Home / Romansa / Cinta di Balik Singgasana / "Tebusan dalam Bayang-bayang Damar"

Share

"Tebusan dalam Bayang-bayang Damar"

Author: Wahyu H
last update Last Updated: 2025-04-22 17:39:10

Malam semakin larut, dan rombongan pasukan kerajaan yang sedang menempuh perjalanan menuju Mandalawangi melaju pelan melalui jalur sempit yang terbentang di tengah hutan damar. Meskipun sudah malam, mereka tidak bisa berhenti karena pentingnya mencapai tujuan esok hari. Setiap langkah pasukan dijaga ketat, sementara langit malam menggelapkan suasana.

Raka, yang tetap menjaga keamanan di sekitar Putri Dyah Pitaloka, melintas di antara barisan pasukan, tetap waspada. Di sebelahnya, Dyah Pitaloka, dengan jubah yang membalut tubuhnya, tetap diam, menyadari ketegangan yang menggantung di udara.

Di sisi lain, Ki Jayasena—pemimpin pasukan—memperhatikan sekitar dengan cermat, mencurigai ada yang tidak beres di hutan yang sepi ini. Meskipun hutan ini pernah dilalui pasukan kerajaan sebelumnya, malam ini terasa berbeda. Waspada terhadap bahaya yang tak terlihat, dia mengarahkan pasukan untuk bersiap.

“Tetap siaga! Jangan lengah!” perintahnya, suaranya tegas dan penuh kewaspadaan.

Sementara itu, dua orang perampok yang telah mengintai rombongan pasukan kerajaan sejak beberapa waktu lalu, memutuskan untuk memulai aksi mereka. Mereka bersembunyi di balik pepohonan besar, mengamati setiap gerakan pasukan dengan penuh perhatian.

“Sudah waktunya,” bisik salah satu perampok, mengangkat tangan memberi kode. “Kita harus menarik perhatian mereka lebih dulu.”

Dengan langkah hati-hati, dua perampok itu mulai bergerak lebih dekat ke pasukan yang sedang berjalan. Salah satu dari mereka, yang tampaknya lebih berpengalaman, mengambil busur dan mengarahkannya ke salah satu pengawal yang sedang berjaga di barisan belakang. Sebuah anak panah terbang dan menghujam ke dalam pohon tepat di samping kepala pengawal itu.

Teriakan keras terdengar diikuti oleh suara gesekan pedang. Ternyata itu adalah isyarat bagi kelompok perampok lainnya untuk bergerak. Sekelompok lebih dari sepuluh perampok, yang telah bersembunyi di sekeliling pasukan, meluncur keluar dan menyerang pasukan kerajaan.

Ki Jayasena mengeluarkan perintah dengan cepat, “Pasukan, siaga! Jangan biarkan mereka mendekat!” Namun, meskipun mereka sudah siap, jumlah perampok jauh lebih banyak. Mereka mengepung pasukan kerajaan dengan cekatan.

Raka, yang sedang berada di dekat Dyah Pitaloka, segera melompat ke depan, berusaha melindungi Putri. Dalam sekejap, dia menarik pedangnya dan menahan serangan pertama yang datang.

“Paduka, ikut hamba! Kita harus segera keluar dari sini!” Raka berteriak.

Namun, ketika dia berbalik, dia melihat perampok dengan tombak dan pedang sudah mengepung mereka. Tanpa berpikir panjang, Raka segera menarik kuda yang mereka tunggangi. “Pegang erat, Putri!”

Sementara itu, di pusat kerusuhan, Ki Jayasena berhadapan langsung dengan pemimpin perampok. Seorang lelaki bertubuh kekar dengan wajah yang penuh luka. “Kalian pasti tahu siapa kami, Jayasena,” katanya sambil tertawa jahat. “Kami datang untuk menuntut tebusan Putri Dyah Pitaloka.”

“Tidak akan kubiarkan kalian mengganggu keselamatan Putri!” Ki Jayasena membalas dengan penuh semangat, menyambut serangan dengan serangan balasan.

