Setelah kejadian terjebak lift sabtu malam, tampaknya semua baik-baik saja. Emily memperhatikan semua petugas keamanan tetap bertugas seperti biasa. Tak ada berita menghebohkan seperti pemecatan atau apapun. Semua tenang terkendali seakan tidak pernah ada insiden lift macet.
Hingga dua pekan berlalu, saat di Jumat sore menjelang usai jam kantor, sebuah telepon dari sekretaris CEO meminta Emily untuk menghadap sang bos. “Aku?apakah beliau tidak memberitahumu tentang apa?”tanya Emily kuatir. Dua minggu ini ia melakukan pekerjaannya dengan baik, tak ada complain dari divisi lain. “Tidak ada nona Emily, tuan Jonathan hanya memintamu untuk datang ke ruangannya sekarang,”Ernetta, sekretaris CEO menjawab singkat. “Baiklah, aku segera kesana.” Emily melangkah bergegas ke lantai 12, letak ruangan CEO berada. Dia hanya dua kali berkesempatan mengunjungi lantai 12 yang memang dkhususkan hanya untuk kantor CEO dan sekretarisnya. Ruangan itu begitu megah dan mewah. Di meja sekretaris, Ernetta, tampak berdiri mempersilahkan Emily dengan ramah. “Silahkan masuk, beliau sudah menunggu.” Sesaat setelah pintu ruangan ditutup oleh Ernetta dari luar, Emily terpaku diam di tempatnya. Kursi presdir berwarna coklat tua berputar, menampakkan wajah Jonathan di sana. Seperti biasa, ia hanya menampakkan senyum tipis. “Halo Emily,”sapanya sembari berdiri, “Halo, sir. Apa kabar?” “Baik. Duduklah,”Jonathan berjalan ke arah sofa panjang di tengah ruangan, mempersilahkan Emily duduk. Dia tampak membawa sebuah tas kecil. Jonathan duduk di depan Emily dan meletakkan tas itu. “Ini untukmu,” Emily diam sesaat. “Sebagai rasa terima kasihku, kupikir hanya ucapan saja tidak cukup.” Emily menggeleng. “Tidak perlu, sir. Itu…” “Aku memaksa, ”sela Jonathan. “Terimalah.” Emily ragu sesaat sebelum akhirnya mengambil tas itu “It’s pathetic, isn’t it?”ujar Jonathan beberapa saat kemudian. Ia tersenyum masam. “Aku phobia gelap,”ujarnya parau. “Setiap orang memiliki “monster” dalam dirinya, bukankan begitu, sir?”Emily menjawab bijak. Ia bisa membayangkan betapa tidak nyamannya Jonathan mengetahui salah satu karyawannya tahu sisi kelemahannya. Jonathan menatap Emily sesaat, terpaku beberapa detik, kemudian mengangguk samar. “Ya, kau benar.” “Banyak orang yang mengalami phobia gelap, bukan hanya anda,”lanjut Emily lagi, benar-benar tidak tahu lagi harus bilang apa. Jonathan tersenyum, dan Emily mengakui jika saat ini, dengan jarak tidak lebih dari dua meter, dengan kondisi ruangan yang terang, ia bisa memastikan jika wajah Jonathan memang layak dijadikan “Lelaki paling tampan tahun ini”. Jelas Tuhan menyayangi lelaki ini. Wajahnya hampir sempurna. “Kau ada acara setelah ini?”tanya Jonathan tiba-tiba. Emily tergagap, semoga pria itu tidak menyadari jika sesaat tadi ia bengong manatap wajahnya.“Kurasa…” “Aku ingin kamu menemaniku makan malam, apakah kamu keberatan?” Sepertinya Jonathan tidak menerima segala bentuk penolakan. Tekanan di setiap katanya seperti menghipnotis Emily untuk mau tak mau harus mengangguk. “Tunggu di lobi, aku segera turun menjemputmu,”ujar Jonathan sembari melirik jam tangannya. Waktu memang menunjukkan jam kerja hari ini sudah berakhir. Emily pamit dan menuju ruang kantornya. Termenung sesaat di mejanya sebelum bergegas merapikan meja kerja. “Selamat berakhir pekan teman-teman,”Abigail melambaikan tangan kearah Cali dan Emily. Emily membalas lambaian tangan Abigail sebelum akhirnya Cali juga berpamitan. “Sampai jumpa hari Senin, Em.” “Hati-hati di jalan, Cali.” Hari ini Paula cuti. Suasana kantor langsung tampak sepi. Emily melangkah mengambil tasnya dan mengenakan mantel. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak ingin pekerja di Weston Corp melihat dirinya dan CEO baru berjalan bersama. Emily tidak ingin ada gosip buruk yang bisa mempersulit pekerjaannya ke depan. Ia butuh pekerjaan ini dan tak ingin menimbulkan masalah baru. Beberapa karyawan masih tampak berseliweran di lobi gedung. Emily berdoa dalam hati, tuan Jonathan tidak segera turun menjemputnya. Tapi doanya tidak terkabul. Dari dalam lift tampak keluar sosok lelaki menawan yang tentu saja menarik perhatian orang orang di sekitarnya. Beberapa pekerja menyapanya, Jonathan menjawab dengan anggukan singkat. “Sudah siap pergi?”tanyanya saat menghampiri Emily. “Yes sir.” Jonathan mempersilahkan Emily berjalan lebih dulu dengan dirinya pada akhirnya mengimbangi langkah Emily berjalan di samping wanita itu. Beberapa pasang mata tampak penasaran menatap keduanya. Duduk di samping Jonathan membuat Emily canggung dan pria itu tampaknya menyadarinya. “Kamu baik-baik saja?”tanya Jonathan menoleh ke arah Emily. “I’m good sir.” Jonathan mengulas senyum lebar. “Kita akan pergi makan, bukan ke pemakaman, chill out,”seru Jonathan, dan tiba-tiba saja Emily merasakan perubahan sikap pada diri Jonathan. Pria itu tampak lebih santai dengan senyum lepas, tidak seperti sebelumnya. “Apakah kamu memiliki tempat makan favorit?”tanya Jonathan sesaat sebelum mobil melaju membelah jalanan di tengah kota. “Dulu ada,”jawab Emily dalam hati. “saat bersama Oliver.” “Tidak ada, sir.”Emily menghentikan lamunannya sesaat. “Khusus hari ini,”bisik Jonathan mendekat.”Panggil aku Nathan saja, oke?” Emily terkesiap dengan Jonathan yang berjarak begitu dekat dengannya. “Emm..saya…aku tidak bisa, sir.” Jonathan tiba-tiba terkekeh melihat kegugupan Emily. “Kau membuatku merasa dua puluh tahun lebih tua, Em.”Jonathan menyebut sebuah nama restoran kepada sopirnya. Ia kembali menatap Emily. “Kita berada di luar kantor, aku sekarang bukan bosmu lagi.” Emily tidak merespon, ia mengurangi perasaan canggungnya dengan menatap jalanan di balik jendela mobil. Jonathan sungguh berbeda dengan penampilannya selama ini. Ia tampak ngobrol santai dengan sopirnya dengan sesekali disertai canda tawa. Sesaat kemudian mereka tiba di sebuah restoran yang diyakini Emily adalah salah satu tempat makan termahal di kota. Jonathan melepas jasnya sebelum membuka pintu mobil sementara dengan sopan, sang sopir membukakan pintu untuk Emily. “Terima kasih,”ucap Emily Emily menyejajarkan langkah Jonathan. Dari pintu masuk restoran tampak kepala pelayan yang menyambut kedatangan keduanya. “Atas nama Jonathan,please.“ Setelah mengecek buku reservasi, kepala pelayan memerintahkan host restoran mengantar keduanya hingga ke meja yang telah dipesan. Dengan sopan, host pria itu menarik kursi untuk Emily. Jonathan menyebut beberapa menu makanan kepada waitress yang mendatangi meja mereka. Emily tampak ragu sesaat. Ia menatap Jonathan yang juga tengah menatapnya. Seperti mengerti keraguan Emily, Jonathan menyebut beberapa makanan untuk Emily. “Semoga kau tidak keberatan dengan pilihanku.” “No sir.” “Tolong Nathan saja,”ulang Jonathan. “Aku ingin kita menikmati makan malam ini dengan santai, Em.”Jonathan tersenyum menawan. Emily merutuk dalam hati. Bagaimana mungkin ia bisa santai menyantap makanan ditemani bos di depannya. Tidak itu saja. Ia beberapa kali menangkap basah beberapa pasang mata para perempuan mencuri pandang ke arah pria di depannya. “Harusnya aku memesan