Eeehh ... malah nyuruh cerai ckckck maafkan Aditama eyahh pemirsahh
Kinara terpaku. Tatapan mereka bertemu dalam diam, saling mengunci seolah waktu berhenti. Aditama perlahan meraih tangan Kinara, mengecup punggung tangannya dengan penuh kelembutan.“Makan malam denganku, ya?” pintanya lirih.Kinara mengangguk pelan. Wajah polosnya membuat senyum merekah di wajah Aditama. Entahlah, rasanya Kinara seperti terhipnotis. Ia terlalu merindukan sosok Adit.Aditama? Jangan ditanya. Lelaki itu tampak begitu bahagia. Ia menuntun Kinara kembali duduk sebelum melangkah ke dapur. Katanya, malam ini dia yang akan memasak.Kinara tersenyum tipis melihat Aditama yang tampak lihai di dapur. Sesekali lelaki itu menoleh, melempar senyum hangat ke arahnya.Namun pikiran Kinara justru melayang entah ke mana. Ia memikirkan banyak hal—tentang langkah yang harus diambil, tentang perasaannya sendiri. Ia baru tersadar saat merasakan sentuhan lembut di pipinya.“Mikirin apa, hmm?” tanya Aditama lembut.Kinara menggeleng pelan.“Ayo, kita makan,” ajaknya.Ia menatap nasi goreng
Kegiatan keduanya terhenti saat dering telepon dari ponsel Kinara memecah suasana. Ia tersentak, panik menyadari sejauh apa mereka telah melangkah. Dengan cepat, ia melepaskan diri, meraih ponselnya, dan menjauh.“Ma—mas, aku harus pulang—”“Ra,” panggil Aditama, mencoba menahan. Tapi Kinara sudah melangkah pergi.“Ra, kamu nggak bisa ninggalin aku seperti ini lagi—”Aditama memejamkan mata sesaat setelah pintu tertutup. Ia mengusap wajahnya kasar, frustrasi.Kenapa dirinya selalu kehilangan kendali saat bersama Kinara? Padahal dulu, bersama Sheila, bahkan untuk menyentuh pun ia tak pernah berani.Ia selalu mampu menahan diri. Tapi pada Kinara... rasanya seperti terikat terlalu dalam, terlalu kuat.“Halo, Mas—” sapa Kinara, pada panggilan kedua dari Dito.“Darimana saja?” ujar Dito, ketus.Kinara mengigit bibir bawahnya teringat apa yang ia dan Aditama lakukan tadi. “Ra,” panggil Dito karena hanya kesunyian yang menyapa. “Kinara …!”“Iya, Mas?”“Mas mau minta kontak Aji—”“Untuk apa?”
“Papa sudah tanya Aditama belum? Dia mau apa ketemu Kinara?” tanya Rindu, pada sang suami.“Bukannya kamu sudah bilang pada mereka, kalau kita nggak sabar pengin punya cucu? Ya tentu itu tujuan mereka ketemu, apa lagi coba?” jawab Tama santai, tak tahu kalau sampai hari ini anak dan menantunya bahkan belum pernah bertatap muka.“Kan Mama baru ngomong ke Kinaranya, Pa. Ke Aditamanya belum,” sahut Rindu, kesal.“Biarin aja mereka, Ma. Kita tunggu kabar baiknya aja,” balas Tama.'Kabar baik apaan?' batin Rindu makin kesal.Aditama memang mengabari ibunya kalau hari ini ia akan bertemu Kinara. Tapi, dia sendiri nggak tahu persis akan membahas apa. Biasanya, si sulung itu selalu terbuka dan menceritakan semuanya. Tapi kali ini, dia cuma menyebutkan lokasi pertemuan—itu pun karena dipaksa. Saat ditanya lebih jauh, Aditama malah terkesan menghindar. Rindu mulai khawatir, jangan-jangan Kinara dan keluarganya sudah mulai mencuci otak anaknya.***“Gini aja mau ketemu suami?” sindir Ve dengan al
