“Menikah atau keluar dari keluarga Kai?” Suara Kai sang kepala keluarga meninggi di hadapan penerus satu-satunya. Ia meradang melihat kelakuan sang putra yang hanya bersenang-senang dengan proyek perusahaan tanpa memikirkan masa depannya untuk jangka panjang. “Kau juga akan kehilangan jabatan jika tidak menikah!”
Sementara sang putra—Sabian Kai si lakon utama hanya duduk santai sambil menyesap segelas kopi yang dibuatkan oleh Asisten Lee, asisten sekaligus teman masa kecilnya. Ia melempar pandang pada sang asisten yang berdiri tegap di sampingnya. Kemudian, ia kembali menatap sang ayah yang otot wajahnya menegang, memaksa untuk keluar.
“Tenanglah, Pa.” Sekali lagi, Bian menyesap kopi tanpa wajah bersalah meski sang ayah sudah mengamuk di hadapannya. Untung saja ruangan ini kedap suara. Ruang khusus milik Bian yang hanya berisi meja kerjanya dan sofa untuk karyawan yang melapor. Bian mendesain ruangannya sendiri. Bahkan, potret dan vas-vas bunga yang ada di sini adalah hasil karyanya.
“Bagaimana Papa bisa tenang? Papa sudah tua dan kau juga sudah berusia hampir tiga puluh.” Napas Kai tersengal, ia sudah terlalu dongkol pada anaknya yang sangat keras dengan diri sendiri. Kai memegang dada, terasa sesak di sana. Ia hampir saja limbung.
Asisten Lee pun bertindak impulsif dari alam bawah sadarnya. Ia berlari dan dengan sigap menangkap tubuh ayah dari tuannya. “Anda tidak apa-apa, Pak?” tanya Lee memastikan seraya menahan tubuh Kai. Namun, perhatian Lee ditepis seketika oleh Kai. Pria itu melepaskan diri dari Lee dengan kasar seakan memang tidak butuh bantuan Lee.
Tatapan Kai menajam pada Bian dan Lee, ia melirik keduanya secara bergantian dan berakhir pada Lee. “Tidak cuman Bian, tapi kau juga, Lee.” Kai mendaratkan telunjuknya tepat di dada Lee. Ia mengetuknya beberapa kali agar hati Lee pun ikut terbuka sebab kedua anak itu sama saja. Pikiran mereka hanya berisi kerja, tidak ada yang lain. Padahal jika bicara tentang uang, semua sudah terjamin. Bahkan untuk hidup seratus tahun ke depan, seluruh keturunan keluarga Kai tidak akan kelaparan.
Lee hanya mengangguk takzim meski ia tidak sepenuhnya mengiyakan tugas yang berat itu. Namun bagi Kai, Lee juga sudah seperti anaknya sendiri. Lee telah mengabdikan diri kepada keluarga Kai sejak usianya sepuluh tahun, terbayang sudah berapa lama ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk keluarga Kai. Maka dari itu, ultimatum yang diberikan kepada Bian mau tak mau berlaku juga untuk Lee.
Ruangan yang memanas itu kian menegang saat seorang pria tua dengan tongkat kayunya tiba-tiba saja hadir bersama asisten wanita. Ia datang tanpa diundang, tetapi membuat atmosfer di sekitar semakin sesak. Kehadirannya mampu membuat Kai bungkam.
“Tenanglah, Kai. Dia juga sama sepertimu saat kau muda.” Ia mengelus lembut jenggot putihnya.
Sementara Bian yang tadi duduk di singgasananya, kini ia bangkit dan menunduk takdim atas kedatangan orang yang paling dihormati di keluarga Kai. Pria itu adalah Benjamin Keiji sang kepala keluarga bayangan. Ia adalah sesepuh keluarga Kai. Bahkan, Kai sendiri tidak bisa berkutik akan titah ayah kandungnya itu.
Benjamin bergerak dari balik kuasa putranya, Kai. Meski Kai adalah kepala keluarga, tetapi Benjaminlah yang sebenarnya memegang penuh keturunannya. Setiap perkataannya adalah kehormatan yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun.
