Dalam sekejap, Bian membelalakkan mata seraya menarik napas begitu dalam. Denting jam telah mengejutkannya. Tubuh Bian penuh keringat, ia bergetar.
Seteguk saliva ditelannya. Ia menatap sekeliling, rupanya ia berada di ruang kerja kesayangannya. “Ah, aku mimpi itu lagi.” Bian menghela napas berat. “Mimpi lima belas tahun lalu.”
Pria itu mengusap peluh di keningnya. Badanya terasa kaku, ia baru sadar selama 2 jam dirinya terbawa bunga tidur mengerikan di atas kursi kerjanya. Kenangan yang sudah lama ia kubur begitu dalam sampai ia telah melupakannya, tetapi selama beberapa hari terakhir memori itu hadir kembali mengusik kedamaiannya sejak Bian diingatkan akan batu safir oleh Benjamin.
Ia sebenarnya telah menyimpan safir itu jauh di dalam lemari yang tak pernah ia buka setelah hari di mana ia terakhir kali melihat gadis itu sebelum ditemukan oleh Benjamin. Ia hanya ingin lari dan menghilangkan semua hal yang menjadi trauma masa kecilnya. Namun, Benjamin berkata bahwa lari bukanlah solusi. Mau tak mau, Bian harus menghadapi lukanya sendiri.
Bian pun memungut permata safir yang duduk nyaman di sebuah kotak kecil di sudut meja kerjanya. Ia buka kotak itu dengan perlahan. Ah, tampak berkilau indah sebagaimana manik netranya yang saat ini tengah menangkap kecantikan akan kristal penuh kenangan itu.
“Ah, tapi di mana aku harus mencarimu?” Bian menghela, frustrasi. Ia menangkal fakta yang Benjamin katakan beberapa waktu lalu tentang gadis yang telah kehilangan nyawa di depan matanya. Ini sangat tidak mungkin baginya. Sebuah kenyataan yang menghantam dan mengejutkannya setelah lima belas tahun berlalu.
“Dia ... tidak mungkin masih hidup, ‘kan?” Tanpa sadar sudut mata Bian mengendong bulir bening. Namun, sekuat tenaga ia menjaganya agar tidak meluruh seenak diri.
Mendadak, suara ketukan pintu membuat Bian terperanjat seketika. Bahkan jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Keheningan yang berubah mengejutkan. Bian seakan terlempar dari kedamaian menuju kenyataan.
“Masuk,” katanya singkat dengan suara bariton khasnya. Ia segera mengelap ujung matanya yang basah. Satu detik setelah itu, pintu terbuka pelan. Tampaklah sosok Lee dengan wajah cemasnya. Ia berjalan cepat mendekat kepada sang tuan.
“Bian, apa kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir, terlebih wajah Bian tampak pucat. Tidak seperti biasanya.
“Baik.” Bian segera meletakkan kotak kecil berisi pecahan permata safir. Ia tak mau Lee melihatnya dan mengatakan banyak hal juga untuk mendesak dirinya mencari gadis itu, sama seperti perintah Benjamin.
Hening.
Keduanya membisu tanpa mencari topik untuk memecah kecanggungan itu. Namun, meski begitu Lee masih menyimpan cemas pada tuan yang sudah ia abdikan selama hidup. Bian tidak pernah semurung ini.
Lee hanya bisa menatap pria yang terlalu fokus pada pekerjaan itu. Mau berkomentar pun rasanya akan terdengar miris bagi sang tuan. Ia tak mau membuat hubungan keduanya menjadi dingin.
Perangai Lee membuat Bian tak nyaman. Ia mulai membuka mulut untuk protes. “Ada apa denganmu, kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya ketus seraya merapikan meja kerja yang agak berantakan dengan beberapa dokumen.
“Tidak, sepertinya kau butuh suasana baru.” Lee menyarankan. Ia melirik pada arloji coklat yang melingkar di pergelangan tangannya. “Kau punya waktu dua jam untuk istirahat, setelah itu kita ada rapat.”
“Tidak perlu, aku di sini saja. Lagian di luar panas.” Bian mengambil benda pipih di saku kemejanya. Ia menekan tombol kecil di samping benda itu untuk mengaktifkan layar. Tak butuh waktu lama, terpampanglah beberapa aplikasi di menunya. Ia hanya menggeser tanpa ada tujuan apa pun. Sesekali ia mendesah resah.
