Beranda / Romansa / Cinta di Balik Singgasana / Perjalanan ke Mandalawangi II

Share

Perjalanan ke Mandalawangi II

Penulis: Wahyu H
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-22 16:14:26

Langit pagi di atas Galuh masih berwarna kelabu kehijauan, diselimuti kabut tipis yang menggantung malas di antara pepohonan aren dan beringin tua. Angin fajar meniup lembut, menggoyangkan panji-panji kerajaan yang berkibar tinggi di gerbang utama. Di bawahnya, deretan pasukan berkuda dan pejalan kaki berdiri tegap, membentuk formasi perlindungan sempurna di sekitar kereta utama kerajaan.

Iring-iringan pun mulai bergerak.

Roda-roda kereta utama berukirkan lambang bunga teratai emas itu mulai berderak, melewati jalanan batu berlumut yang membelah halaman istana. Bunyi lonceng kecil dari kereta pengiring berdenting pelan, bersatu dengan suara derap kaki kuda dan langkah para prajurit Galuh.

Di Dalam Kereta:

Di balik tirai tipis berwarna gading, Dyah Pitaloka duduk bersandar pada sandaran bersulam sutra. Pandangannya mengarah keluar, ke sela-sela tirai, menatap sinar mentari pagi yang mulai mencairkan kabut. Ia tak banyak bicara pagi ini. Dalam diamnya, ia merenungi apa yang dikatakan sang Prabu malam sebelumnya.

Di seberangnya, Nyi Kirana menyiapkan teh bunga kenanga dalam cawan perak kecil. Di sisi lain, Dayang Sari mengecek kembali wadah-wadah kecil berisi minyak kayu putih dan ramuan untuk perjalanan jauh.

“Apa Putri ingin beristirahat dulu sebelum kita menuruni lembah hutan Damar?” tanya Nyi Kirana lembut.

Dyah Pitaloka menggeleng pelan. “Tidak, aku ingin melihat perjalanan. Ini kali pertama aku keluar sejauh ini tanpa iring-iringan pesta. Rasanya... tenang.”

Di Luar Kereta:

Formasi pengawal terbagi menjadi tiga lapis. Di depan, pasukan penjejak jalan dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayasena sendiri. Di baris kiri pengawal luar, Raka menunggangi kuda coklat kelabu miliknya. Ia fokus, tak menyadari bahwa kereta utama yang dikawal itu memuat sang putri yang kemarin sempat ia temui di taman belakang istana.

“Waspada! Kita akan memasuki hutan Damar sebentar lagi!” suara Ki Jayasena bergema lantang.

Raka melirik kanan-kiri. Di sisi barat, terlihat lembah terbuka dengan kabut yang belum sepenuhnya terangkat. Di sisi timur, hutan damar menjulang lebat, menjanjikan kesejukan... dan mungkin juga bahaya. Jalur ini dikenal sebagai tempat yang rawan, bukan karena musuh, tapi karena alamnya liar dan kadang tak bisa diprediksi.

Semakin jauh dari pusat Galuh, medan yang dilalui makin berubah. Tanah datar yang tadi dilapisi batu-batu mulus, kini berganti menjadi jalur sempit berlumpur, diapit pohon damar setinggi belasan depa. Cahaya matahari tersekat dahan-dahan tinggi, membuat jalur itu seperti lorong bayangan yang menggeliat di bawah langit yang tertutup dedaunan.

Udara berubah. Tidak lagi segar seperti tadi pagi, tapi mulai lembap, berat, dengan aroma kayu basah dan daun gugur. Suara jangkrik dan burung yang tadi ramai, kini perlahan menghilang, digantikan dengan desau angin yang bersiul di antara celah batang.

Ki Jayasena mengangkat tangan. “Perlambat langkah. Jalur di depan menurun dan berbelok tajam.”

Kereta kerajaan berdecit pelan saat rodanya menyentuh turunan tajam. Para kusir memperlambat laju, sementara pengawal kanan-kiri mulai lebih rapat, berjaga dari segala arah.

Raka, yang berada di sisi kiri, mulai merasa ada yang tidak biasa. Ia menurunkan posisi duduknya sedikit, tangan kanan menggenggam gagang golok di pinggang. Ia tahu, hutan damar kadang menyembunyikan sesuatu yang tak terlihat.

Dari balik pohon besar di kejauhan, terdengar gerakan cepat. Daun gugur bergetar. Seekor kijang kecil meloncat menyeberang jalan dan menghilang ke balik semak. Raka menarik napas lega. Tapi itu hanya awal.

Tak lama kemudian, suara pelan-pelan mencicit datang dari arah timur. Gerombolan monyet besar bergerak di dahan pohon, memandang ke bawah seolah mengikuti iring-iringan. Beberapa dari mereka melempar ranting dan batu kecil, membuat kuda-kuda di barisan belakang gelisah.

"Tahan barisan!" teriak seorang prajurit.

