Home / Romansa / Cinta di Balik Singgasana / Pertama Menuju Mandalawangi

Share

Pertama Menuju Mandalawangi

Author: Wahyu H
last update Last Updated: 2025-04-22 15:43:49

Langit malam Galuh dipenuhi bintang yang berkelip-kelip seperti lentera para leluhur yang mengawasi dari kahyangan. Udara terasa sejuk, menyelinap lembut lewat celah-celah jendela balairung dalam istana utama. Di ruang dalam, yang dihiasi pahatan kayu cendana dan dinding dari batu andesit halus, tampak sang Prabu duduk bersila di atas tikar pandan.

Prabu Linggabuana Wijaya, raja yang dikenal bijak dan tegas, menatap putrinya dengan mata yang teduh namun penuh wibawa. Usianya yang matang dan garis halus di wajahnya mencerminkan banyaknya peperangan dan keputusan besar yang telah ia lalui sebagai raja Galuh.

“Putriku, Dyah Pitaloka,” ucapnya perlahan, suaranya dalam, bergetar pelan seperti gamelan yang dipukul pelan. “Besok kau akan melakukan perjalanan ke Mandalawangi.”

Dyah Pitaloka yang sejak tadi duduk bersimpuh, menundukkan kepala hormat. “Apakah ada tugas kerajaan yang perlu hamba laksanakan di sana, Ayahanda?”

Sang Prabu mengangguk pelan. “Kita akan mengirimkan sesaji dan doa ke Mandalawangi. Bukan sekadar ziarah, tapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada roh para leluhur Sunda dan Galuh yang pernah menyatukan tanah ini. Kau, sebagai penerus darah ibunda dan bagian dari garis utama kerajaan, harus hadir di sana.”

Dyah Pitaloka tidak menjawab langsung, tapi matanya menatap jauh, memahami makna besar di balik perjalanan ini. Ia tahu bahwa setiap langkah dalam hidupnya tak pernah hanya miliknya sendiri—selalu membawa nama dan kehormatan kerajaan.

Sang Prabu melanjutkan, “Kepala pengawal istana, Ki Tumenggung Jayasena, sudah kuperintahkan sejak sore tadi untuk mempersiapkan pasukan pengawal. Mereka akan berangkat bersamamu esok pagi. Kau akan dijaga, baik oleh prajurit terbaik kita maupun para pengawal perempuan pilihan ibunda.”

“Ananda akan bersiap, Ayahanda,” jawab Dyah Pitaloka dengan suara lembut, tapi penuh keteguhan.

Sang Prabu tersenyum tipis, lalu berdiri, menghampiri putrinya, dan menyentuh pucuk kepalanya. “Kau sudah tumbuh menjadi wanita yang kuat. Aku tahu, perjalanan ini akan jadi awal dari banyak hal yang tak bisa kita duga.”

Fajar sudah memancarkan sinarnya, menembus celah-celah pepohonan di luar barak. Suasana pagi itu terasa tenang, namun Raka tahu bahwa ketenangan ini hanya sementara. Perintah-perintah mulai berdatangan, dan kesibukan di barak pun mulai meningkat.

Raka berdiri tegak di depan barak, mengamati prajurit lainnya yang sedang menyiapkan kuda, memeriksa senjata, dan memastikan semua perbekalan siap untuk perjalanan yang akan dimulai. Tugasnya kali ini berbeda—lebih penting dari yang biasa. Sebagai prajurit terpilih, ia diberikan tanggung jawab untuk mengawal perjalanan kerajaan menuju Mandalawangi, daerah suci yang dikenal dengan pemandian spiritual dan tempat pertapaan.

Kuda hitam kesayangannya, Si Kuda Angin, berdiri tenang di sampingnya. Raka mengelus leher kuda itu sambil menatap senjata yang sudah siap diletakkan di tanah: pedang panjang, tombak, dan busur dengan anak panah yang dipasang rapi.

"Sana, pastikan semua perbekalan lengkap," perintah Ki Wiraguna, salah satu pengawas pengawal yang dipercaya oleh Raja, kepada Raka. "Pilih pasukanmu dengan cermat. Perjalanan ini tidak bisa dianggap remeh."

"Siap, Ki," jawab Raka dengan tegas. Meski ia merasa sedikit cemas, ia tak bisa mengelak. Tugas ini adalah kehormatan, meski ia belum tahu siapa yang akan ia kawal. Yang ia tahu, perjalanannya kali ini lebih penting dari yang pernah ia jalani sebelumnya.

