Share

Penyelamat Hidupku

Author: Afni Rifazi
last update Last Updated: 2023-12-25 12:21:14

Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.

“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.

Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.

Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.

Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah karena rupanya gadis itu masih hidup, tapi di sisi lain ia masih belum percaya akan hal ini, terlebih sebuah kenyataan yang memahitkan.

“A-Anda tidak apa-apa, Nona?” tanya Bian agak ragu. Ini sudah bertahun-tahun lamanya setelah kejadian waktu itu. Bian antara percaya dan tidak. Selama ini pikirannya mengatakan bahwa gadis kecil itu sudah tiada, tetapi hari ini ia kembali berhadapan dengan penyelamat hidupnya.

“Tuan, apakah Tuan melihat batu kecil?” Ibu jari dan telunjuknya mengacung, memberi tahu seberapa besar batu berharga miliknya. Wanita dengan manik netra abu-abu itu tampak resah, terdengar dari suaranya yang bergetar. Meski matanya tampak indah, tetapi cahayanya redup. Ia telah kehilangan penglihatan tetapi instingnya begitu kuat. Ia bahkan bisa menebak siapa yang berada di hadapannya, entah itu pria, wanita, atau bahkan anak-anak. Namun, ia tidak tahu sosok yang sebenarnya sebab baginya, semua orang itu sama.

Nyeri. Bian merasakan hatinya tengah diremas-remas sekarang melihat kondisi wanita yang ada dalam pelukannya ini. Tubuh Bian bergetar. Sekali lagi terbesit kenangan mengerikan yang sudah ia lupakan bertahun-tahun.

Bayangan akan tragedi yang membuat gadis kecil itu tutup usia membuat Bian keringat dingin. Ia masih terbayang bagaimana truk besar itu membuat tubuh mungil si gadis berlumuran darah.

Bian memeluk wanita itu dengan impulsif. Tubuh si wanita lebih kecil dari milik Bian yang dadanya bidang. Di dalam hati, Bian bertanya apakah wanita itu telah tumbuh dengan baik?

Badan yang kurus, pakaian dengan model yang sama, dan mata indah yang sudah kehilangan fungsinya. Bisakah Bian sebut wanita itu telah menjalani kehidupan yang sempurna?

Kepala Bian mendongak, mencoba menghentikan bendungan bulir bening di sudut netranya. Sakit sekali rasanya menerima kenyataan ini.

“Jangan menangis, kumohon jangan menangis,” batin Bian berbisik demikian. Gadis yang dahulu menyelamatkannya kini menderita selama hidup akibat kesalahannya. Bian masih menyimpan rasa bersalah yang besar pada kematian gadis itu. Berulang kali Bian menahan isak hingga kini tercekat di tenggorokannya.

Sementara Lee hanya menatap penuh tanya. Ia tak mengerti mengapa reaksi Bian seperti ini. Bahkan, mata Bian sudah memerah dengan pipi yang perlahan mulai basah. Lee pun menganga, ia tak pernah melihat Bian menunjukkan kelemahannya bahkan kepada Lee sekalipun. Jika Bian ingin menangis, ia pasti akan mencari tempat di mana tidak ada siapa pun yang bisa melihatnya.

Namun, kini kepedihan hati Bian menjawab semuanya. Pria yang kuat bukan ia yang tidak pernah menangis, melainkan ia yang tulus mencintai seseorang dengan hatinya.

Bian menatap pada Lee dengan mata basahnya. Ia sudah tak sanggup lagi menerima kenyataan ini. Tatapan sendu milik Bian menyayat hati Lee. Seorang Bian yang dingin dan terkadang tak acuh dengan perasaan orang sekitarnya, kini menangisi seorang wanita yang tunanetra di usia muda.

“Tuan, ada apa?” tanya wanita itu seketika saat ia mendengar jelas isak Bian yang mulai sesenggukan. “Tolong lepaskan saya, Tuan.” Sang wanita susah bernapas karena Bian memeluknya dengan erat. Meski begitu, sang wanita tak merasa terancam sedikit pun. Ia malah merasakan kehangatan dan mendung yang teraduk menjadi satu di dalam hati pria yang tengah memeluknya itu.