Beberapa pengawal perempuan, seperti Nyi Lastri, berjuang mati-matian menghadapi serangan perampok. Mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan serangan, namun jumlah mereka yang jauh lebih sedikit mengakibatkan beberapa pengawal perempuan terjatuh di medan pertempuran.

“Lindungi Putri!” teriak Nyi Lastri kepada rekan-rekannya. Namun, situasi semakin memburuk. Satu per satu pengawal perempuan jatuh, baik yang terluka maupun tewas. Nyi Lastri sendiri terluka di lengan, namun tetap berjuang untuk melindungi sang Putri.

Dalam kekacauan itu, Raka berhasil meloloskan diri bersama Dyah Pitaloka. Dengan sigap, dia memacu kudanya, membawa sang putri menjauh dari kerusuhan. Namun, dua perampok yang sempat tertinggal segera mengejar mereka, berusaha untuk menggagalkan pelarian mereka.

Raka memacu kuda lebih cepat, menghindari serangan panah yang datang dari belakang. “Putri, bertahanlah!” teriaknya. Kuda itu berlari kencang, melompati akar pohon besar yang ada di jalur hutan. Mereka berdua bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat.

Sementara itu, Ki Jayasena yang terdesak melihat beberapa pengawal yang masih bertahan mengerahkan segala kemampuan mereka. “Pasukan mundur! Lindungi Putri!” teriaknya, tapi mereka hanya bisa bertahan sebentar lagi.

Di tengah kerusuhan, Nyi Lastri, meski terluka parah, terus bertempur untuk memberi waktu bagi Raka dan Dyah Pitaloka melarikan diri. “Lindungi Putri! Kami akan menahannya di sini!” dia berteriak kepada sisa pasukan yang masih bisa melawan.

Di sisi lain, Raka dan Dyah Pitaloka terus berlari dengan kecepatan tinggi, kuda mereka melaju dalam gelapnya malam. Teriakan para perampok semakin menjauh, namun mereka tahu, ancaman masih belum berakhir.

Kuda itu melaju kencang, menginjak tanah berbatu, dan melompati akar-akar pohon besar yang menghalangi jalan. Raka menggenggam erat kekang kuda, menjaga kendali atas setiap lompatan yang dilakukan kuda tersebut. Namun, tubuhnya terasa lelah, dan napasnya mulai terengah-engah. Di belakang mereka, derap langkah kuda para perampok semakin mendekat.

Dyah Pitaloka, yang sudah lelah ketakutan, memejamkan matanya. Di tengah kegelapan hutan, rasa takut semakin merasuki jiwanya. Ia memeluk tubuh Raka dengan erat, berharap untuk selamat. Ada rasa pasrah di dalam hatinya, namun ia tak berani membuka matanya. Hanya satu yang ia harapkan sekarang—selamat.

Raka merasakan tangan putri itu menggenggam tubuhnya, cemas dan takut. Ia berusaha untuk tetap tenang. "Jangan khawatir, Putri. Aku akan membawa kita keluar dari sini," ucapnya dengan suara yang tegas meski hatinya pun tak sepenuhnya tenang.

Namun, di belakang mereka, dua perampok masih terus mengejar. Raka tahu, mereka harus menemukan jalan keluar lebih cepat, atau mereka akan tertangkap. Ketika Raka menoleh ke belakang, dia bisa melihat bayang-bayang para pengejarnya yang semakin dekat.

"Sialan!" Raka menggeram, matanya berkilat penuh tekad. Ia menggiring kudanya berbelok tajam, menyusuri jalur yang lebih sempit. Kuda itu mengerahkan tenaga lebih, berlari lebih cepat, meskipun tubuhnya juga mulai lelah.

"Raka... kita... tidak bisa lari lebih lama lagi, kan?" suara Dyah Pitaloka terdengar gemetar di telinganya. Putri itu tetap memejamkan mata, takut kalau ia melihat terlalu banyak hal yang lebih mengerikan.

Raka hanya tersenyum tipis, meski ia tahu, situasi ini sangat berbahaya. "Kita pasti bisa, Putri. Percayalah," jawabnya, berusaha untuk tetap tegar.