Kinara menyimpan cepat ponselnya menatap datar wanita yang kini duduk di hadapannya tanpa dipersilakan. Siapa lagi kalau bukan Sheila?“Sayang sekali selisih jalan sama Adit,” kata Sheila, sementara Kinara menatap wanita itu begitu dalam.“Aditama?” tanya Kinara, mencoba menyakinkan.Sheila mengangguk membenarkan membuat darah Kinara berdesir. Kenyataan seperti apa ini? Jadi, selama ini Kinara berhubungan dengan suaminya sendiri? Suami gaib itu nyata wujudnya, tapi kenapa kepribadiannya berbeda? Lalu, apa Aditama juga tidak mengenali dirinya? Pernikahan seperti apa ini, mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Jika Kinara memilih bersikap acuh karena kekecewaan yang sudah ada sejak awal pernikahan, lalu apa alasan Aditama untuk tidak berusaha mencari tahu tentang dirinya?Kinara tak mampu berpikir jernih—terlalu diliputi rasa takut.Takut jika Adit-nya akan membencinya saat mengetahui siapa dirinya sebenarnya.Apalagi, Aditama sudah sejak awal menunjukkan kebencian yang begitu dala
“Ra, so proud of you, Cantik,” ujar mentor Kinara tulus.Pujian demi pujian mengalir, menghampiri Kinara satu per satu. Senyum tak lepas dari wajahnya.Pandangan matanya kemudian jatuh pada Ve dan Aji yang duduk di kejauhan, melambaikan tangan padanya. Kinara membalas lambaian itu dengan penuh suka.Mereka, Ve dan Aji, adalah saksi perjalanan hidupnya. Dan Kinara merasa sungguh beruntung memiliki keduanya.“Kami langsung balik ke hotel, ya. Kamu lanjut dinner, ‘kan?” tanya Ve, yang akhirnya bisa mendekat setelah sejak tadi Kinara dikerumuni teman-teman desainer yang bergantian menyapa dan mengajaknya berswafoto.“Oke. Besok lunch bareng, ‘kan?” sahut Kinara memastikan. Ve mengangguk cepat, mengiyakan.***Kinara menginap di hotel yang letaknya tak jauh dari lokasi acara. Banyak desainer lain juga menginap di hotel yang sama—hotel yang memang telah ditunjuk oleh pihak penyelenggara. Malam ini, makan malam penghargaan pun diadakan di ballroom hotel tersebut.Kinara tampil begitu memesona
Sheila memberanikan diri. Ini kali pertamanya, tapi ia rela jika harus menyerahkan segalanya kepada Aditama. Mereka akan kembali bersama hingga tak ada satu pun yang mampu memisahkan.Wanita itu tersenyum puas saat melihat langkah lunglai Adit mendekatinya. Ia sengaja tidak menutup pintu, memberi jalan agar pria itu bisa masuk dengan mudah. Tidak tega melihat langkah lemah itu, Sheila mendekatkan diri—memapah tubuh yang hampir tumbang itu.Namun aroma menyengat menyergap hidungnya dalam temaram cahaya lampu, Sheila tertegun. Itu bukan Aditama. Ia tahu betul, ia tak pernah memberinya alkohol.Sheila segera mendorongnya perlahan, malah menyadarkan si pria. Saat wajah pria itu terangkat, mata Sheila membulat. Di hadapannya berdiri atasannya sendiri—menatapnya nanar. Pria itu mabuk dan kehilangan arah.“Mr. Andro?”“Kamu?” Suara pria itu terdengar serak. “Kamu yang dengan sukarela menawarkan tubuhmu, Sheila?”Sheila membeku. Bukan seperti ini rencananya. Ia seharusnya mengarahkan Mr. Andro
“Bukan kamu yang bersamaku tadi malam. Aku yakin sekali,” sangkal Aditama, suaranya rendah tapi tegas. Jemarinya mencengkeram lengan Sheila, keras, seolah ingin menemukan jawaban yang dia harapkan.Namun jujur Aditama tak sepenuhnya yakin, tapi dalam ingatannya, hanya ada Ara. Sentuhan itu, suara lembut yang memanggil namanya—semuanya milik Ara. Tapi mengapa pagi ini, Sheila yang berdiri di hadapannya?“Kalau begitu siapa? Ara?” Sheila menatapnya tak percaya. “Kamu terus menyebut namanya setiap kali menyentuhku. Aku tak menyangka kamu bisa seperti ini, Dit. Apa kalian sudah terbiasa melakukan hal seperti itu? Sampai-sampai kamu dengan mudah melupakan apa yang terjadi antara kita semalam?”“Cukup, Sheila!”Aditama memejamkan mata, memijat pangkal hidungnya, berusaha keras menata napas dan pikirannya yang porak-poranda. Ia menggali ingatannya dalam-dalam, mencari jejak Sheila di sana, tapi yang ia temukan hanya kekosongan. Tidak ada Sheila. Tidak sepotong pun.Namun yang lebih membingung