Ia juga merasakan betapa tegarnya si pria yang tak ia kenal. Dadanya yang bidang dan pundak yang tegap memberi tahu kepada si wanita bahwa banyak hal yang telah pria itu lalui untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Wanita itu yang awalnya menolak untuk didekap, kini ia membuka tangannya untuk membalas pelukan Bian. Ia mengelus punggung Bian yang lebih besar darinya. “Sudah tidak apa-apa. Kehilangan adalah suatu hal yang biasa dalam kehidupan.”

Bian maupun Lee tersentak. Mereka menaruh pertanyaan besar, bagaimana wanita itu tahu luka Bian selama ini?

“Kita mungkin tidak bisa melupakannya begitu saja, tetapi dunia akan tetap berjalan. Jangan sampai karena seseorang, kita tertinggal oleh dunia,” kata wanita itu lagi masih dalam dekapan Bian.

Perkataan wanita itu menembus jantung Bian hingga membuatnya merasa hangat akan aksara-aksara indah bak mutiara yang mengalun merdu laiknya melodi. Terdengar halus dan menyejukkan. Suaranya yang jernih membuat Bian menjadi candu.

Bian pun melepaskan pelukannya pada si wanita. Ia menangkup kedua pipi mungil wanita itu. Ditatapnya lekat-lekat penuh dengan arti pada kedua manik netra milik sang wanita. Wajah Bian terefleksikan di sana, memantulkan dirinya yang telah melakukan kesalahan besar hingga merusak takdir si wanita.

Rasa bersalah terus menghantuinya selama ini. Ia bahkan tidak bisa memaafkan dirinya sendiri atas kejadian yang membuat gadis kecil waktu itu harus merelakan nyawa demi menyelamatkan Bian dari ancaman kematian. Bian berpikir bahwa nyawanya telah ditukar oleh nyawa gadis itu.

“Maafkan aku, sungguh tolong maafkan aku,” lirih Bian dengan suara bergetar. Kali ini ia tak dapat menahan isaknya lagi. Air matanya sudah meluruh tanpa bisa ia halau. Bibirnya gemetar dan tangannya terasa dingin.

Sementara wanita itu menarik kedua sudut bibirnya, menampakkan bulan sabit yang telah lama Bian rindukan selama bertahun-tahun. Sebuah senyum kehangatan yang terus memberinya semangat hidup. Dari senyum itu, Bian berusaha hidup lebih baik agar ia tidak menyia-nyiakan nyawa yang telah ditolong oleh sang penyelamatnya.

“Maaf ... maaf untuk apa? Saya sepertinya tadi ditabrak oleh anak kecil, Tuan.” Senyum wanita itu terus mengembang dengan indah. Detik kemudian, perlahan tangan wanita tersebut mengusap mata Bian yang basah. “Hai, jangan menangis lagi, ya. Semua akan baik-baik saja,” katanya lembut dan menyejukkan.

Ah, semakin sakit.

Bian tak bisa melihatnya seperti ini. Ia langsung memutuskan, wanita penyelamat hidupnya harus Bian lindungi. Kini giliran Bian yang akan menyelamatkan hidup si wanita. Tanpa berpikir, ia pun berkata impulsif, “Ikutlah denganku. Aku akan membuatmu bahagia.”

Tangan Bian mencengkeram pergelangan si wanita dengan kasar. Ia tidak tahan lagi akan penderitaan yang wanita itu alami selama ini. Ia ingin menebusnya dan membuat wanita di hadapannya bahagia. Namun, sikap kasar Bian membuat sang wanita malah ketakutan.

Wanita itu perlahan mendorong tubuh Bian. “Ma-maaf, ada apa dengan Anda?”

Ia merasa bahwa Bian mulai bersikap agresif, dirinya terancam. Ia melepas Bian yang dipikirnya adalah orang baik-baik yang butuh perhatian. Namun, hal itu hancur seketika saat Bian memaksa dirinya.

Mendadak saja, dari kejauhan terdengar seorang pria berteriak lantang. Ia berang. “Ling Mei, jauhi pria itu!” 