Sambil menyelesaikan persiapannya, Raka memeriksa daftar rombongan yang dibawa. Seperti biasa, pengawal dari berbagai kelompok dan klan kerajaan akan ikut, namun satu nama yang muncul menarik perhatiannya.

Dyah Pitaloka.

Nama itu membuat jantung Raka berdegup sedikit lebih cepat. Apa mungkin ini? batinnya. Tapi ia segera mengusir rasa penasaran itu. Siapa pun yang akan ia kawal, ia hanya akan melakukan tugasnya tanpa pertanyaan lebih jauh.

Di luar, para pengawal mulai berbaris dengan rapi. Kereta kerajaan yang dihiasi dengan warna kebesaran keluarga istana mulai dipersiapkan untuk perjalanan panjang. Raka mengarahkan pasukannya untuk memastikan semua posisi aman. Di antara barisan pasukan, ia melihat beberapa wajah yang sudah dikenal, seperti Nyi Kirana dan Dayang Sari, pengawal perempuan yang sering turut dalam perjalanan kerajaan. Mereka sudah bersiap di pos mereka, meski Raka tetap merasa ada yang mengganjal.

"Raka, pastikan barisan utara terjaga dengan baik," kata Ki Wiraguna, menambahkan sedikit peringatan.

Raka mengangguk, memeriksa lagi senjatanya sebelum bergerak menuju barisan depan. Namun kali ini, sesuatu terasa berbeda. Ada perasaan aneh yang terus menggantung di benaknya, sebuah ketegangan yang tak bisa ia jelaskan.

Di dalam kamar pribadinya, Dyah Pitaloka, sang putri kerajaan, duduk dengan anggun di depan cermin besar, disertai beberapa dayang yang sedang sibuk mempersiapkan penampilannya. Pakaian kebesaran kerajaan yang berwarna emas dan merah sudah disiapkan, dihiasi dengan permata yang berkilauan. Rambut panjangnya yang hitam terurai akan diikat dengan mahkota yang indah, mencerminkan statusnya sebagai putri yang sangat dihormati.

“Putri, apakah Anda ingin mengenakan bunga melati di rambut, seperti biasa?” tanya Nyi Kirana, salah satu pengawal perempuan yang paling dipercaya oleh Dyah Pitaloka. Nyi Kirana, dengan wajah tenang dan bijaksana, selalu menemani sang putri di setiap kesempatan, seakan bisa membaca setiap keinginan dan kebutuhan sang putri tanpa banyak kata.

“Boleh, Nyi. Tapi kali ini, hanya sedikit. Aku ingin terlihat lebih sederhana,” jawab Dyah Pitaloka, matanya berbinar saat memandang cermin. Sebuah keputusan yang sangat jarang diambilnya, karena putri biasanya selalu tampil sempurna dan anggun di hadapan kerabat dan pengawalnya.

“Seperti yang Anda inginkan, Putri,” balas Nyi Kirana, sambil melanjutkan penataan rambut dengan penuh perhatian.

Sementara itu, di sisi lain ruangan, beberapa dayang tengah mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan ke Mandalawangi—tempat yang jauh dan terkenal sebagai situs spiritual penting bagi kerajaan. Kegiatan ini jelas menunjukkan bahwa perjalanan kali ini bukan perjalanan biasa, melainkan sebuah perjalanan yang sangat penting bagi istana.

Namun, Dyah Pitaloka tak bisa sepenuhnya merasa tenang. Di dalam hatinya, ia merasa cemas akan apa yang akan terjadi. Perjalanan ini akan membawanya jauh dari istana, jauh dari tempat yang sudah dikenal. Ia merasa ada yang aneh dalam suasana itu, tapi ia berusaha untuk tetap sabar dan menerima kenyataan. Ia tahu tugas kerajaan harus dijalankan dengan baik.

“Semuanya sudah siap, Putri. Kami akan melindungi Anda sepanjang perjalanan,” kata Dayang Sari, pengawal perempuan lain yang tidak kalah tegas dan cekatan dalam segala urusan, sambil menatap Dyah Pitaloka dengan tatapan yang penuh kehormatan. Dayang Sari adalah sosok yang sangat mengerti bagaimana mengatur perjalanan kerajaan dan siap menghadap segala kemungkinan yang datang.

