/ Romansa / Cinta di Balik Singgasana / Perbatasan Damar, Senja yang Tertahan

공유

Perbatasan Damar, Senja yang Tertahan

작가: Wahyu H
last update 최신 업데이트: 2025-04-22 16:17:10

Senja mulai mengusap langit dengan warna tembaga. Iring-iringan kerajaan berhenti di sebuah tanah datar di pinggir hutan damar, dikelilingi semak dan pohon randu tua. Tempat itu memang sudah dipilih sebelumnya oleh Ki Jayasena—lokasi aman yang biasa digunakan pasukan Galuh saat perjalanan panjang.

Tenda utama untuk sang putri mulai didirikan di sisi timur, sementara tenda pengawal perempuan—dipimpin Nyi Kirana—dibangun tak jauh dari sana, menghadap jalur sungai kecil. Di sisi lain, para prajurit membentuk barisan melingkar, menyusun bivak sederhana dari daun pisang dan tikar gulung.

Raka kembali ke barisan pasukan, kudanya berderap pelan, wajahnya tertutup raut pikir yang belum selesai. Begitu ia turun, Ki Jayasena langsung menghampiri.

“Kau telat sepuluh menit dari batas waktu. Ada apa di dalam sana?” suara Ki Jayasena tegas tapi tenang, khas seorang panglima tua yang telah kenyang bertempur.

Raka menjawab sambil menyerahkan ikat kepala merah tanah yang sobek.

“Jejak kaki tak beralas, lurus menuju arah kita. Tak ada jejak keluar. Lalu ini—aku temukan di balik akar damar. Masih lembap, baru beberapa jam.”

Ki Jayasena memeriksa kain itu. Alisnya menyempit.

“Bukan kain kerajaan. Ini… dari daerah utara. Di luar batas Galuh.”

Raka mengangguk. “Aku khawatir... ada yang tahu rute kita. Tapi tak berani mendekat. Hanya mengintai.”

Ki Jayasena mendekat, menurunkan suaranya. “Jaga ini antara kita. Jangan buat pasukan panik. Apalagi... kereta utama.”

Raka melirik ke arah tenda putih yang perlahan berdiri sempurna—tenda sang putri. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan.

Langit malam menggelap sempurna. Bintang-bintang yang biasanya berserakan kini tertutup awan tipis. Suara jangkrik bersahutan dari semak yang lembap, beradu dengan gelegak api unggun yang ditiup angin hutan.

Tenda-tenda telah berdiri rapi. Para prajurit bergiliran berjaga, sementara sebagian besar pasukan sudah beristirahat. Di dalam tenda utama, Dyah Pitaloka belum terlelap. Ia duduk di sisi pembaringan, rambutnya dibiarkan tergerai, matanya menatap langit-langit tenda.

“Apa kau tak mengantuk, Ratu?” tanya Nyi Kirana pelan.

“Tidak tahu... Rasanya aneh tidur di tengah hutan begini. Suaranya terlalu banyak.”

Nyi Kirana tersenyum tipis, lalu menyesap air hangat dari kendi kecil. Belum sempat ia menjawab, jeritan pendek terdengar dari arah belakang tenda logistik.

WRAAARGHHH!!!

Prajurit yang berjaga di sisi utara langsung meniup terompet kecil tanda siaga. Suara-suara bangkit terdengar dari semua arah. Di tengah kekacauan itu, seekor macan kumbang besar—hitam legam, dengan mata kuning menyala—melompat keluar dari semak dan mencakar tempat logistik yang terbuat dari kayu ringan.

Raka, yang baru saja duduk untuk makan, langsung melompat ke arah suara, tombaknya sudah di tangan.

“SEMUA MUNDUR! TINGGALKAN AREA LOGISTIK!”

Macan itu mendesis rendah, memperlihatkan taring dan kuku besarnya. Seekor hewan dewasa, kemungkinan tersesat... atau kelaparan.

Raka tidak menunggu. Ia berlari mendekat dengan kecepatan nyaris tak terlihat di kegelapan. Begitu macan itu berbalik ke arahnya, ia melompat dan memutar tombaknya, menancapkannya ke tanah sambil memutar bagian gagangnya ke arah leher si macan.

Binatang buas itu meraung keras, menggeliat, lalu melompat menjauh. Tapi Raka tak memberinya waktu. Ia tarik pisau kecil dari pinggang dan melempar tepat ke arah kaki belakang si macan.

Jeritannya terakhir membuat beberapa burung hutan beterbangan. Setelah beberapa detik, suara alam kembali tenang.

