar ponsel Emily. Dari Jonathan. “Aku jenuh, temani aku ke café malam ini” Emily melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Pukul 18.00. Harusnya satu jam yang lalu waktu kantor telah berakhir. Tapi ia harus lembur menyelesaikan laporan stok asset untuk persiapan audit akhir tahun. Emily mengetik pesan balasan “Aku harus lembur” Sesaat kemudian Jonathan mengetikkan sesuatu. “Siapa saja yang lembur di ruanganmu?” Meski satu divisi, tapi job desk pekerjaan Emily berbeda dengan Cali dan Abigail, jadi malam ini ia hanya sendiri. “Aku sendirian.” Tak ada jawaban. Emily merasa Jonathan memaklumi kesibukannya dan takkan tega menggan
“Aku ingin bercerai,”suara Oliver memecah heningnya malam saat Emily bersiap tidur. Emily tertegun. Merasa ada yang salah dengan pendengarannya barusan. “Kau bilang apa?”“Aku ingin bercerai, Em,”tegas Oliver. Kali ini suaranya tak lagi terbata.Emily bangkit dan berjalan di sisi lain tempat tidur, mendekati Oliver yang duduk di tepi ranjang.“Apa maksudmu?”Oliver mendongak, menatap Emily dengan perasaan bercampur aduk. “Ibu memintaku bercerai. Dan aku mendukung keputusannya.”“Kita yang menikah, kenapa ibumu juga ikut campur?”Emily menahan suaranya yang hampir berteriak.“Orang tuaku ingin mempunyai keturunan, dan kamu tidak bisa memberikannya.”“Aku?”tanya Emily tak percaya dengan kalimat yang diucapkan Oliver barusan. “Koreksi kalimatmu, Oliver. Yang benar adalah kita tidak bisa memberikan keturunan.”Emily memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Tidak sekali ini ia mendengar Nyonya Edith, ibu Oli
Bab II Pulang Dua bulan telah berlalu. Emily mengira jika waktu akan menyembuhkan rasa sedihnya. Tapi itu hanya teori belaka. Ia semakin terpuruk. Ia tidak konsentrasi bekerja. Sering melamun dan menangis tanpa sebab. Beberapa kali ia melakukan kesalahan hingga dengan berat hati dan merasa tahu diri, Emily memilih berhenti bekerja. Dengan tabungan tersisa beberapa dolar ia hanya bisa bertahan sebulan saja. Akhirnya ia memilih pulang. “Sayang, apa yang terjadi?”Nyonya Aldera, ibu Emily terkejut menerima kedatangan Emily malam itu. Wanita tua itu memeluk putri sulungnya dan tanpa kata Emily kembali menangis. “Ayo, masuklah.”Nyonya Aldera paham akan situasi Emily dan menahan diri untuk tidak bertanya sampai Emily kembali tenang. Robert Patterson, ayah Emily, yang masuk dari arah belakang rumah tampak khawatir melihat Emily yang kini duduk di kursi dapur. “Sayang, ada apa?Apa kamu baik-baik saja?” Nyonya Aldera memberi isyarat pada suaminya untuk berhenti bicara. Emily memeluk ayahnya
Sudah hampir sebulan ini, Jonathan sering meminta bantuan Emily untuk menemaninya menghabiskan waktu luang di akhir pekan. Entah sudah berapa puluh alasan yang diberikan Jonathan hingga Emily tak bisa menolaknya. Hanya untuk sekedar jalan di taman kota, menemaninya berbelanja pakaian atau menikmati sunset di Pantai. Sebuah pesan pendek masuk di layar ponsel Emily. Dari Jonathan. “Aku jenuh, temani aku ke café malam ini” Emily melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Pukul 18.00. Harusnya satu jam yang lalu waktu kantor telah berakhir. Tapi ia harus lembur menyelesaikan laporan stok asset untuk persiapan audit akhir tahun. Emily mengetik pesan balasan “Aku harus lembur” Sesaat kemudian Jonathan mengetikkan sesuatu. “Siapa saja yang lembur di ruanganmu?” Meski satu divisi, tapi job desk pekerjaan Emily berbeda dengan Cali dan Abigail, jadi malam ini ia hanya sendiri. “Aku sendirian.” Tak ada jawaban. Emily merasa Jonathan memaklumi kesibukannya dan takkan tega menggan
Setelah kejadian terjebak lift sabtu malam, tampaknya semua baik-baik saja. Emily memperhatikan semua petugas keamanan tetap bertugas seperti biasa. Tak ada berita menghebohkan seperti pemecatan atau apapun. Semua tenang terkendali seakan tidak pernah ada insiden lift macet. Hingga dua pekan berlalu, saat di Jumat sore menjelang usai jam kantor, sebuah telepon dari sekretaris CEO meminta Emily untuk menghadap sang bos. “Aku?apakah beliau tidak memberitahumu tentang apa?”tanya Emily kuatir. Dua minggu ini ia melakukan pekerjaannya dengan baik, tak ada complain dari divisi lain. “Tidak ada nona Emily, tuan Jonathan hanya memintamu untuk datang ke ruangannya sekarang,”Ernetta, sekretaris CEO menjawab singkat. “Baiklah, aku segera kesana.” Emily melangkah bergegas ke lantai 12, letak ruangan CEO berada. Dia hanya dua kali berkesempatan mengunjungi lantai 12 yang memang dkhususkan hanya untuk kantor CEO dan sekretarisnya. Ruangan itu begitu megah dan mewah. Di meja sekretaris, Ernetta
Tersisa lima belas menit lagi bagi Emily untuk menyelesaikan penataan ruang rapat untuk tim pemasaran. Emily memastikan lagi semua meja telah terisi dengan beberapa alat tulis dan botol air mineral. Memeriksa panel kontrol proyektor untuk menyesuaikan dengan layar. Emily juga menambah pengharum ruangan sesuai permintaan Caleb. Dari arah belakang terdengar suara pintu terbuka. “Kurang lima belas menit lagi Cal. Biarkan aku bekerja dengan tenang,”ujar Emity tanpa menoleh. Siapa lagi manusia usil di perusahaan ini yang ketagihan untuk mengganggunya. Tak ada jawaban. Tumben. Emily menoleh. Dan demi Tuhan!Ada jelmaan dewa Apollo, melewatinya dengan tubuh berbalut jas dan kemeja berkerah. Rambutnya cokelat emas, matanya sempat menatap Emily beberapa detik sebelum mengarahkan pandangan ke meja paling ujung ruangan. Seumur hidupnya, Emily tidak pernah menemukan mata abu abu seindah itu. Dengan gugup, Emily berusaha mengembalikan kesadaran, ia mengamati kertas yang diberikan Caleb padanya.