“Terima kasih, Dayang Sari,” jawab Dyah Pitaloka, memberikan senyum tipis. Meskipun ia tahu bahwa mereka akan menghadapi perjalanan yang penuh tantangan, ia merasa lebih tenang dengan kehadiran para pengawal perempuan yang sudah terlatih.

Ketika persiapan hampir selesai, Dyah Pitaloka berdiri dan melangkah menuju pintu. Ia menatap sekilas ke luar jendela, memandangi istana yang mulai tampak jauh di belakangnya, meski ia tahu perjalanan ini akan membawanya ke tempat yang lebih penting.

“Apakah semuanya siap?” tanya sang putri dengan suara lembut, namun penuh kekuatan.

“Ya, Putri. Semua sudah terorganisir dengan baik. Kami akan menemani Anda,” jawab Nyi Kirana, mengangguk dengan mantap.

Dengan perlahan, Dyah Pitaloka meninggalkan kamar pribadinya, melangkah menuju ruang istana utama, di mana para pengawal pria sudah mulai berkumpul, siap memulai perjalanan. Di luar, kereta kerajaan yang dihias dengan megah sudah menunggu, dan suasana semakin terasa mencekam. Ini bukan perjalanan biasa, dan Dyah Pitaloka tahu bahwa setiap langkah yang diambilnya akan membentuk takdirnya.

Para pengawal perempuan mengiringi sang putri dengan hati-hati, sementara para prajurit dari pihak kerajaan bersiap di sekitar barisan depan. Semua siap untuk perjalanan yang penuh misteri, dan Dyah Pitaloka sudah tidak bisa menghindar dari takdir yang menunggunya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Cinta di Balik Singgasana   Perjalanan ke Mandalawangi II

    Langit pagi di atas Galuh masih berwarna kelabu kehijauan, diselimuti kabut tipis yang menggantung malas di antara pepohonan aren dan beringin tua. Angin fajar meniup lembut, menggoyangkan panji-panji kerajaan yang berkibar tinggi di gerbang utama. Di bawahnya, deretan pasukan berkuda dan pejalan kaki berdiri tegap, membentuk formasi perlindungan sempurna di sekitar kereta utama kerajaan. Iring-iringan pun mulai bergerak. Roda-roda kereta utama berukirkan lambang bunga teratai emas itu mulai berderak, melewati jalanan batu berlumut yang membelah halaman istana. Bunyi lonceng kecil dari kereta pengiring berdenting pelan, bersatu dengan suara derap kaki kuda dan langkah para prajurit Galuh. Di Dalam Kereta: Di balik tirai tipis berwarna gading, Dyah Pitaloka duduk bersandar pada sandaran bersulam sutra. Pandangannya mengarah keluar, ke sela-sela tirai, menatap sinar mentari pagi yang mulai mencairkan kabut. Ia tak banyak bicara pagi ini. Dalam diamnya, ia merenungi apa yang dikat

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Perbatasan Damar, Senja yang Tertahan

    Senja mulai mengusap langit dengan warna tembaga. Iring-iringan kerajaan berhenti di sebuah tanah datar di pinggir hutan damar, dikelilingi semak dan pohon randu tua. Tempat itu memang sudah dipilih sebelumnya oleh Ki Jayasena—lokasi aman yang biasa digunakan pasukan Galuh saat perjalanan panjang.Tenda utama untuk sang putri mulai didirikan di sisi timur, sementara tenda pengawal perempuan—dipimpin Nyi Kirana—dibangun tak jauh dari sana, menghadap jalur sungai kecil. Di sisi lain, para prajurit membentuk barisan melingkar, menyusun bivak sederhana dari daun pisang dan tikar gulung.Raka kembali ke barisan pasukan, kudanya berderap pelan, wajahnya tertutup raut pikir yang belum selesai. Begitu ia turun, Ki Jayasena langsung menghampiri.“Kau telat sepuluh menit dari batas waktu. Ada apa di dalam sana?” suara Ki Jayasena tegas tapi tenang, khas seorang panglima tua yang telah kenyang bertempur.Raka menjawab sambil menyerahkan ikat kepala merah tan

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   “Dedaunan, Tatapan, dan Cerita yang Belum Selesai”