****

Related chapters

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Di Bawah Payung yang Sama

    Beberapa hari berlalu.Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu h

    Last Updated : 2023-12-25
  • Cinta dalam Serpihan Safir   Kesepakatan

    “Apakah Mei benar-benar dapat melihat kembali?” tanya seorang pria dengan resah yang tak lain adalah Alan Stewart. Ia tengah menghadap Lee setelah melakukan tugas terbaiknya. Di kedua tangannya, tergenggam amplop tebal berwarna coklat. Kegundahan di hatinya tak kunjung usai. Ia terus memikirkan kesepakatan yang ia lakukan demi mengambil kembali masa depan Mei yang telah direnggut. Sebelum Alan berlalu meninggalkan Lee, ia menanyakan kembali perjanjian mereka yang dibuat kemarin. Kedua anak konglomerat itu memberinya transaksi yang berdasarkan simbiosis mutualisme. Bian menjanjikan bahwa dirinya akan membuat Mei dapat melihat kembali dengan syarat Alan harus meninggalkan gadis itu.Meski terdengar tidak adil, tetapi bagi Alan kebahagiaan Mei adalah segalanya. Bukan berarti Alan tak sayang, ia hanya ingin Mei bisa bahagia dengan seseorang yang mampu mewujudkannya.Alan merasa tak mampu selama ini. Ia hanya bisa memberi sedikit cintanya dengan selalu berada di sisi Mei. Ia tak dapat

    Last Updated : 2024-01-24
  • Cinta dalam Serpihan Safir   Mengulik Masa Lalu

    Sementara di tempat lain.“Hentikan semua ini, Ayah!” Kai bersungut, menatap sengit pada sang sepuh keluarga yang duduk manis di sofa. Di hadapannya, Benjamin masih menatap beberapa potret kecil yang tergambar di sana putranya, Kai saat masih remaja.Senyum simpul sang kepala keluarga bayangan itu terlihat begitu jelas, tetapi hal ini malah membuat Kai meradang melihat sikap ayahnya. Berulang kali ia menghembuskan napas kekecewaan. “Ayah, Bian sudah melewati batas!” Protes demi protes terus Kai ajukan untuk menghentikan rencana Benjamin demi menemukan Ling Mei. Rungu Benjamin terasa pengang mendengarnya, ia menghela napas berat. Kemudian, ia letakkan beberapa potret foto itu di atas meja. Sekali lagi, ia menghela seraya meraih tongkat kayunya yang ia sandarkan pada bibir sofa. “Yang sudah kelewat batas itu kamu, Kai!”Tatapan Benjamin tak kalah sengit pada putranya. Entah kerasukan apa, Kai bertingkah kekanak-kanakan lagi, membuat Benjamin jemu melihat tingkahnya. Suasana di se

    Last Updated : 2024-01-26
  • Cinta dalam Serpihan Safir   Toko Bunga Ling Mei

    “Bian, lihatlah Ling Mei, bukankah dia sangat cantik?” tanya Lee setelah beberapa hari mereka berdebat pasal pria asing yang rupanya adalah kakak tiri Lee. Cetak!Satu sentilan mendarat di jidat Lee. Seketika pria itu meringis kesakitan seraya mengelus dahinya yang terasa perih sejenak.“Berhenti memuja Ling Mei!” Bibir Bian mencucu ke depan. Ia tak suka jika Lee terus-terusan memuji pujaan hatinya—Ling Mei yang saat ini tengah merangkai buket bunga dengan jemari lentiknya.Seperti biasa, Ling Mei memakai cheongsam putih dengan rambut hitam sehitam jelaga yang ia kepang rapi. Sungguh menawan, membuat degup jantung Bian tak beraturan. Sementara respons Lee hanya terkekeh geli. Ia senang menggoda Bian yang tengah kasmaran, sebab baru kali ini ia melihat sang tuan berpipi semu melihat seorang wanita, bahkan mereka harus rela mengintip dari balik tanaman bonsai untuk mematai Mei.Namun, sedetik kemudian Bian berkata dengan resah, “Tapi, apa kamu yakin ini aman, bukankah kakak tirimu itu

    Last Updated : 2024-02-05
  • Cinta dalam Serpihan Safir   Adik Kecil

    Hosh.Hosh.Hosh.“Kita harus lari sejauh mungkin, Kak!” Zhao terus menarik tangan Mei, ia bahkan mencengkeram pergelangan kakaknya itu hingga memerah. keduanya berlari kencang menjauh dari Kenzo yang terus berteriak memanggil nama mereka berdua.“Kita mau ke mana?” Mei yang masih setengah sadar itu terus mengekor pada sang adik. Ia bahkan tak mempersiapkan diri. Mereka keluar tanpa alas kaki. Ah, yang penting kabur saja sudah, masalah selanjutnya bisa diurus nanti.Hujan kembali terjun bebas, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Zhao dan Mei menembus malam yang dingin, tak peduli baju basah yang telah diguyur hujan. Mereka abai pada dinginnya malam yang menusuk demi menjauh dari sang sumber masalah.“Ling Zhao, Ling Mei, cepat kembali!” Di ujung sana, Kenzo berteriak lantang seraya mengacungkan pisau yang sudah terasah dengan baik. Namun karena luka di kaki Kenzo membuatnya sulit berjalan, apalagi berlari. Kenzo memang pincang karena cedera di bagian kaki sebelah kiri akibat melewati