ruangan khusus untuk kita berdua, agar kamu bisa makan dengan tenang.”Jonathan memecah suasana canggung. “Maafkan aku,”Emily sadar ia telah membuat orang lain tidak nyaman dengan sikap gugupnya. “Aku hanya tidak terbiasa makan di tempat seperti ini.”Emily tersenyum. “Tidak apa-apa Emily, lain kali kamu yang tentukan tempatnya, oke?” Lain kali?Emily mengangguk samar disertai senyum tidak yakin. “Seperti yang kamu tahu, selama ini aku tinggal di Manchester. Aku bahkan tidak punya teman di sini,”Jonathan mengetukkan jarinya di meja makan. “Tidak lucu kan jika setiap hari aku mengajak Simon makan malam?”Jonathan menyebut nama sopirnya. Emily tersenyum. Berusaha menikmati sajian mewah di hadapannya. Sepanjang acara makan Jonathan sesekali berbincang santai dan mencoba membuat Emily lebih nyaman. Sejauh ini Kesan dingin lelaki itu sedikit berubah di mata Emily.Sudah hampir sebulan ini, Jonathan sering meminta bantuan Emily untuk menemaninya menghabiskan waktu luang di akhir pekan. Entah sudah berapa puluh alasan yang diberikan Jonathan hingga Emily tak bisa menolaknya. Hanya untuk sekedar jalan di taman kota, menemaninya berbelanja pakaian atau menikmati sunset di Pantai. Sebuah pesan pendek masuk di layar ponsel Emily. Dari Jonathan. “Aku jenuh, temani aku ke café malam ini” Emily melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Pukul 18.00. Harusnya satu jam yang lalu waktu kantor telah berakhir. Tapi ia harus lembur menyelesaikan laporan stok asset untuk persiapan audit akhir tahun. Emily mengetik pesan balasan “Aku harus lembur” Sesaat kemudian Jonathan mengetikkan sesuatu. “Siapa saja yang lembur di ruanganmu?” Meski satu divisi, tapi job desk pekerjaan Emily berbeda dengan Cali dan Abigail, jadi malam ini ia hanya sendiri. “Aku sendirian.” Tak ada jawaban. Emily merasa Jonathan memaklumi kesibukannya dan takkan tega m
Pagi ini waktu terasa berjalan lambat. Emily duduk di samping ibunya, di ruang tunggu Harlem Hospital Center. Sang ayah, Robert Patterson harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami sesak nafas. Emily mengirim pesan kepada Paula Meyer jika dirinya tidak masuk kerja. Dan Paula mengijinkan. Nyonya Aldera menghapus air mata yang menggenang di sudut mata. Emily mempererat genggaman tangannya. “Ayah akan baik-baik saja.” “Kuharap begitu, Em. Penyakit ginjal ayahmu sudah kronis. Dokter bilang ini sudah stadium akhir. “ Emily mengangguk. “Tapi kita tidak boleh menyerah,bu.” “Tidak akan pernah. Aku akan berjuang bersamanya.” Emily memeluk bahu ibunya. Mencium sisi wajah Aldera. Berusaha memberikan kekuatan. “Ibu tidak sendiri. Aku dan Eden akan berjuang demi ayah.” Aldera tersenyum samar. Menatap lalu lalang pengunjung rumah sakit yang berseliweran di sepanjang koridor. Saat menjelang sore hari sebuah pesan pendek muncul di ponsel Emily. Dari Jonathan. “Kudengar ayahmu ada
Jonathan menyalakan fitur navigasi canggih di samping kemudi saat telah berada di dalam mobil. Mereka berkendara selama setengah jam saat Jonathan memarkir mobil di sebuah kawasan perbukitan. Dari tempat mereka berhenti, tampak pemandangan cantik lampu-lampu kota berada di bawah mereka. “Ayo,”ajak Jonathan sembari membuka pintu mobil. Emily menurut tanpa kata. “Kubantu duduk,”ucapnya kepada Emily. Jonathan meraih pinggang Emily, membantu wanita itu duduk di atas kap mobil. Ia menyusul duduk di samping Emily. Lama keduanya saling diam. Menikmati keindahan lampu kota. Emily berpaling ke arah Jonathan. “Terima kasih.” Jonathan menatap Emily. Ia tahu wanita itu tengah menyembunyikan perasaannya. Entah itu sedih atau marah. Jonathan merapat ke tubuh Emily. . Lengan kokohnya meraih kepala Emily, merengkuhnya dalam dekapan. “Aku tak pernah mengalami situasi seperti ini, jadi maaf aku tak bisa melakukan hal lain untuk menghiburmu.” Emily melingkarkan lengan di pinggang Jonathan