    Matahari pagi mulai mengusir kabut tipis dari hutan damar. Aroma nasi hangat, sayur rebus, dan ikan bakar sederhana menyebar di perkemahan. Beberapa prajurit duduk bersila, makan cepat tanpa banyak bicara. Perjalanan hari ini masih panjang, dan malam tadi cukup mengguncang semua.Di sisi timur kemah, di balik kain penutup khusus, Putri Dyah Pitaloka duduk dengan tenang bersama Nyi Kirana dan dua pengawal wanita lainnya: Nyi Merta dan Nyi Lintang. Sarapan mereka lebih terjaga—diatur khusus oleh juru masak istana yang dibawa dari Galuh.Namun pagi ini, ada kegelisahan kecil di mata sang putri. Pandangannya sesekali melirik keluar tenda, mencari sosok yang tidak disebutkan.Tak lama kemudian, Raka lewat dengan mangkuk kayu berisi makanan di tangannya. Ia hendak kembali ke tempat para pengawal duduk. Tapi suara lembut memanggilnya.“Raka,” ujar Dyah pelan dari balik kain. “Sebentar saja.”Raka menoleh, agak ragu. Namun saat Nyi Kirana mengang

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   "Tebusan dalam Bayang-bayang Damar"

    Malam semakin larut, dan rombongan pasukan kerajaan yang sedang menempuh perjalanan menuju Mandalawangi melaju pelan melalui jalur sempit yang terbentang di tengah hutan damar. Meskipun sudah malam, mereka tidak bisa berhenti karena pentingnya mencapai tujuan esok hari. Setiap langkah pasukan dijaga ketat, sementara langit malam menggelapkan suasana. Raka, yang tetap menjaga keamanan di sekitar Putri Dyah Pitaloka, melintas di antara barisan pasukan, tetap waspada. Di sebelahnya, Dyah Pitaloka, dengan jubah yang membalut tubuhnya, tetap diam, menyadari ketegangan yang menggantung di udara. Di sisi lain, Ki Jayasena—pemimpin pasukan—memperhatikan sekitar dengan cermat, mencurigai ada yang tidak beres di hutan yang sepi ini. Meskipun hutan ini pernah dilalui pasukan kerajaan sebelumnya, malam ini terasa berbeda. Waspada terhadap bahaya yang tak terlihat, dia mengarahkan pasukan untuk bersiap. “Tetap siaga! Jangan lengah!” perintahnya, suaranya tegas dan penuh kewaspadaan. Sement

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

    Last Updated : 2025-04-22
  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

    Last Updated : 2025-04-23

Latest chapter

  • Cinta di Balik Singgasana   Siasat Raja dan Bayangan Bahaya

    Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su

  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan — deras, tapi terasa cepat.Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu."Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat.Raka ragu. "Ke mana, Gusti?"Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu."Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga.Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil.Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah.Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri."Tak banyak orang ta

  • Cinta di Balik Singgasana   Kesadaran yang Kembali

    Embun pagi turun pelan-pelan di halaman dalam istana. Di sudut sebuah ruangan kecil berbau akar-akaran, Raka Wijaya membuka matanya. Atap anyaman daun kelapa yang rapuh menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Udara di sekelilingnya dingin, lembab, dan setiap helaan napas terasa berat, seolah paru-parunya berkarat. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya menolak. Hanya rasa sakit samar yang mengingatkan bahwa ia masih hidup. Suara langkah ringan mendekat. Lalu sebuah suara—pelan, namun jelas. "Dia sudah sadar." Raka melirik ke samping. Seorang tabib tua berjenggot putih duduk di bangku kecil, membalik halaman sebuah kitab daun lontar. Di sampingnya, berdiri seorang pemuda muda berbaju coklat kusam, mungkin pembantunya. Tabib mendekat, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Raka, lalu mengangguk puas. "Darahnya mengalir lagi dengan tenang. Nyawanya kembali berlabuh." Raka membuka mulutnya untuk berbicara, tapi hanya suara serak yang keluar. Tubuhnya seperti terkurung dalam be