“Ayah dan Om Tama sepakat akan menjodohkan kamu dengan anak sulungnya.”Raut wajah Kinara berubah mendengar kalimat yang keluar dari mulut ayahnya. Satu detik, dua detik, tiga detik. Kinara menyemburkan tawanya. “Malah ketawa. Ayah tidak sedang bercanda. Kesehatan Ayah kian menurun, Kinara. Harus ada lelaki yang bisa menemani kamu saat Ayah tidak lagi di sisi kamu.”Fahri sengaja menyempatkan diri mengunjungi anak semata wayangnya yang tengah menempuh studi S1 di Malaysia setelah menjalani pengobatan rutin di negeri jiran itu.Ayah Kinara itu memiliki riwayat penyakit jantung, tapi jelas itu tidak bisa dijadikan alasan. Kinara tidak setuju dengan permintaan ayahnya. “I’ll do anything for you, tapi tidak dengan perjodohan. Kayak anaknya nggak laku saja. Yang mengantri ini banyak, loh, Yah,” katanya bernada santai.“Sekalian pun yang mengantri banyak, itu tidak menjamin kehidupanmu setelah Ayah pergi. Ayah mengenal baik Om Tama.”Kinara Ayudia Riyani, biasa disapa Kinara, anak tunggal Fa
“Bukan kamu yang bersamaku tadi malam. Aku yakin sekali,” sangkal Aditama, suaranya rendah tapi tegas. Jemarinya mencengkeram lengan Sheila, keras, seolah ingin menemukan jawaban yang dia harapkan.Namun jujur Aditama tak sepenuhnya yakin, tapi dalam ingatannya, hanya ada Ara. Sentuhan itu, suara lembut yang memanggil namanya—semuanya milik Ara. Tapi mengapa pagi ini, Sheila yang berdiri di hadapannya?“Kalau begitu siapa? Ara?” Sheila menatapnya tak percaya. “Kamu terus menyebut namanya setiap kali menyentuhku. Aku tak menyangka kamu bisa seperti ini, Dit. Apa kalian sudah terbiasa melakukan hal seperti itu? Sampai-sampai kamu dengan mudah melupakan apa yang terjadi antara kita semalam?”“Cukup, Sheila!”Aditama memejamkan mata, memijat pangkal hidungnya, berusaha keras menata napas dan pikirannya yang porak-poranda. Ia menggali ingatannya dalam-dalam, mencari jejak Sheila di sana, tapi yang ia temukan hanya kekosongan. Tidak ada Sheila. Tidak sepotong pun.Namun yang lebih membingung
Sheila memberanikan diri. Ini kali pertamanya, tapi ia rela jika harus menyerahkan segalanya kepada Aditama. Mereka akan kembali bersama hingga tak ada satu pun yang mampu memisahkan.Wanita itu tersenyum puas saat melihat langkah lunglai Adit mendekatinya. Ia sengaja tidak menutup pintu, memberi jalan agar pria itu bisa masuk dengan mudah. Tidak tega melihat langkah lemah itu, Sheila mendekatkan diri—memapah tubuh yang hampir tumbang itu.Namun aroma menyengat menyergap hidungnya dalam temaram cahaya lampu, Sheila tertegun. Itu bukan Aditama. Ia tahu betul, ia tak pernah memberinya alkohol.Sheila segera mendorongnya perlahan, malah menyadarkan si pria. Saat wajah pria itu terangkat, mata Sheila membulat. Di hadapannya berdiri atasannya sendiri—menatapnya nanar. Pria itu mabuk dan kehilangan arah.“Mr. Andro?”“Kamu?” Suara pria itu terdengar serak. “Kamu yang dengan sukarela menawarkan tubuhmu, Sheila?”Sheila membeku. Bukan seperti ini rencananya. Ia seharusnya mengarahkan Mr. Andro