    Last Updated : 2024-04-17
  • Cinta dalam Serpihan Safir   Namamu

    Kenzo memandangi permata safir yang mengalung indah di leher jenjang milik Mei. Tatapannya tajam menukik, matanya memanas melihat benda itu masih saja berada di sisi Mei. Sejenak ia menghela napas berat, sedetik kemudian lengkungan bulan sabit terhias di bibirnya. Ia menatap sendu kedua anak yang sudah dijaganya beberapa tahun ini. Ya, ia membesarkan Mei dan Zhao selama ini setelah ibu kandung mereka memberi amanat kepada Kenzo. Mau tak mau, pria itu mengurus dua bocah yang kini memanggilnya dengan sebutan "Paman" dan Kenzo tidak keberatan akan hal itu, bahkan Emma saja menganggap Kenzo sebagai pamannya juga. Seperti sekarang, tak lama setelah penyambutan Kenzo, Emma datang dengan membawa sekantong plastik makanan berat. Ia datang dengan wajah semringah membawa kebahagiaan. "Selamat pagi Paman Ken, Zhao, dan sahabatku Mei." Emma segera memeluk Mei saat dirinya baru tiba. Kemudian, ia meletakkan plastik tersebut di atas meja. "Wah, sepertinya kita akan pesta besar." Kenzo mengelus

    Last Updated : 2024-10-05
  • Cinta dalam Serpihan Safir   Batu Safir

    “Menikah atau keluar dari keluarga Kai?” Suara Kai sang kepala keluarga meninggi di hadapan penerus satu-satunya. Ia meradang melihat kelakuan sang putra yang hanya bersenang-senang dengan proyek perusahaan tanpa memikirkan masa depannya untuk jangka panjang. “Kau juga akan kehilangan jabatan jika tidak menikah!”Sementara sang putra—Sabian Kai si lakon utama hanya duduk santai sambil menyesap segelas kopi yang dibuatkan oleh Asisten Lee, asisten sekaligus teman masa kecilnya. Ia melempar pandang pada sang asisten yang berdiri tegap di sampingnya. Kemudian, ia kembali menatap sang ayah yang otot wajahnya menegang, memaksa untuk keluar.“Tenanglah, Pa.” Sekali lagi, Bian menyesap kopi tanpa wajah bersalah meski sang ayah sudah mengamuk di hadapannya. Untung saja ruangan ini kedap suara. Ruang khusus milik Bian yang hanya berisi meja kerjanya dan sofa untuk karyawan yang melapor. Bian mendesain ruangannya sendiri. Bahkan, potret dan vas-vas bunga yang ada di sini adalah hasil karyanya.

    Last Updated : 2023-12-25
  • Cinta dalam Serpihan Safir   Memilih Takdir

    15 tahun lalu.“Hosh ... hosh ... hosh.” Seorang anak lelaki yang tak lain adalah Bian kecil berusia 12 tahun terus berlari. Ia mengambil seribu langkah menjauh dari komplotan yang mengejarnya seraya membawa kematian untuk dirinya.Tubuh Bian yang kecil sudah basah kuyup sebab air di langit tumpah ruah diselingi guntur mengerikan. Meski ia berusia 12 tahun, tubuhnya tak berkembang laiknya teman seusianya. Ia sedikit terhambat. Namun, hal itu menguntungkannya pagi ini yang tengah diselimuti awan suram. Ia bisa dengan lincah meloloskan diri dari kumpulan pria kekar yang menahannya sejak kemarin.Kakinya terus melesat walau tanpa tujuan. Sekarang yang ada di dalam pikirannya hanyalah dapat lolos dari genggaman para pria menakutkan itu. Ia tidak peduli berapa jarak yang ia tempuh untuk melarikan diri hingga ia menemukan sebuah taman bermain yang telah sepi.Bian pun segera menyembunyikan tubuhnya di balik perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan kecil di atasnya sehingga ia terhindar