“Tapi Ayah—”
“Diamlah, aku tidak butuh suaramu!” Benjamin berjalan melewati Lee dan Kai yang berdiri seraya menundukkan kepala. Pria tua itu melangkahkan kakinya dengan bantuan tongkat menuju ke meja kerja Bian di depan sana. Meski tampak tertatih karena kemampuan kakinya sudah menurun, tetapi langkah yang ia pijak terlihat mantap.
Perlahan dan pasti. Pria usia delapan puluhan itu adalah kakek tua yang hanya menginginkan kedamaian, bukan pemaksaan. Benjamin mempunyai caranya sendiri untuk membuat cucunya bisa melahirkan penerus yang baru. Terlebih saat ini keluarga Kai sudah memiliki banyak cabang yang harus diurus, sedangkan Kai hanya punya satu penerus yang hobinya bekerja saja.
Tanpa bicara apa pun, Benjamin meletakkan sesuatu di atas meja kerja Bian. Sebuah permata safir yang birunya sebiru manik netra Bian dan Kai. Pecahan kecil seukuran biji almon tampak berkilau indah terpapar pantulan sinar mentari. Bian terbelalak melihatnya, sebuah ingatan mendadak terbesit di pikirannya.
“Carilah gadis ini,” kata Benjamin sedikit berbisik tetapi suaranya mampu didengar oleh Kai dan Lee yang berdiri tak jauh dari mereka. Sementara Bian hanya membeku meski tubuhnya bergetar hebat.
Memori mengerikan muncul, tetapi ia tak bisa menghapusnya dengan mudah. Meski begitu, Bian merasakan sedikit ruang rindu di hatinya akan sosok pemilik pecahan batu safir ini. Bian pun menelan salivanya dengan kuat. Rasa bersalah yang selama ini berusaha ia kubur akhirnya bangkit lagi.
Bian kembali terbayang akan gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya saat kecil dengan merelakan nyawanya sendiri. Aksi heroik gadis itu membuat takdir keduanya berubah drastis. Namun, karena rasa bersalah Bian, ia terus mengubur kenangan itu meski seseorang yang pertama kali mencuri hatinya adalah gadis tersebut.
Hal itu yang membuat Bian sampai sekarang menutup hatinya pada banyak gadis. Ia hanya takut membuat gadis yang ia cintai berakhir mengenaskan seperti masa lalunya.
“Jangan lari lagi.” Kali ini kalimat Benjamin tidak terdengar oleh Kai maupun Lee, hanya Bian saja sebab ia mengatakannya tepat di telinga Bian yang masih membulatkan matanya dengan sempurna seraya ketakutan dengan apa yang harus ia hadapi nanti.
“Ta-tapi dia sudah ... tiada, Kek.”
“Dia masih hidup dan tumbuh menjadi gadis yang cantik.” Benjamin tersenyum simpul memberi harapan baru bagi Bian. Mendengar hal itu, membuat Bian semakin mematung. Bagaimana mungkin seseorang yang merelakan nyawanya tepat di hadapan Bian dikatakan hidup. Apakah gadis itu telah bangkit dari kuburnya?
Meski terdengar mustahil, Bian masih menaruh harap besar. Semoga saja, gadis itu memang masih hidup. Bian pun tersenyum kecil, ada sedikit asa yang ia simpan untuk gadis itu.
Namun, mendadak saja euforia singkat yang Bian rasakan dihancurkan oleh sang ayah. Kai dengan lantang menolak tegas akan usulan Benjamin. “Tidak akan, Bian tak akan menemui gadis itu!”
Suaranya menggelegar memenuhi ruangan. Akibat emosi yang membuncah di dada, Kai sampai lupa perintah siapa yang telah ia lawan. Otot wajahnya kembali menegang. Kulitnya jadi merah.
“Karena gadis itu Bian tersiksa. Lagi pula gadis itu telah—”
“Tutup mulutmu, Kai. Kau tidak tahu apa-apa!” Benjamin membalikkan tubuhnya seraya mengarahkan tongkat kayu miliknya tepat di wajah Kai yang terbakar api kemarahan. “Biarkan putramu yang menyelesaikan masalahnya sendiri karena lari pun bukanlah solusi dari segalanya. Bian tidak seperti dirimu!”