Caroline menepati ucapannya. Dua undangan tiba di meja sekretaris Jonathan siang itu. “Excuse me, sir. Ada undangan untukmu.” Jonathan menerima undangan itu dan membaca sekilas. Acara pernikahan Oliver dan Caroline Sabtu pekan ini. “Terima kasih,Ernette.” Wanita tua itu mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan ruangan sang CEO. Jonathan berfikir sesaat sebelum meraih ponselnya dan mengirim gambar undangan itu kepada Emily. Beberapa menit kemudian muncul pesan balasan dari Emily. “Aku tidak perlu datang.” Jonathan mengetikkan sesuatu. “Tunjukkan padanya kamu baik-baik saja. Jangan biarkan mereka senang.” “Aku tidak perlu membuktikan apapun pada mereka.” “Kamu yakin?” Tak ada balasan dari Emily. Jonathan merasa tidak perlu memaksa Emily lagi. Keputusan Emily pasti telah dipertimbangkan dengan baik. Jonathan melanjutkan pekerjaannya kembali saat setengah jam kemudian muncul pesan dari Emily. “Menurutmu, apakah aku harus datang?” Jonathan tersenyum. Ia menge
Satu jam lagi acara pernikahan akan dimulai. Oliver dan keluarganya telah menyewa sebuah ruangan mewah di sebuah hotel bintang lima. Undangan terbatas di kalangan tertentu. Hanya rekan bisnis dan teman terdekat. Sementara di apartemen Jonathan, di salah satu kamar telah tertata rapi gaun-gaun malam koleksi terbaik musim ini. Jonathan telah mempersiapkan semuanya. Ia telah menyewa tim Make up artist terbaik yang diketahuinya dari salah satu rekan bisnis pemilik perusahaan kosmetik. Emily membeku di tempatnya berdiri saat beberapa orang berpakaian seragam mulai berdatangan di apartemen Jonathan. Mereka dengan sigap memperkenalkan diri dan memberitahu Emily untuk bersiap di kamar yang telah disediakan. “Tidakkah menurutmu ini sangat berlebihan?”gerutunya ke arah Jonathan sebelum menghilang dari balik pintu kamar. Jonathan mengenakan tuxedo hitam yang melekat erat di tubuhnya. Tuxedo shaw lapel yang dipadukan kemeja hitam bahan mengkilap. Memperlihatkan postur tubuh tegapnya. Seben
Thanksgiving merupakan hari bahagia bagi sebuah keluarga untuk bisa merayakan tradisi dan berkumpul bersama. Tapi tidak dengan Jonathan, undangan yang diterimanya dari James siang itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Keluarga besar William Walker akan merayakan Thanksgiving dan mengundang hampir seluruh keluarga dekat. “Aku mohon luangkan waktumu untuk datang, Nathan,”ucap James di seberang telepon. “Kita ini keluarga. Apapun yang terjadi. Apapun masalahmu dengan Pamela dan Jacob, kuharap tidak membuat kita terpisah sebagai keluarga.” Jonathan menghela nafas panjang. Satu hal yang paling dibencinya adalah berada di rumahnya dan mengenang berbagai kenangan buruk masa kecilnya. “Entahlah, James, Aku banyak kerjaan.” “Meskipun di hari libur?” Jonathan memaki dalam hati. Alasan yang buruk sekali. “Kau bisa mengundang temanmu juga, Nath,”bujuk James lagi. “Atau kekasihmu,”James sedikit menyelidik. Jonathan tidak bersuara. Ia tidak ingin berbagi kehidupan pribadi dengan s