    Last Updated : 2023-12-25

Latest chapter

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Namamu

    Kenzo memandangi permata safir yang mengalung indah di leher jenjang milik Mei. Tatapannya tajam menukik, matanya memanas melihat benda itu masih saja berada di sisi Mei. Sejenak ia menghela napas berat, sedetik kemudian lengkungan bulan sabit terhias di bibirnya. Ia menatap sendu kedua anak yang sudah dijaganya beberapa tahun ini. Ya, ia membesarkan Mei dan Zhao selama ini setelah ibu kandung mereka memberi amanat kepada Kenzo. Mau tak mau, pria itu mengurus dua bocah yang kini memanggilnya dengan sebutan "Paman" dan Kenzo tidak keberatan akan hal itu, bahkan Emma saja menganggap Kenzo sebagai pamannya juga. Seperti sekarang, tak lama setelah penyambutan Kenzo, Emma datang dengan membawa sekantong plastik makanan berat. Ia datang dengan wajah semringah membawa kebahagiaan. "Selamat pagi Paman Ken, Zhao, dan sahabatku Mei." Emma segera memeluk Mei saat dirinya baru tiba. Kemudian, ia meletakkan plastik tersebut di atas meja. "Wah, sepertinya kita akan pesta besar." Kenzo mengelus

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Adik Kecil

    Hosh.Hosh.Hosh.“Kita harus lari sejauh mungkin, Kak!” Zhao terus menarik tangan Mei, ia bahkan mencengkeram pergelangan kakaknya itu hingga memerah. keduanya berlari kencang menjauh dari Kenzo yang terus berteriak memanggil nama mereka berdua.“Kita mau ke mana?” Mei yang masih setengah sadar itu terus mengekor pada sang adik. Ia bahkan tak mempersiapkan diri. Mereka keluar tanpa alas kaki. Ah, yang penting kabur saja sudah, masalah selanjutnya bisa diurus nanti.Hujan kembali terjun bebas, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Zhao dan Mei menembus malam yang dingin, tak peduli baju basah yang telah diguyur hujan. Mereka abai pada dinginnya malam yang menusuk demi menjauh dari sang sumber masalah.“Ling Zhao, Ling Mei, cepat kembali!” Di ujung sana, Kenzo berteriak lantang seraya mengacungkan pisau yang sudah terasah dengan baik. Namun karena luka di kaki Kenzo membuatnya sulit berjalan, apalagi berlari. Kenzo memang pincang karena cedera di bagian kaki sebelah kiri akibat melewati

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Toko Bunga Ling Mei

    “Bian, lihatlah Ling Mei, bukankah dia sangat cantik?” tanya Lee setelah beberapa hari mereka berdebat pasal pria asing yang rupanya adalah kakak tiri Lee. Cetak!Satu sentilan mendarat di jidat Lee. Seketika pria itu meringis kesakitan seraya mengelus dahinya yang terasa perih sejenak.“Berhenti memuja Ling Mei!” Bibir Bian mencucu ke depan. Ia tak suka jika Lee terus-terusan memuji pujaan hatinya—Ling Mei yang saat ini tengah merangkai buket bunga dengan jemari lentiknya.Seperti biasa, Ling Mei memakai cheongsam putih dengan rambut hitam sehitam jelaga yang ia kepang rapi. Sungguh menawan, membuat degup jantung Bian tak beraturan. Sementara respons Lee hanya terkekeh geli. Ia senang menggoda Bian yang tengah kasmaran, sebab baru kali ini ia melihat sang tuan berpipi semu melihat seorang wanita, bahkan mereka harus rela mengintip dari balik tanaman bonsai untuk mematai Mei.Namun, sedetik kemudian Bian berkata dengan resah, “Tapi, apa kamu yakin ini aman, bukankah kakak tirimu itu

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Mengulik Masa Lalu

    Sementara di tempat lain.“Hentikan semua ini, Ayah!” Kai bersungut, menatap sengit pada sang sepuh keluarga yang duduk manis di sofa. Di hadapannya, Benjamin masih menatap beberapa potret kecil yang tergambar di sana putranya, Kai saat masih remaja.Senyum simpul sang kepala keluarga bayangan itu terlihat begitu jelas, tetapi hal ini malah membuat Kai meradang melihat sikap ayahnya. Berulang kali ia menghembuskan napas kekecewaan. “Ayah, Bian sudah melewati batas!” Protes demi protes terus Kai ajukan untuk menghentikan rencana Benjamin demi menemukan Ling Mei. Rungu Benjamin terasa pengang mendengarnya, ia menghela napas berat. Kemudian, ia letakkan beberapa potret foto itu di atas meja. Sekali lagi, ia menghela seraya meraih tongkat kayunya yang ia sandarkan pada bibir sofa. “Yang sudah kelewat batas itu kamu, Kai!”Tatapan Benjamin tak kalah sengit pada putranya. Entah kerasukan apa, Kai bertingkah kekanak-kanakan lagi, membuat Benjamin jemu melihat tingkahnya. Suasana di se