Tiba-tiba, dua perampok yang mengejar mereka berhasil mendekat lebih cepat. Salah satu dari mereka melompat ke depan, berusaha menghadang jalan mereka. Dengan cepat, Raka menarik tali kekang kuda dan menebas pedangnya ke arah perampok itu, memaksanya untuk mundur.

"Tidak akan mudah untuk menangkap kami!" teriak Raka, pedangnya mengeluarkan kilatan cahaya di bawah sinar bulan.

Namun, perampok yang lain semakin mendekat. Raka tahu, mereka sudah terdesak. Jika terus melawan, mereka akan kalah jumlah. "Kita harus segera keluar dari hutan ini," gumam Raka pada dirinya sendiri.

Setelah beberapa lompatan dan belokan tajam, mereka akhirnya bisa melihat sedikit cahaya di ujung hutan. Raka memacu kuda dengan penuh kekuatan, berusaha untuk keluar dari kawasan gelap itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, tapi ia tidak akan berhenti.

Dyah Pitaloka yang sudah terlalu ketakutan hanya bisa memejamkan mata, menggenggam tubuh Raka lebih erat. Ia tidak berani lagi melihat, hanya berharap bisa selamat. "Aku pasrah, yang penting kita selamat," pikirnya dalam hati.

Namun, derap kuda para perampok itu semakin dekat. Mereka belum menyerah. Dalam perjalanan ini, tak ada lagi yang bisa Raka lakukan selain berlari lebih cepat dan berharap mereka bisa menemukan tempat aman.

Tiba-tiba, terdengar suara keras dari belakang. Dua perampok itu hampir saja berhasil mencapainya. Raka kembali melawan dengan cepat, menebas salah satu dari mereka, membuatnya terjatuh. Namun, saat yang lain hampir sampai di sisi mereka, Raka memutuskan untuk melompat ke jalur yang lebih tinggi, melewati bebatuan besar dan pohon yang tumbang.

"Tahan, Tuan Putri! Kita hampir keluar!" teriak Raka dengan suara penuh semangat. Di saat itulah, Raka merasakan kelelahan yang semakin menghimpit tubuhnya, tapi ia tahu ia harus berjuang sampai titik terakhir.

Mereka akhirnya melompati sebuah bukit kecil, dan di kejauhan tampak jalan yang lebih terbuka. Kejaran semakin jauh, dan Raka tahu, mereka telah selamat... untuk saat ini.

Namun, meskipun mereka sudah melarikan diri dari hutan, bayangan ancaman perampok dan kegelapan malam itu terus membayangi mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

    Last Updated : 2025-04-23
  • Cinta di Balik Singgasana   Sidang di Balik Tirai Emas

    Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan

    Last Updated : 2025-04-23
  • Cinta di Balik Singgasana   Di Bawah Langit Yang Luka

    Udara malam di Istana Kawali terasa menggantung berat, seperti sebelum badai.Bulan sabit menggantung rendah, memantulkan cahaya pucat ke halaman istana yang kosong.Angin membawa aroma getir dari bunga kamboja, menciptakan kesan suram di antara tembok batu.Di dalam sebuah ruangan remang-remang, di balik dinding-dinding batu kokoh, terbaringlah Raka.Tubuhnya tak ubahnya mayat hidup — pucat, kurus, dan penuh luka.Dada telanjangnya dibalut perban kasar, beberapa di antaranya sudah berubah warna, bernoda darah yang menghitam.Napasnya terdengar berat, bagai kuda yang kelelahan di medan perang.Tabib istana berkali-kali membersihkan lukanya dengan air rebusan daun sirih.Setiap sentuhan di kulitnya yang terbakar luka membuat Raka menggeliat lemah, kadang merintih tak terdengar.Satu luka besar membelah dari bahu kanan ke sisi rusuknya.Luka itu dijahit dengan benang kasar, tiap tusukan jarumnya meninggalkan bekas ngilu yang terasa hingga ke tulang.Pagi yang kelabu baru mulai merangkak