“Ra, so proud of you, Cantik,” ujar mentor Kinara tulus.Pujian demi pujian mengalir, menghampiri Kinara satu per satu. Senyum tak lepas dari wajahnya.Pandangan matanya kemudian jatuh pada Ve dan Aji yang duduk di kejauhan, melambaikan tangan padanya. Kinara membalas lambaian itu dengan penuh suka.Mereka, Ve dan Aji, adalah saksi perjalanan hidupnya. Dan Kinara merasa sungguh beruntung memiliki keduanya.“Kami langsung balik ke hotel, ya. Kamu lanjut dinner, ‘kan?” tanya Ve, yang akhirnya bisa mendekat setelah sejak tadi Kinara dikerumuni teman-teman desainer yang bergantian menyapa dan mengajaknya berswafoto.“Oke. Besok lunch bareng, ‘kan?” sahut Kinara memastikan. Ve mengangguk cepat, mengiyakan.***Kinara menginap di hotel yang letaknya tak jauh dari lokasi acara. Banyak desainer lain juga menginap di hotel yang sama—hotel yang memang telah ditunjuk oleh pihak penyelenggara. Malam ini, makan malam penghargaan pun diadakan di ballroom hotel tersebut.Kinara tampil begitu memesona
Kinara menyimpan cepat ponselnya menatap datar wanita yang kini duduk di hadapannya tanpa dipersilakan. Siapa lagi kalau bukan Sheila?“Sayang sekali selisih jalan sama Adit,” kata Sheila, sementara Kinara menatap wanita itu begitu dalam.“Aditama?” tanya Kinara, mencoba menyakinkan.Sheila mengangguk membenarkan membuat darah Kinara berdesir. Kenyataan seperti apa ini? Jadi, selama ini Kinara berhubungan dengan suaminya sendiri? Suami gaib itu nyata wujudnya, tapi kenapa kepribadiannya berbeda? Lalu, apa Aditama juga tidak mengenali dirinya? Pernikahan seperti apa ini, mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Jika Kinara memilih bersikap acuh karena kekecewaan yang sudah ada sejak awal pernikahan, lalu apa alasan Aditama untuk tidak berusaha mencari tahu tentang dirinya?Kinara tak mampu berpikir jernih—terlalu diliputi rasa takut.Takut jika Adit-nya akan membencinya saat mengetahui siapa dirinya sebenarnya.Apalagi, Aditama sudah sejak awal menunjukkan kebencian yang begitu dala
“Papa sudah tanya Aditama belum? Dia mau apa ketemu Kinara?” tanya Rindu, pada sang suami.“Bukannya kamu sudah bilang pada mereka, kalau kita nggak sabar pengin punya cucu? Ya tentu itu tujuan mereka ketemu, apa lagi coba?” jawab Tama santai, tak tahu kalau sampai hari ini anak dan menantunya bahkan belum pernah bertatap muka.“Kan Mama baru ngomong ke Kinaranya, Pa. Ke Aditamanya belum,” sahut Rindu, kesal.“Biarin aja mereka, Ma. Kita tunggu kabar baiknya aja,” balas Tama.'Kabar baik apaan?' batin Rindu makin kesal.Aditama memang mengabari ibunya kalau hari ini ia akan bertemu Kinara. Tapi, dia sendiri nggak tahu persis akan membahas apa. Biasanya, si sulung itu selalu terbuka dan menceritakan semuanya. Tapi kali ini, dia cuma menyebutkan lokasi pertemuan—itu pun karena dipaksa. Saat ditanya lebih jauh, Aditama malah terkesan menghindar. Rindu mulai khawatir, jangan-jangan Kinara dan keluarganya sudah mulai mencuci otak anaknya.***“Gini aja mau ketemu suami?” sindir Ve dengan al
Kegiatan keduanya terhenti saat dering telepon dari ponsel Kinara memecah suasana. Ia tersentak, panik menyadari sejauh apa mereka telah melangkah. Dengan cepat, ia melepaskan diri, meraih ponselnya, dan menjauh.“Ma—mas, aku harus pulang—”“Ra,” panggil Aditama, mencoba menahan. Tapi Kinara sudah melangkah pergi.“Ra, kamu nggak bisa ninggalin aku seperti ini lagi—”Aditama memejamkan mata sesaat setelah pintu tertutup. Ia mengusap wajahnya kasar, frustrasi.Kenapa dirinya selalu kehilangan kendali saat bersama Kinara? Padahal dulu, bersama Sheila, bahkan untuk menyentuh pun ia tak pernah berani.Ia selalu mampu menahan diri. Tapi pada Kinara... rasanya seperti terikat terlalu dalam, terlalu kuat.“Halo, Mas—” sapa Kinara, pada panggilan kedua dari Dito.“Darimana saja?” ujar Dito, ketus.Kinara mengigit bibir bawahnya teringat apa yang ia dan Aditama lakukan tadi. “Ra,” panggil Dito karena hanya kesunyian yang menyapa. “Kinara …!”“Iya, Mas?”“Mas mau minta kontak Aji—”“Untuk apa?”