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Kesepakatan

    “Apakah Mei benar-benar dapat melihat kembali?” tanya seorang pria dengan resah yang tak lain adalah Alan Stewart. Ia tengah menghadap Lee setelah melakukan tugas terbaiknya. Di kedua tangannya, tergenggam amplop tebal berwarna coklat. Kegundahan di hatinya tak kunjung usai. Ia terus memikirkan kesepakatan yang ia lakukan demi mengambil kembali masa depan Mei yang telah direnggut. Sebelum Alan berlalu meninggalkan Lee, ia menanyakan kembali perjanjian mereka yang dibuat kemarin. Kedua anak konglomerat itu memberinya transaksi yang berdasarkan simbiosis mutualisme. Bian menjanjikan bahwa dirinya akan membuat Mei dapat melihat kembali dengan syarat Alan harus meninggalkan gadis itu.Meski terdengar tidak adil, tetapi bagi Alan kebahagiaan Mei adalah segalanya. Bukan berarti Alan tak sayang, ia hanya ingin Mei bisa bahagia dengan seseorang yang mampu mewujudkannya.Alan merasa tak mampu selama ini. Ia hanya bisa memberi sedikit cintanya dengan selalu berada di sisi Mei. Ia tak dapat

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Di Bawah Payung yang Sama

    Beberapa hari berlalu.Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu h

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Penyelamat Hidupku

    Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah ka

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Kenangan yang Terkuak

    Dalam sekejap, Bian membelalakkan mata seraya menarik napas begitu dalam. Denting jam telah mengejutkannya. Tubuh Bian penuh keringat, ia bergetar.Seteguk saliva ditelannya. Ia menatap sekeliling, rupanya ia berada di ruang kerja kesayangannya. “Ah, aku mimpi itu lagi.” Bian menghela napas berat. “Mimpi lima belas tahun lalu.”Pria itu mengusap peluh di keningnya. Badanya terasa kaku, ia baru sadar selama 2 jam dirinya terbawa bunga tidur mengerikan di atas kursi kerjanya. Kenangan yang sudah lama ia kubur begitu dalam sampai ia telah melupakannya, tetapi selama beberapa hari terakhir memori itu hadir kembali mengusik kedamaiannya sejak Bian diingatkan akan batu safir oleh Benjamin.Ia sebenarnya telah menyimpan safir itu jauh di dalam lemari yang tak pernah ia buka setelah hari di mana ia terakhir kali melihat gadis itu sebelum ditemukan oleh Benjamin. Ia hanya ingin lari dan menghilangkan semua hal yang menjadi trauma masa kecilnya. Namun, Benjamin berkata bahwa lari bukanlah solus

  • Cinta dalam Serpihan Safir   Memilih Takdir

    15 tahun lalu.“Hosh ... hosh ... hosh.” Seorang anak lelaki yang tak lain adalah Bian kecil berusia 12 tahun terus berlari. Ia mengambil seribu langkah menjauh dari komplotan yang mengejarnya seraya membawa kematian untuk dirinya.Tubuh Bian yang kecil sudah basah kuyup sebab air di langit tumpah ruah diselingi guntur mengerikan. Meski ia berusia 12 tahun, tubuhnya tak berkembang laiknya teman seusianya. Ia sedikit terhambat. Namun, hal itu menguntungkannya pagi ini yang tengah diselimuti awan suram. Ia bisa dengan lincah meloloskan diri dari kumpulan pria kekar yang menahannya sejak kemarin.Kakinya terus melesat walau tanpa tujuan. Sekarang yang ada di dalam pikirannya hanyalah dapat lolos dari genggaman para pria menakutkan itu. Ia tidak peduli berapa jarak yang ia tempuh untuk melarikan diri hingga ia menemukan sebuah taman bermain yang telah sepi.Bian pun segera menyembunyikan tubuhnya di balik perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan kecil di atasnya sehingga ia terhindar

DMCA.com Protection Status