Kepala pelayan dengan ramah membawa mereka ke sebuah kamar di lantai dua. “Silahkan masuk tuan Jonathan, kami akan membawa barang bawaan anda segera.” “Terima kasih, Paul.” Paul mengangguk dan membungkuk hormat sebelum berlalu pergi. “Apakah kita akan tinggal dalam satu kamar, Sir?”tanya Emily gugup. Ia mengamati sekeliling. Lampu chandelier bergantung di tengah ruangan. Di samping tempat tidur tampak tirai mewah model overlay warna coklat senada dengan sprei ranjang. “Kita ini sepasang kekasih, Em, tak mungkin mereka memberi kita kamar berbeda.”Jonathan menahan senyum. Suasana hatinya telah berubah. “Dan biasakan memanggilku sayang seperti tadi, oke?”Ia tersenyum puas. “Oh come on, Sir,” “Hei..” “Sayang…” “Itu lebih baik,”seru Jonathan “Tapi dimana aku harus tidur?”Emily memperhatikan, meski kamar tidur itu tampak luas dan berinterior mewah, tapi hanya ada satu ranjang dan sofa kecil . “Tentu saja di ranjang, sayang, ”goda Jonathan. “Berdua?” “Tenang, tidurku
“Sialan!”Jonathan memaki pelan.”Emily.”Ia memanggil wanita di sebelahnya. Emily terbangun dari tidurnya saat tangan kokoh Jonathan mengguncang tubuhnya pelan. Suasana kamar gelap gulita. Emily ingat jika dirinya tidak pernah mematikan lampu kamar. Ia ingat kata-kata Jonathan jika saat tidurpun ia selalu menyalakan lampu. “Tunggu sebentar.”Emily sadar kepanikan yang mulai menyerang Jonathan. Entah sejak kapan lelaki itu berusaha membangunkannya. Emily mengambil handphone dari atas nakas di samping tempat tidur dan menekan tombol senter. Kamar sedikit terang. Emily menoleh ke arah Jonathan yang terduduk di ranjang sembari menyadarkan kepala di sandaran ranjang. Dengan sedikit terburu, Emily turun dari tempat tidur dan menyalakan saklar lampu. Tampaknya mati lampu. Ia segera bergerak perlahan menuju jendela, menyibakkan gorden untuk memastikan di luar juga mati lampu. Suasana taman gelap gulita. Hanya sedikit penerangan dari cahaya bulan. “Bagaimana keadaanmu?”Emily bergerak ke
Warning 21+ Seperti janjinya kepada Kai, hari Sabtu berikutnya Jonathan mengajak Kai menuju New York's Catskill Mountains. Tempat hiking dengan pesona alam yang memungkinkan keduanya untuk hiking dan kemah dari sabtu sore hingga Minggu. Meski tak banyak yang dibicarakan saat keduanya bersama tapi bagi Jonathan itu merupakan awal yang bagus karena Kai sudah mau ikut melakukan perjalanan alam dengannya. Jonathan berencana untuk melakukan hal serupa sebulan kemudian dengan tempat yang berbeda. Rabu malam waktu setempat. Jonathan menjamu salah satu klien di Manhatta, sebuah resto sekaligus pub. Di akhir pertemuan, Jonathan ikut mengantar rombongan ke pintu keluar saat dilihatnya Anna memasuki resto. Sepertinya nampak tak sengaja, padahal tanpa Jonathan sadari, Anna telah menyewa orang untuk mengikuti setiap gerak Jonathan untuk memastikan dirinya bisa berdua dengan lelaki itu. Dan sepertinya malam ini Jonathan tak bisa menolak permintaannya. "Hai, akhirnya aku berkesempatan mentra
Jonathan bergegas pulang setelah mendapat telepon dari Simon. Ia menghampiri Emily yang tidur berbaring di ranjang. “Sayang, kau tak apa-apa?”Jonathan tampak cemas. Emily bergerak duduk saat Jonathan berjalan mendekat dan memeluknya. “Aku tidak apa-apa,”jawab Emily singkat. Jonathan melepas pelukan dan meneliti wajah Emily. “Sebaiknya kita ke rumah sakit.” “Tidak Jonathan. Aku sungguh baik-baik saja.” Jonathan menghela nafas. “Aku benar-benar penasaran siapa orang brengsek yang berani mengganggumu?” Emily diam. Ia tampak merenung. Apakah ia harus mengatakan apa yang telah dilihatnya tadi? “Aku tidak yakin.” “Apa maksudmu?” Emily menatap Jonathan yang memandangnya penuh rasa penasaran. “Aku sempat membaca plat nomer mobil dan sekilas pengemudinya.” “Kau mengenalnya?”kejar Jonathan tak sabar. “Mobil SUV hitam, tapi mungkin aku salah mengenali…” “Siapa, Emily?” Emily diam. “Ayolah, sebutkan siapa,”desak Jonathan. “Aku melihat Kai.” “Kai?”ulang Jonathan terpe