Sementara Lee masih berdiri tegap menghadap Bian yang seakan terus lari dari kenyataan. Rahang Lee menegang. Ia berang dengan sikap Bian yang tidak menjadi dirinya sendiri. Rasanya sesak melihat pria itu tampak tertekan.
“Berhenti membuang waktu!” kata Lee impulsif. Ia bahkan tidak mampu mengontrol isi hatinya hingga aksara itu keluar dari mulutnya begitu saja hingga membuat Bian sampai mengernyitkan alis.
Pria itu tak pernah mendapati sang asisten murka bahkan meninggikan suara di hadapannya.
“Ada apa denganmu?” tanya Bian keheranan.
Namun saking tak tahannya, Lee sudah tak memikirkan konsekuensi yang akan ia terima. Ia segera melempar jas kebanggaannya di atas sofa hingga hanya kemeja putih yang membalut tubuhnya. Ia telah meletakkan jabatan saat ini sejenak.
Kemudian, ia mengambil langkah lebar menuju meja kerja Bian. “Sudahlah, ikuti aku saja sekarang.” Lee menarik tangan Bian, membawanya ke tempat yang Bian tak tahu. Bahkan, isi pikiran Lee tidak bisa Bian ketahui. Dirinya malah masih tak percaya bahwa Lee bisa segeram ini. Entah kerasukan apa, pikirnya.
Mereka berdua melewati banyak mata yang menaruh pertanyaan besar. Ini jam istirahat, koridor kantor pasti ramai orang. Namun, Lee abai akan suara sumbang yang seakan mengikuti ke mana saja mereka pergi dengan membawa pertanyaan rasa ingin tahu. Hingga pada akhirnya mereka masuk ke dalam mobil dengan Lee yang menjadi sang pemegang kendali.
“Asisten Lee, kau melanggar etika menjadi seorang asisten.” Bian berkomentar.
“Potong saja gajiku,” kata Lee singkat, tak mau menanggapi serius. Lagi pula Kai yang mengurus gaji karyawan perusahaannya, bukan Bian.
“Baiklah, bulan ini kau tidak kuberi gaji. Akan kulaporkan pada Papa.” Bian kembali membuka ponselnya yang tadinya berada di saku kemeja.
Netra Lee melirik. Ia kian geram akan polah Bian yang semakin membuatnya tak nyaman. Ia pun mengambil ponsel dengan paksa dari genggaman sang empu. “Lupakan dahulu benda pipih itu!”
Lee menyimpan ponsel Bian di kotak mobilnya. Ia tak mengizinkan sang tuan lagi memainkan benda konyol sebagai pelarian meski Bian akan merengek seperti bayi mungil yang menyedihkan.
“Hoi, bukankah dirimu sangat kasar?” Bian merasa dongkol akan kelakuan Lee yang sudah kelewat batas meski mereka sudah seperti saudara kandung sebab sejak usia sepuluh tahun Lee juga sudah diangkat sebagai anak Kai.
Kemurkaan Bian telah Lee abaikan. Ia tak acuh meski bosnya merengut meminta dikasihani. Dirinya sudah jemu melihat Bian yang seperti ini. Ia ingin segera mengakhirinya dengan membawa pria gila kerja itu ke pusat kota.
Butuh waktu lima belas menit untuk sampai. Lee segera memarkirkan mobil sedan pribadinya ke tempat yang diarahkan sang penjaga kendaraan. Setelah itu, keduanya pun turun.
Sejenak, Bian hanya terdiam melihat tempat yang ramai orang. Terdengar bisik konversasi yang tak sengaja terlintas di rungunya. Netra Bian menangkap banyak hal di sini. Taman kota, tempat yang ia kunjungi saat kecil. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tak menginjakkan kaki di sini, padahal jaraknya dekat dari kantor.
Bian hanya malas saja membuang waktu, tapi kini ia melihat bangunan di sekitar sini tampak menakjubkan meski masih bergaya klasik. Binar netra Bian tampak berkilau. Jadi, inikah dunia luar?
Plak!
Lee menepuk belakang kepala Bian. “Sadarlah, kau bukan anak kecil,” ejek Lee tanpa memandang lagi status dirinya bagi Bian sang tuan muda. Kini ia hanya berpikir bahwa dirinya adalah saudara Bian yang telah tumbuh besar bersama-sama. Ia hanya ingin menghibur saudaranya saja dengan membawa pria itu ke pusat kota untuk bernostalgia.