Mendengar kalimat pedas dari ayahnya, Kai mengeratkan giginya seraya mengepal kedua tangannya diam-diam, menahan gejolak yang terus membakar dirinya tanpa tahu siapa yang ia hadapi sekarang. Sekuat tenaga Kai membungkam mulut meski egonya sudah sangat terluka.
Setelah mengatakan itu, Benjamin pun berlalu dari hadapan putra dan cucunya. Ia pergi seraya meninggalkan harapan yang besar pada Bian. “Segera temukan gadis itu, Bian,” batin Benjamin saat ia angkat kaki dari ruangan yang terasa sesak ini.
Setelah kepergian Benjamin, Bian ambruk di atas kursinya. Ia menatap pecahan kecil batu safir itu. “Namun, di manakah aku akan menemukannya?”
****
15 tahun lalu.“Hosh ... hosh ... hosh.” Seorang anak lelaki yang tak lain adalah Bian kecil berusia 12 tahun terus berlari. Ia mengambil seribu langkah menjauh dari komplotan yang mengejarnya seraya membawa kematian untuk dirinya.Tubuh Bian yang kecil sudah basah kuyup sebab air di langit tumpah ruah diselingi guntur mengerikan. Meski ia berusia 12 tahun, tubuhnya tak berkembang laiknya teman seusianya. Ia sedikit terhambat. Namun, hal itu menguntungkannya pagi ini yang tengah diselimuti awan suram. Ia bisa dengan lincah meloloskan diri dari kumpulan pria kekar yang menahannya sejak kemarin.Kakinya terus melesat walau tanpa tujuan. Sekarang yang ada di dalam pikirannya hanyalah dapat lolos dari genggaman para pria menakutkan itu. Ia tidak peduli berapa jarak yang ia tempuh untuk melarikan diri hingga ia menemukan sebuah taman bermain yang telah sepi.Bian pun segera menyembunyikan tubuhnya di balik perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan kecil di atasnya sehingga ia terhindar
Dalam sekejap, Bian membelalakkan mata seraya menarik napas begitu dalam. Denting jam telah mengejutkannya. Tubuh Bian penuh keringat, ia bergetar.Seteguk saliva ditelannya. Ia menatap sekeliling, rupanya ia berada di ruang kerja kesayangannya. “Ah, aku mimpi itu lagi.” Bian menghela napas berat. “Mimpi lima belas tahun lalu.”Pria itu mengusap peluh di keningnya. Badanya terasa kaku, ia baru sadar selama 2 jam dirinya terbawa bunga tidur mengerikan di atas kursi kerjanya. Kenangan yang sudah lama ia kubur begitu dalam sampai ia telah melupakannya, tetapi selama beberapa hari terakhir memori itu hadir kembali mengusik kedamaiannya sejak Bian diingatkan akan batu safir oleh Benjamin.Ia sebenarnya telah menyimpan safir itu jauh di dalam lemari yang tak pernah ia buka setelah hari di mana ia terakhir kali melihat gadis itu sebelum ditemukan oleh Benjamin. Ia hanya ingin lari dan menghilangkan semua hal yang menjadi trauma masa kecilnya. Namun, Benjamin berkata bahwa lari bukanlah solus
Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah ka
Beberapa hari berlalu.Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu h
“Apakah Mei benar-benar dapat melihat kembali?” tanya seorang pria dengan resah yang tak lain adalah Alan Stewart. Ia tengah menghadap Lee setelah melakukan tugas terbaiknya. Di kedua tangannya, tergenggam amplop tebal berwarna coklat. Kegundahan di hatinya tak kunjung usai. Ia terus memikirkan kesepakatan yang ia lakukan demi mengambil kembali masa depan Mei yang telah direnggut. Sebelum Alan berlalu meninggalkan Lee, ia menanyakan kembali perjanjian mereka yang dibuat kemarin. Kedua anak konglomerat itu memberinya transaksi yang berdasarkan simbiosis mutualisme. Bian menjanjikan bahwa dirinya akan membuat Mei dapat melihat kembali dengan syarat Alan harus meninggalkan gadis itu.Meski terdengar tidak adil, tetapi bagi Alan kebahagiaan Mei adalah segalanya. Bukan berarti Alan tak sayang, ia hanya ingin Mei bisa bahagia dengan seseorang yang mampu mewujudkannya.Alan merasa tak mampu selama ini. Ia hanya bisa memberi sedikit cintanya dengan selalu berada di sisi Mei. Ia tak dapat