Siang itu saat menjelang makan siang, Ernetta, sang sekretaris mengetuk pintu ruang kerja Jonathan. "Maaf Sir, ada kiriman makanan untuk anda. " Jonathan mengalihkan pandangan dari layar laptop. Ia memperhatikan wanita paruh baya yang tengah berdiri di ambang pintu sembari menyuruh beberapa orang masuk dengan paket makanan dengan jumlah tidak sedikit. Ernetta berjalan mendekat sembari menyerahkan sebuah kartu ucapan. Semoga sesuai seleramu. Anna Jonathan menghela nafas panjang. "Tolong bagikan ke karyawan kita, Ernetta. Aku sudah kenyang. " "Yes, Sir. " Tanpa berkomentar, Ernetta keluar dan kembali dengan beberapa Office Girl yang dengan sigap mengeluarkan tumpukan makanan. Jonathan mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat. "Terima kasih atas makanannya. Kau seharusnya tidak perlu repot. " Tidak butuh lama, terdengar suara panggilan telepon dari Anna. Dengan enggan Jonathan menerimanya. "Apa kau suka makanannya? "Terdengar suara riang dari Anna
Anna Johnson adalah pemilik Anna & Co. Di usia 26 tahun, wanita itu sukses meluncurkan merk kosmetik dengan label namanya sekaligus menguatkan posisinya sebagai mantan model sekaligus pemenang kontes kecantikan terkemuka di Amerika yang mampu bertahan di hiruk pikuknya dunia kecantikan internasional. Meski sebenarnya pencapaiannya saat ini tidak terlepas dari nama besar kedua orang tuanya yang juga merupakan pengusaha sukses di dunia kecantikan. Saat ini Anna tengah duduk di kursi kantornya yang berada di lantai 5 sebuah gedung perkantoran di tengah kota New York. Ia mengamati profil sosok pria di laptopnya. Sesaat ia tampak tak puas dengan tampilan kecil di layar. Ia memperbesar foto itu. Jonathan Walker. Hanya dengan melihat foto itu, ia harus menelan ludah berkali-kali. Tipe pria idamannya. Tegas, tampan dan pintar berbisnis. Minggu lalu keduanya bertemu dalam pertemuan bisnis yang menurutnya sangat singkat. Anna betah berlama-lama duduk di depan pria itu sembari menatap Jonatha
Warning 21+ Emily memejamkan mata, ia mengatur nafas setelah percintaan yang hebat beberapa saat yang lalu. Selimut yang menutupi tubuhnya hanya bertahan 5 menit karena Jonathan kembali menarik selimut itu. “Kau tak perlu ini, Sayang.” Emily menoleh, menghadiahi suaminya senyum manis. “Biarkan aku istirahat sebentar.” Ia membiarkan Jonathan memeluknya. “Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?”tanya Emily sesaat kemudian. “Apa, Sayang?”Jonathan mengusap puting payudara Emily dengan gerakan halus membuat Emily mengerang. “Hentikan, Jonathan,”bisiknya menggeliat geli diiringi tawa tertahan. “Aku tak bisa. Kau terlalu indah, Emily.” Emily membuka mata, menarik selimut menutupi bagian atas tubuhnya. “Aku serius ingin bertanya.” Jonathan berbaring miring. Menumpukan satu tangan untuk menyangga kepalanya. Ia memperhatikan Emily, menunggu wanita itu memberikan pertanyaan. “Siapa kekasih yang paling berkesan dalam hidupmu?”Emily menoleh, menilik wajah Jonathan. “Kamu.”Jo