Kereta utama berhenti sejenak. Dari dalam, Dyah Pitaloka membuka tirai, menatap ke arah suara. Nyi Kirana langsung menutup tirai kembali.

"Biarkan para pengawal yang urus, Putri," ucapnya pelan.

Sementara itu, Raka turun dari kudanya, mendekati arah suara. Ia menajamkan mata, menatap bayangan gelap di antara akar damar tua. Di sana... samar, seperti ada jejak kaki manusia, tapi hanya satu arah—menuju mereka, lalu hilang.

"Ki Jayasena!" seru Raka, "Izinkan saya dan dua orang menyisir sisi kiri jalur."

Ki Jayasena mengangguk. "Cepat kembali sebelum kereta bergerak lagi. Waktu kita sempit."

Langkah Raka merayap pelan di bawah kanopi gelap hutan damar. Dua prajurit di belakangnya, Mahesa dan Nanta, berjalan tanpa suara, golok terhunus di sisi paha. Daun basah yang diinjak tak luput dari perhatian. Di tanah, bekas jejak kaki yang tadi dilihat Raka ternyata membentuk pola—arah masuk hutan, tapi tidak ada jejak keluar.

Raka jongkok, menelusuri bentuk jejak itu.

“Manusia. Tapi tanpa alas kaki,” gumamnya.

“Pemburu liar?” tanya Mahesa pelan.

“Tak mungkin,” Raka menggeleng. “Pemburu tidak masuk sedalam ini sendirian. Dan tidak berjalan lurus ke arah jalur kerajaan.”

Langit di atas meredup sejenak. Angin menderu lewat dahan. Daun-daun bergoyang. Di kejauhan, suara burung hantu terdengar padahal belum sore.

“Maju lagi sedikit,” perintah Raka.

Langkah mereka membawa ke sebuah celah sempit antara dua akar damar tua. Di situ, mereka menemukan sesuatu—ikat kepala sobek, warna merah tanah, masih lembap.

Raka mengambilnya. “Baru jatuh... beberapa jam lalu. Tapi anehnya tak ada tanda orang itu terluka atau melawan.”

Mereka bertiga saling pandang. Diam. Suara alam terasa terlalu senyap.

Kemudian, semak di sisi kanan bergerak cepat.

“Siap!” seru Raka.

Mahesa dan Nanta mengangkat senjata. Tapi yang muncul hanya seekor burung jalak besar yang melompat keluar dan terbang melintasi kepala mereka. Nafas mereka turun perlahan, tapi waspada tetap menyala.

“Sudah. Kita kembali,” ucap Raka akhirnya. “Tak boleh terlalu jauh dari iring-iringan. Tapi ini harus kulaporkan.”

Saat mereka kembali ke jalur utama, langit sudah berganti warna jingga. Sinar matahari tembus di sela pepohonan seperti sulur cahaya.

Di kejauhan, kereta kerajaan sudah mulai bergerak perlahan. Raka kembali naik ke kudanya, tapi matanya masih menatap ke balik hutan.

Jejak itu... entah siapa yang tinggalkan. Tapi rasanya, ada sesuatu yang mengawasi perjalanan mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Cinta di Balik Singgasana   Perbatasan Damar, Senja yang Tertahan

    Senja mulai mengusap langit dengan warna tembaga. Iring-iringan kerajaan berhenti di sebuah tanah datar di pinggir hutan damar, dikelilingi semak dan pohon randu tua. Tempat itu memang sudah dipilih sebelumnya oleh Ki Jayasena—lokasi aman yang biasa digunakan pasukan Galuh saat perjalanan panjang.Tenda utama untuk sang putri mulai didirikan di sisi timur, sementara tenda pengawal perempuan—dipimpin Nyi Kirana—dibangun tak jauh dari sana, menghadap jalur sungai kecil. Di sisi lain, para prajurit membentuk barisan melingkar, menyusun bivak sederhana dari daun pisang dan tikar gulung.Raka kembali ke barisan pasukan, kudanya berderap pelan, wajahnya tertutup raut pikir yang belum selesai. Begitu ia turun, Ki Jayasena langsung menghampiri.“Kau telat sepuluh menit dari batas waktu. Ada apa di dalam sana?” suara Ki Jayasena tegas tapi tenang, khas seorang panglima tua yang telah kenyang bertempur.Raka menjawab sambil menyerahkan ikat kepala merah tan

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   “Dedaunan, Tatapan, dan Cerita yang Belum Selesai”