Raka berdiri di tengah kegelapan, keringat menetes di wajahnya. Ia menatap tubuh macan yang akhirnya roboh—tidak mati, hanya pingsan karena luka dan lelah.

Dyah Pitaloka menyibak tirai tenda. Dari celah kecil, ia menyaksikan semua itu dalam diam. Matanya menatap punggung Raka yang menjauh sambil memerintahkan prajurit untuk mengevakuasi barang-barang yang berserakan.

Tak ada kata. Hanya pandangan. Tapi itu cukup untuk membekas.

Pagi menjelang, didalam hutan damar. Kabut masih menggantung rendah, menutupi akar-akar besar dan ilalang yang memagari jalan setapak. Beberapa prajurit sibuk membersihkan bekas kegaduhan semalam. Macan kumbang yang menyerang perkemahan kini terbujur diam, ditutupi daun lebar sebagai bentuk penghormatan sebelum dikuburkan.

Raka berdiri di sisi barat kemah, diam-diam mengamati sekeliling. Bajunya masih ternoda darah dan lumpur, tetapi matanya tetap tajam—waspada.

Seorang prajurit muda menghampiri, membungkuk sedikit.

“Raka, hutan di sebelah selatan sudah kami periksa. Tidak ada tanda-tanda binatang lain.”

“Baik. Bagi penjagaan menjadi dua barisan. Jangan biarkan siapa pun tertidur,” jawab Raka tanpa menoleh.

Di balik tenda utama, Dyah Pitaloka mengintip ke luar. Pandangannya terpaku pada sosok lelaki yang malam tadi muncul dari kegelapan, berdiri di hadapan bahaya tanpa gentar. Nyi Kirana, yang sedang merapikan ikatan rambut sang putri, ikut mengintip.

“Sepertinya Putri tidak tidur semalaman,” gumamnya.

“Bukan aku saja yang terjaga,” jawab Dyah pelan, lalu kembali memandangi Raka dari celah tirai tenda.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

관련 챕터

  • Cinta di Balik Singgasana   “Dedaunan, Tatapan, dan Cerita yang Belum Selesai”

    Matahari pagi mulai mengusir kabut tipis dari hutan damar. Aroma nasi hangat, sayur rebus, dan ikan bakar sederhana menyebar di perkemahan. Beberapa prajurit duduk bersila, makan cepat tanpa banyak bicara. Perjalanan hari ini masih panjang, dan malam tadi cukup mengguncang semua.Di sisi timur kemah, di balik kain penutup khusus, Putri Dyah Pitaloka duduk dengan tenang bersama Nyi Kirana dan dua pengawal wanita lainnya: Nyi Merta dan Nyi Lintang. Sarapan mereka lebih terjaga—diatur khusus oleh juru masak istana yang dibawa dari Galuh.Namun pagi ini, ada kegelisahan kecil di mata sang putri. Pandangannya sesekali melirik keluar tenda, mencari sosok yang tidak disebutkan.Tak lama kemudian, Raka lewat dengan mangkuk kayu berisi makanan di tangannya. Ia hendak kembali ke tempat para pengawal duduk. Tapi suara lembut memanggilnya.“Raka,” ujar Dyah pelan dari balik kain. “Sebentar saja.”Raka menoleh, agak ragu. Namun saat Nyi Kirana mengang

    최신 업데이트 : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   "Tebusan dalam Bayang-bayang Damar"

    Malam semakin larut, dan rombongan pasukan kerajaan yang sedang menempuh perjalanan menuju Mandalawangi melaju pelan melalui jalur sempit yang terbentang di tengah hutan damar. Meskipun sudah malam, mereka tidak bisa berhenti karena pentingnya mencapai tujuan esok hari. Setiap langkah pasukan dijaga ketat, sementara langit malam menggelapkan suasana. Raka, yang tetap menjaga keamanan di sekitar Putri Dyah Pitaloka, melintas di antara barisan pasukan, tetap waspada. Di sebelahnya, Dyah Pitaloka, dengan jubah yang membalut tubuhnya, tetap diam, menyadari ketegangan yang menggantung di udara. Di sisi lain, Ki Jayasena—pemimpin pasukan—memperhatikan sekitar dengan cermat, mencurigai ada yang tidak beres di hutan yang sepi ini. Meskipun hutan ini pernah dilalui pasukan kerajaan sebelumnya, malam ini terasa berbeda. Waspada terhadap bahaya yang tak terlihat, dia mengarahkan pasukan untuk bersiap. “Tetap siaga! Jangan lengah!” perintahnya, suaranya tegas dan penuh kewaspadaan. Sement

