Beranda / Romansa / Cinta di Balik Singgasana / “Dedaunan, Tatapan, dan Cerita yang Belum Selesai”

Share

“Dedaunan, Tatapan, dan Cerita yang Belum Selesai”

Penulis: Wahyu H
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-22 16:40:48

Matahari pagi mulai mengusir kabut tipis dari hutan damar. Aroma nasi hangat, sayur rebus, dan ikan bakar sederhana menyebar di perkemahan. Beberapa prajurit duduk bersila, makan cepat tanpa banyak bicara. Perjalanan hari ini masih panjang, dan malam tadi cukup mengguncang semua.

Di sisi timur kemah, di balik kain penutup khusus, Putri Dyah Pitaloka duduk dengan tenang bersama Nyi Kirana dan dua pengawal wanita lainnya: Nyi Merta dan Nyi Lintang. Sarapan mereka lebih terjaga—diatur khusus oleh juru masak istana yang dibawa dari Galuh.

Namun pagi ini, ada kegelisahan kecil di mata sang putri. Pandangannya sesekali melirik keluar tenda, mencari sosok yang tidak disebutkan.

Tak lama kemudian, Raka lewat dengan mangkuk kayu berisi makanan di tangannya. Ia hendak kembali ke tempat para pengawal duduk. Tapi suara lembut memanggilnya.

“Raka,” ujar Dyah pelan dari balik kain. “Sebentar saja.”

Raka menoleh, agak ragu. Namun saat Nyi Kirana mengangguk, ia pun melangkah mendekat, menjaga jarak hormat.

“Terima kasih untuk semalam,” ucap Putri Dyah, matanya jernih, suaranya tenang. “Tanpa kau, mungkin... suasana kemah akan jauh lebih buruk.”

Raka menunduk sedikit. “Itu sudah tugasku, Ratu.”

Dyah tersenyum kecil. “Kau tahu... aku baru pertama kali melihat pepohonan seperti itu,” katanya sambil menunjuk ke arah pepohonan damar di kejauhan. “Yang daunnya menjuntai seperti hujan, dan kulitnya mengelupas seperti sisik ular.”

Raka menoleh ke arah yang dimaksud, lalu menjelaskan dengan tenang. “Itu pohon damar. Getahnya bisa dijadikan pelita. Tapi kalau terlalu tua, kayunya rapuh. Binatang seperti macan suka bersembunyi di bawahnya karena lembap.”

Putri Dyah mengangguk, wajahnya mulai bersinar dengan rasa ingin tahu.

“Lalu yang di sampingnya, yang tumbuh rendah dan daunnya berbulu?”

“Itu pohon semar. Dedaunnya dipakai tabib kampung untuk mengompres demam. Tapi jangan terlalu sering dipegang, bisa gatal.”

Nyi Kirana melirik sang putri yang kini tampak hidup. Bukan sebagai seorang Ratu muda yang dibesarkan di balik tembok istana, tapi gadis remaja yang sedang mengenal dunia.

“Aku tidak tahu dunia seluas ini,” bisik Dyah. “Yang kutahu hanya ukiran dinding balairung dan naskah-naskah tua yang menjemukan.”

Raka hanya menatap sejenak, lalu kembali menunduk sopan. “Dunia di luar istana memang luas, Ratu. Tapi tidak semuanya indah. Kadang keras. Kadang berbahaya.”

“Tapi tetap menarik,” gumam Dyah Pitaloka, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Kabut pagi perlahan menguap, digantikan cahaya mentari yang mulai menembus celah pepohonan. Suara tenda dilipat, logistik dikemas, dan pelana kuda diperiksa bergema di seluruh penjuru perkemahan. Derap langkah para prajurit menciptakan ritme yang berirama—tepat, tegas, dan penuh persiapan.

Raka berdiri di dekat kudanya, memeriksa kembali ikatan perlengkapan. Ia tak lagi menoleh ke arah tenda sang putri, seolah tak ingin tergoda oleh bayangan lembut pagi tadi.

“Semua pasukan bersiap! Rombongan akan bergerak lima puluh tombak ke depan sebelum pembentukan barisan.”

Teriakan pimpinan regu menggema, membuat beberapa prajurit yang masih sibuk segera bergegas.

Prajurit pengawal berjalan ke posisi masing-masing. Sebagian besar membawa tombak panjang, pedang pendek, serta perisai rotan. Di sisi kanan, barisan pemanah sudah bersiaga. Di belakang, para penjaga logistik dan juru masak menggiring kereta perbekalan yang ditarik sapi hutan.

Raka berjalan cepat ke sisi pasukan pengawal depan. Ia tidak lagi membawa banyak beban—kecuali pikirannya sendiri yang entah kenapa terasa lebih berat dari hari sebelumnya.

Sementara itu, dari sisi kemah yang lebih dalam, tenda khusus sang putri mulai dilipat. Kereta utama—dihiasi ukiran motif bunga galuh dan singa perisai kerajaan—sudah menunggu. Di dalamnya, Putri Dyah Pitaloka duduk anggun, ditemani Nyi Kirana dan dua pengawal wanitanya.