    Matahari pagi mulai mengusir kabut tipis dari hutan damar. Aroma nasi hangat, sayur rebus, dan ikan bakar sederhana menyebar di perkemahan. Beberapa prajurit duduk bersila, makan cepat tanpa banyak bicara. Perjalanan hari ini masih panjang, dan malam tadi cukup mengguncang semua.Di sisi timur kemah, di balik kain penutup khusus, Putri Dyah Pitaloka duduk dengan tenang bersama Nyi Kirana dan dua pengawal wanita lainnya: Nyi Merta dan Nyi Lintang. Sarapan mereka lebih terjaga—diatur khusus oleh juru masak istana yang dibawa dari Galuh.Namun pagi ini, ada kegelisahan kecil di mata sang putri. Pandangannya sesekali melirik keluar tenda, mencari sosok yang tidak disebutkan.Tak lama kemudian, Raka lewat dengan mangkuk kayu berisi makanan di tangannya. Ia hendak kembali ke tempat para pengawal duduk. Tapi suara lembut memanggilnya.“Raka,” ujar Dyah pelan dari balik kain. “Sebentar saja.”Raka menoleh, agak ragu. Namun saat Nyi Kirana mengang

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   "Tebusan dalam Bayang-bayang Damar"

    Malam semakin larut, dan rombongan pasukan kerajaan yang sedang menempuh perjalanan menuju Mandalawangi melaju pelan melalui jalur sempit yang terbentang di tengah hutan damar. Meskipun sudah malam, mereka tidak bisa berhenti karena pentingnya mencapai tujuan esok hari. Setiap langkah pasukan dijaga ketat, sementara langit malam menggelapkan suasana. Raka, yang tetap menjaga keamanan di sekitar Putri Dyah Pitaloka, melintas di antara barisan pasukan, tetap waspada. Di sebelahnya, Dyah Pitaloka, dengan jubah yang membalut tubuhnya, tetap diam, menyadari ketegangan yang menggantung di udara. Di sisi lain, Ki Jayasena—pemimpin pasukan—memperhatikan sekitar dengan cermat, mencurigai ada yang tidak beres di hutan yang sepi ini. Meskipun hutan ini pernah dilalui pasukan kerajaan sebelumnya, malam ini terasa berbeda. Waspada terhadap bahaya yang tak terlihat, dia mengarahkan pasukan untuk bersiap. “Tetap siaga! Jangan lengah!” perintahnya, suaranya tegas dan penuh kewaspadaan. Sement

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-23
  • Cinta di Balik Singgasana   Sidang di Balik Tirai Emas

    Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-23

Bab terbaru

  • Cinta di Balik Singgasana   Siasat Raja dan Bayangan Bahaya

    Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su

  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan — deras, tapi terasa cepat.Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu."Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat.Raka ragu. "Ke mana, Gusti?"Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu."Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga.Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil.Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah.Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri."Tak banyak orang ta

  • Cinta di Balik Singgasana   Kesadaran yang Kembali

    Embun pagi turun pelan-pelan di halaman dalam istana. Di sudut sebuah ruangan kecil berbau akar-akaran, Raka Wijaya membuka matanya. Atap anyaman daun kelapa yang rapuh menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Udara di sekelilingnya dingin, lembab, dan setiap helaan napas terasa berat, seolah paru-parunya berkarat. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya menolak. Hanya rasa sakit samar yang mengingatkan bahwa ia masih hidup. Suara langkah ringan mendekat. Lalu sebuah suara—pelan, namun jelas. "Dia sudah sadar." Raka melirik ke samping. Seorang tabib tua berjenggot putih duduk di bangku kecil, membalik halaman sebuah kitab daun lontar. Di sampingnya, berdiri seorang pemuda muda berbaju coklat kusam, mungkin pembantunya. Tabib mendekat, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Raka, lalu mengangguk puas. "Darahnya mengalir lagi dengan tenang. Nyawanya kembali berlabuh." Raka membuka mulutnya untuk berbicara, tapi hanya suara serak yang keluar. Tubuhnya seperti terkurung dalam be

  • Cinta di Balik Singgasana   Di Bawah Langit Yang Luka

    Udara malam di Istana Kawali terasa menggantung berat, seperti sebelum badai.Bulan sabit menggantung rendah, memantulkan cahaya pucat ke halaman istana yang kosong.Angin membawa aroma getir dari bunga kamboja, menciptakan kesan suram di antara tembok batu.Di dalam sebuah ruangan remang-remang, di balik dinding-dinding batu kokoh, terbaringlah Raka.Tubuhnya tak ubahnya mayat hidup — pucat, kurus, dan penuh luka.Dada telanjangnya dibalut perban kasar, beberapa di antaranya sudah berubah warna, bernoda darah yang menghitam.Napasnya terdengar berat, bagai kuda yang kelelahan di medan perang.Tabib istana berkali-kali membersihkan lukanya dengan air rebusan daun sirih.Setiap sentuhan di kulitnya yang terbakar luka membuat Raka menggeliat lemah, kadang merintih tak terdengar.Satu luka besar membelah dari bahu kanan ke sisi rusuknya.Luka itu dijahit dengan benang kasar, tiap tusukan jarumnya meninggalkan bekas ngilu yang terasa hingga ke tulang.Pagi yang kelabu baru mulai merangkak

  • Cinta di Balik Singgasana   Sidang di Balik Tirai Emas

    Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status