    Last Updated : 2025-04-27
  • Cinta di Balik Singgasana   Kesadaran yang Kembali

    Embun pagi turun pelan-pelan di halaman dalam istana. Di sudut sebuah ruangan kecil berbau akar-akaran, Raka Wijaya membuka matanya. Atap anyaman daun kelapa yang rapuh menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Udara di sekelilingnya dingin, lembab, dan setiap helaan napas terasa berat, seolah paru-parunya berkarat. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya menolak. Hanya rasa sakit samar yang mengingatkan bahwa ia masih hidup. Suara langkah ringan mendekat. Lalu sebuah suara—pelan, namun jelas. "Dia sudah sadar." Raka melirik ke samping. Seorang tabib tua berjenggot putih duduk di bangku kecil, membalik halaman sebuah kitab daun lontar. Di sampingnya, berdiri seorang pemuda muda berbaju coklat kusam, mungkin pembantunya. Tabib mendekat, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Raka, lalu mengangguk puas. "Darahnya mengalir lagi dengan tenang. Nyawanya kembali berlabuh." Raka membuka mulutnya untuk berbicara, tapi hanya suara serak yang keluar. Tubuhnya seperti terkurung dalam be

    Last Updated : 2025-04-27
  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan — deras, tapi terasa cepat.Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu."Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat.Raka ragu. "Ke mana, Gusti?"Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu."Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga.Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil.Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah.Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri."Tak banyak orang ta

    Last Updated : 2025-04-27

Latest chapter

  • Cinta di Balik Singgasana   Siasat Raja dan Bayangan Bahaya

    Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su

  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan — deras, tapi terasa cepat.Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu."Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat.Raka ragu. "Ke mana, Gusti?"Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu."Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga.Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil.Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah.Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri."Tak banyak orang ta

  • Cinta di Balik Singgasana   Kesadaran yang Kembali

    Embun pagi turun pelan-pelan di halaman dalam istana. Di sudut sebuah ruangan kecil berbau akar-akaran, Raka Wijaya membuka matanya. Atap anyaman daun kelapa yang rapuh menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Udara di sekelilingnya dingin, lembab, dan setiap helaan napas terasa berat, seolah paru-parunya berkarat. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya menolak. Hanya rasa sakit samar yang mengingatkan bahwa ia masih hidup. Suara langkah ringan mendekat. Lalu sebuah suara—pelan, namun jelas. "Dia sudah sadar." Raka melirik ke samping. Seorang tabib tua berjenggot putih duduk di bangku kecil, membalik halaman sebuah kitab daun lontar. Di sampingnya, berdiri seorang pemuda muda berbaju coklat kusam, mungkin pembantunya. Tabib mendekat, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Raka, lalu mengangguk puas. "Darahnya mengalir lagi dengan tenang. Nyawanya kembali berlabuh." Raka membuka mulutnya untuk berbicara, tapi hanya suara serak yang keluar. Tubuhnya seperti terkurung dalam be

  • Cinta di Balik Singgasana   Di Bawah Langit Yang Luka

    Udara malam di Istana Kawali terasa menggantung berat, seperti sebelum badai.Bulan sabit menggantung rendah, memantulkan cahaya pucat ke halaman istana yang kosong.Angin membawa aroma getir dari bunga kamboja, menciptakan kesan suram di antara tembok batu.Di dalam sebuah ruangan remang-remang, di balik dinding-dinding batu kokoh, terbaringlah Raka.Tubuhnya tak ubahnya mayat hidup — pucat, kurus, dan penuh luka.Dada telanjangnya dibalut perban kasar, beberapa di antaranya sudah berubah warna, bernoda darah yang menghitam.Napasnya terdengar berat, bagai kuda yang kelelahan di medan perang.Tabib istana berkali-kali membersihkan lukanya dengan air rebusan daun sirih.Setiap sentuhan di kulitnya yang terbakar luka membuat Raka menggeliat lemah, kadang merintih tak terdengar.Satu luka besar membelah dari bahu kanan ke sisi rusuknya.Luka itu dijahit dengan benang kasar, tiap tusukan jarumnya meninggalkan bekas ngilu yang terasa hingga ke tulang.Pagi yang kelabu baru mulai merangkak

  • Cinta di Balik Singgasana   Sidang di Balik Tirai Emas

    Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status