    최신 업데이트 : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

    최신 업데이트 : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

    최신 업데이트 : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

    최신 업데이트 : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

    최신 업데이트 : 2025-04-23
  • Cinta di Balik Singgasana   Sidang di Balik Tirai Emas

    Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan

    최신 업데이트 : 2025-04-23
  • Cinta di Balik Singgasana   Di Bawah Langit Yang Luka

    Udara malam di Istana Kawali terasa menggantung berat, seperti sebelum badai.Bulan sabit menggantung rendah, memantulkan cahaya pucat ke halaman istana yang kosong.Angin membawa aroma getir dari bunga kamboja, menciptakan kesan suram di antara tembok batu.Di dalam sebuah ruangan remang-remang, di balik dinding-dinding batu kokoh, terbaringlah Raka.Tubuhnya tak ubahnya mayat hidup — pucat, kurus, dan penuh luka.Dada telanjangnya dibalut perban kasar, beberapa di antaranya sudah berubah warna, bernoda darah yang menghitam.Napasnya terdengar berat, bagai kuda yang kelelahan di medan perang.Tabib istana berkali-kali membersihkan lukanya dengan air rebusan daun sirih.Setiap sentuhan di kulitnya yang terbakar luka membuat Raka menggeliat lemah, kadang merintih tak terdengar.Satu luka besar membelah dari bahu kanan ke sisi rusuknya.Luka itu dijahit dengan benang kasar, tiap tusukan jarumnya meninggalkan bekas ngilu yang terasa hingga ke tulang.Pagi yang kelabu baru mulai merangkak

    최신 업데이트 : 2025-04-27

최신 챕터

  • Cinta di Balik Singgasana   Siasat Raja dan Bayangan Bahaya

    Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su

  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan — deras, tapi terasa cepat.Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu."Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat.Raka ragu. "Ke mana, Gusti?"Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu."Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga.Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil.Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah.Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri."Tak banyak orang ta

  • Cinta di Balik Singgasana   Kesadaran yang Kembali

    Embun pagi turun pelan-pelan di halaman dalam istana. Di sudut sebuah ruangan kecil berbau akar-akaran, Raka Wijaya membuka matanya. Atap anyaman daun kelapa yang rapuh menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Udara di sekelilingnya dingin, lembab, dan setiap helaan napas terasa berat, seolah paru-parunya berkarat. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya menolak. Hanya rasa sakit samar yang mengingatkan bahwa ia masih hidup. Suara langkah ringan mendekat. Lalu sebuah suara—pelan, namun jelas. "Dia sudah sadar." Raka melirik ke samping. Seorang tabib tua berjenggot putih duduk di bangku kecil, membalik halaman sebuah kitab daun lontar. Di sampingnya, berdiri seorang pemuda muda berbaju coklat kusam, mungkin pembantunya. Tabib mendekat, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Raka, lalu mengangguk puas. "Darahnya mengalir lagi dengan tenang. Nyawanya kembali berlabuh." Raka membuka mulutnya untuk berbicara, tapi hanya suara serak yang keluar. Tubuhnya seperti terkurung dalam be

  • Cinta di Balik Singgasana   Di Bawah Langit Yang Luka

    Udara malam di Istana Kawali terasa menggantung berat, seperti sebelum badai.Bulan sabit menggantung rendah, memantulkan cahaya pucat ke halaman istana yang kosong.Angin membawa aroma getir dari bunga kamboja, menciptakan kesan suram di antara tembok batu.Di dalam sebuah ruangan remang-remang, di balik dinding-dinding batu kokoh, terbaringlah Raka.Tubuhnya tak ubahnya mayat hidup — pucat, kurus, dan penuh luka.Dada telanjangnya dibalut perban kasar, beberapa di antaranya sudah berubah warna, bernoda darah yang menghitam.Napasnya terdengar berat, bagai kuda yang kelelahan di medan perang.Tabib istana berkali-kali membersihkan lukanya dengan air rebusan daun sirih.Setiap sentuhan di kulitnya yang terbakar luka membuat Raka menggeliat lemah, kadang merintih tak terdengar.Satu luka besar membelah dari bahu kanan ke sisi rusuknya.Luka itu dijahit dengan benang kasar, tiap tusukan jarumnya meninggalkan bekas ngilu yang terasa hingga ke tulang.Pagi yang kelabu baru mulai merangkak

  • Cinta di Balik Singgasana   Sidang di Balik Tirai Emas

    Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status