Dua minggu telah berlalu sejak meninggalnya tuan William Walker. Tampuk kepemimpinan masih kosong. Rapat direksi telah digelar seminggu yang lalu akan tetapi hasil rapat yang dihadiri juga oleh pengacara keluarga dan Nyonya Averie serta James tetap dirahasiakan. Pagi ini tepat pukul 09.00 waktu setempat. Weston Corp menjadi heboh. Sang CEO baru telah datang. “Mr Jonathan?”Roger, staff purchasing menerima telepon dari salah satu temannya di front office lantai 1. “Dia sudah datang?” “Apakah yang tadi bertemu denganku di lift?”Si cantik Elora menutup mulutnya terkejut. “Kukira tadi aku bertemu model baru untuk iklan kita. Sumpah!Dia sangat tampan!” Jika Elora berani bersumpah dengan apa yang telah dilihatnya, berarti kenyataannya adalah melebihi yang dibayangkan. Sangat tampan bisa jadi luar biasa tampan. “Ooh, kenapa aku tidak datang terlambat saja tadi,”seru Emelia. “Seberapa tampan mr Jonathan?Bagaimana dengan Axel?”tanya Ainsley menyebut salah satu model terbaru yang membi
Upacara pemakaman Tuan William Walker, pendiri sekaligus CEO Weston Corp, telah berakhir hampir satu jam yang lalu. Perwakilan tiap divisi yang diundang menghadiri upacara pemakaman, secara rombongan mulai berdatangan di kantor pusat Weston Corp, begitu pula dengan Paula Meyer, Wanita itu masuk di ruangannya dengan mata sembab. Kepergian mendadak presdir dari Weston Corp itu memang menyisakan kesedihan yang mendalam bagi seluruh karyawan di Weston Corp “Aku tak menyangka tuan William sudah pergi. Padahal kemarin lusa aku masih sempat ngobrol dengannya,”ujarnya dengan mata berkaca-kaca. “Dia orang yang sangat baik.”Paula duduk di kursi Emily, bawahannya yang sedari tadi berdiri memperhatikan. ‘’Nyonya Averie sangat terpukul,”ucap Paula parau. Paula tengah membicarakan istri kedua tuan William. Cali dan Abigail, yang duduk di kursinya masing-masing hanya menatap sendu. Tuan William memang orang yang baik, sebagai pemimpin, dia juga dikenal dengan sifatnya yang ramah dan bijaksana. P
Bab II Pulang Dua bulan telah berlalu. Emily mengira jika waktu akan menyembuhkan rasa sedihnya. Tapi itu hanya teori belaka. Ia semakin terpuruk. Ia tidak konsentrasi bekerja. Sering melamun dan menangis tanpa sebab. Beberapa kali ia melakukan kesalahan hingga dengan berat hati dan merasa tahu diri, Emily memilih berhenti bekerja. Dengan tabungan tersisa beberapa dolar ia hanya bisa bertahan sebulan saja. Akhirnya ia memilih pulang. “Sayang, apa yang terjadi?”Nyonya Aldera, ibu Emily terkejut menerima kedatangan Emily malam itu. Wanita tua itu memeluk putri sulungnya dan tanpa kata Emily kembali menangis. “Ayo, masuklah.”Nyonya Aldera paham akan situasi Emily dan menahan diri untuk tidak bertanya sampai Emily kembali tenang. Robert Patterson, ayah Emily, yang masuk dari arah belakang rumah tampak khawatir melihat Emily yang kini duduk di kursi dapur. “Sayang, ada apa?Apa kamu baik-baik saja?” Nyonya Aldera memberi isyarat pada suaminya untuk berhenti bicara. Emily memeluk ayahnya
“Aku ingin bercerai,”suara Oliver memecah heningnya malam saat Emily bersiap tidur. Emily tertegun. Merasa ada yang salah dengan pendengarannya barusan. “Kau bilang apa?”“Aku ingin bercerai, Em,”tegas Oliver. Kali ini suaranya tak lagi terbata.Emily bangkit dan berjalan di sisi lain tempat tidur, mendekati Oliver yang duduk di tepi ranjang.“Apa maksudmu?”Oliver mendongak, menatap Emily dengan perasaan bercampur aduk. “Ibu memintaku bercerai. Dan aku mendukung keputusannya.”“Kita yang menikah, kenapa ibumu juga ikut campur?”Emily menahan suaranya yang hampir berteriak.“Orang tuaku ingin mempunyai keturunan, dan kamu tidak bisa memberikannya.”“Aku?”tanya Emily tak percaya dengan kalimat yang diucapkan Oliver barusan. “Koreksi kalimatmu, Oliver. Yang benar adalah kita tidak bisa memberikan keturunan.”Emily memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Tidak sekali ini ia mendengar Nyonya Edith, ibu Oli