  • Cinta di Balik Singgasana   Di Bawah Langit Yang Luka

    Udara malam di Istana Kawali terasa menggantung berat, seperti sebelum badai.Bulan sabit menggantung rendah, memantulkan cahaya pucat ke halaman istana yang kosong.Angin membawa aroma getir dari bunga kamboja, menciptakan kesan suram di antara tembok batu.Di dalam sebuah ruangan remang-remang, di balik dinding-dinding batu kokoh, terbaringlah Raka.Tubuhnya tak ubahnya mayat hidup — pucat, kurus, dan penuh luka.Dada telanjangnya dibalut perban kasar, beberapa di antaranya sudah berubah warna, bernoda darah yang menghitam.Napasnya terdengar berat, bagai kuda yang kelelahan di medan perang.Tabib istana berkali-kali membersihkan lukanya dengan air rebusan daun sirih.Setiap sentuhan di kulitnya yang terbakar luka membuat Raka menggeliat lemah, kadang merintih tak terdengar.Satu luka besar membelah dari bahu kanan ke sisi rusuknya.Luka itu dijahit dengan benang kasar, tiap tusukan jarumnya meninggalkan bekas ngilu yang terasa hingga ke tulang.Pagi yang kelabu baru mulai merangkak

  • Cinta di Balik Singgasana   Sidang di Balik Tirai Emas

    Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Ditemukan

    Langit Mandalawangi menjingga keemasan ketika pagi benar-benar menggeliat. Kabut mulai mengangkat diri dari dedaunan, memperlihatkan jelas hamparan hutan yang rimbun dan jalan-jalan setapak yang basah oleh embun. Suasana masih hening ketika suara langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari arah timur. Langkah-langkah itu seragam, mantap, dan penuh wibawa. Rombongan pasukan Galuh akhirnya tiba—dua puluh prajurit berkuda dengan baju zirah berlapis dan ikat kepala logam berwarna keperakan. Di bawah panji kerajaan Galuh yang berkibar di depan rombongan, mereka melangkah dengan formasi yang rapi, membawa perintah langsung dari Sang Prabu. Di antara mereka, tampak seorang panglima muda bertubuh tegap dan bersorot mata tajam: Panglima Wira Atmandaru—salah satu prajurit terbaik yang dipercaya langsung oleh Sang Prabu untuk memimpin pasukan pencari Putri Dyah Pitaloka. Sementara itu, tak jauh dari pondok, Ki Wulung tengah mengambil air dari pancuran bambu ketika ia melihat rombonga

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak Berdarah dan Harapan di Balik Kabut

    Kabut pagi belum benar-benar menghilang saat Ki Jayasena perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, sebagian luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan darah yang mengering. Di sekelilingnya, tanah basah oleh hujan semalam bercampur darah dan daun-daun gugur. Aroma kematian memenuhi udara.“Ki Jayasena... Ki Jayasena...” suara lirih memanggil. Itu Nyi Lastri, satu-satunya pengawal perempuan yang selamat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar saat mencoba menolong sang senopati bangkit.“Putri...” gumam Jayasena lemah. “Raka... Putri Dyah Pitaloka...”Nyi Lastri menunduk. “Mereka kabur... terakhir kulihat, Raka membawa beliau menunggangi kuda... para perampok mengejar...”Ki Jayasena menggertakkan giginya, berusaha berdiri dengan tenaga yang tersisa. Di sekeliling mereka, mayat-mayat para prajurit kerajaan dan perampok bergelimpangan. Beberapa kuda tampak berkeliaran panik, sebagian luka, sebagian kelelahan.“

  • Cinta di Balik Singgasana   Serangan yang Tak Terduga

    Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka saling

  • Cinta di Balik Singgasana   Jejak yang Dihapus Hujan

    Langit perlahan kembali gelap. Ketegangan perlahan mereda, namun napas Raka masih memburu, dadanya naik-turun menahan beban pelarian panjang. Ia menoleh ke Putri Dyah Pitaloka yang duduk bersimpuh di atas tanah berlumur lumpur dan dedaunan basah. Rambutnya terurai, gaunnya compang-camping, namun matanya tetap menyala, penuh rasa syukur—dan kebingungan.“Putri, kita harus segera pergi. Mereka mungkin masih mengejar,” ucap Raka, suaranya lembut tapi tegas.Tanpa banyak kata, Putri mengangguk. Keduanya mulai berjalan kaki menyusuri jalur setapak sempit yang jarang dilalui manusia. Tak lama, mereka tiba di tepian sebuah sungai deras—airnya berwarna keruh, berbuih, dan batu-batunya licin.“Kita harus menyeberang. Kalau tidak, mereka bisa mengikuti jejak kita lewat tanah basah ini,” kata Raka sambil memandang aliran deras itu.Putri terdiam, memandang air yang menderu bagai bisikan kematian. Ia bergidik. “Aku... aku takut...”Raka menatapnya le

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status