“Aku hanyalah burung yang terkurung di dalam sangkar.” Bian mengelak. Kemudian, ia menyunggingkan senyum menawannya yang hilang beberapa hari ini. Mereka pun bertatapan sejenak, inilah momen yang sudah lama hilang setelah mereka beranjak dewasa.
Namun, euforia singkat itu menguar seketika tatkala tepat di depan mereka tampak seorang wanita berpakaian cheongsam putih yang ditabrak oleh anak kecil hingga membuatnya menjatuhkan buket bunga dari genggaman tangannya. Sementara si anak kecil itu langsung berlari menjauh tanpa rasa bersalah.
Wanita itu segera ambruk dan tangannya meraba tanah untuk merapikan beberapa bunga yang jatuh dari pelukannya. Namun, ada sesuatu yang berharga lebih dari bunga itu.
“Di mana ... di mana dia?” Ia terus meraba tanah bekas pijakannya, berusaha mencari sesuatu. Ia hanya bisa mengandalkan insting dan kedua tangan miliknya sebab mata yang ia punya sudah tak berfungsi lagi. Ia resah. Sementara Bian berdiri mematung tatkala sebuah pecahan safir tiba-tiba saja terjatuh tepat berada di ujung kakinya.
Dengan tangan gemetar Bian memungut safir sebesar biji almon itu. Kemudian, netranya menangkap wajah wanita yang mengingatkan dirinya akan masa lalu nan mengerikan.
“Wanita itu ....”
****
Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah ka
Beberapa hari berlalu.Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu h
“Apakah Mei benar-benar dapat melihat kembali?” tanya seorang pria dengan resah yang tak lain adalah Alan Stewart. Ia tengah menghadap Lee setelah melakukan tugas terbaiknya. Di kedua tangannya, tergenggam amplop tebal berwarna coklat. Kegundahan di hatinya tak kunjung usai. Ia terus memikirkan kesepakatan yang ia lakukan demi mengambil kembali masa depan Mei yang telah direnggut. Sebelum Alan berlalu meninggalkan Lee, ia menanyakan kembali perjanjian mereka yang dibuat kemarin. Kedua anak konglomerat itu memberinya transaksi yang berdasarkan simbiosis mutualisme. Bian menjanjikan bahwa dirinya akan membuat Mei dapat melihat kembali dengan syarat Alan harus meninggalkan gadis itu.Meski terdengar tidak adil, tetapi bagi Alan kebahagiaan Mei adalah segalanya. Bukan berarti Alan tak sayang, ia hanya ingin Mei bisa bahagia dengan seseorang yang mampu mewujudkannya.Alan merasa tak mampu selama ini. Ia hanya bisa memberi sedikit cintanya dengan selalu berada di sisi Mei. Ia tak dapat
Sementara di tempat lain.“Hentikan semua ini, Ayah!” Kai bersungut, menatap sengit pada sang sepuh keluarga yang duduk manis di sofa. Di hadapannya, Benjamin masih menatap beberapa potret kecil yang tergambar di sana putranya, Kai saat masih remaja.Senyum simpul sang kepala keluarga bayangan itu terlihat begitu jelas, tetapi hal ini malah membuat Kai meradang melihat sikap ayahnya. Berulang kali ia menghembuskan napas kekecewaan. “Ayah, Bian sudah melewati batas!” Protes demi protes terus Kai ajukan untuk menghentikan rencana Benjamin demi menemukan Ling Mei. Rungu Benjamin terasa pengang mendengarnya, ia menghela napas berat. Kemudian, ia letakkan beberapa potret foto itu di atas meja. Sekali lagi, ia menghela seraya meraih tongkat kayunya yang ia sandarkan pada bibir sofa. “Yang sudah kelewat batas itu kamu, Kai!”Tatapan Benjamin tak kalah sengit pada putranya. Entah kerasukan apa, Kai bertingkah kekanak-kanakan lagi, membuat Benjamin jemu melihat tingkahnya. Suasana di se