Kinara terpaku. Tatapan mereka bertemu dalam diam, saling mengunci seolah waktu berhenti. Aditama perlahan meraih tangan Kinara, mengecup punggung tangannya dengan penuh kelembutan.“Makan malam denganku, ya?” pintanya lirih.Kinara mengangguk pelan. Wajah polosnya membuat senyum merekah di wajah Aditama. Entahlah, rasanya Kinara seperti terhipnotis. Ia terlalu merindukan sosok Adit.Aditama? Jangan ditanya. Lelaki itu tampak begitu bahagia. Ia menuntun Kinara kembali duduk sebelum melangkah ke dapur. Katanya, malam ini dia yang akan memasak.Kinara tersenyum tipis melihat Aditama yang tampak lihai di dapur. Sesekali lelaki itu menoleh, melempar senyum hangat ke arahnya.Namun pikiran Kinara justru melayang entah ke mana. Ia memikirkan banyak hal—tentang langkah yang harus diambil, tentang perasaannya sendiri. Ia baru tersadar saat merasakan sentuhan lembut di pipinya.“Mikirin apa, hmm?” tanya Aditama lembut.Kinara menggeleng pelan.“Ayo, kita makan,” ajaknya.Ia menatap nasi goreng
“Jadi kalian sudah officialy?” tanya Kinara dan pasangan di hadapannya mengangguk bersamaan. “Dan Ve ini wanita yang kamu maksud waktu itu? Wanita yang ingin kamu perjuangkan?” Kinara bertanya lagi.Ve menoleh, menatap Aji yang mengangguk membenarkan.“Aaa… co cweeeeet,” ujar Ve dengan nada manja, lalu bergelayut di lengan pacar barunya. Kinara mendengus pelan, merasa risih.“Oh ya, aku pinjam dulu pacar barumu ini,” kata Kinara sambil tersenyum nakal, membuat Aji berdehem gugup. “Aku sewa jadi suami dadakan,” lanjutnya, menyesap minuman di tangannya.“Jangan bilang ini untuk mengelabui Mamas-mu, ya?” tanya Ve sambil menyipitkan mata. Kinara hanya mengangguk tenang.Aji menggigit bibir bawahnya, menahan ucapan. Saat bertemu Aditama tadi, dia sudah terlanjur basah dan berakhir jujur bahwa hubungannya dengan Kinara hanyalah sandiwara. Aditama terlihat begitu bahagia mendengarnya. Tapi, ia meminta Aji untuk tetap bersikap seolah tidak tahu apa-apa—seolah kebenaran itu tak pernah diungkapk
Rindu belum puas dengan penjelasan Aditama. Namun, dari tutur kata putra sulungnya, jelas terlihat bahwa Aditama menginginkan wanita itu.“Jadi, dia gadis yang Mas temui di Singapura waktu itu?” tanya Rindu, mengingat cerita sang anak tiga tahun lalu. “Memangnya tidak ada niatan untuk memperbaiki hubungan dengan Kinara—”“Mas nggak mau bahas dia, Ma.”Rindu tersenyum tipis. Hari itu, ia sengaja memberikan afirmasi positif kepada calon menantunya, karena tahu betul Aditama masih menyimpan kebencian yang dalam terhadap istrinya. Bukan hanya enggan memiliki anak dari Kinara—mendengar namanya saja sudah membuat Aditama muak. Ia tahu, Kinara tak akan pernah diterima. Yang menanti wanita itu hanyalah penolakan. Rindu tdak menyukai Kinara karena keluarga besannya tidak ada yang benar.***“Gantiin gue, Ve,” bujuk Kinara pada Ve yang sedang menikmati camilan yang Aji pegang. Sesekali lelaki itu menyuapi Ve dengan manja.“Nggak bisa, Sayangku, Cintaku. Tugasku numpuk. Tumben banget nggak mau ik