“Semua siap, Ratu,” lapor Nyi Kirana lembut.

Dyah hanya mengangguk pelan, lalu melirik tirai jendela kecil kereta yang setengah terbuka.

Di kejauhan, ia melihat Raka sedang mengatur barisan depan. Tapi tidak sepatah kata pun terucap. Hanya tatapan tenang yang ia sembunyikan dalam hati.

Krek!

Kereta mulai bergerak. Roda-rodanya menggilas tanah basah hutan, meninggalkan bekas yang kelak mungkin akan hilang tertutup lumut dan daun gugur.

Pasukan perlahan meninggalkan tempat perkemahan. Suara peluit kayu ditiup—menandai awal perjalanan hari ketiga menuju Mandalawangi, melintasi jalur sempit di antara pepohonan damar yang makin rapat, makin sunyi.

Derap langkah kuda dan denting lembut logam persenjataan menciptakan irama yang memecah kesunyian. Suara burung pun terasa jauh, tergantikan oleh desir angin yang membawa aroma tanah basah, getah, dan daun busuk.

Raka berjalan paling depan bersama barisan pengintai. Mata elangnya menelisik setiap gerak di balik semak dan pohon. Sesekali ia memberi isyarat tangan, menyuruh pengintai lainnya menyebar lebih lebar, membentuk formasi setengah lingkaran yang menjaga jalur utama tetap aman.

Di tengah barisan, kereta sang putri berjalan pelan, berguncang pelan karena jalan tanah yang mulai dipenuhi akar-akar besar. Di dalamnya, Putri Dyah Pitaloka tak lagi hanya diam. Ia membuka tirai kecil, menatap keluar, seolah ingin tahu bagaimana bentuk dunia yang selama ini hanya dibacanya dalam naskah kuno.

"Hutannya pekat sekali, Nyi Kirana," katanya pelan.

"Memang, Ratu. Ini belum separuh dari wilayah Mandalawangi. Hutan damar memang dikenal menyimpan kabut sepanjang tahun," jawab Nyi Kirana, sambil memperhatikan arah jalur luar.

"Apakah aman?"

"Selama pengawal utama kita tetap siaga, tak akan ada yang mendekat."

Tapi rasa penasaran sang putri sudah tidak bisa lagi disembunyikan. Dunia di luar istana ini… nyata. Liar. Tapi sekaligus… memesona.

Sementara itu di barisan depan, Raka menghentikan kudanya. Ia turun, mendekati sebuah bekas pijakan kaki di tanah lembek. Jelas bukan tapak manusia. Ia menyentuhnya, meraba bentuk dan kedalamannya.

"Jejak... tapi bukan rusa," gumamnya.

Salah satu pengintai mendekat.

"Macan tutul hutan, mungkin. Tapi sudah lewat semalam."

Raka mengangguk, memberi aba-aba untuk terus bergerak. Tapi perasaannya mulai tak tenang. Ia mengenal hutan, dan hutan ini... terasa sedang memperhatikan.

Perjalanan pun berlanjut. Akar-akar besar membuat laju kereta makin lambat. Beberapa kali pengawal harus turun tangan membantu mendorong atau menahan roda agar tak tergelincir ke sisi curam.

Hari mulai condong ke siang. Tapi cahaya tetap redup. Kanopi pohon damar membuat waktu seakan membeku di tengah remang yang abadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Cinta di Balik Singgasana   "Tebusan dalam Bayang-bayang Damar"

    Malam semakin larut, dan rombongan pasukan kerajaan yang sedang menempuh perjalanan menuju Mandalawangi melaju pelan melalui jalur sempit yang terbentang di tengah hutan damar. Meskipun sudah malam, mereka tidak bisa berhenti karena pentingnya mencapai tujuan esok hari. Setiap langkah pasukan dijaga ketat, sementara langit malam menggelapkan suasana. Raka, yang tetap menjaga keamanan di sekitar Putri Dyah Pitaloka, melintas di antara barisan pasukan, tetap waspada. Di sebelahnya, Dyah Pitaloka, dengan jubah yang membalut tubuhnya, tetap diam, menyadari ketegangan yang menggantung di udara. Di sisi lain, Ki Jayasena—pemimpin pasukan—memperhatikan sekitar dengan cermat, mencurigai ada yang tidak beres di hutan yang sepi ini. Meskipun hutan ini pernah dilalui pasukan kerajaan sebelumnya, malam ini terasa berbeda. Waspada terhadap bahaya yang tak terlihat, dia mengarahkan pasukan untuk bersiap. “Tetap siaga! Jangan lengah!” perintahnya, suaranya tegas dan penuh kewaspadaan. Sement

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-23
  • Cinta di Balik Singgasana   Sidang di Balik Tirai Emas

    Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-23
  • Cinta di Balik Singgasana   Di Bawah Langit Yang Luka