“Bian, lihatlah Ling Mei, bukankah dia sangat cantik?” tanya Lee setelah beberapa hari mereka berdebat pasal pria asing yang rupanya adalah kakak tiri Lee. Cetak!Satu sentilan mendarat di jidat Lee. Seketika pria itu meringis kesakitan seraya mengelus dahinya yang terasa perih sejenak.“Berhenti memuja Ling Mei!” Bibir Bian mencucu ke depan. Ia tak suka jika Lee terus-terusan memuji pujaan hatinya—Ling Mei yang saat ini tengah merangkai buket bunga dengan jemari lentiknya.Seperti biasa, Ling Mei memakai cheongsam putih dengan rambut hitam sehitam jelaga yang ia kepang rapi. Sungguh menawan, membuat degup jantung Bian tak beraturan. Sementara respons Lee hanya terkekeh geli. Ia senang menggoda Bian yang tengah kasmaran, sebab baru kali ini ia melihat sang tuan berpipi semu melihat seorang wanita, bahkan mereka harus rela mengintip dari balik tanaman bonsai untuk mematai Mei.Namun, sedetik kemudian Bian berkata dengan resah, “Tapi, apa kamu yakin ini aman, bukankah kakak tirimu itu
Hosh.Hosh.Hosh.“Kita harus lari sejauh mungkin, Kak!” Zhao terus menarik tangan Mei, ia bahkan mencengkeram pergelangan kakaknya itu hingga memerah. keduanya berlari kencang menjauh dari Kenzo yang terus berteriak memanggil nama mereka berdua.“Kita mau ke mana?” Mei yang masih setengah sadar itu terus mengekor pada sang adik. Ia bahkan tak mempersiapkan diri. Mereka keluar tanpa alas kaki. Ah, yang penting kabur saja sudah, masalah selanjutnya bisa diurus nanti.Hujan kembali terjun bebas, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Zhao dan Mei menembus malam yang dingin, tak peduli baju basah yang telah diguyur hujan. Mereka abai pada dinginnya malam yang menusuk demi menjauh dari sang sumber masalah.“Ling Zhao, Ling Mei, cepat kembali!” Di ujung sana, Kenzo berteriak lantang seraya mengacungkan pisau yang sudah terasah dengan baik. Namun karena luka di kaki Kenzo membuatnya sulit berjalan, apalagi berlari. Kenzo memang pincang karena cedera di bagian kaki sebelah kiri akibat melewati
Kenzo memandangi permata safir yang mengalung indah di leher jenjang milik Mei. Tatapannya tajam menukik, matanya memanas melihat benda itu masih saja berada di sisi Mei. Sejenak ia menghela napas berat, sedetik kemudian lengkungan bulan sabit terhias di bibirnya. Ia menatap sendu kedua anak yang sudah dijaganya beberapa tahun ini. Ya, ia membesarkan Mei dan Zhao selama ini setelah ibu kandung mereka memberi amanat kepada Kenzo. Mau tak mau, pria itu mengurus dua bocah yang kini memanggilnya dengan sebutan "Paman" dan Kenzo tidak keberatan akan hal itu, bahkan Emma saja menganggap Kenzo sebagai pamannya juga. Seperti sekarang, tak lama setelah penyambutan Kenzo, Emma datang dengan membawa sekantong plastik makanan berat. Ia datang dengan wajah semringah membawa kebahagiaan. "Selamat pagi Paman Ken, Zhao, dan sahabatku Mei." Emma segera memeluk Mei saat dirinya baru tiba. Kemudian, ia meletakkan plastik tersebut di atas meja. "Wah, sepertinya kita akan pesta besar." Kenzo mengelus
“Menikah atau keluar dari keluarga Kai?” Suara Kai sang kepala keluarga meninggi di hadapan penerus satu-satunya. Ia meradang melihat kelakuan sang putra yang hanya bersenang-senang dengan proyek perusahaan tanpa memikirkan masa depannya untuk jangka panjang. “Kau juga akan kehilangan jabatan jika tidak menikah!”Sementara sang putra—Sabian Kai si lakon utama hanya duduk santai sambil menyesap segelas kopi yang dibuatkan oleh Asisten Lee, asisten sekaligus teman masa kecilnya. Ia melempar pandang pada sang asisten yang berdiri tegap di sampingnya. Kemudian, ia kembali menatap sang ayah yang otot wajahnya menegang, memaksa untuk keluar.“Tenanglah, Pa.” Sekali lagi, Bian menyesap kopi tanpa wajah bersalah meski sang ayah sudah mengamuk di hadapannya. Untung saja ruangan ini kedap suara. Ruang khusus milik Bian yang hanya berisi meja kerjanya dan sofa untuk karyawan yang melapor. Bian mendesain ruangannya sendiri. Bahkan, potret dan vas-vas bunga yang ada di sini adalah hasil karyanya.