Sementara di tempat lain.“Hentikan semua ini, Ayah!” Kai bersungut, menatap sengit pada sang sepuh keluarga yang duduk manis di sofa. Di hadapannya, Benjamin masih menatap beberapa potret kecil yang tergambar di sana putranya, Kai saat masih remaja.Senyum simpul sang kepala keluarga bayangan itu terlihat begitu jelas, tetapi hal ini malah membuat Kai meradang melihat sikap ayahnya. Berulang kali ia menghembuskan napas kekecewaan. “Ayah, Bian sudah melewati batas!” Protes demi protes terus Kai ajukan untuk menghentikan rencana Benjamin demi menemukan Ling Mei. Rungu Benjamin terasa pengang mendengarnya, ia menghela napas berat. Kemudian, ia letakkan beberapa potret foto itu di atas meja. Sekali lagi, ia menghela seraya meraih tongkat kayunya yang ia sandarkan pada bibir sofa. “Yang sudah kelewat batas itu kamu, Kai!”Tatapan Benjamin tak kalah sengit pada putranya. Entah kerasukan apa, Kai bertingkah kekanak-kanakan lagi, membuat Benjamin jemu melihat tingkahnya. Suasana di se
“Bian, lihatlah Ling Mei, bukankah dia sangat cantik?” tanya Lee setelah beberapa hari mereka berdebat pasal pria asing yang rupanya adalah kakak tiri Lee. Cetak!Satu sentilan mendarat di jidat Lee. Seketika pria itu meringis kesakitan seraya mengelus dahinya yang terasa perih sejenak.“Berhenti memuja Ling Mei!” Bibir Bian mencucu ke depan. Ia tak suka jika Lee terus-terusan memuji pujaan hatinya—Ling Mei yang saat ini tengah merangkai buket bunga dengan jemari lentiknya.Seperti biasa, Ling Mei memakai cheongsam putih dengan rambut hitam sehitam jelaga yang ia kepang rapi. Sungguh menawan, membuat degup jantung Bian tak beraturan. Sementara respons Lee hanya terkekeh geli. Ia senang menggoda Bian yang tengah kasmaran, sebab baru kali ini ia melihat sang tuan berpipi semu melihat seorang wanita, bahkan mereka harus rela mengintip dari balik tanaman bonsai untuk mematai Mei.Namun, sedetik kemudian Bian berkata dengan resah, “Tapi, apa kamu yakin ini aman, bukankah kakak tirimu itu
Hosh.Hosh.Hosh.“Kita harus lari sejauh mungkin, Kak!” Zhao terus menarik tangan Mei, ia bahkan mencengkeram pergelangan kakaknya itu hingga memerah. keduanya berlari kencang menjauh dari Kenzo yang terus berteriak memanggil nama mereka berdua.“Kita mau ke mana?” Mei yang masih setengah sadar itu terus mengekor pada sang adik. Ia bahkan tak mempersiapkan diri. Mereka keluar tanpa alas kaki. Ah, yang penting kabur saja sudah, masalah selanjutnya bisa diurus nanti.Hujan kembali terjun bebas, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Zhao dan Mei menembus malam yang dingin, tak peduli baju basah yang telah diguyur hujan. Mereka abai pada dinginnya malam yang menusuk demi menjauh dari sang sumber masalah.“Ling Zhao, Ling Mei, cepat kembali!” Di ujung sana, Kenzo berteriak lantang seraya mengacungkan pisau yang sudah terasah dengan baik. Namun karena luka di kaki Kenzo membuatnya sulit berjalan, apalagi berlari. Kenzo memang pincang karena cedera di bagian kaki sebelah kiri akibat melewati