Warning 21+ Mohon bijak dalam membaca Malam itu Emily bersikeras untuk memasak dan makan di apartemen sementara Jonathan sibuk dengan laptopnya. Ia tengah mencari situs travel perjalanan wisata. “Sayang, bagaimana menurutmu tentang Maldives?”tanyanya ke arah dapur. “Asia, kan?”Emily balik bertanya. “Aku ingin berlibur kesana, apa kau keberatan?” “Baiklah.” Dan hari berikutnya, keduanya melakukan perjalanan menuju Maldives. Jonathan telah memesan sebuah resort di Fari Islands, Patina Maldives. Maldives merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kumpulan atol (pulau koral yang mengelilingi sebuah laguna) di samudera Hindia. Untuk bisa menuju Fari islands, mereka harus menyeberang menggunakan yacht dari Male International Airport sekitar 50 menit. Emily mempererat pelukannya di lengan Jonathan saat berada di kapal. “Apa kau masih takut dengan air, Sayang?” “Tidak saat bersamamu,”ucap Emily. “Kau akan berada di dekatku, kan?” “Selalu.”Jonathan mencium kening Emil
Warning. 21+ Upacara pernikahan sekaligus tempat resepsi pernikahan Jonathan dan Emily diselenggarakan di The Ritz Carlton. Di salah satu kamar presidential suite, tampak Emily tengah duduk termenung di depan cermin. Ia telah selesai berdandan. Model gaun pengantin yang dikenakan Emily adalah fit and flare, membentuk siluet tubuh yang pas di badan dari dada hingga pinggul, kemudian melebar di pertengahan paha. Gaun dengan garis leher berbentuk hati yang menonjolkan tulang selangka dan membuat dadanya tampak lebih berisi. Dengan bahan perpaduan satin dan renda, gaun pengantin itu tampak memukau. Emily tampil elegan sekaligus seksi. Tapi Emily tampak sedih. Tiba-tiba ia rindu ayahnya. Harusnya Robert Patterson yang mendampingi langkahnya hingga altar. Tapi ia harus memupus keinginannya. Sebagai pengganti ayahnya, paman dari pihak ibu yang akan menjadi pendampingnya nanti. “Kamu cantik sekali, sayang.”Aldera, sang ibu memasuki kamar, berdiri di belakang Emily, memandang dari pantula
Manhattan Ave boxing Club. Suasana tidak begitu ramai. Jonathan duduk tenang menunggu kedatangan Andrew hingga sepuluh menit kemudian terlihat Andrew berjalan memasuki sasana. Tanpa kata Jonathan melempar sarung tinju ke arah Andrew yang dengan sigap menerimanya. Seperti tahu keinginan Jonathan, Andrew memasang sarung tinjunya dan memasuki ring tinju. Jonathan sudah bersiap di atas ring. Dengan pandangan awas dan aura membunuh yang begitu kuat. “Apa kau sudah gila mengganggu calon istriku, bajingan?!”Jonathan bergerak cepat menghampiri Andrew dengan melepaskan jab dengan tangan kanan. Andrew menghindar membuat Jonathan semakin beringas. “Aku menginginkan wanitamu sejak pertama kali aku melihatnya.”Tak gentar Andrew membalas pukulan Jonathan. “Brengsek!”Jonathan melakukan uppercut, mengincar dagu Andrew dengan tangan bagian belakang. Saat Andrew menghindar, pukulan Jonathan mengarah pada perut Andrew. Kali ini Andrew lengah dan tak sempat berkelit. Andrew meringis tapi dii
Jonathan keluar dari mobil. Wajahnya menatap tajam ke arah mobil yang dikendarai Simon. Simon tampak cemas. “Maaf, Miss. Tadi Mr Jonathan telepon karena tidak bisa menghubungimu, jadi aku harus memberitahunya tentang tempat ini.” “Tak apa, Simon. Jangan khawatir. Kamu pulanglah dulu, aku akan ikut Jonathan.”Usai bicara Emily membuka pintu dan berjalan menuju Jonathan. Aura Jonathan dingin dan rahangnya tampak mengeras menahan emosi. Raut wajah yang tak biasa diperlihatkan pria itu. “Kenapa dengan teleponmu?Kenapa tidak bisa dihubungi?”tanyanya tajam. “Bisakah kita pulang dulu, Jonathan?Aku akan menjelaskannya di apartemenmu.” Tanpa suara Jonathan masuk ke dalam mobil, menunggu Emily duduk di sebelahnya. Emily menutup pintu dengan hati-hati. Melirik Jonathan yang mencengkeram kemudi hingga urat tangannya terlihat. Setelah memastikan Emily sudah memakai sabuk pengaman, Jonathan mengemudikan mobilnya menuju Penthouse. Sepanjang perjalanan suasana terasa mencekam. Tak ada