Kenzo memandangi permata safir yang mengalung indah di leher jenjang milik Mei. Tatapannya tajam menukik, matanya memanas melihat benda itu masih saja berada di sisi Mei. Sejenak ia menghela napas berat, sedetik kemudian lengkungan bulan sabit terhias di bibirnya. Ia menatap sendu kedua anak yang sudah dijaganya beberapa tahun ini. Ya, ia membesarkan Mei dan Zhao selama ini setelah ibu kandung mereka memberi amanat kepada Kenzo. Mau tak mau, pria itu mengurus dua bocah yang kini memanggilnya dengan sebutan "Paman" dan Kenzo tidak keberatan akan hal itu, bahkan Emma saja menganggap Kenzo sebagai pamannya juga. Seperti sekarang, tak lama setelah penyambutan Kenzo, Emma datang dengan membawa sekantong plastik makanan berat. Ia datang dengan wajah semringah membawa kebahagiaan. "Selamat pagi Paman Ken, Zhao, dan sahabatku Mei." Emma segera memeluk Mei saat dirinya baru tiba. Kemudian, ia meletakkan plastik tersebut di atas meja. "Wah, sepertinya kita akan pesta besar." Kenzo mengelus
Hosh.Hosh.Hosh.“Kita harus lari sejauh mungkin, Kak!” Zhao terus menarik tangan Mei, ia bahkan mencengkeram pergelangan kakaknya itu hingga memerah. keduanya berlari kencang menjauh dari Kenzo yang terus berteriak memanggil nama mereka berdua.“Kita mau ke mana?” Mei yang masih setengah sadar itu terus mengekor pada sang adik. Ia bahkan tak mempersiapkan diri. Mereka keluar tanpa alas kaki. Ah, yang penting kabur saja sudah, masalah selanjutnya bisa diurus nanti.Hujan kembali terjun bebas, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Zhao dan Mei menembus malam yang dingin, tak peduli baju basah yang telah diguyur hujan. Mereka abai pada dinginnya malam yang menusuk demi menjauh dari sang sumber masalah.“Ling Zhao, Ling Mei, cepat kembali!” Di ujung sana, Kenzo berteriak lantang seraya mengacungkan pisau yang sudah terasah dengan baik. Namun karena luka di kaki Kenzo membuatnya sulit berjalan, apalagi berlari. Kenzo memang pincang karena cedera di bagian kaki sebelah kiri akibat melewati
“Bian, lihatlah Ling Mei, bukankah dia sangat cantik?” tanya Lee setelah beberapa hari mereka berdebat pasal pria asing yang rupanya adalah kakak tiri Lee. Cetak!Satu sentilan mendarat di jidat Lee. Seketika pria itu meringis kesakitan seraya mengelus dahinya yang terasa perih sejenak.“Berhenti memuja Ling Mei!” Bibir Bian mencucu ke depan. Ia tak suka jika Lee terus-terusan memuji pujaan hatinya—Ling Mei yang saat ini tengah merangkai buket bunga dengan jemari lentiknya.Seperti biasa, Ling Mei memakai cheongsam putih dengan rambut hitam sehitam jelaga yang ia kepang rapi. Sungguh menawan, membuat degup jantung Bian tak beraturan. Sementara respons Lee hanya terkekeh geli. Ia senang menggoda Bian yang tengah kasmaran, sebab baru kali ini ia melihat sang tuan berpipi semu melihat seorang wanita, bahkan mereka harus rela mengintip dari balik tanaman bonsai untuk mematai Mei.Namun, sedetik kemudian Bian berkata dengan resah, “Tapi, apa kamu yakin ini aman, bukankah kakak tirimu itu
Sementara di tempat lain.“Hentikan semua ini, Ayah!” Kai bersungut, menatap sengit pada sang sepuh keluarga yang duduk manis di sofa. Di hadapannya, Benjamin masih menatap beberapa potret kecil yang tergambar di sana putranya, Kai saat masih remaja.Senyum simpul sang kepala keluarga bayangan itu terlihat begitu jelas, tetapi hal ini malah membuat Kai meradang melihat sikap ayahnya. Berulang kali ia menghembuskan napas kekecewaan. “Ayah, Bian sudah melewati batas!” Protes demi protes terus Kai ajukan untuk menghentikan rencana Benjamin demi menemukan Ling Mei. Rungu Benjamin terasa pengang mendengarnya, ia menghela napas berat. Kemudian, ia letakkan beberapa potret foto itu di atas meja. Sekali lagi, ia menghela seraya meraih tongkat kayunya yang ia sandarkan pada bibir sofa. “Yang sudah kelewat batas itu kamu, Kai!”Tatapan Benjamin tak kalah sengit pada putranya. Entah kerasukan apa, Kai bertingkah kekanak-kanakan lagi, membuat Benjamin jemu melihat tingkahnya. Suasana di se