Kenzo memandangi permata safir yang mengalung indah di leher jenjang milik Mei. Tatapannya tajam menukik, matanya memanas melihat benda itu masih saja berada di sisi Mei. Sejenak ia menghela napas berat, sedetik kemudian lengkungan bulan sabit terhias di bibirnya. Ia menatap sendu kedua anak yang sudah dijaganya beberapa tahun ini. Ya, ia membesarkan Mei dan Zhao selama ini setelah ibu kandung mereka memberi amanat kepada Kenzo. Mau tak mau, pria itu mengurus dua bocah yang kini memanggilnya dengan sebutan "Paman" dan Kenzo tidak keberatan akan hal itu, bahkan Emma saja menganggap Kenzo sebagai pamannya juga. Seperti sekarang, tak lama setelah penyambutan Kenzo, Emma datang dengan membawa sekantong plastik makanan berat. Ia datang dengan wajah semringah membawa kebahagiaan. "Selamat pagi Paman Ken, Zhao, dan sahabatku Mei." Emma segera memeluk Mei saat dirinya baru tiba. Kemudian, ia meletakkan plastik tersebut di atas meja. "Wah, sepertinya kita akan pesta besar." Kenzo mengelus
Hosh.Hosh.Hosh.“Kita harus lari sejauh mungkin, Kak!” Zhao terus menarik tangan Mei, ia bahkan mencengkeram pergelangan kakaknya itu hingga memerah. keduanya berlari kencang menjauh dari Kenzo yang terus berteriak memanggil nama mereka berdua.“Kita mau ke mana?” Mei yang masih setengah sadar itu terus mengekor pada sang adik. Ia bahkan tak mempersiapkan diri. Mereka keluar tanpa alas kaki. Ah, yang penting kabur saja sudah, masalah selanjutnya bisa diurus nanti.Hujan kembali terjun bebas, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Zhao dan Mei menembus malam yang dingin, tak peduli baju basah yang telah diguyur hujan. Mereka abai pada dinginnya malam yang menusuk demi menjauh dari sang sumber masalah.“Ling Zhao, Ling Mei, cepat kembali!” Di ujung sana, Kenzo berteriak lantang seraya mengacungkan pisau yang sudah terasah dengan baik. Namun karena luka di kaki Kenzo membuatnya sulit berjalan, apalagi berlari. Kenzo memang pincang karena cedera di bagian kaki sebelah kiri akibat melewati
“Bian, lihatlah Ling Mei, bukankah dia sangat cantik?” tanya Lee setelah beberapa hari mereka berdebat pasal pria asing yang rupanya adalah kakak tiri Lee. Cetak!Satu sentilan mendarat di jidat Lee. Seketika pria itu meringis kesakitan seraya mengelus dahinya yang terasa perih sejenak.“Berhenti memuja Ling Mei!” Bibir Bian mencucu ke depan. Ia tak suka jika Lee terus-terusan memuji pujaan hatinya—Ling Mei yang saat ini tengah merangkai buket bunga dengan jemari lentiknya.Seperti biasa, Ling Mei memakai cheongsam putih dengan rambut hitam sehitam jelaga yang ia kepang rapi. Sungguh menawan, membuat degup jantung Bian tak beraturan. Sementara respons Lee hanya terkekeh geli. Ia senang menggoda Bian yang tengah kasmaran, sebab baru kali ini ia melihat sang tuan berpipi semu melihat seorang wanita, bahkan mereka harus rela mengintip dari balik tanaman bonsai untuk mematai Mei.Namun, sedetik kemudian Bian berkata dengan resah, “Tapi, apa kamu yakin ini aman, bukankah kakak tirimu itu
Sementara di tempat lain.“Hentikan semua ini, Ayah!” Kai bersungut, menatap sengit pada sang sepuh keluarga yang duduk manis di sofa. Di hadapannya, Benjamin masih menatap beberapa potret kecil yang tergambar di sana putranya, Kai saat masih remaja.Senyum simpul sang kepala keluarga bayangan itu terlihat begitu jelas, tetapi hal ini malah membuat Kai meradang melihat sikap ayahnya. Berulang kali ia menghembuskan napas kekecewaan. “Ayah, Bian sudah melewati batas!” Protes demi protes terus Kai ajukan untuk menghentikan rencana Benjamin demi menemukan Ling Mei. Rungu Benjamin terasa pengang mendengarnya, ia menghela napas berat. Kemudian, ia letakkan beberapa potret foto itu di atas meja. Sekali lagi, ia menghela seraya meraih tongkat kayunya yang ia sandarkan pada bibir sofa. “Yang sudah kelewat batas itu kamu, Kai!”Tatapan Benjamin tak kalah sengit pada putranya. Entah kerasukan apa, Kai bertingkah kekanak-kanakan lagi, membuat Benjamin jemu melihat tingkahnya. Suasana di se