    Udara malam di Istana Kawali terasa menggantung berat, seperti sebelum badai.Bulan sabit menggantung rendah, memantulkan cahaya pucat ke halaman istana yang kosong.Angin membawa aroma getir dari bunga kamboja, menciptakan kesan suram di antara tembok batu.Di dalam sebuah ruangan remang-remang, di balik dinding-dinding batu kokoh, terbaringlah Raka.Tubuhnya tak ubahnya mayat hidup — pucat, kurus, dan penuh luka.Dada telanjangnya dibalut perban kasar, beberapa di antaranya sudah berubah warna, bernoda darah yang menghitam.Napasnya terdengar berat, bagai kuda yang kelelahan di medan perang.Tabib istana berkali-kali membersihkan lukanya dengan air rebusan daun sirih.Setiap sentuhan di kulitnya yang terbakar luka membuat Raka menggeliat lemah, kadang merintih tak terdengar.Satu luka besar membelah dari bahu kanan ke sisi rusuknya.Luka itu dijahit dengan benang kasar, tiap tusukan jarumnya meninggalkan bekas ngilu yang terasa hingga ke tulang.Pagi yang kelabu baru mulai merangkak

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Cinta di Balik Singgasana   Kesadaran yang Kembali

    Embun pagi turun pelan-pelan di halaman dalam istana. Di sudut sebuah ruangan kecil berbau akar-akaran, Raka Wijaya membuka matanya. Atap anyaman daun kelapa yang rapuh menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Udara di sekelilingnya dingin, lembab, dan setiap helaan napas terasa berat, seolah paru-parunya berkarat. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya menolak. Hanya rasa sakit samar yang mengingatkan bahwa ia masih hidup. Suara langkah ringan mendekat. Lalu sebuah suara—pelan, namun jelas. "Dia sudah sadar." Raka melirik ke samping. Seorang tabib tua berjenggot putih duduk di bangku kecil, membalik halaman sebuah kitab daun lontar. Di sampingnya, berdiri seorang pemuda muda berbaju coklat kusam, mungkin pembantunya. Tabib mendekat, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Raka, lalu mengangguk puas. "Darahnya mengalir lagi dengan tenang. Nyawanya kembali berlabuh." Raka membuka mulutnya untuk berbicara, tapi hanya suara serak yang keluar. Tubuhnya seperti terkurung dalam be

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27

Bab terbaru

  • Cinta di Balik Singgasana   Siasat Raja dan Bayangan Bahaya

    Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su

  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan — deras, tapi terasa cepat.Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu."Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat.Raka ragu. "Ke mana, Gusti?"Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu."Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga.Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil.Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah.Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri."Tak banyak orang ta

  • Cinta di Balik Singgasana   Kesadaran yang Kembali

    Embun pagi turun pelan-pelan di halaman dalam istana. Di sudut sebuah ruangan kecil berbau akar-akaran, Raka Wijaya membuka matanya. Atap anyaman daun kelapa yang rapuh menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Udara di sekelilingnya dingin, lembab, dan setiap helaan napas terasa berat, seolah paru-parunya berkarat. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya menolak. Hanya rasa sakit samar yang mengingatkan bahwa ia masih hidup. Suara langkah ringan mendekat. Lalu sebuah suara—pelan, namun jelas. "Dia sudah sadar." Raka melirik ke samping. Seorang tabib tua berjenggot putih duduk di bangku kecil, membalik halaman sebuah kitab daun lontar. Di sampingnya, berdiri seorang pemuda muda berbaju coklat kusam, mungkin pembantunya. Tabib mendekat, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Raka, lalu mengangguk puas. "Darahnya mengalir lagi dengan tenang. Nyawanya kembali berlabuh." Raka membuka mulutnya untuk berbicara, tapi hanya suara serak yang keluar. Tubuhnya seperti terkurung dalam be

  • Cinta di Balik Singgasana   Di Bawah Langit Yang Luka

    Udara malam di Istana Kawali terasa menggantung berat, seperti sebelum badai.Bulan sabit menggantung rendah, memantulkan cahaya pucat ke halaman istana yang kosong.Angin membawa aroma getir dari bunga kamboja, menciptakan kesan suram di antara tembok batu.Di dalam sebuah ruangan remang-remang, di balik dinding-dinding batu kokoh, terbaringlah Raka.Tubuhnya tak ubahnya mayat hidup — pucat, kurus, dan penuh luka.Dada telanjangnya dibalut perban kasar, beberapa di antaranya sudah berubah warna, bernoda darah yang menghitam.Napasnya terdengar berat, bagai kuda yang kelelahan di medan perang.Tabib istana berkali-kali membersihkan lukanya dengan air rebusan daun sirih.Setiap sentuhan di kulitnya yang terbakar luka membuat Raka menggeliat lemah, kadang merintih tak terdengar.Satu luka besar membelah dari bahu kanan ke sisi rusuknya.Luka itu dijahit dengan benang kasar, tiap tusukan jarumnya meninggalkan bekas ngilu yang terasa hingga ke tulang.Pagi yang kelabu baru mulai merangkak

  • Cinta di Balik Singgasana   Sidang di Balik Tirai Emas

    Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status