“Apakah Mei benar-benar dapat melihat kembali?” tanya seorang pria dengan resah yang tak lain adalah Alan Stewart. Ia tengah menghadap Lee setelah melakukan tugas terbaiknya. Di kedua tangannya, tergenggam amplop tebal berwarna coklat. Kegundahan di hatinya tak kunjung usai. Ia terus memikirkan kesepakatan yang ia lakukan demi mengambil kembali masa depan Mei yang telah direnggut. Sebelum Alan berlalu meninggalkan Lee, ia menanyakan kembali perjanjian mereka yang dibuat kemarin. Kedua anak konglomerat itu memberinya transaksi yang berdasarkan simbiosis mutualisme. Bian menjanjikan bahwa dirinya akan membuat Mei dapat melihat kembali dengan syarat Alan harus meninggalkan gadis itu.Meski terdengar tidak adil, tetapi bagi Alan kebahagiaan Mei adalah segalanya. Bukan berarti Alan tak sayang, ia hanya ingin Mei bisa bahagia dengan seseorang yang mampu mewujudkannya.Alan merasa tak mampu selama ini. Ia hanya bisa memberi sedikit cintanya dengan selalu berada di sisi Mei. Ia tak dapat
Beberapa hari berlalu.Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu h
Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah ka
Dalam sekejap, Bian membelalakkan mata seraya menarik napas begitu dalam. Denting jam telah mengejutkannya. Tubuh Bian penuh keringat, ia bergetar.Seteguk saliva ditelannya. Ia menatap sekeliling, rupanya ia berada di ruang kerja kesayangannya. “Ah, aku mimpi itu lagi.” Bian menghela napas berat. “Mimpi lima belas tahun lalu.”Pria itu mengusap peluh di keningnya. Badanya terasa kaku, ia baru sadar selama 2 jam dirinya terbawa bunga tidur mengerikan di atas kursi kerjanya. Kenangan yang sudah lama ia kubur begitu dalam sampai ia telah melupakannya, tetapi selama beberapa hari terakhir memori itu hadir kembali mengusik kedamaiannya sejak Bian diingatkan akan batu safir oleh Benjamin.Ia sebenarnya telah menyimpan safir itu jauh di dalam lemari yang tak pernah ia buka setelah hari di mana ia terakhir kali melihat gadis itu sebelum ditemukan oleh Benjamin. Ia hanya ingin lari dan menghilangkan semua hal yang menjadi trauma masa kecilnya. Namun, Benjamin berkata bahwa lari bukanlah solus
15 tahun lalu.“Hosh ... hosh ... hosh.” Seorang anak lelaki yang tak lain adalah Bian kecil berusia 12 tahun terus berlari. Ia mengambil seribu langkah menjauh dari komplotan yang mengejarnya seraya membawa kematian untuk dirinya.Tubuh Bian yang kecil sudah basah kuyup sebab air di langit tumpah ruah diselingi guntur mengerikan. Meski ia berusia 12 tahun, tubuhnya tak berkembang laiknya teman seusianya. Ia sedikit terhambat. Namun, hal itu menguntungkannya pagi ini yang tengah diselimuti awan suram. Ia bisa dengan lincah meloloskan diri dari kumpulan pria kekar yang menahannya sejak kemarin.Kakinya terus melesat walau tanpa tujuan. Sekarang yang ada di dalam pikirannya hanyalah dapat lolos dari genggaman para pria menakutkan itu. Ia tidak peduli berapa jarak yang ia tempuh untuk melarikan diri hingga ia menemukan sebuah taman bermain yang telah sepi.Bian pun segera menyembunyikan tubuhnya di balik perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan kecil di atasnya sehingga ia terhindar