“Apakah Mei benar-benar dapat melihat kembali?” tanya seorang pria dengan resah yang tak lain adalah Alan Stewart. Ia tengah menghadap Lee setelah melakukan tugas terbaiknya. Di kedua tangannya, tergenggam amplop tebal berwarna coklat. Kegundahan di hatinya tak kunjung usai. Ia terus memikirkan kesepakatan yang ia lakukan demi mengambil kembali masa depan Mei yang telah direnggut. Sebelum Alan berlalu meninggalkan Lee, ia menanyakan kembali perjanjian mereka yang dibuat kemarin. Kedua anak konglomerat itu memberinya transaksi yang berdasarkan simbiosis mutualisme. Bian menjanjikan bahwa dirinya akan membuat Mei dapat melihat kembali dengan syarat Alan harus meninggalkan gadis itu.Meski terdengar tidak adil, tetapi bagi Alan kebahagiaan Mei adalah segalanya. Bukan berarti Alan tak sayang, ia hanya ingin Mei bisa bahagia dengan seseorang yang mampu mewujudkannya.Alan merasa tak mampu selama ini. Ia hanya bisa memberi sedikit cintanya dengan selalu berada di sisi Mei. Ia tak dapat
Beberapa hari berlalu.Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu h
Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah ka
Dalam sekejap, Bian membelalakkan mata seraya menarik napas begitu dalam. Denting jam telah mengejutkannya. Tubuh Bian penuh keringat, ia bergetar.Seteguk saliva ditelannya. Ia menatap sekeliling, rupanya ia berada di ruang kerja kesayangannya. “Ah, aku mimpi itu lagi.” Bian menghela napas berat. “Mimpi lima belas tahun lalu.”Pria itu mengusap peluh di keningnya. Badanya terasa kaku, ia baru sadar selama 2 jam dirinya terbawa bunga tidur mengerikan di atas kursi kerjanya. Kenangan yang sudah lama ia kubur begitu dalam sampai ia telah melupakannya, tetapi selama beberapa hari terakhir memori itu hadir kembali mengusik kedamaiannya sejak Bian diingatkan akan batu safir oleh Benjamin.Ia sebenarnya telah menyimpan safir itu jauh di dalam lemari yang tak pernah ia buka setelah hari di mana ia terakhir kali melihat gadis itu sebelum ditemukan oleh Benjamin. Ia hanya ingin lari dan menghilangkan semua hal yang menjadi trauma masa kecilnya. Namun, Benjamin berkata bahwa lari bukanlah solus
15 tahun lalu.“Hosh ... hosh ... hosh.” Seorang anak lelaki yang tak lain adalah Bian kecil berusia 12 tahun terus berlari. Ia mengambil seribu langkah menjauh dari komplotan yang mengejarnya seraya membawa kematian untuk dirinya.Tubuh Bian yang kecil sudah basah kuyup sebab air di langit tumpah ruah diselingi guntur mengerikan. Meski ia berusia 12 tahun, tubuhnya tak berkembang laiknya teman seusianya. Ia sedikit terhambat. Namun, hal itu menguntungkannya pagi ini yang tengah diselimuti awan suram. Ia bisa dengan lincah meloloskan diri dari kumpulan pria kekar yang menahannya sejak kemarin.Kakinya terus melesat walau tanpa tujuan. Sekarang yang ada di dalam pikirannya hanyalah dapat lolos dari genggaman para pria menakutkan itu. Ia tidak peduli berapa jarak yang ia tempuh untuk melarikan diri hingga ia menemukan sebuah taman bermain yang telah sepi.Bian pun segera menyembunyikan tubuhnya di balik perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan kecil di atasnya sehingga ia terhindar